BAB 3 - Ketika Tom & Jerry Bertemu
+6282122328xxx calling...
"Nomor siapa ya? Kok nggak ada IDnya sih? Gue angkat nggak ya?" Alvaro menatap horror nomor telepon yang tak di kenal itu.
"Jangan-jangan nomornya wartawan infotaiment! Tapi kalau nggak diangkat, tahunya orang label musik lagi..." Gumam Alvaro bimbang sambil menatap layar handphonenya.
"Gimana nih? Ah, yaudahlah positive thingking aja, siapa tahu emang dari orang label musik." Dengan setengah ragu setengah yakin ia geser bulatan hijau itu ke kanan.
"Hallo."
".........."
Lho kok nggak ada suaranya sih?
"Halloooo."
".........."
Kok masih nggak ada suaranya sih?
"WOYYY HALLOOOOOOOOOOO?!"
".........."
Yeee! Masih nggak ada suaranya lagi! Kayaknya emang wartawan infotaiment nih!
"HALLOOO!!! INI SIAPA SIH?! GUE TUTU..."
"Tunggu! Jangan di tutup dulu..." Selak suara di sebrang sana.
"Ini siapa sih?!" Ucap Alvaro masih dengan nada juteknya walau tak sekeras tadi.
"Ini... ini Sofie."
Nada suaranya terdengar begitu kecil. Tapi Alvaro dapat dengan jelas mendengarnya dan lelaki itu langsung menutup mulutnya tak percaya.
SOFIE???!!!
Beneran si Sofie?!
Sofie Callistin Syanania?!
Model jutek yang gue cium dua minggu lalu itu?!
Gue nggak salah denger kan?!
"Oh, Sofie. Kenapa, Sof?" Dengan cepat Alvaro merubah kekagetannya dan berbicara begitu tenang seakan telepon dari Sofie adalah hal yang biasa.
"Ehm... kita... kita bisa ketemu?"
DEMI APAAA?!
HAHAHA!!!
YESSS!!!
Sofie ngajak gue ketemuan!
Akhirnya... setelah dua minggu doi jaim sama gue... nggak tahan juga minta ketemuan!
Pasti sekarang udah stress kan di kejar-kejar wartawan mulu!
"Ketemu? Ketemu untuk apa ya, Sof?" Tanya Alvaro seakan-akan ia tak tahu kenapa Sofie ingin bertemu dengannya.
Langsung terdengar suara mendengus di sebrang sana.
"Ya menurut kamu?! Nggak usah pura-pura nggak tahu deh! Lupa ya dua minggu yang lalu itu kamu ngapain aku?! Emangnya kamu nggak nonton tv?! Nggak baca koran?! Nggak buka Twitter, Instagram atau Path?!"
Alvaro menutup mulutnya menahan tawa mendengar Sofie yang sedang nyerocos di sebrang sana. Lelaki itu membayangkan bagaimana lucunya wajah Sofie saat ini.
"Buka kok. Tapi biasa aja deh kayaknya. Emang ada apa sih?" Tanya Alvaro kembali dengan nada datarnya. Padahal, lelaki itu makin ingin menggoda Sofie.
Sekarang terdengar bunyi geraman di sebrang sana.
"Heh, Alvaro! Nggak usah sok-sokan amnesia deh! Oh, mungkin menurut kamu membuat sensasi supaya bisa menaikan pamor keartisan itu biasa ya... tapi buat aku enggak. Aku bukan tipikal artis seperti kamu."
Mendengar perkataan Sofie, Alvaro langsung tersulut emosi.
"Jaga bicara kamu, Sofie! Aku bukan artis seperti itu!" Geramnya.
"Kalau begitu kita harus bertemu dan menyelesaikan masalah ini!"
"Oke, aku setuju!" Tanpa sadar Alvaro menggebrak meja dan berdiri.
"Kita mau ketemu dimana?!"
***
"Welcome to my house." Alvaro membuka pintu rumahnya dengan senyum lebar sambil merentangkan tangan menyambut kedatangan Sofie.
Akhirnya setelah debat kusir di telepon selama sejam, keduanya sepakat bertemu di rumah Alvaro.
Mengapa demikian?
Pertama, karena lelaki itu tinggal sendiri bukan dengan kedua orang tuanya seperti Sofie. Bayangkan saja jika keduanya bertemu di rumah Sofie. Habislah Alvaro dimutilasi oleh Adrian dan Maura.
Kedua, Alvaro bilang bahwa rumahnya sudah terbebas dari wartawan. Tidak seperti Sofie yang masih harus mengakali satu dua wartawan yang setia bertengger di depan rumahnya untuk minta klarifikasi.
Ketiga, bertemu di tempat umum seperti mall atau cafe jelas bukan solusi yang baik. Hal itu malah memancing wartawan untuk datang dan bisa menimbulkan gosip baru.
Keempat, Sofie sudah malas berdebat dengan Alvaro yang mulutnya lebih cerewet dari ibu kos itu.
"Di buntutin wartawan nggak tadi?" Tanya Alvaro sambil memperhatikan Sofie yang sedang melepas sunglasses hitam Diornya.
Sofie tak menjawab malah melihat-lihat sekeliling rumah Alvaro.
Duh, juteknya...
"Susah nggak nyari rumah aku?" Tanya Alvaro lagi.
Sofie masih tak menjawab dan memilih untuk duduk walau belum dipersilahkan sambil menyilangkan sebelah kakinya ke atas.
Belagu aja masih cantik, apalagi nggak belagu. Cium lagi nih...
"Mau minum apa, Sof?" Alvaro kembali bertanya dengan lembut.
Kali ini Sofie menatapnya.
"Nggak usah basa-basi deh. Langsung aja."
GALAK BANGET.
KARETNYA PASTI DUA.
"Oke, Sofie." Jawab Alvaro memasang senyum paling lebar yang membuat Sofie menatapnya mual.
"Aku mau kamu ketemu ayah aku." Ucap Sofie langsung, datar dan cepat.
"WAIT. WHATTT???!!!" Pekik Alvaro sampai mendorong tangannya ke depan seperti gerakan menahan dengan kening yang berkerut. Sekerut-kerutnya.
Sofie memutar bola matanya.
"Kamu nggak salah denger kok." Jawab Sofie datar.
Alvaro bingung. "Apa hubungannya masalah ini sama dia?" Ia kira Sofie datang ke sini untuk memintanya melakukan konferensi pers guna mengklarifikasi masalah ini. Tapi dugaannya salah besar.
Mendengar perkataan Alvaro, Sofie rasanya ingin meminjam palu Thor untuk memukul kepala lelaki itu.
"Jelas. Ada. Hubungannya. Alvaro." Ucap Sofie menekankan setiap katanya.
"Pertama, yang kamu sebut 'dia' itu adalah A-YAH-KU." Ucap Sofie melotot sambil mengetuk meja dengan jari telunjuknya sebanyak tiga kali sebagaimana ia memenggal kata 'ayahku'.
"Kedua, ayahku nggak suka ngeliat anaknya masuk headline dengan berita yang nggak baik, bukannya berita prestasi."
"Ketiga, ayahku punya pikiran kalau kamu itu PA-CAR-KU." Sofie melotot sambil menunjuk Alvaro sebanyak tiga kali sesuai penggalan kata 'pacarku' tepat di wajah lelaki itu dimana Alvaro sampai harus mememundurkan kepalanya karena takut terkena kuku runcing Sofie yang habis di menicure itu.
"Dan yang terakhir, ayahku mau ketemu kamu untuk mengetes apakah kamu pantas jadi pacar aku atau enggak."
"Selesai." Ucap Sofie sambil kembali bersidekap dan duduk cantik.
Alvaro hanya bisa melongo tak percaya. Ia shock.
"Nggak usah pasang tampang kayak suami yang tahu kalau istrinya selingkuh di ftv-ftv hidayah itu deh. Nggak nyelesain masalah tahu nggak. Lagian muka kamu nggak pantes."
Alvaro langsung memutar bola matanya kesal.
"Antagonis banget sih Sof jadi orang. Biarin aku selesai terkejut dulu."
Ucapan Alvaro makin membuat Sofie ingin menghunuskan pedang ke leher lelaki itu.
"Buruan deh, Varo. Jadi gimana nih?!" Sofie mulai berasap ditempatnya.
"Yaudah, gampang. Aku tinggal dateng ke rumah kamu, terus ketemu sama ayah kamu. Problem solved." Jawab Alvaro datar.
"Kamu jangan gila deh, Alvaro." Balas Sofie kesal.
Alvaro malah tertawa. "Lho, kok aku di bilang gila sih? Itu kan yang sebenarnya kamu mau? Kamu ini aneh. Giliran solusinya udah ada tapi malah kamu tolak."
"Masalahnya, kalau kamu ketemu ayah aku, apa yang mau kamu bilang?! Kita nggak pacaran dan ayah aku justru berpikir sebaliknya. Tolong deh, cari solusi yang lain. Jangan malah nambahin masalah." Sofie mulai memijit pelipisnya.
Alvaro semakin tertawa. "Justru, itu adalah solusinya, Sofieee. Aku tinggal bilang sama ayah kamu kalau kita nggak ada hubungan apa-apa dan setelah itu kita bisa buat konferensi pers supaya masalah ini benar-benar clear. Apanya yang bukan solusi sih, Sof?" Tutur Alvaro panjang lebar yang mulai kewalahan menghadapi gadis si 'karet dua' ini.
"Ayah aku nggak akan percaya begitu aja! Ayahku juga lihat videonya! Coba kamu pikir, emangnya ada orang yang nggak pacaran tapi ciuman sampai segitunya?!" Dan detik itu juga Sofie langsung menutup mulutnya karena tahu bahwa seharusnya ia tak mengatakan ini.
Dan sekarang lihat saja bagaimana Alvaro yang sedang tertawa puas sampai bertepuk tangan karena tahu apa titik permasalahannya.
"Oh, jadi gitu... disitu permasalahannya..." Ucap Alvaro diantara tawanya.
Wajah Sofie memerah. Ia malu sekali. Tapi dengan cepat ia tahan rasa malunya karena perkataan yang sebentar lagi keluar dari mulutnya jauh lebih penting.
"Lagipula, kenapa sih kamu cium aku waktu itu???!!!" Akhirnya terlontarlah pertanyaan yang selama ini sangat ingin Sofie tanyakan.
"Kan aku nahan tubuh kamu supaya nggak jatuh... tapi tiba-tiba bibir kita udah nempel gitu aja." Jawab Alvaro datar yang semakin membuat rona di pipi Sofie memerah.
Bisa-bisanya lelaki itu berucap seakan-akan yang dikatakannya adalah hal yang sudah biasa terjadi.
"Tapi kenapa habis itu kamu cium aku lagi???!!!" Tanya Sofie yang sekarang sudah benar-benar menghilangkan rasa malunya karena rasa penasarannya jauh lebih kuat.
"Oh, itu..." Kata Alvaro salah tingkah sambil menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Aku juga nggak tahu kenapa. Tapi aku ngerasa memang itulah yang harus aku lakukan. Mungkin saat nggak sengaja bibir kita menempel pertama kali, aku ngerasain bahwa bibir kamu itu manis, jadi aku ketagihan untuk cium kamu buat yang kedua kali. Dan aku sama sekali nggak cari sensasi. Bibir aku kayak punya kemauan sendiri untuk mencium kamu." Jawab Alvaro sambil tersenyum dan matanya menerawang kembali pada kejadian dua minggu lalu itu.
Tiba-tiba sebuah bantal sofa melayang tepat di wajah Alvaro.
"KENAPA KAMU LEMPAR AKU PAKE BANTAL?!" Alvaro kaget bukan main.
Sofie hanya bisa melotot menatap Alvaro. Wajahnya benar-benar seperti kepiting rebus sekarang. Bisa-bisanya Alvaro begitu gamblang mengatakan itu semua tapi dengan wajah yang begitu datar!
Apa lelaki itu tahu kalau ada efek lain dari perkataannya barusan? Jantung Sofie berdebar kencang!
"Tenyata buang-buang waktu aja ya ngomong sama kamu!" Tiba-tiba Sofie bangkit dari duduknya.
"Lho, kamu mau kemana? Kita kan belum selesai ngomongnya." Alvaro ikut bangkit dan menahan tangan Sofie.
Sofie langsung menyipitkan matanya dengan tajam ke arah tangan Alvaro yang sedang menggenggamnya. Bingung melihat Sofie yang diam tapi seakan bersiap menyemburkan lahar panas, Alvaro mengikuti arah mata Sofie.
Ketika sadar bahwa tangannya lah yang menjadi penyebab tatapan tajam itu, Alvaro langsung menangkat tangannya ke udara.
"Oops, sorry. I don't mind."
Sofie mendengus kesal.
"Denger ya Varo, pokoknya aku nggak mau tahu. Besok aku tunggu kamu di rumahku untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi ingat, jangan ngomong yang aneh-aneh sama ayah aku. Dan aku harap, setelah ini urusan kita selesai karena aku nggak ketemu kamu lagi. Hidup aku jadi sengsara gara-gara kamu!" Tukas Sofie sambil berjalan meninggalkan Alvaro.
"Sof, tunggu."
Tiba-tiba Alvaro berlari dan mensejajarkan langkahnya dengan langkah Sofie.
"By the way, kamu tahu dari mana nomor aku?"
Sofie mengernyit karena itulah yang keluar dari mulut Alvaro. Bukan pertanyaan lain yang lebih berbobot.
"Aku suruh asisten aku nyari nomor kamu. Kenapa emangnya?" Balas Sofie jutek sambil mengeluarkan kunci mobil.
Alvaro hanya manggut-manggut dan tersenyum.
"Nggak papa. Aku seneng aja kamu ada usaha buat cari nomor aku walau itu dari asisten kamu."
Sofie yang mendengar jawaban Alvaro langsung geleng-geleng kepala makin tak mengerti arah pikiran Alvaro.
Kemudian gadis itu dengan cepat masuk ke dalam Mini Coopernya dan melesat pergi meninggalkan rumah Alvaro.
Dalam hati Alvaro tersenyum menatap kepergian Sofie.
She's absolutely my type.
***
"Hhmm, beli apa ya kira-kira? Bokapnya Sofie suka makan apa ya? Coklat kali ya? Hhm, tapi kayaknya nggak mungkin deh. Masa iya bapak-bapak gue beliin coklat. Nanti yang ada dikira naksir lagi. Lagian kalo orang tua kan nggak boleh kebanyakan makan manis. Bisa diabetes. Apa gue beliin baju ya? Eh, tapi jangan deh. Kesan nyogoknya ketauan banget. Aduh, terus apa ya?"
Alvaro begumam sendiri sambil melirik ke kanan dan ke kiri pada setiap toko yang ia lewati karena masih bingung akan membawa apa ke rumah Sofie siang ini. Padahal ia sudah cukup lama berkeliling mall ini. Hampir satu jam. Alvaro merasa tak etis kalau datang dengan tangan kosong ke rumah Sofie. Apalagi istilahnya dia akan di sidang oleh ayah dari gadis yang diciumnya itu.
Tapi anehnya, Alvaro mendapati dirinya senang melakukan hal ini. Padahal, ia yakin ayah Sofie belum tentu mengharapkan ini. Kalau marah justu mungkin. Apalagi Sofie, gadis yang selalu menatapnya dengan tatapan membunuh.
Alvaro seakan tak sadar kalau yang dilakukannya ini sangat bukan dirinya. Selain karena Sofie bukan pacarnya dan ia 'diundang' dalam konotasi yang menyeramkan, Alvaro baru pertama kali melakukan hal semacam ini. Selama ia berpacaran atau dekat dengan gadis lain, jangankan datang ke rumah si gadis, disuruh mengantar pulang saja ogah setengah mati. Tapi ini? Dengan Sofie semua terasa bebeda. Lagaknya seperti suami datang ke rumah mertua!
"Ah itu aja deh!" Tanpa sadar Alvaro menjentikan jarinya saat melihat sebuah toko bakery and cake yang tak jauh darinya. Harum aroma kue dan roti yang sudah tercium dari jarak 3 meter, menandakan bahwa toko ini memang patut untuk disinggahi.
"Welcome to Aldio's, ada yang bisa kami bantu?" Sapa pelayan wanita ramah.
Ya menurut loooo? Beli roti lah!
"Iya, Mbak. Pesan yang paling enak sama yang favorit disini ya. Take away ya."
"Oke, Mas. Boleh."
Kemudian dengan cepat pelayan itu memilihkan berbagai macam jenis roti dan kue lalu menyerahkannya kepada Alvaro.
"Bayarnya di kasir ya, Mas."
"Oke. Makasih ya, Mbak."
Alvaro tersenyum lalu berjalan ke arah kasir. Baru dua langkah kakinya berjalan si pelayan itu memanggilnya.
"Mas boleh minta foto bareng dulu nggak?"
***
Sofie hendak masuk ke gerai Vanlentino untuk mencari sepatu dan sekedar memanjakan mata setelah meeting cukup lama dengan salah satu klien dari produk kecantikan yang memintanya untuk menjadi brand ambassador ketika sebuah suara memanggilnya.
"Sofie!"
Aduh! Kenapa ketemu sama manusia itu lagi sih?!
Sofie mengaduh jengkel ketika dilihatnya Alvaro berjalan mendekat ke arahnya.
"Lagi ngapain di sini, Sof?" Tanya Alvaro ramah.
Sofie mendengus. "Nggak lihat?" Tunjuk Sofie ke atas pada flagship Valentino.
Alvaro hanya ber'O' ria seperti orang bodoh.
"Kamu ngapain sih disini?" Tanya Sofie jutek.
"Wow, claim down, baby. Emangnya mall ini punya kamu? Jadi aku nggak boleh ke sini gitu?" Tanya Alvaro balik.
Sofie memutar bola matanya. "Aku bukan baby kamu!"
"Udah ah, ngomong sama kamu bikin aku mau melakukan tindakan kriminal terus."
Lalu Sofie meninggalkan lelaki itu sendiri kemudian mulai melihat-lihat sepatu.
"Studded yang maroon ini lucu." Tiba-tiba kepala Alvaro sudah menyembul dari belakang tubuh Sofie sambil menunjuk ke salah satu sepatu.
Sofie kaget bukan main. Ia kira lelaki itu sudah pergi entah kemana. Tahunya malah mengukutinya. Seperti parasut saja! Langsung Sofie menjauhkan diri sejauh-jauhnya.
"Ih kamu ngapain sih di sini?! Ngapain ngikutin aku?! Hush, hush, sana jauh-jauh dari aku!" Usir Sofie dengan gerakan seperti mengusir kucing.
Alvaro tak bergeming.
"Emang yang boleh masuk ke Valentino cuma kamu? Aku kan juga mau cari sepatu." Alvaro beralasan.
"Mau cari sepatu kok tapi yang dipilihin aku." Ujar Sofie malas dan bergerak menjauh meninggalkan Alvaro. Tapi lelaki itu terus mengikutinya.
"Kenapa sih ngikutin aku terus, Alvaro?!" Sofie sampai menghentakan kaki saking kesalnya.
Alvaro hanya nyengir lebar tak berdosa.
"Sssht, jangan kenceng-kenceng. Kita dilihatin dari tadi." Bisik Alvaro mendekat.
Sofie was-was. Jantungnya berdebar dengan gerakan Alvaro tersebut. Untuk mengalihkannya, Sofie langsung berputar ke sekeliling. Benar saja. Banyak orang yang memperhatikan mereka. Bahkan sampai bisik-bisik. Mulai dari pelayan sampai pengunjung yang lain. Mungkin mereka berpikiran ada sepasang selebriti yang sedang menjadi hot topic di media infotaiment dan sekarang sedang kepergok belanja bersama.
"Kamu habis ini langsung pulang?" Pertanyaan Alvaro membuat Sofie kembali menoleh ke wajah tampan tapi super menyebalkan itu.
"Kenapa tanya-tanya?!" Balas Sofie jutek.
"Ya enggak, kalau misalnya habis ini kamu mau langsung pulang, bareng aku aja. Biar sekalian. Lagipula aku kan belum tahu tumah kamu. By the way, kamu nggak lupa kan kalau hari ini aku mau ke rumah kamu?"
"Makasih deh! Kita pulang masing-masing aja! Lagipula aku kesini sama asisten aku! Dan masalah alamat, asisten aku yang akan kasih tahu kamu." Tolak Sofie mentah-mentah.
Alvaro mendesah. "Yaudah kalau itu mau kamu. Aku duluan ya, Sof."
Tiba-tiba Sofie merasa tak enak sendiri mendengar nada bicara Alvaro yang seperti itu. Ia sudah terlalu kasar kali ini. Tapi ia juga bingung harus melakukan apa pada lelaki yang sekarang sudah berjalan menjauh darinya. Lagipula, ia tak mungkin kan memanggil Alvaro lalu minta maaf dan mengiyakan permintaan lelaki itu?
"Sofie?"
Tiba-tiba sebuah suara lain memaksanya untuk berputar arah meninggalkan pandangannya pada Alvaro.
Ketika Sofie berbalik, sekujur tubuhnya kaku. Bagai disambar petir di siang bolong, Sofie menatap seorang lelaki yang sangat ingin ia hindari dan sangat tidak ingin ia temui.
"Hai, Sof. Apa kabar?" Tanya lelaki itu lagi.
Lidah Sofie seketika terasa kelu. Ia tak mampu menjawab. Hatinya bagai diremas mendengar suara itu kembali setelah sekian lama.
"Aku... aku... baik, Nic." Ucap Sofie setelah berusaha sekuat tenaga untuk berbicara.
"Lagi cari sepatu juga?" Tanya lelaki yang Sofie sebut Nic ini ke arah sepatu yang di genggam Sofie.
Mengikuti arah pandangan lelaki itu, Sofie tertegun melihat sepatu dengan studded maroon yang sempat Alvaro berikan padanya sebagai pilihan tadi.
"Oh... ini... iya..." Katanya kikuk.
"Kebetulan kalau begitu. Aku juga lagi cari sepatu buat ulang tahunnya Rubi. Kamu bisa bantu aku? Aku nggak begitu ngerti masalah sepatu perempuan."
Seketika itu hatinya seperti terhunus panah beracun. Sakit sekali. Apalagi mendengar nama itu. Sofie tak sanggup lagi berlama-lama dengan lelaki ini.
Ya Tuhan, aku mohon bantuanMu sekarang...
Jauhkan aku dari Nico...
Aku masih belum sanggup...
Berulang kali Sofie mengucapkan kalimat yang sama dalam hatinya. Tapi ini dunia nyata, bukan khayalan. Tak akan ada seorang peri atau penyihir yang datang lalu dengan mengucapkan mantra ia dapat menghilangkan Nico dari hadapan Sofie saat ini. Tidak akan.
Tanpa sadar Sofie meremas tangannya dengan kuat, tubuhnya seketika mual dan ia ingin menangis.
Aku mohon jangan keluar!
Jangan menangis di sini, Sofie!
Kamu bisa, kamu kuat!
Nico itu masa lalu kamu!
Sofie berusaha menguatkan hatinya. Tapi yang terjadi ia malah semakin ingin menangis dan panik saat kilasan masa lalu mulai berkelebat di otaknya.
Tak mampu menatap Nico lagi, Sofie rasanya ingin berlari dan menangis di kamar mandi. Walau Sofie tahu jika ia melakukan ini, itu artinya Sofie akan membiarkan Nico menang sekali lagi karena melihatnya belum mampu untuk melupakan dirinya seperti beberapa tahun lalu saat ia melakukan hal bodoh ini untuk pertama kalinya. Dan Sofie tak mau melakukannya lagi, tapi hatinya masih sungguh terasa sakit.
Ketika akhirnya langkahnya memundur karena keputusan bodoh itu lagilah yang diambilnya karena ia yakin sebentar lagi air matanya akan tumpah, sepasang lengan tiba-tiba melingkar indah dipinggangnya menahan tubuhnya untuk tidak lari.
"Kamu sudah selesai, Sayang?" Tanya Alvaro sambil mencium pipi Sofie dari belakang.
Belum selesai dari rasa sedihnya, perilaku Alvaro menambah debar di jantungnya.
Kenapa dia panggil aku sayang???
Dan kenapa Alvaro berani-beraninya cium pipi aku???!!!
Sofie berusaha melepaskan tangan Alvaro dari pinggangnya ketika lelaki itu menahannya dengan kencang dan berbisik dengan cara yang tak bisa dilihat Nico.
"Don't be stupid, Sofie. Ikuti permainan aku. Cara ini jauh lebih terhormat dari pada kamu melarikan diri seperti orang bodoh. Kamu nggak mau ada berita yang aneh-aneh lagi kan?"
Dengan cepat Sofie berpikir. Benar juga apa yang dikatakan Alvaro. Kemudian ia melihat sekeliling. Banyak orang yang memperhatikannya sedari tadi. Kalau ia lari, bukan Nico saja yang akan menang tapi dirinya sudah dipastikan akan jadi headline berita besok pagi.
Tapi ketika Sofie ingin mengatakan sesuatu, Alvaro sudah berkata terlebih dahulu.
"Kok belum di cobain juga sih sepatu yang aku pilihin? Kamu gimana sih. Sini deh aku pakein."
Lalu dengan gerakan tak terduga Alvaro mengambil sepatu yang ada di tangan Sofie, lalu berjongkok dan menarik kaki Sofie untuk membuka sepatu gadis itu. Tarikan Alvaro yang lumayan kencang di kakinya membuat Sofie tertarik ke depan dan mau tak mau harus berpengangan pada kedua pundak Alvaro agar tidak terjatuh.
Wajah Sofie merah padam, kesedihannnya seketika hilang digantikan oleh rasa malu dan terpesona oleh tindakan Alvaro padanya yang sedang memasangkan sepatu untuknya.
Nico yang melihat kejadian ini cukup kaget dan seketika menjadi patung memperhatikan Alvaro dan Sofie.
"Selesai." Kata Alvaro bangkit berdiri dan tersenyum kepada Sofie.
"Wah, ternyata pas ya dikaki kamu. Padahal aku milihnya asal lho." Ucap Alvaro sambil mengelus rambut Sofie yang makin membuatnya malu ditempat karena tindakan dan ucapan lelaki itu begitu tersirat mengacu pada kejadian sebelum Nico datang menghampiri dirinya.
Ya Tuhan, apa ini yang Kamu maksud dengan bantuan?
Kemudian Alvaro terlihat memanggil pelayan.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Tanya pelayan yang sedari tadi sudah memperhatikan mereka.
"Saya mau satu yang ini. Ini credit card saya." Jawab Alvaro memberikan sebuah kartu berwarna emas dari dompetnya.
"Baik, terima kasih, Mas. Tapi maaf, boleh sepatunya dicopot dulu? Karena sepertinya nomor untuk ukuran ini stocknya tinggal satu. Jadi kami tidak punya gantinya untuk dibungkus. Kami mohon maaf sebelumnya untuk ketidaknyamanan ini." Jelas sang pelayan.
Alvaro mengangguk kemudian kembali berjongkok, tapi malah mengambil sepatu lama Sofie.
"Ini saja yang dimasukan ke kardus. Pacar saya mau langsung memakainya." Jawab Alvaro menyerahkan sepatu itu ke pelayan.
Sang pelayan tersipu malu mendengar perkataan Alvaro lalu mengangguk dan meninggalkan mereka.
Tak lama terdengar kasak kusuk bahkan teriakan kecil dari arah tempat pembayaran.
Pasti esok hari akan ada headline di infotaiment tentang adegan romantis dari pasangan selebriti yang sudah dua minggu ini jadi bahan pemberitaan. Siapa lagi kalau bukan Alvaro dan Sofie.
"Ini siapa, Sayang?" Tanya Alvaro sambil menarik pinggang Sofie kembali.
Gadis itu sudah mau protes karena Alvaro menyentuhnya berulang kali ketika ia sadar bahwa Nico ada di depan mereka dan sedang memperhatikannya.
"Ini... ini Nico. Dia teman aku." Saat mengucapkan ini pandangan mata Sofie menatap lurus mata Nico.
Lelaki yang sedari tadi hanya memperhatikan Sofie dan Alvaro dengan tatapan tak percaya itu hanya bisa tersenyum pahit ketika gadis itu mengatakan bahwa dirinya ini hanya teman Sofie.
Tiba-tiba Alvaro mengulurkan tangannya. "Saya Alvaro. Pacarnya Sofie." Ucap lelaki itu tegas.
Nico menjabat tangan Alvaro dengan senyum yang tak dimengerti.
"Nico. And yep, I'm her friend." Ucap Nico kemudian menatap Sofie.
Sofie tersenyum sekilas lalu membuang muka.
Tepat pada saat itu, pelayan yang tadi kembali menghampiri mereka.
"Ini credit cardnya dan ini sepatu Mbak Sofie yang sudah saya masukan ke dalam ke dalam kardus." Ucap sang pelayan yang langsung menyebut nama Sofie. Ya, siapa sih yang tak mengenal Sofie...
"Terima kasih sudah datang ke Valentino. Ditunggu kedatangannya lain kali." Ucap pelayan itu ramah dan meninggalkan mereka bertiga.
Alvaro balas tersenyum sambil mengangguk.
"Sudah selesai kan? Ayo kita pulang kalau begitu. Lagipula ayah kamu udah nungguin aku di rumah. Aku juga udah bawain ini buat ayah kamu." Ucap Alvaro sambil mengangkat kue dan roti yang ia beli di Aldio's tadi.
Terlihat kekagetan di wajah Sofie maupun Nico. Kalau Alvaro masih maklum dengan kekagetan Sofie, ia tak mengerti kenapa Nico juga terlihat kaget.
"Sof?" Tanya Alvaro lagi.
"Apa?" Tanya Sofie balik tak mengerti.
"Ayo..." Jawab Alvaro tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Sofie.
"Ayo kemana?" Tanya Sofie makin bingung menatap uluran tangan Alvaro.
Lelaki itu tertawa.
"Pulang, Sayang..."
Sofie ber'O' ria kikuk sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang merona saat Alvaro memanggilnya dengan sebutan sayang. Dengan ragu-ragu ia sambut uluran tangan Alvaro.
"Nico, duluan ya." Ucap Alvaro ketika tangan Sofie sudah berada di genggamannya.
Ketika hendak ingin berjalan, Alvaro tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadap Nico yang masih mematung.
"Sorry, kayaknya pacar saya nggak bisa bantuin kamu milih sepatu. Mungkin lain kali."
Dan Alvaro benar-benar meninggalkan Nico seorang diri sambil menggenggam erat tangan Sofie.
Dalam hati Alvaro tersenyum.
Jangan harap ada lain kali.
***
Hallo! Apa kabar?
Udah lama ya aku nggak update cerita ini hehe. Maaf ya soalnya lagi nyelesain FKWL dan bikin video buat closingnya hehe.
Btw yang di mulmed itu contoh sepatunya Sofie ya!
Semoga part ini menghibur ya. Aku bingung mau nulis apa. Udah ngantuk soalnya haha.
Jangan lupa vote dan commentnya ya!
Happy reading,
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro