(16) Lunch
Trio terperanjat saat mendapati nomor Shilla terpampang di layar ponselnya yang bergetar. Dengan cepat, digesernya tombol telepon berwarna hijau di benda pintarnya itu dan menempelkannya ke telinga kiri.
Suara seorang wanita langsung terdengar dari ujung sambungan. "Kamu masuk karena darah AB negatif yang kamu punya, kan?" Tubuh Trio menegang, hanya ada satu orang pemilik darah AB negatif di kantor ini selain Dara, dan informasi mengenai darah spesial itu tidak pernah dibeberkannya pada siapa pun. Termasuk orang-orang bagian HRD. Lalu, bagaimana mereka−
"Kamu pakai darahmu untuk masuk ke SKO, setelah itu, mendekati Pak Langit dan Pak Dimas secara bersamaan. Mungkin, karena kamu nggak bisa memilih mana yang lebih baik di antara keduanya. Atau... karena kamu memang perempuan serakah."
Trio menggebrak meja kerjanya dengan tangan kanan. Siapa pun yang mengatakan hal ini pada gadis pandabloodnya, akan tamat. Tidak boleh ada orang yang mengganggu Ify Axelle, selain Trio Langit Shuwan! Tadi, suara itu bilang apa? Ify mendekati Dimas? Iya, memang benar. Tapi itu untuk menjodohkan Dimas dengan Sivia, sahabat Ify. Ify mendekati Trio? Haha! Lucu sekali!
Tidak terdengar suara apa pun selama beberapa detik, namun bibir Trio tersenyum puas saat mendengar Ila mengatakan "Kalian akan menyesal karena bicara sekasar itu pada Ify." Benar, makhluk yang mengusik Ify hari ini akan dipastikan tidak bisa mengganggunya lagi besok, lusa, atau seterusnya.
"Oh, ya? Apa kamu bakal mengadu pada kedua lelakimu itu?" Kini, suara yang berbeda terdengar. "Ahh, tentu aja, tapi itu akan membuat beritanya jadi semakin heboh. Seorang gadis−"
BRAAAAAK! Trio mengernyit, suara bantingan terdengar. Jangan bilang Ify sudah melemparkan sesuatu ke arah pengganggunya itu seperti yang pernah Ify lakukan padanya dengan melempar bantal.
"Selamat makan siang, Mbak." Trio tersenyum kesal, suara Ify yang terkendali tadi membuatnya kecewa. Bagaimana bisa Ify sesabar itu menghadapi dua pengganggunya sementara selalu berteriak setiap kali berhadapan dengan Trio? Ify benar-benar... menyebalkan!
***
"Ify, mau ke mana?" tanya Ila sambil berlari kecil mengejar Ify yang berjalan cepat meninggalkan Voni dan Angel di meja mereka. "Aku bahkan belum makan separuhnya," keluhnya setelah meletakkan senampan makan siang mereka di meja piring kotor.
Ify masih terus berjalan dengan tangan terkepal kuat, masih untung tidak ada benda apa pun yang mendarat di wajah dua biang gosip itu. Argh! Darimana sih mereka bisa dapat informasi mengenai darahnya? Caranya masuk kerja?? Apa Trio yang− tidak mungkin, lelaki itu pasti sudah menghabisi mulut kedua makhluk tadi jika mereka berani bertanya. Apa Dimas?? Itu juga tidak mungkin, manusia−yang emosinya−sedatar triplek tidak akan berselera untuk membicarakan orang lain, apalagi subjeknya adalah adik kelas sendiri. Argh!! Ify rasanya benar-benar mau menghantam− tunggu...
Ify membalikkan tubuhnya ke belakang, nyaris membuat Ila menubruk tubuhnya. "Kita bisa ke rooftop nggak?"
"Ha!?" Ila menatap Ify dengan tatapan kosong.
"Aku mau mencari sesuatu, bisa nggak kita ke rooftop?" tanya Ify lagi.
Ila menggenggam erat ponselnya dengan tangan kanan, sambungan yang masih terhubung dengan Presiden Direktur SKO membuatnya bimbang. "A-apa yang mau kamu cari memangnya?" tanya Ila mengorek informasi. Orang di ujung sambungan pasti membutuhkan itu untuk mempertimbangkan apakah tindakan Ila selanjutnya layak atau tidak.
"Sesuatu, yang nggak bikin emosi," ucap Ify membuat alis Ila berkerut, "sekalian aku mau kasih tahu yang sebenarnya, biar kamu nggak berpikiran sedangkal mereka tentang aku."
Ila berdeham, kemudian pamit ke toilet lebih dulu sebelum mengantar Ify ke rooftop. Di dalam sebuah bilik toilet, didekatkannya ponsel ke telinga kiri. "Pak, bagaimana?" tanyanya takut.
"Kamu punya akses ke sana?"
Ila menelan ludah, sebenarnya Ila pernah ke atap beberapa kali untuk mencari udara segar di awal masa magangnya, karena Voni memang sangat senang menyiksa anak baru dengan berbagai tugas yang tidak masuk akal. Sebagai pelarian, Ila memutuskan ke rooftop melalui tangga darurat dan mencongkel lubang pintu aksesnya dengan sebuah kawat yang dia bentuk sedemikian rupa.
Jadi, kesimpulannya, Ila punya bakat membobol pintu. Dan kalau dia mengaku, maka di kemudian hari saat misi ini berakhir, Ila mungkin akan dipancung Langit, atau didorong dari atap sampai lantai dasar.
"Shilla?"
"I-itu..." Ila tidak punya pilihan lain. Masalah nanti, akan dia pikirkan nanti, yang penting misi rahasianya dulu. "Ada, Pak."
Terdengar Langit menghela napas di seberang. "Lama banget kamu mengaku." Ila terperanjat. "Lakukan seperti biasanya, jangan grogi."
Ila menggaruk tengkuk, sepertinya, pembobolan pintu akses ke atap bukan masalah lagi sekarang. "Baik, Pak Langit."
***
Ify menatap kagum Ila yang tengah berjongkok sambil mengorek lubang pintu tangga darurat menuju atap. Hanya menggunakan kawat yang sudah dibentuk sebelumnya, sekarang Ify sudah bisa menghirup udara segar sambil memandang hamparan gedung tinggi di sekitar SKO Office. Rooftop kantor ini terlihat kosong, tidak ada benda atau kursi di sana, apalagi pohon seperti yang ada di Korean Drama.
"La, ajari aku," kata Ify mengagetkan Ila yang tengah berusaha menghubungi seseorang.
"A-ajari apa?" gugup Ila, takut tindakannya ketahuan.
"Caramu tadi, itu akan sangat berguna kalau aku mau kabur," sahut Ify sambil tersenyum kuda, memamerkan deretan gigi atasnya. "Dulu aku harus curi kunci pintu dulu baru bisa keluar," lanjutnya berbisik pada angin yang menerpa wajahnya.
"Apa?" tanya Ila mendongakkan kepala saat berhasil melakukan tugasnya. "Kamu mau aku ajari cara itu?" Ify mengangguk antusias, Ila menggelengkan kepalanya. "Itu bakat alami, aku punya keturunan FBI makanya bisa melakukan itu," lanjutnya diakhiri tawa.
"Jadi... yang Voni bilang itu...," ucap Ila mengambang, menanti jawaban Ify yang tengah sibuk menatap ke langit seolah mencari sesuatu.
"Bandara jauh dari sini, ya?" tanya Ify mengejutkan Ila, "pesawat yang lewat masih kecil." Ila mengikuti arah tatapan Ify, ada sebuah pesawat yang mengudara cukup tinggi dari mereka berpijak sekarang. "Yaahhh...," eluh Ify kecewa.
"Fy, kamu ke sini cari pesawat?" tanya Ila tak menyangka. "Umurmu berapa sih?"
Ify menoleh. "Aku selalu suka melihat pesawat terbang rendah dari kecil, ada alasan kenapa aku begitu." Ify memutar tubuhnya dan menyandarkan diri di dinding pembatas. "Soal yang Voni bilang..," Ify menghela napas, "benar, aku memang berdarah AB negatif dan masuk ke sini karena darahku."
Ila bersikap seolah baru pertama kali mendengar kisahnya. "So-soal kedekatan itu?" Ila sengaja tidak menyebutkan nama karena salah satu dari objek perbincangan tengah asyik menguping di ujung sambungan.
"Aku dekat dengan Pak Dimas karena dia seniorku waktu kuliah, cuma itu..." Aku nggak mungkin kasih tahu soal usahaku menjodohkan Dimas dan Sivia, kan? "Kalau Pak Langit..," lanjut Ify yang terlihat berpikir. "Aku mendonorkan darahku pada Kak Dara dan yah... begitulah, semua terjadi begitu saja."
Alis Ila mengkerut. Bukan itu yang dia harapkan dari percakapan ini. "Lenganmu yang terluka itu, kenapa Pak Langit mengkhawatirkannya juga?"
Ify berdecak kesal. "Tentu aja, karena dia butuh aku untuk menjamin keselamatan kakaknya," sahut Ify dengan mata nanar. "Tapi orang itu pernah bilang sudah mendapatkan penggantiku, mungkin cepat atau lambat aku akan dipecat," lanjutnya. Karena sikapku juga sudah sangat kurang ajar. Nggak ada alasan dia mempertahankanku kerja di sini.
"Orang itu?" ulang Ila seperti beo.
"Trio Langit Shuwan, siapa lagi?" ketus Ify begitu saja. "Aku sebal dengannya, dia aneh dan suka mengganggu."
Ila menggigit bibir bawahnya diam-diam, diliriknya ponsel yang berada di tangan kiri, masih menyala. Dia mendesah, kemudian melirik Ify. "Jangan begitu," ucapnya mengingatkan. "Maksudku, membenci bukan hal yang baik, apa pun konteksnya," lanjutnya meluruskan maksud.
Tidak ada percakapan lagi di antara mereka, sampai Ila mengingat di hari pertama Ify bekerja. Gadis itu berkata bahwa namanya hanya Ify. Kenyataannya, ada nama Axelle sebagai nama belakangnya. "Kamu, nggak suka Axelle, kenapa?"
Ify menatap Ila dengan pandangan yang tidak pernah gadis berkemeja putih itu lihat sebelumnya, seperti perpaduan marah, sedih dan... kecewa?
"Ada banyak hal yang nggak kita sukai, tanpa perlu kita tahu alasannya, kan? Aku nggak suka namaku, itu saja," jawab Ify yang di telinga Ila terdengar ketus. "Dengar, aku hanya mau meluruskan tentang aku-Langit-Dimas, jangan mencari tahu tentangku begitu, kamu seperti sengaja melakukannya."
Ila tersentak, dia memutuskan untuk diam agar Ify tidak semakin curiga.
"Darah ini membuatku berbeda, La," kata Ify membuat Ila mendongak ke arahnya yang berdiri di sebelah kanan. "Sejak kecil, semua orang menjagaku, melarangku, mereka takut aku terluka karena nggak banyak yang bisa menolongku..." Ify menarik napas panjang.
"Sebenarnya, aku menjadi pendonor panggilan agar orang-orang menyebalkan seperti Voni dan Angel berhenti menggangguku dengan pertanyaan yang nggak bisa kujawab." Kenapa darahku AB negatif, misalnya.
"Jadi, sebelum mereka bertanya, mereka akan kagum dulu pada tindakanku yang mulia," lanjutnya diakhiri dengan kedua ujung bibir yang tertarik. "Tapi, suatu hari, aku harus mendonorkan darahku pada Udara Shuwan, kemudian aku menolak dibayar dengan uang dan... yah..." Ify lagi-lagi mengambangkan perkataannya, "disinilah aku sekarang, menjadi karyawan SKO dan kita berdua saling mengenal." Kepalanya menoleh, menatap lla yang tengah fokus pada kisahnya.
"Jangan menatapku begitu, aku nggak butuh dikasihani," protes Ify saat mendapati mata Ila yang mulai berkabut. "Walau menjadi berbeda memang mengerikan."
"Aku nggak tahu, kalau menjadi berbeda dari orang kebanyakan itu mengerikan buatmu," sahut Ila tiba-tiba, membuat Ify menegakkan tubuhnya yang sejak tadi bersandar. "Maksudku, apa salahnya memiliki golongan darah langka?"
Ify mengalihkan pandangannya ke langit, berharap ada pesawat yang kembali melintas. "Ahh, aku lapar," gumam Ify tak menggubris ucapan Ila. Tiga bulatan bakso ikan tidak banyak membantu memuaskan lambungnya.
"Aku juga," sahut Ila mendadak. "Apa kita pesan delivery order aja, ya?"
"Dengan helikopter?" sahut Ify sambil terkekeh, "percuma, di sini nggak ada helipad."
Ila membalikkan tubuhnya dan mengamati lantai dasar, di depan gerbang SKO terdapat gerobak ketoprak yang sedang mangkal. Mata Ila berbinar seolah melihat ikan yang tengah berenang dengan sukarela untuk ditangkap. "Fy, ketoprak!" serunya, "ayo turun!"
***
Ify mendelik ke arah Ila yang melongo heran, tidak ada sepuluh menit kedua perempuan itu menuruni tangga darurat demi tukang ketoprak yang didambakan. Tapi makhluk dengan lontong, taoge, bumbu kacang dan kerupuk dalam satu piring itu entah diculik siapa, dia tidak ada di tempat terakhir Ila melihatnya.
"Demi Tuhan, Fy! Gue lihat ada gerobak ketoprak tadi di situ," kata Ila sambil menunjuk sebuah pohon ceri yang rindang tidak jauh dari lokasi mereka berdiri saat ini.
"Mungkin lapar membuatmu berhalusinasi," jawab Ify asal.
"Ify!" seru Ila tak terima. "Mataku normal, selapar-laparnya aku nggak−"
Kriiuuuuukkk... Terdengar suara rendah diantara kesunyian membuat keduanya saling bertatapan. "Bunyi perutmu, kan?" tukas Ify pada lawan bicaranya.
"Bukan!" sahut Ila tak terima.
"Berarti perutku," jawab Ify kemudian tertawa meninggalkan Ila yang menatapnya tak habis pikir.
Ila terperanjat, ponsel! pikirnya nyaris lupa. "Ha-halo, Pak?" tanya Ila ragu pada subjek di seberang sambungan.
"Kalian menyedihkan," jawabnya dan telepon langsung terputus.
***
Dimas mengetukan ujung belakang sepatunya ke dinding di depan pintu ruang kerjanya. Dua puluh menit lalu, Bos mudanya−Langit−menelepon dan memerintahkan untuk menerima bungkusan yang sedang dalam perjalanan. Bungkusan itu ditujukan untuk Ila, sementara temannya−tentu saja Ify−harus menemui lelaki itu di ruang kerjanya seorang diri.
Dimas menebak apa isi bungkusan, sebelum dirinya terkejut saat menerima bungkusan yang serupa dengan milik Ila. Saat dibuka, Dimas tersenyum dibuatnya. Sebuah bekal−tanpa nasi−berisi telur dadar gulung, telur puyuh dan dua makanan lainnya yang menggugah selera. Khas sekali dengan makanan yang biasa disantap Dara.
Tubuh Dimas yang bersandar tadi pun menegak saat mendapati dua perempuan berkemeja dengan rok selutut itu berjalan beriringan sambil mengomel satu sama lain.
"Kenapa kalian?" tanya Dimas heran.
"Ila habis lihat hantu ketoprak depa−"
"Bukan apa-apa, Pak. Ada apa, ya?" tanya Ila sambil membekap mulut Ify yang ditepis gadis berperban di lengan kiri itu dengan beringas.
"Ify harus ke ruang pak Langit sekarang."
"Heh?" sahut Ify heran, dipandangnya Ila yang hanya mengangkat bahu. "Ke-kenapa, Pak? Apa karena saya bersin tadi?"
"Bersin?" Sekarang giliran Dimas yang dibuat bingung oleh kedua makhluk di depannya. "Saya kurang tahu, kamu tanyakan sendiri saja langsung pada pak Langit. Sana," sahutnya sambil mendorong pelan tubuh gadis itu untuk berbalik dan berjalan ke arah lift. Digerakan tangan kanannya sebagai pertanda bahwa Ify harus segera enyah dari sana dan naik ke lantai ruang kerja Langit.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak," pamit Ila yang membuat Dimas refleks memanggilnya untuk ikut masuk ke ruang kerja.
"Ada titipan di meja buatmu, dari Pak Langit," kata Dimas sembari duduk di kursinya sendiri.
Ila langsung membuka bungkusan tadi tanpa bertanya lebih lanjut, membuat mata Dimas sempat menatapnya heran. "Wah!" seru Ila penuh syukur. "Pak, saya izin makan di sini boleh, ya? Kalau di ruangan kami, nanti yang ada saya malah jambak-jambakan sama Voni," ucap Ila dengan mata ala anak kecilnya.
Paham bahwa Voni adalah orang yang berbakat menghilangkan nafsu makan seseorang, maka Dimas membiarkan bawahannya yang sebaya dengan Ify untuk menghabiskan titipan Bosnya.
Dimas bergumam dalam hati, setelah memindahkan matanya dari Ila yang makan dengan rakus ke bungkusan miliknya yang terletak di pojok meja dekat dengan printer.
Semakin hari Langit makin aneh aja, sepertinya Ify benar-benar membawa banyak perubahan.
***
Ify terbengong-bengong melihat enam wadah makan siang di hadapannya, karena penghuni lambungnya saat ini tengah bergulat satu sama lain meminta sesuatu yang bisa dicerna.
Trio menerima kehadiran Ify di ruangannya tanpa basa-basi, sadar bahwa gadis itu kelaparan membuatnya enggan untuk bicara banyak dulu. Akan sangat tidak menyenangkan kalau lawat berdebatmu dalam kondisi lapar dan dapat dipastikan kalah dalam pertandingan. Sehingga, saat Ify datang dan mempersilakannya duduk, Trio langsung membuka bungkusan yang dikirim pelayan rumahnya dan mengulurkan sumpit untuk Ify gunakan.
Ify menatap sumpit dan Trio bergantian, berpikir dua kali apakah ini jebakan batman atau memang murni ajakan makan? Melihatnya, membuat Trio gemas, ditariknya tangan kanan gadis itu dan dia tinggalkan sumpit di dalam genggamannya.
"Makan," katanya memberi perintah, "baru nanti kita bicara."
Tanpa menunggu, Ify mengikuti perkataan Trio kali ini yang benar-benar membuatnya senang. Makanan memang tidak pernah gagal menjadi moodboosternya. Ify pun mengunyah nasi gulung yang sejak tadi sudah dia incar.
Bos aneh! Tapi, tidak masalah, yang penting akukenyang! pikir Ify licik yang terus mengambil makanan sambil tersenyum lebar.Sesekali melihat Trio yang terkagum dengan cara makannya.
BERSAMBUNG
Gimana dengan part ini?
Ilustrasi dari K-Drama Let's Fight Ghost :D
Trims sudah baca ya, pembaca yang baik akan ninggalin jejak (bintang dan komentar) hehe.
See you next part!
-Nnisalida-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro