Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6b

☘️☘️☘️

"Ini hebat sekali," bisik Gavin sambil merangkul pundak kekasihnya.

"Apa?" Zalia menggeliat geli, dengan napas hangat Gavin.

"Kita bisa libur bersamaan dan berkencan tentu saja."

Zalia tersenyum simpul, merapat ke tubuh Gavin yang kokoh, ia merasakan kehangatan menyebar ke seluruh tubuh dan hati. Sudah lama ia merasa tak sebahagia ini, bisa jalan-jalan keliling mall, makan, dan menonton bioskop. Dulu, saat ia masih bersama Thomas, laki-laki itu tak pernak mau diajak menonton. Pertemuan mereka dulu cenderung membosankan dengan hanya makan di restoran atau mengobrol di kafe. Jika diingat lagi, Zalia merasa geli. Dulu, entah apa yang membuat dirinya memuja sang mantan.

Mereka mengantre bersama penonton yang lain untuk masuk ke dalam studio. Bioskop membludak karena ada film aksi terkenal yang sedang tayang, mereka pun tak mau melewatkannya.

Saat duduk di bangku penonton, Zalia merasa senang. Mereka berbagi popcorn dengan minuman untuk masing-masing segelas.

"Sebenarnya, aku kurang suka film aksi," ucap Gavin pelan.

Film belum dimulai, di layar sedang menayangkan iklan atau trailer film yang akan datang.

"Kenapa emang?" tanya Zalia. Mengambil segenggam popcorn dan mengunyahnya. Rasa asin gurih menyerbu lidah.

Gavin mendekat dan berbisik. "Karena, kebanyakan film aksi itu tokohnya harus kalah dulu baru menang kemudian. Itu sesuatu yang nggak masuk akal buatku. Nggak enak amat jadi pemeran utama, babak belur, dihina, baru bisa bahagia." Ia berpaling, dan menerawang menatap layar.

Zalia menatap kekasihnya, dalam bias lampu temaram, wajah Gavin terlihat rupawan. Namun, entah apa ia juga melihat ada setitik sendu di sana. Seakan-akan terlihat, Gavin menyimpan sesuatu yang menyedihkan.

"Kamu kenapa?" tanyanya lembut.

"Hah, ada apa?" Gavin menoleh.

"Kamu kayak lagi sedih. Apa terjadi sesuatu?"

Dengan senyum terkulum, Gavin meraih wajah Zalia dan membelai pipinya. Ia suka menyentuh kulit halus milik kekasihnya dan merasakan kehangatan di ujung-ujung jari.

"Aku senang bersamamu, mana mungkin aku sedih.'

"Benarkah? Yakin tidak ada yang kamu sembunyikan?"

"Yakin, nggak ada apa-apa."

"Kalau ada masalah, apa pun itu aku ingin jadi orang pertama yang tahu."

Gavin tersenyum. "Baik, Sayang. Btw, suapin aku popocorn."

"Iih, manja. Bisa makan sendiri juga."

Meski menggerutu, tapi Zalia tetap mengambil segenggam popcorn dan memasukkan ke dalam mulut Gavin yang menerima sambil tertawa. Saat lampu menggelap, keduanya memandang layar yang membuka.  Mereka menonton film selama hampir tiga jam, diselingi dengan cumbuan dan ciuman tanpa henti oleh keduanya.
**
Sani melahirkan, kabar gembira itu disampaikan sang suami. Anggun menjemput Zalia sepulang kerja dan bersama-sama mereka ke rumah sakit bersalin.

Sahabat mereka melahirkan seorang bayi perempuan montok. Ruangan pecah oleh desah memuja saat Zalia menggendong bayi dalam lengannya.

"Cantik sekali, dan lembut pipinya." Zalia menimang bayi perempuan di lengannya.

"Mirip Bima bentuk bibirnya." Anggun berucap sambil tertawa ke arah laki-laki berkacamata yang duduk di samping ranjang Sani.

"Iyalah, gue bokapnya. Kalau mirip tetangga pasti gue curiga bini selingkuh," jawab Bima ringan.

Seketika, tawa terdengar membahana.  Zalia mengamati Sani yang terlihat bahagia dengan Bima menggenggam tangannya. Ia mengenal Bima dari semenjak masih berpacaran dengan Sani. Lika-liku kehidupan cinta keduanya, ia tahu persis. Karena setiap kali ada masalah, pasti mereka mencurahkan kepadanya.

"Udah siapin nama belum?" Anggun bertanya pada Sani.

Sani menggeleng. "Bapaknya yang mau ngasih nama. Terserah dia."

Bima menepuk dada. "Sudah dong, kalian pasti muji gue hebat kalau tahu pilihan namanya."

"Yaa, kita percaya." Zalia menyentuh ujung hidung sang bayi. Gatal ingin mencium tapi ia tahan karena tidak ingin mengotori kulit bayi dengan sentuhannya.

"Gue denger lo dah punya pacar baru. Mana dia, kenalin ke gua. Siapa tahu lain kali bisa gue ajakin main gaple!" Bima berucap ke arah Zalia.

"Tentu dong, pacar Zalia itu brondong keren." Sani yang menjawab dengan mata berbinar. "Tinggi, putih, tampan, dan apa ya ...."

"Nggak sombong," sambung Anggun.

Sani mengangguk. "Betul, nggak sombong.

Sementara Zalia tersenyum mendengar pujian kedua temannya, Bima mengerutkan kening. Laki-laki itu terlihat tertarik dengan ucapan sang istri dan sahabat mereka.

"Kalau memang bini gue dan Anggun ngomong gitu, berarti beneran baik. Coba Zalia, kamu kirim pesan. Suruh dia datang kenalan sekarang."

Zalia menggeleng. "Nggak ah, bisa jadi dia lagi sibuk. Kapan-kapan saja."

"Hei, gue cuma mau kenalan sama dia. Bukan mau ngajak dia mabok bareng!" ucap Bima.

Namun Zalia tetap menggeleng. Ia takut jika Gavin masih sibuk dan akan memaksakan diri jika harus datang ke rumah sakit sekarang. Toh mereka bisa datang ke rumah Sani  nanti.

"Dia sudah di jalan, mungkin nggak sampai satu jam sampai." Anggun berucap sambil menggoyangkan ponselnya.

Zalia melotot dan Bima tersenyum senang.

"Bagus, kita tunggu kedatangan brondong, eh salah, pangeran Zalia."

Zalia menyerahkan bayi yang mulai merengek ke pelukan sang ibu. Ia menatap takjub saat Sani menyusui anaknya. Sementara Anggun sibuk mengobrol dengan Bima tentang layanan rumah sakit, ia melangkah ke jendela. Ruangan tempat Sani dirawat berada di lantai empat, tidak cukup tinggi untuk melihat-lihat pemandangan luar, tapi lumayan nyaman.

Pikiran Zalia mengembara pada Gavin dan hubungan mereka yang terjalin manis. Sudah hampir satu bulan mereka berpacaran, dan makin hari, ia merasa makin jatuh cinta. Terkadang takut, jika kelak Gavin akan berubah perasaan. Ia takut, dirinya akan patah hati jika itu sampai terjadi. Menarik napas, ia berusaha menepiskan rasa takutnya.

Lamunannya buyar saat terdengar ketukan di pintu. Tak lama, sosok Gavin masuk dan mendominasi ruangan dengan tubuhnya yang tinggi.

"Hallo, semua," sapanya ramah.

Zalia menghampiri dan masuk dalam pelukannya. Ia mengenalkan Gavin pada Bima yang bekerja sebagai manajer di sebuah pabrik elektronik. Setelah menyapa Sani dan memuji sang bayi yang montok, Gavin terlibat percakapan seru dengan Bima. Kedua laki-laki itu bicara tentang bola, dan hobi masing-masing.

Pukul sembilan malam, mereka meninggalkan rumah sakit dengan Zalia diantar pulang oleh kekasihnya. Serta membiarkan Anggun sendirian menyetir mobil.
**
Pukul dua siang, lobi hotel cenderung sepi. Gavin menunduk di atas catatannya dan mengecek nama-nama tamu yang chek-in dan chek-out hari ini. Hotel mereka bekerja sama dengan beberapa agen perjalanan online. Akan ada pencocokan dan juga laporan setiap bulannya.

Seorang tamu wanita yang dikenali Gavin sebagai tamu yang baru masuk semalam, menyapa ramah dari seberang meja. Wanita itu menanyakan tentang restoran terkenal yang berada di sekitar hotel. Ia menyarankan untuk memesan secara online demi menghemat waktu.

Saat mendengar sarannya, wanita itu tersenyum sambil mengedipkan mata. "Aku suka resepsionis hotel yang begini. Sudah ganteng, ramah pula. Kamu sudah punya pacar belum?"

Gavin mendongak, menatap wanita yang ia taksir berumur awal tiga puluhan. Ini bukan pertama kalianya ia menghadapi rayuan tamu wanita. Musah saja mengelakkan hal seperti ini.

"Sudah, Kakak. Apa Kakak memerlukan hal lain lagi? Rekomendasi tempat hiburan mungkin?" ucapnya ramah.

Wanita itu tersenyum, mengibaskan tangan. "Ah, aku hanya bosan terkurung di kamar. Makanya turun untuk bicara sama kamu."

Wanita itu terus menyerocos dan mengatakan sesuatu tentang bioskop, restoran, jalan-jalan. Terakhir dia berkata. "Pulang kerja mau nggak pergi denganku?"

Belum sempat Gavin menolak, ujung matanya menangkap baying laki-laki yang berdiri di tengah lobi. Berkulit kecoklatan dengan tubuh tinggi tegap dan berkacamata hitam, ia menganalinya.

"Maaf, saya ada tamu." Mengabaikan wanita yang terbelalak bingung, Gavin keluar dari balik meja resepsionis dan menghampiri laki-laki berkacamat yang berdiri di tengah ruangan.

"Susu, ada apa?"
(Susu : Paman)

"Shaoye, bisa kita bicara sebentar?"

Untuk sesaat Gavin kebingungan. Antara mendengarkan omongan Hanson atau kembali bekerja. Ia tahu, laki-laki itu datang atas utusan sang Papa. Dan, ia ingin menyelesaikan secepatnya. Akhirnya ia putuskan untuk mengambil waktu istirahat setengah jam. Ia meminta pada salah seorang temannya untuk berjaga di meja resepsionis dan mengajak Hanson bicara di teras hotel.

"Ada apa, Susu. Bicaralah, apa ini ada hubungannya dengan Papa?"

Hanson menatap tuan muda yang terlihat kesal di sampingnya. Ia selalu mengamati anak laki-laki kecil yang kini tumbuh menjadi pemuda tampan.

"Taye, bertanya bagaimana jawaban Anda tentang tawaran beliau."

Gavin berdecak kecil. "Jawaban apa lagi, jelas-jelas aku menolak."

"Sebaiknya Shaoye menerimanya. Akan menjadi kebaikan buat kita bersama."

"Kebaikan apa maksudmu? Kebaikan mereka semua? Setelah bertahun-tahun membuangku, enak saja kini meminta aku kembali."

"Bagaimana pun dalam darah Shaoye mengalir marga Wang. Yang artinya Anda tidak boleh menolak jika kewajiban datang."

Gavin tersenyum sinis, mengalihkan tatapannya dari Hanson yang berdiri menjulang bagai patung batu, ke arah parkiran mobil yang penuh. Pikirannya merasa terganggu dengan adanya desakan keluarga Wang. Terutama sang papa. Sedangkan ia sama sekali tak berminat untuk terus berhubungan dengan mereka.

"Sampaikan salamku pada Papa. Tapi, tetap aku menolak."

"Begitu, sayang sekali," gumam Hanson. "Nona Zalia akan kehilangan pekerjaannya karena Anda."

Gavin menoleh cepat ke arah Hanson. "Apa maksudmu bawa-bawa Zalia, dan bagaimana kamu mengenalnya." Ia menatap wajah Hanson yang tenang lalu menebak sendiri. "Ah, kalian memata-mataiku rupanya."

"Tentu saja, kami juga tahu kalau Zalia bekerja di hotel kita. Bayangkan sedihnya jika dia harus dipecat dari hotel karena suatu kasus."

Gavin mengepalan tangan, merasakan gelegak kemarahan dari dalam dada. "Mau kamu apakan Zalia?"

Hanson menelengkan kepala. "Anda tahu kami, Shaoye. Akan mudah menciptakan suatu skandal yang membuat Zalia menghadapi tuntutan hukum dan dipecat. Mudaaah sekali melakukan itu."

"Bajingan!" desis Gavin.

"Sayangnya itu benar, dan bajingan ini ingin membawa Anda menghadap Papa Anda sekarang."

Diliputi rasa marah yang menyeruak ke dari hati dan meremas jiwa, Gavin menatap tak berdaya saat melihat serombongan burung kecil melintasi halaman parkir. Ia menyadari, jika perkataan dan ancaman Hanson bukan main-main. Tentu akan sangat menyakitkan bagi Zalia, jika terlibat suatu masalah yang tidak dia mengerti. Rasa malu dan kesedihan yang amat sangat dalam

Ia mengembuskan napas panjang, sambil memejamkan mata. Saat membuka, ia berucap lirih pada Hanson.

"Tunggu aku, sepulang kerja kita ke rumah Papa."

Tersenyum tipis nyaris tanpa gerakan yang mencolok, Hanson merasakan kegembiraan.

☘️☘️☘️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro