(3) Matchmaker I
Pukul 10.15, SKO Office.
"Selamat pagi, Pak Langit."
Langit terperanjat ketika pintu lift terbuka di lantai dua dan Ify masuk dengan senampan penuh berisi cangkir yang aromanya bercampur, teh, kopi, susu. Di mata Langit saat itu Ify persis dengan pegawai pantry yang bertugas mengantar minuman di pagi hari.
"Pak Langit baru datang?" tanya Ify basa-basi. Moodnya sedang berada pada level terbaik yang pernah ada sejak bertemu dengan Alvin di ballroom Hotel Zeus kemarin. Rasanya sekitar Ify tumbuh banyak bunga warna-warni, termasuk di dalam lift saat ini meski ia sedang bersama Mr. Flat kedua.
"Kamu udah baca note dari Dimas, kan?"
"Ya ampun, Pak. Kaku banget sih jadi orang. Ramah sedikit ajalah, seperti Kak Dara."
Langit mengernyit. "Ify Axelle..." Langit baru saja hendak menegur Ify sebelum akhirnya gadis itu hanya mengeluarkan cengirannya dan...
"Pak, saya tahu Pak Langit itu Bos, tapi ada baiknya kalau Pak Langit lebih ramah sedikit dengan karyawan. Jadi, para karyawan bisa merasa bahwa SKO ini bukan cuma tempat kerja, sumber uang, tapi bagian dari keluarga. Pasti para karyawan semangat kerjanya juga bukan hanya sekedar untuk dapat gaji. Tapi, sepenuh hati karena menganggap Pak Langit dan seluruh staf adalah satu keluarga."
Ting! Pintu lift terbuka tepat di lantai lima, ruang kerja Ify dan seluruh staf Show Director lainnya. "Mari, Pak. Saya duluan."
Langit tertegun dengan sikap Ify tadi. Yang dia tahu dari laporan Dimas adalah Ify termasuk karyawan yang berbakat namun pasif. Hanya Shilla yang kubikelnya di sebelah meja kerja Ify yang menjadi temannya sampai saat ini. Ify bahkan pergi ke divisi lain hanya jika diperintahkan untuk mengantarkan dokumen. Tapi, kenapa di pagi hari seperti ini Ify membawa senampan minuman yang tidak sedikit? Rasanya Dimas pasti akan melarang Ify untuk melakukan pekerjaan orang pantry itu. Pasti terjadi sesuatu kemarin ketika Dimas mengajak Ify untuk bertemu dengan perwakilan Hotel Zeus. Tapi, apa ya?
Pikiran Langit pun kembali pada jadwalnya hari ini setelah pintu lift terbuka di lantai ruang kerjanya.
***
"Wah, Ify tumben banget nih, ada apa?" tanya Danang, salah seorang staf Show Director yang menangani Lighting sambil menyeruput kopi putih pesanannya.
"Pasti lagi jatuh cinta, ya?" goda Sri, staf bagian Runner.
Ify hanya tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi atasnya yang rapi, karena dia pulang, dia kembali, batin Ify senang. "Mbak bisa aja," sahut Ify.
"Tapi, kamu hebat, ya, baru satu bulan Pak Dimas udah ajak kamu untuk rapat," lanjut Danang dengan mata yang menyelidik. "Jangan-jangan...."
"Kebetulan aja kok Mas Danang," cengir Ify berusaha menutupi kegugupannya. Terserah deh, yang penting aku ketemu Alvin lagi.
"Kamu ini mas Danang, makanya kerja yang benar, setahun kerja nggak pernah diajak rapat kan jadinya karena malas," celetuk Voni, staf lain yang menurut Ify sedang menyindirnya.
Sepertinya aku berlebihan, pikir Ify menyesal. "Aku kerja lagi deh, ya," sahut Ify dengan muka masam setelah meletakkan cangkir terakhir di kubikelnya sendiri.
"Jangan didengerin, Voni itu memang sahabatan sama Angel, makanya mulutnya sama-sama kayak cabe. Minta diulek," bisik Ila mencoba menghibur.
Ify terkekeh sebentar dan kembali fokus pada layar komputernya, sepulang dari Hotel Zeus kemarin. Seperti kerasukan roh penunggu ballroom, Dimas langsung memberinya setumpuk perintah yang sudah dijadwalkan harus selesai hari ini juga.
***
Sejak kejadian kemarin di ballroom, Dimas sempat khawatir dengan keputusan Langit yang meminta Ify untuk menjadi staf Client Service untuk proyek Hotel Zeus kali ini. Mengingat bahwa sepertinya Ify dan Alvin memiliki hubungan yang cukup erat di masa lalu. Dimas khawatir bahwa proyek ini berjalan bukan atas dasar keprofesionalitas melainkan pertemanan belaka. Atau yang lebih menakutkan adalah karena perasaan.
Wajah Ify sejak kemarin persis seperti bunga yang baru mekar, benar-benar ceria dan cantik daripada di awal-awal masa magangnya tiga minggu lalu. Dimas sebenarnya ingat kalau Ify adalah juniornya ketika duduk di bangku kuliah dulu karena mereka pernah satu kepanitiaan dalam acara perlombaan yang digelar di kampus mereka. Dan Ify selalu berdua dengan gadis bernama Sivia yang sempat ditolongnya saat acara Outbond di pantai Pasir Putih Sirih Banten.
Satu-satunya gadis yang panik ketika Banana Boat yang mereka tumpangi oleng dan seluruh peserta tercebur ke laut. Tanpa Dimas sadari, sudah ada orang yang berdiri di hadapannya dan menyaksikan Dimas tersenyum geli sekarang.
***
Ify nekat menyusupkan wajahnya ke dalam pintu ruang kerja Dimas yang sudah diketuknya beberapa kali, namun tidak ada jawaban, padahal Ify jelas melihat Dimas ada di dalam dari kaca tembus pandang di hadapannya yang menjadi sekat ruang kerja Dimas dengan koridor menuju kubikel kerjanya dengan staf lain.
"Kak...?" panggil Ify ragu dengan suara yang pelan. "Saya masuk, ya," izin Ify masih belum ditanggapi Dimas. Ni orang lagi mikirin apa sih? Ngelamun jorok, ya? pikir Ify asal.
"Kak ini sa−" Ify terpukau dengan senyum Dimas yang seperti sedang menahan tawanya. Sebenernya Dimas lagi mikirin apa sih? Sumpah, kalau aja aku bisa baca wajahnya yang datar itu... geram Ify dalam hatinya. "Kak Dimas!" panggilan Ify yang keras akhirnya mengembalikan Dimas dari flashbacknya.
"Astaghfirullah," kata Dimas pelan, terkejutnya saja bahkan masih dengan wajah datar di mata Ify. "Kamu−" Dimas baru saja akan mengeluarkan kata-kata pedasnya, tapi dia ingat pesan Langit padanya bahwa Ify adalah staf spesial. Ify penyelamat Udara dan sejak saat itu Udara menganggapnya sebagai adik.
"Ada apa?" tanya Dimas setelah sebelumnya menghela napas. Nyaris saja dia kelepasan memarahi anak emas Bosnya.
"Kak Dimas ngelamun jorok, ya?" goda Ify, "tadi senyum-senyum mesum gitu, hehe..." cengiran Ify lagi-lagi mengingatkannya dengan Sivia, entah kenapa.
"Sivia, jangan main-main," kata Dimas lancar.
Kelopak mata Ify melebar, matanya yang bulat semakin terlihat bulat bahkan manik matanya pun hampir keluar jika tidak segera berkedip. "Ta-tadi kak Dimas panggil aku apa?"
"Ify," sahut Dimas kalem. "Kenapa?"
"Nggak, nggak! Kak Dimas panggil aku Sivia tadi! Berarti, kak Dimas lagi mikirin Sivia, ya?" selidik Ify dengan menggebu. Alis Dimas mengkerut.
"Iya, kan?" Tanpa memedulikan mimik muka Dimas, Ify langsung menggeser posisinya dan berdiri di sisi kanan meja Dimas sekarang. Ify mendekatkan wajahnya dengan wajah Dimas yang rupanya sedikit memerah.
"Kak Dimas suka, ya, sama Sivia?" bisik Ify tepat di samping wajah Dimas. Dimas menolehkan wajahnya yang berjarak kurang dari dua puluh senti dari wajah Ify. "Waaah!" seru Ify antusias. "Diam berarti iya!" serunya sembari menegakkan tubuhnya kembali, kaget juga dia saat mendapati wajahnya dan Dimas terlalu dekat.
"Ify jangan kelewatan!" peringat Dimas, dia mulai malas meladeni Ify dan batas kesabarannya mungkin sudah tinggal sepuluh persen.
"Kak Dimas, ngaku aja deh. Sebenernya juga Sivia tuh suka sama kak Dimas dulu, tapi karena dia tahu syariat Islam. Jadi, Sivia diem aja," cerita Ify. "Intinya, menurut aku kak Dimas sama Sivia itu cocok deh! Kak Dimas belum nikah, kan?"
"IFY!" bentak Dimas akhirnya. Ify pun menelan ludahnya ketika melihat ekspresi kemarahan Dimas. Sepertinya Ify sadar bahwa statusnya dan Dimas adalah bawahan dan atasan. Apalagi Ify masih masa percobaan, anak magang. Mati aku.
"Mau apa kamu ke ruangan saya?" ketus Dimas masih dengan mata berkilat marah.
Dengan tangan gemetar, Ify meletakkan hasil kerjanya ke meja Dimas dan berjalan mundur, mencari jarak aman kalau-kalau Dimas ingin marah kemudian melemparkan berkas itu ke wajahnya. Bodoh bodoh, maki Ify dalam hati, harusnya kamu ingat kalau orang pendiam itu marahnya lebih menyeramkan.
"Kamu keluar saja dulu, saya cek ini nanti," titah Dimas dan Ify langsung berlari keluar dari ruangan Dimas, dia sudah tak peduli lagi dengan seberapa keras tadi dia menutup pintu ruang kerja Dimas. Yang penting Ify harus pergi dulu untuk evakuasi dari krakatau yang meletus.
Langit yang baru saja hendak ke ruangan Dimas untuk membahas proyek lain yang tengah dinegosiasikan divisi Marketing mengerutkan dahi, kenapa Ify keluar dengan berlari dan wajah ketakutan? pikir Langit penasaran.
Ketika mendapati pintu ruang kerjanya terbuka tanpa diketuk, Dimas bersiap untuk memberikan gertakan yang lebih keras, tapi ketika melihat yang muncul dari ambang pintu adalah Big Boss. Maka, rentetan kata yang siap meluncur dari mulutnya kembali ditelan.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Dimas lebih dulu sambil berdiri. "Kenapa tidak panggil saya saja untuk ke ruangan Bapak?" tanyanya takzim.
"Ada yang bilang pada saya untuk lebih ramah menjadi Bos, makanya saya kesini," gumam Langit membuat dahi Dimas berkerut. "Ada apa dengan Ify?" tanya Langit serius.
Tangan Dimas menaikkan kacamatanya yang melorot, kemudian memberanikan diri untuk menatap Bosnya.
"Saya tadi menggertaknya, karena sikapnya sudah keterlaluan."
"Apa yang Ify lakukan?" tanya Langit lagi. Dimas sebenarnya penasaran kenapa Langit menjadi ingin tahu sekali tentang Ify. Dimas tahu kalau ini masalah utang nyawa, tapi sepertinya sekarang sudah tidak sesederhana itu.
"Ify.... Dia..." Dimas jadi bingung sendiri menjelaskannya. Sebenarnya Dimas tahu niat Ify yang ingin menjodohkannya dengan Sivia, tapi apa pantas hal sepribadi itu diumbar pada seorang atasan?
Langit berdecak. "Apapun itu, jangan sampai Ify resign. Dara masih perlu dia sampai ada AB negatif lain yang bisa menjadi jaminan di kantor."
Dimas terperanjat, jadi Ify hanya menjadi bank darah bagi Dara? Tiba-tiba ada perasaan iba di hati Dimas, juga perasaan menyesal karena sudah membentak gadis tadi.
"Saya hanya ingin memberi tahu bahwa divisi Marketing sedang negosiasi dengan SMA swasta di Bekasi untuk membuat Prom Night, mungkin ada baiknya kita mencoba kerjasama dengan Hotel Zeus lagi karena panitianya ingin Prom Night di ballroom Hotel."
Dimas mengangguk paham dan membuat sebuah catatan di notenya seperti biasa.
***
Pukul 15.45, Restoran Hotel Zeus.
Dimas melirik ke arah Ify yang cenderung lebih diam dan terlihat seperti fotokopinya dalam bentuk perempuan. Pasti efek gertakannya tadi siang, pikir Dimas tak acuh. Biarkan sajalah.
Tapi, ketika diperhatikan lagi, wajah Ify seperti ada mendung yang siap menumpahkan air dari matanya. Bisa bahaya kalau Ify sampai menangis di depan Alvin ketika negosiasi nanti. Apalagi Dimas mendapatkan perintah dari Langit untuk mendapatkan harga yang sesuai untuk penawaran proyek Prom Night ke SMA Swasta di Bekasi itu.
Dimas mendecak kesal, dan mulai berpikir bagaimana caranya agar gadis ini bisa secerah tadi pagi.
Mendengar decakan Dimas, Ify memutuskan untuk menggeser sedikit kursinya dan membuat Dimas akhirnya buka suara.
"Kenapa geser?" tanyanya ketus.
"Mungkin, Pak Dimas masih marah sama saya, jadi... yah... i-itu..." gagap Ify.
Gawat kalau begini, pikir Dimas. "Saya ingat sama Sivia," kata Dimas, mengeluarkan senjata terakhirnya. Mendengar Ify memanggilnya dengan Pak, berarti bahwa Ify sangat takut padanya sekarang.
Mata Ify seketika berbinar, tapi mengingat bagaimana kemarahan Dimas tadi siang Ify pun memilih untuk bungkam.
"Ya, saya belum menikah. Tapi belum tentu Sivia juga, kan?"
"Maksudnya Kak Dimas?" tanya Ify akhirnya. "Kakak..." ucap Ify tertahan.
"Saya akan pikirkan lagi mengenai Sivia kalau dia memang masih belum menikah."
Mulut Ify terbuka. "Serius, Kak?" Tanpa sadar Ify berdiri padahal sedang ada pelayan di belakangnya yang hendak menaruh pesanan Ify dan Dimas di meja. Piring dan gelas kaki yang ada di nampan pelayan tadi pun berjatuhan ke lantai begitu juga dengan Ify yang limbung dan jatuh dengan tangan kirinya yang membentur meja.
"Aww!" pekik Ify menahan sakit di tangan dan kakinya yang tidak seimbang karena menggunakan wedges membuat dirinya harus terjatuh di sebelah pecahan piring dan gelas di lantai. Butiran bening itu pun keluar dari mata Ify.
"Ify!" seru Dimas, "kamu gimana sih?" katanya sambil berusaha membangunkan Ify agar tidak terkena pecahan beling.
"IFY!" teriak seseorang dari pintu masuk restoran. Alvin langsung mengambil alih tangan Ify yang tadi disentuh Dimas dan berkata pada pelayan tadi untuk menyiapkan mobil. "Kamu berdarah nggak?" tanyanya panik.
Ify bergeming. "Sepertinya nggak," sahut Dimas kalem, "jadi dia nggak perlu ditransfusi."
Alis Alvin mengernyit. "Anda, tahu?"
"AB negatif. Saya tahu."
BERSAMBUNG
Halo, pembaca!
Terimakasih sudah kembali meluangkan waktu untuk part 3 MMIYD. Diklik juga tanda bintang ★ (vote) & komentar, karena itu sangat berarti buatku. Oh, iya, karena sudah memasuki part 3, silakan jadikan MMIYD ke Reading list, jika berkenan. ♡
Sampai jumpa di part 4.
Salam,
Nnisalida.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro