BAB 19 - Happy Anniversary
Sofie menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum penuh bahagia. Sebuah senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya mulai dari ia meninggalkan rumah sampai saat ini. Semua berawal ketika Sofie bisa kembali bangun dalam pelukan Alvaro sambil menatap kedua mata lelaki itu yang masih terpejam, kemudian menciumnya, membelainya, merasakan Alvaro yang akhirnya terkikik dalam pelukan Sofie dan yang terpenting adalah kembalinya sebuah kehangatan yang sempat hilang diantara mereka berdua.
Alvaro bahkan tak rela melepas Sofie keluar rumah untuk pemotretan. Semua gombalan dan godaan sudah Alvaro kerahkan demi menahan Sofie agar tetap bersamanya. Rasanya satu malam tak cukup untuk berdekatan dengan istrinya itu setelah semua pertengkaran yang mereka lewati.
Sofie pun sama tak relanya dengan Alvaro. Sofie sangat butuh skin-to-skin dengan Alvaro. Begitu bahasa kerennya. Tapi pemotretan pagi ini juga tak kalah penting bagi karirnya. Akhirnya dengan berat hati, Alvaro merelakan Sofie untuk keluar rumah dan Sofie pun mau tak mau harus berjauhan sementara dengan Alvaro.
Namun hal itu tak lantas membuat Sofie murung melainkan bertambah bahagia karena Alvaro berkata bahwa malam ini akan kejutan untuknya. Hati Sofie makin berbunga-bunga dan berjanji akan segera pulang ketika semua urusannya telah selesai.
Tak cukup sampai di situ, kebahagiaan Sofie semakin menjadi-jadi karena dirinya baru saja berhasil menandatangani sebuah kontrak eksklusif dengan salah satu perusahaan parfum high end bertaraf internasional yaitu Elizabeth Arden yang sudah lama menjadi incarannya, targetnya dan ambisinya sebagai model.
Sofie tahu dengan pasti setiap model di tanah air berlomba-lomba untuk mendapatkan kontrak ini karena keuntungan yang di dapat tak hanya dari segi materil tetapi sebuah prestige. Belum lagi peluang untuk melebarkan sayap di kancah internasional yang akan terbuka lebar setelah ini.
Apalagi yang bisa membuatnya lebih bahagia dari dua hal di atas? Rasanya Sofie ingin cepat-cepat menyelesaikan konferensi pers yang sebentar lagi akan berlangsung untuk mengumumkan terpilihnya ia sebagai brand ambassador Elizabeth Arden yang baru dan setelah itu dapat segera pulang ke rumah untuk melihat kejutan dari Alvaro.
***
"I'm so proud of my self!"
Alvaro berkacak pinggang puas sambil matanya mengitari ruangan utama di rumah ini yang telah ia sulap menjadi sangat cantik. Jari-jari tangannya membentuk sebuah bingkai seraya memastikan bahwa setiap spot di ruangan ini sudah terdekorasi dengan sempurna.
"Ucapan happy anniversary, checklist."
Alvaro memberi tanda centang pada kertas yang ada di tangannya. Sebuah kertas yang berisikan banyak daftar, di tulis menggunakan tangan dengan tulisan yang tidak begitu bagus tapi penuh akan perasaan dan di beri judul Surprise for Princess.
"Bunga, lampu, foto, checklist."
Alvaro tersenyum puas menatap hasil rancangannya. Tulisan happy anniversary yang di gantung tinggi pada dinding berlapiskan mawar merah yang ia kerjakan sendiri selama hampir empat jam, lalu lampu-lampu kecil yang menjulur panjang dimana beberapa foto dirinya dan Sofie ia tempelkan di sana dengan berbagai ekspresi.
"Cek, cek, satu, dua, tiga, cek."
Alvaro terkekeh sendiri saat memastikan mic yang nanti akan ia gunakan untuk bernyanyi di depan Sofie.
"Pegang tanganku... bersama jatuh cinta..."
Alvaro sekarang sedang memastikan nada pada gitarnya dengan menyanyikan sebait lirik lagu yang akan ia lantunkan nanti.
"Candlelight dinner, checklist."
Alvaro menaik turunkan alis melihat karya masterpiece buatannya. Meja makan di rumah ini sudah ia sulap sedemikian rupa agar menyerupai meja-meja di restoran bintang lima.
Kini mata Alvaro bergerak menatap sebuah tuxedo yang menjadi pilihannya untuk ia pakai malam ini setelah hampir setengah jam mengobrak-abrik lemari pakaiannya demi mencari yang terbaik. Dan pilihan Alvaro jatuh pada tuxedo hitam paling mahal dan paling bagus yang ia punya.
"Perfecto!" Alvaro menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya lalu menciumnya di udara.
Sekarang Alvaro bisa meregangkan sedikit otot-ototnya di sofa setelah hampir seharian mengerjakan ini semua demi membuat kejutan untuk Sofie. Kini kepalanya mengadah ke atas menerawang menatap langit-langit rumah.
Pikirannya kembali pada dua hari lalu saat dirinya masih di Surabaya setelah menyelesaikan serangkaian tur menyanyi keliling Indonesia bersama label musik yang menaunginya. Saat itu dirinya masih bertengkar dengan Sofie. Danu yang memang sudah tahu semuanya sejak awal merasa tidak tahan sendiri karena Alvaro yang seperti jalan di tempat di tambah Sofie yang ratu gengsi. Keduanya tak ada yang mau memulai terlebih dahulu untuk mengutarakan perasaan masing-masing. Akhirnya Danu mencetuskan sebuah ide bagaimana kalau Alvaro menyatakan perasaannya tepat pada saat tahun jadi mereka yang pertama. Momennya pun sangat tepat. Lagipula, memang sudah sepantasnya lelaki yang mulai terlebih dahulu.
Danu bahkan sudah mengosongkan jadwal Alvaro selama seminggu ini kalau-kalau sehabis menyatakan perasaannya, Alvaro dan Sofie ingin honeymoon dadakan untuk yang kedua kalinya. Alvaro tak tahu harus berterima kasih macam apalagi kepada Danu. Sahabatnya sejak kuliah yang merangkap menjadi manajer yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.
Kini Alvaro hanya butuh sedikit istirahat, mandi, berganti baju dan menunggu Sofie pulang.
"Cepat pulang, Sof..."
***
Tim dari Elizabeth Arden tercengang bukan main ketika melihat jumlah wartawan yang datang untuk meliput konferensi pers Sofie kali ini. Luar biasa banyak! Bahkan saking banyaknya sampai ada yang tak bisa masuk dan menunggu di luar. Sofie yang mendengar informasi tersebut dari salah satu handy talky tim Elizabeth Arden yang berada bersamanya di ruang make up jadi semakin grogi. Ternyata wartawan antusias sekali.
Namun ada hal lain yang Sofie dan tim Elizabeth Arden tidak ketahui. Banyaknya wartawan yang datang bukan karena Sofie telah menjadi brand ambassador Elizabeth Arden baru, tapi suatu hal yang jauh lebih menarik daripada itu.
***
Sofie memasuki ruangan konferensi pers. Kilau jepretan puluhan wartawan membuat hati Sofie entah mengapa berdegup kencang namun dengan perasaan aneh yang tak bisa di jelaskan. Spontan Sofie mencengkram tangan Yati yang memang ada di sebelahnya karena sedang menuntun Sofie berjalan ke meja konferensi pers yang akan segera di mulai beberapa detik lagi. Sofie duduk bersama direktur Elizabeth Arden perwakilan Indonesia dan dua orang lainnya dari public relation Elizabeth Arden.
Setelah kurang lebih dua puluh menit menjelaskan tentang parfum terbaru Elizabeth Arden dengan Sofie sebagai model dan brand ambassador baru, sesi pertanyaan pun di buka. Yang tak kalah mencengangkan, seluruh ruangan langsung berubah riuh karena hampir seluruh wartawan bertanya di saat yang bersamaan. Tapi yang paling mencengangkan adalah... pertanyaan mereka yang sangat melenceng jauh dari topik.
"Sof, apa benar video yang dari semalam beredar luas tentang pernikahan kontrak kamu dengan Alvaro itu?"
"Sofie, apa benar pernikahan kamu dan Alvaro hanya pernikahan kontrak?"
"Bisa di jelaskan kontraknya apa saja sampai harus di rahasia kan?"
"Apa yang mendasari kamu dan Alvaro melakukan kontrak nikah?"
"Bagaimana tanggapan kamu saat akhirnya berita ini tersebar luas ke publik, Sof?"
"Apakah akan ada konferensi pers khusus mengenai hal ini?"
Dan masih banyak pertanyaan lainnya. Pihak Elizabeth Arden saling tengok satu sama lain karena bingung dengan apa yang di tanyakan wartawan. Sedangkan, Sofie... perempuan itu pucat pasi di tempatnya. Seketika ia mual dan ingin memuntahkan seluruh isi perutnya mendengar pertanyaan wartawan. Napasnya memburu, dadanya sesak.
Tiba-tiba saja Sofie ingin lari dari ruangan ini. Tanpa menghiraukan apapun, Sofie berdiri, beranjak meninggalkan meja konferensi pers. Wartawan yang melihat itu ikut berdiri juga, berusaha mendekati Sofie. Suasana chaos seketika. Sofie terjebak diantara wartawan, di hinggapi pertanyaan yang sama silih berganti sampai ia ketakutan dan menangis. Pihak keamanan yang baru bisa menerobos masuk ke kerumunan wartawan langsung melindungi Sofie, membawa Sofie ke tempat yang aman.
Selesai sudah semua permainan ini.
***
"Bisa tolong di jelaskan tadi itu apa?"
Setelah pihak keamanan berhasil membawa Sofie menjauh dari wartawan, kini Sofie sedang bersama pihak dari Elizabeth Arden yang sangat menunggu penjelasannya. Sofie masih diam. Ia pun masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba-tiba wartawan menanyakan hal itu? Dari mana mereka tahu?
"Sepertinya, awal mulanya dari sini."
Salah seorang tim Elizabeth Arden yang setelah insiden tadi langsung mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya mendapatkan titik temu.
"Ini artikel pertama yang muncul kalau di lihat dari waktu publishnya. Dan masih dari website yang sama, muncul video ini. Baru setelah itu, banyak media online lain yang mulai membahas."
Penjelasan dari salah seorang tim Elizabeth Arden di barengi dengan di berikannya tablet, masing-masing kepada Sofie dan direktur Elizabeth Arden perwakilan Indonesia.
Keduanya membaca dan melihat video amatir yang di ambil secara diam-diam itu. Raut kecewa jelas terpancar dari wajah direktur Elizabeth Arden perwakilan Indonesia.
Sedangkan Sofie... perempuan itu hanya diam. Namun kedua tangannya mencengkram kuat-kuat tablet yang di pegangnya. Marah, kecewa, tak percaya dan merasa di bohongi untuk kesekian kalinya.
Sofie memejamkan mata menahan perih. "Saya meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Bapak dan tim yang sudah sangat baik memberikan saya kesempatan untuk bergabung menjadi bagian dari Elizabeth Arden tetapi malah saya rugikan karena hal ini." Bibir Sofie bergetar saat mengatakan hal ini.
Direktur Elizabeth Arden perwakilan Indonesia hanya bisa mendesah keras. "Sebenarnya saya tidak peduli dengan masalah ini. Tapi, ketika kamu bergabung dengan kami, seperti yang tertulis di dalam kontrak, citra baik kamu akan menjadi bagian dari tanggung jawab kami karena itu merupakan salah satu poin penting dari strategi penjualan. Saya rasa kamu pasti membaca kontrak perjanjian kita dengan baik dan paham kemana arah pembicaraan saya, kan?"
Sekali lagi Sofie memejamkan mata. "Ya, Pak. Saya paham dengan sebaik-baiknya. Sekali lagi saya meminta maaf sudah membuat kekacauan ini."
Lelaki itu menepuk pundak Sofie memberi semangat. "Saya juga meminta maaf. Tapi sesuai dengan perjanjian, kontrak ini tidak bisa di teruskan lagi apabila brand ambassador terlibat skandal atau masalah besar."
"Baik, Pak. Saya mengerti. Terima kasih atas waktu dan kebaikan Bapak. Saya mohon maaf sedalam-dalamnya atas nama saya dan Alvaro. Secepatnya saya akan meluruskan hal ini.
Lelaki itu hanya tersenyum simpul sambil sekali lagi menepuk bahu Sofie dan meninggalkan ruangan. Air mata Sofie langsung menetes ketika lelaki seumuran ayahnya itu meninggalkan ruangan.
Puas kamu, Alvaro?! Puas kamu menghancurkan karir aku?! Impian aku selama ini, ambisiku dan targetku yang akhirnya aku dapatkan dengan susah payah langsung kamu hempaskan dalam sekejap! Kamu benar-benar keterlaluan kali ini! Apa ini kejutan yang kamu bilang?! Aku benci kamu!
***
Sofie melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Air matanya sudah kering. Tak sudi lagi ia menangis karena perbuatan bodoh laki-laki yang baru saja tadi malam berjanji untuk tak membuatnya menangis lagi.
Setelah puluhan kali menelepon Alvaro untuk meminta penjelasan yang tak kunjung diangkat, kemarahan Sofie tak bisa di bendung lagi. Danu bahkan sampai meneleponnya juga untuk memberi penjelasan dan meminta maaf serta bertanya kenapa Alvaro juga tak dapat ia hubungi. Tapi Sofie terlalu muak mendengar suaranya sehingga belum sempat Danu menjelaskan semuanya, Sofie sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan. Dan yang membuatnya benci, bagaimana bisa Alvaro tak memberinya kabar sama sekali padahal berita tentang mereka sudah tersebar luas sampai ke tv. Apa yang sebenarnya Alvaro lakukan di rumah?!
Sofie menambah kecepatan agar lebih cepat sampai di rumah dengan satu keputusan bulat. Apalagi setelah ia ingat hari apa ini dan hal lain yang sangat berhubungan erat dengan hari ini. Waktu sudah menunjukan pukul 23.10 WIB. Tapi bagi Sofie semakin mendekati jam dua belas justru semakin bagus.
"Kita lihat kejutan apa yang kamu punya untuk aku, Alvaro. Karena aku juga punya kejutan untuk kamu."
***
Alvaro membuka mata. Menguceknya sebentar sambil melihat jam tangan. Pukul setengah dua belas malam.
"Ya ampun... kamu kemana sih, Sof. Aku nungguin kamu sampai ketiduran dan kamu belum datang juga."
Alvaro bangkit, berjalan menuju cermin, merapikan rambut dan tuxedonya yang sedikit kusut karena duduk ketiduran di sofa dari jam 8 tadi menunggu Sofie tak kunjung datang.
Alvaro semakin keki saat melihat pasta buatannya sudah dingin. Dengan langkah besar-besar Alvaro ke kamar untuk mengambil ponselnya hendak melepon Sofie. Di saat yang bersamaan Alvaro baru tersadar sejak pagi ia belum menyentuh ponselnya sama sekali karena sibuk mendekorasi rumah seharian dan memasak untuk Sofie sampai ketiduran di sofa saking lelahnya.
79 miscall from Wardanu-Danu.
47 miscall from Wifey❤️.
83 new messages.
Alvaro langsung menepuk jidatnya. Terheran-heran kenapa banyak sekali miscall dari Danu dan Sofie.
"Danu ngapain telepon gue ya? Kan dia yang ngatur jadwal libur gue seminggu. Untung aja handphone gue silent." Alvaro tertawa sendiri karena merasa beruntung tak mengangkat telepon Danu yang ia yakin berniat membatalkan jadwal liburan yang Danu buat sendiri untuknya karena ada job manggung dadakan dengan bayaran tinggi seperti yang sudah-sudah.
"Si Danu kalo udah ingat uang kadang suka lupa sama temen sendiri." Alvaro geleng-geleng kepala.
"Tapi Sofie kenapa ya puluhan kali telepon gue? Duh, salah gue juga sih pake silent mode segala."
Ketika hendak ingin menelepon balik Sofie, tangan Alvaro tergelitik untuk membuka pesan terlebih dahulu karena ingin tahu apa yang membuatnya di kirimi pesan sebanyak itu hari ini.
Namun tepat pada saat itu juga, terdengar deru mobil yang dapat di pastikan adalah Sofie. Alvaro langsung membanting ponselnya ke kasur, berlari menuju ruang utama, bersiap menyambut Sofie. Jantungnya langsung berdegup kencang. Hilang sudah semua keki berganti menjadi grogi. Alvaro berdiri tegap di posisinya, sekali lagi merapikan tuxedonya, membenarkan dasinya yang sedikit miring akibat berlari dan mengusap dahinya yang berkeringat.
***
Sofie masuk ke dalam rumah dengan penuh emosi ingin segera menyelesaikan ini dengan Alvaro. Namun ia heran karena semua lampu mati dan ruangan gelap.
"Surpriseee!"
Tiba-tiba lampu menyala, menampilkan sebuah pemandangan yang begitu cantik untuk Sofie.
Alvaro merentangkan tangan lebar-lebar menyambut Sofie yang kaget di tempatnya. Saking groginya, Alvaro tak menyadari perubahan raut wajah Sofie yang jauh dari kata bahagia.
Jantung keduanya masih sama-sama berdegup kencang.
Yang satu grogi karena akan menyampaikan perasaannya.
Yang satunya melemah dengan keputusannya.
"Speechless, baby?" Tanya Alvaro menyeringai.
"I know, Sof. I know. Mau nangis saking bahagianya ya?" Kini Alvaro tertawa.
Sofie hanya bisa diam menatap ini semua. Ya, dirinya ingin menangis. Menangis karena ternyata Alvaro membuat semua keputusan yang sudah di buatnya menjadi sangat tidak mudah untuk di ucapkan.
"Tapi kamu harus tahu, aku grogi banget sekarang." Tambah Alvaro sambil menarik napas panjang.
"Sofie Callistin Syanania, seperti yang kamu lihat di sana..." Alvaro menunjuk tulisan happy anniversary yang ada di dinding.
"...let's celebrate our first anniversary."
"Ya, walaupun tinggal lima belas menit lagi sih. Salah kamu sendiri pakai acara pulang telat segala. Tapi nggak apa-apa. Lebih baik kekepet daripada nggak sama sekali."
Alvaro pura-pura cemberut menghilangkan grogi yang semakin menjadi sambil melirik jam tangannya dimana waktu menunjukan pukul 23.45 WIB.
Di sisi lain Sofie menahan sekuat tenaga bibirnya yang bergetar.
Ya, Alvaro. Memang hanya tinggal 15 menit lagi.
"Karena ini adalah hari yang sangat spesial, wajib hukumnya bagi aku untuk mendekorasi rumah ini supaya menjadi kenangan indah yang nggak terlupakan buat kita."
"Aku udah pesan bunga-bunga ini dari waktu aku masih di Surabaya. Aku bahkan nggak mau di bantuin sama tukang bunganya karena aku mau usaha sendiri dan buat kamu bangga kalau suami kamu itu pejuang sejati."
Alvaro tersenyum lucu dan Sofie yang berusaha sekuat tenaga menahan tangis.
"Foto-foto yang ada di sini juga udah aku seleksi maksimal banget, Sof." Tunjuk Alvaro ke arah rangkaian foto yang ada di dinding berlapiskan mawar itu.
"Aku pilih yang kamunya dengan pose andalan kamu, yang menurutku paling cantik diantara yang cantik. Walaupun muka aku failed semua, tapi nggak apa-apa. Suami harus ngalah sama istri."
"Aku tambahin juga lampu-lampu biar kayak postingan selebgram karena aku tahu habis ini akan kamu masukin ke Instagram, kan?" Ujar Alvaro menaik turunkan alisnya bangga.
"See, Sofie? I understand you inside and outside."
Sofie berusaha menarik napas yang terasa sesak dengan segala kemanisan Alvaro untuknya.
"Kamu liat meja makan kita? Udah kayak di The Sheare's Quarters's belum? Itu aku yang desain sendiri supaya mirip banget kayak di sana, Sof. Awas, aku nggak terima kritik jelek. Dua jam lho ngerjain itu doang." Tunjuk Alvaro ke arah meja makan.
"By the way, pastanya udah dingin karena kamu telat pulang. Tapi aku nggak mau tahu, enak nggak enak, kamu harus makan. Itu aku sendiri yang buat pake usaha dan cinta." Kata Alvaro cemberut.
"Aku bahkan sampai ketiduran di sofa nungguin kamu pulang, Sof. Makanya tuxedo aku rada kusut kayak gini." Tunjuk Alvaro ke bagian yang kusut.
Melihat Sofie yang tak bereaksi hanya diam mematung di tempat, Alvaro gemas sendiri dan menghampirinya.
"Iya, tahu kok, masih speechless. Tapi sekarang kamu duduk dulu di sana ya. Ada yang mau aku kasih buat kamu."
Alvaro menggandeng tangan Sofie, mendudukannya di kursi yang telah ia dekorasi. Saat hendak
berbalik, Alvaro mencuri satu ciuman di bibir Sofie yang membuatnya terkaget.
"Hari ini kamu cantik banget." Gombalnya.
Kemudian Alvaro menuju tempat yang sudah di persiapkannya untuk menyanyi. Ia mengambil gitarnya sebelum menatap Sofie lekat dan mulai bernyanyi.
"Lagu ini khusus aku persembahkan untuk kamu dengan segenap perasaan yang aku punya..."
"Kali Kedua."
Jika wangimu saja bisa
Memindahkan duniaku
Maka cintamu pasti bisa
Mengubah jalan hidupku
Mata Alvaro terfokus pada Sofie. Lelaki itu tersenyum bahagia. Saking bahagianya, Alvaro tak menyadari Sofie yang hanya diam di tempat tak memberi reaksi apapun dengan wajah datar.
Cukup sekali saja aku pernah merasa
Betapa menyiksa kehilanganmu
Kau tak terganti kau yang selalu kunanti
Takkan kulepas lagi
Pegang tanganku bersama jatuh cinta
Kali kedua pada yang sama
Pertahanan Sofie semakin melemah.
Kenapa harus sesulit ini ya Tuhan?
Jika senyummu saja bisa
Mencuri detak jantungku
Maka pelukanmu yang bisa
Menyapu seluruh hatiku
Sofie goyah. Rasanya sakit sekali mengetahui orang yang menghancurkan impiannya adalah orang yang juga ia impikan dalam hatinya.
Jatuhkan hati, tanpa peduli
Kedua kali kita bersama lagi
Pegang tanganku bersama jatuh cinta
Kali kedua pada yang sama
Sama indahnya
Sofie mengepalkan tangannya dengan kencang, mencari kekuatan untuk tidak menangis.
Setelah selesai menyanyi, Alvaro menghampiri Sofie, menyuruhnya berdiri kemudian menggandeng tangan perempuan itu untuk mengikutinya ke tengah ruangan. Sekarang mereka berdiri sejajar saling berhadapan. Alvaro sangat grori di lihat dari tangannya yang selalu ia usap-usap karena berkeringat.
"Aku tahu, aku super bodoh karena baru berani bilang ini ke kamu sekarang. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."
"Sofie Callistin Syanania, cukup sekali aku kehilangan kamu dan jauh dari kamu. Aku nggak bisa kalau itu harus terjadi untuk yang kedua kalinya."
"Kamu tahu, Sof? Kamu perempuan pertama yang berhasil bikin dunia aku jungkir balik. Sebelumnya, aku nggak pernah suka bergantung sama orang lain. Tapi dengan kamu... aku butuh bergantung sama kamu. Aku butuh ngeliat wajah kamu setiap aku bangun tidur, aku butuh pelukan kamu setiap hari, aku butuh dengar suara kamu setiap saat. Aku butuh kamu di samping aku... selamanya."
"Karena itu, di malam tahun jadi kita yang pertama ini, aku ingin meminta kamu untuk memulai semuanya dari awal lagi sama aku. Nggak ada lagi kontrak perjanjian diantara kita, nggak ada lagi peraturan dan batasan diantara kita. Aku mau kamu seutuhnya. Sebagai istri seorang Alvaro Lazuardi Raharsaja yang sesungguhnya."
"Aku mau kita seperti lagu yang aku nyanyikan barusan. Pegang tanganku, bersama jatuh cinta. Aku mau kita ngerasain indahnya jantung kita berdegup kencang lagi karena satu sama lain. Tapi dengan cara yang benar kali ini."
"Apa kamu mau mulai semuanya dari awal lagi sama aku, Sofie?"
Sofie diam. Kepalanya tertunduk karena hal paling manis yang baru saja di katakan oleh seorang Alvaro Lazuardi Raharjasa terasa begitu menyakitkan di telinganya.
Melihat Sofie yang tak memberi jawaban, Alvaro mengambil kedua tangan Sofie kemudian menggenggamnya erat.
"Mungkin kata-kata ini akan membuat semua penjelasan aku jauh lebih mudah untuk kamu terima. Kata-kata yang seharusnya aku ucapkan dari dulu saat pertama kali aku sadar tentang perasaan aku ke kamu..." Alvaro mengintip wajah Sofie dari balik matanya sambil membawa kedua tangan Sofie untuk ia cium.
"Aku cinta kam..."
"Stop."
Sofie menyelak kalimat Alvaro cepat. Di saat yang bersamaan pula ia tarik kedua tangannya dari tangan Alvaro yang baru saja di kecup lelaki itu.
Alvaro kaget bukan main Sofie menghentikan kalimatnya di tambah perilaku Sofie yang menjadi aneh. Tapi Alvaro tak ambil pusing karena sejurus kemudian ia tertawa.
"Jangan di potong dulu, Sayang... aku belum selesai. Kamu jangan bikin aku tambah grogi kayak gini. Itu kalimat sakral yang untuk ngucapinnya aja aku butuh latihan berpuluh-puluh kali."
Sofie merasa sangat sulit untuk bernapas. Kalimat yang sangat dirinya tunggu-tunggu dari seorang Alvaro yang harusnya membuat ia bahagia malah sangat menyakitkan bukan main untuk di dengar.
"Let me try it one more time." Alvaro kembali mengambil kedua tangan Sofie dan menggenggamnya erat.
"Sofie Callistin Syanania, perempuan yang paling aku cintai di dunia, kamu mau kan bangun rumah tangga ini lagi dan mulai semuanya dari awal sama aku?"
Jantung Alvaro rasanya mau copot menunggu jawaban Sofie. Walau dalam hati Alvaro yakin seratus persen Sofie akan memberikan jawaban iya karena dirinya juga tahu Sofie cinta padanya. Tapi tetap saja grogi.
Demi Tuhan, Sofie mehanan napasnya ketika mendengar kalimat yang Alvaro ucapkan barusan. Sangat indah tapi begitu menyakitkan di waktu yang bersamaan.
Pelan-pelan Sofie melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan Alvaro kemudian memejamkan mata berusaha menyesuaikan napasnya yang sesak bukan main.
Dengan hancur ia tarik tangannya yang berada di genggaman Alvaro untuk yang kedua kali.
"Aku nggak bisa."
Namun lagi-lagi Alvaro tertawa. "C'mon, Sofie... bercandanya nanti aja ya di kamar." Ucapnya seraya memeluk perempuan itu yang membuat Sofie langsung menghindar.
"Sofie?"
Seketika Alvaro tertegun melihat Sofie yang menghindari pelukannya. Lelaki itu kini tersadar bahwa ada yang tak beres di sini. Dan sekarang Alvaro dapat melihat tak ada kebahagiaan sedikitpun di wajah Sofie.
"Aku nggak bisa, Alvaro."
Lelaki itu mengerutkan kening kemudian mengelengkan kepalanya. "Aku nggak ngerti maksud kamu."
"Aku tahu, kamu paham apa yang aku maksud." Ucap Sofie menatap bola mata Alvaro tajam.
"Apa sih yang sebenarnya mau kamu omongin, Sof?!" Tanpa sadar nada bicara Alvaro mulai meninggi karena dalam hatinya ia ketakutan.
Sofie memejamkan mata sejenak mencari kekuatan sebelum akhirnya kembali membuka mata.
"Aku mau kita selesai sampai di sini."
Alvaro terpaku. Rasaya seperti ada belati yang menancap di dadanya. Ia tak menyangka Sofie akan seperti ini. Benar-benar tak menyangka.
"Kamu nggak salah bicara kan?" Alvaro kembali tertawa walau hatinya sama sekali tak ingin tertawa.
"Aku sadar seratus persen dengan apa yang aku bilang barusan."
"Tapi..." Alvaro merentangkan kedua tangannya frustasi tak mampu berkata dan berpikir.
"Aku nggak bisa hidup sama orang sudah menghancurkan kepercayaan dan impian aku." Ucap Sofie penuh amarah.
Kening Alvaro berkerut sejadi-jadinya.
"Aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu maksud, Sofie." Ucap Alvaro bingung.
Sofie mengatupkan kedua rahangnya rapat-rapat. Melihat Alvaro yang saat ini kebingungan, Sofie yakin lelaki itu belum mengetahui apa yang terjadi pada dirinya hari ini.
"Kamu tahu apa yang terjadi di luar sana hari ini?! Apa kamu tahu aku telepon kamu puluhan kali?! Dan apa kamu tahu kalau Danu juga telepon kamu tapi nggak satu pun yang kamu angkat?! Apa sih yang kamu lakukan seharian ini?"
Kepala Alvaro pusing. Kenapa Sofie juga bisa tahu Danu meneleponnya? Semua ini terlalu membingungkan. Kemudian tanpa Sofie duga, Alvaro berlari meninggalkan dirinya menuju kamar. Sampai di kamar, Alvaro langsung mengambil ponselnya, membuka pesan-pesan yang ia yakin pasti berhubungan kuat dengan puluhan telepon masuk dari Sofie dan Danu yang tadi belum sempat ia buka karena Sofie sudah terlebih dulu datang.
Jantung Alvaro seperti tersambar petir. Pesan dari label musiknya, perusahaan yang masih terikat kontrak dengannya, kawan sesama artis, Danu dan Sofie. Semua isinya hampir sama. Artikel-artikel tentang dirinya dan Sofie dengan judul yang mendadak membuatnya mual... video percakapannya dan Danu saat hendak meninggalkan tempat manggung di Surabaya menuju bandara... dan yang membuat hatinya sakit adalah sebuah rekaman berisikan Sofie yang menangis ketakutan saat di kelilingi wartawan yang menanyakan tentang pernikahan mereka.
Alvaro langsung berlari sekuat tenaga keluar kamar dan kembali menghampiri Sofie. Melihat perubahan wajah Alvaro yang tak terbaca, Sofie yakin Alvaro sudah tahu semuanya sekarang.
"Puas kamu?!" Bentak Sofie marah.
"Sof... aku... ini..." Alvaro tak bisa merangkai kata-katanya karena shock bukan main. Lelaki itu meremas rambutnya frustasi. Semua ini benar-benar kacau.
"Seharian aku sama sekali nggak pengang handphone karena sibuk nyiapin ini semua untuk kamu..." Ucap Alvaro pelan-pelan mencoba memberi penjelasan kepada Sofie saat sedikit kewarasannya telah kembali.
"Aku baru sempat cek pas tadi kamu datang. Di situ aku baru tahu kalau kamu dan Danu telepon aku. Tapi aku belum sempat baca semua pesan itu karena aku langsung lari keluar kamar untuk menyambut kamu."
"Maafin aku, Sof... aku nggak tahu kejadiannya bakal kayak gini. Kalau aku tahu, aku yang akan jelasin semuanya ke wartawan. Maafin aku karena kamu harus nanggung semua itu sendirian."
"Nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan kamu! Aku nggak butuh itu semua! Aku cuma butuh kita selesai!"
Alvaro lagi-lagi meremas rambutnya frustasi sambil memejamkan mata.
"Sofie, please... kamu nggak boleh kayak gini. Jangan cuma karena masalah ini kita selesai..."
Sofie mendengus benci. "Cuma kamu bilang?! Aku benar-benar nggak nyangka kata itu bisa keluar dari mulut kamu! Apa kamu tahu, Alvaro? Karena masalah ini, impian aku yang akhirnya jadi kenyataan, hancur dalam sekejap! Aku bangun karirku susah-susah dari nol sampai aku bisa meraih impianku tapi karena kamu semuanya jadi sia-sia. Puas kamu Alvaro?!" Kini air mata yang sedari di tahannya menetes.
Rahang Alvaro bergemeletuk. Ia benci dirinya sediri. Ia gagal menepati janjinya untuk tak membuat Sofie menangis lagi.
"Sekali lagi aku minta maaf, Sofie... tapi semuanya masih bisa kita lurusin. Kita gelar konferensi pers untuk membantah."
"Nggak perlu! Lagipula untuk apa?! Kepercayaan aku sudah hilang buat kamu, Alvaro!"
Hati Alvaro sakit bukan main mendengar kalimat itu dari orang yang ia cintai.
"Bisa-bisanya kamu bocorin rahasia ini ke Danu! Kamu tahu kan perjanjiannya seperti apa?! KENAPA KAMU CERITA SEMUANYA SAMA DANU?!"
Sofie berteriak kencang, melampiaskan semua aramah dan kekecewaan yang ia pendam sejak tadi. Alvaro kaget bukan main. Tak pernah sama sekali melihat Sofie seperti ini sebelumnya.
Alvaro tertunduk sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Lama ia terdiam sebelum akhirnya berbicara.
"Aku butuh untuk berkeluh kesah, Sofie. Minta pendapat dan di dengarkan. Aku nggak bisa menyimpan ini sendirian. Aku butuh seseorang untuk bantu aku cari solusi dari permasalahan kita."
Sofie tertawa mengejek. "What a reason! Kenapa kamu nggak langsung bicara sama aku?!"
Kini gantian Alvaro yang tertawa. "Kamu? Sama kamu, kamu bilang?! Jangan bercanda, Sof! Jangan pura-pura lupa siapa yang sangat antipati kalau aku mulai bicara ke hal-hal serius!" Alvaro mulai tersulut emosi.
"Tapi kamu lihat sendiri sekarang semuanya kebongkar!"
"Ya mana aku tahu kalau ada orang lain yang mendengarkan dan merekam?!"
Sofie mendengus. "Masih nggak mau di salahkan. Gimana aku bisa percayakan hidupku sama kamu, kalau jaga mulut kamu dengan baik aja belum bisa."
"Kamu jangan keterlaluan, Sof!" Alvaro benar-benar emosi sekarang.
Tetapi sejurus kemudian wajah Alvaro berubah. "Aku minta maaf, Sofie. Aku janji aku akan selesaikan semua masalah ini. Tapi aku mohon... jangan pergi dari aku, Sof... aku nggak bisa kalau nggak ada kamu di sisi aku."
Alvaro memohon dengan sangat, menggenggam tangan Sofie erat.
"Aku cinta kamu, Sofie. Dan aku juga tahu kalau kamu cinta aku."
Mata Sofie terpejam. Mungkin sesuatu yang akan ia katakan ini dapat mengakhiri semuanya dengan cepat.
"Aku nggak cinta sama kam..."
Alvaro menyelaknya dengan cepat dan berteriak.
"JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU BILANG KALIMAT ITU!"
Keduanya saling bertatapan lekat dengan napas memburu penuh kemarahan.
"Aku. Tahu. Kamu. Cinta. Aku."
Alvaro menekankan setiap katanya. Mencengkram pergelangan tangan Sofie memaksa perempuan itu untuk mendekat.
"Aku tahu kamu marah dan benci sama aku tapi jangan pernah bohong dengan perasaan kamu sendiri."
Sofie memalingkan wajah dengan kasar, mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes menggunakan punggung tangan yang tak di cengkram Alvaro.
Melihat Sofie yang menangis, Alvaro melepaskan cengkramannya dan langsung memeluk Sofie erat walau perempuan di dalam pelukannya ini berontak minta di lepaskan.
"Kita masih bisa mulai semuanya dari awal, Sofie..." Bisik Alvaro di telinga Sofie sambil mengencangkan pelukannya karena takut sekali Sofie akan pergi darinya.
Sebenarnya hati Sofie sakit melihat Alvaro yang seperti ini. Tapi keputusannya sudah bulat.
"Lepasin aku." Sofie berucap dengan nada rendah dan dingin.
Mendengar nada bicara Sofie yang seperti itu dan sudah tidak memberontak, Alvaro tahu kali ini ia harus melepaskan pelukannya.
"Tatap mata aku. Bilang kalau kamu nggak cinta sama aku dan setelah itu aku akan ngelepasin kamu."
Hati Sofie bagai di remas di tantang seperti itu. Tapi ia berhasil meyakinkan hatinya untuk menatap bulat-bulat manik mata Alvaro.
"Aku nggak pernah cinta sama kamu, Alvaro."
Detik itu juga Alvaro melumat mulut Sofie seperti orang gila dan kesetanan. Ia marah sejadi-jadinya mengapa perempuan ini sangat bersikukuh membohongi dirinya sendiri.
Tak terima di cium seperti ini, Sofie langsung berontak secara membabi buta.
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alvaro ketika Sofie berhasil keluar dari pelukan lelaki itu. Alvaro memegang pipinya yang panas tak percaya baru saja di tampar Sofie.
"Maaf, aku nggak bermaksud. Tapi yang kamu lakukan barusan membuat aku terpaksa harus berbuat seperti itu." Ucap Sofie dengan nada datar.
Satu air mata dengan kurang ajar menetes dari pipi Alvaro. Bukan karena Sofie menamparnya. Tapi karena Sofie yang benar-benar ingin berpisah darinya.
Diantara air mata yang menetes, tiba-tiba Alvaro tertawa seperti orang gila.
"Kamu nggak akan bisa cerai dari aku. Karena aku masih punya ini."
Dengan tangan gemetar Alvaro merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kartu yang tadinya ia niatkan untuk di bakar bersama Sofie sebagai bentuk selebrasi bebasnya mereka dari kontrak perjanjian pernikahan ini dan awal mula di mulainya kehidupan mereka sebagai sepasang suami istri yang sebenarnya.
Tapi Alvaro tak menyangka ia akan benar-benar menggunakan kartu ini untuk menyelamatkan pernikahannya.
Three Sofie's Yes Card.
Persis seperti dugaan Sofie. Ia ingat Alvaro masih memiliki satu kartu lagi dan pasti akan menggunakan kartu itu untuk menahannya.
Sofie berusaha menahan air mata sekuat tenaga agar tidak jatuh lagi. Di ambilnya pergelangan tangan Alvaro yang terdapat jam tangan.
"Lihat jam berapa sekarang." Ujar Sofie berusaha setenang mungkin.
Alvaro langsung menunduk. Pukul 00.17 WIB. Satu tahun lewat tujuh belas menit.
"Dalam kontrak perjanjian kita, di situ tertulis bahwa jangka waktu pernikahan ini adalah satu tahun dan kartu itu hanya bisa di gunakan pada waktu tersebut."
Kini Sofie tak bisa menahan bibirnya yang bergetar. "Artinya, kamu nggak bisa lagi pakai kartu itu."
"Kita benar-benar selesai sekarang, Alvaro."
Alvaro mengusap kasar setitik bening lagi-lagi keluar dari matanya. Kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. Ia sudah kalah sekarang. Benar-benar kalah.
Namun entah apa yang merasuki Alvaro, detik berikutnya wajah lelaki itu sungguh menyeramkan, ia berjalan mendekat ke arah Sofie dan mencengkram kedua bahu Sofie kuat-kuat.
"STOP ALL THIS BULLSHIT!!!"
"Kamu salah besar kalau berpikir ini adalah jalan keluar dari semua masalah! Pertama, kamu bohongi perasaan kamu sendiri. Kedua, kamu nggak akan jadi damai karena ini, Sofie. Aku memang salah, tapi hanya dengan aku juga kamu bisa kuat."
Sofie bagai di hantam palu godam karena tak bisa mengelak dari perkataan Alvaro. Tapi, sekali Sofie pada keputusannya, ia akan tetap pada keputusan itu.
"Kamu jangan lupa apa niat awal aku menikah sama kamu! Untuk membalaskan dendam aku sama Nico! Dan kamu bilang sendiri setelah satu tahun kamu akan menceraikan aku dengan senang hati."
Alvaro terbahak-bahak seperti orang gila dengan matanya yang merah karena menangis.
"Kalau kamu pikir dengan bawa-bawa nama Nico akan membuat aku percaya bahwa kamu menikah sama aku hanya karena balas dendam, kamu salah besar. Dulu aku memang percaya karena perasaan kita belum seperti ini. Tapi sekarang? Aku nggak pernah dengar kamu sebut-sebut nama itu lagi karena hanya ada nama aku di otak kamu! Kamu tahu kenapa, Sofie? Karena kamu cinta aku!"
"Dan, ya, aku mengakui. Dulu aku pernah bilang bahwa akan dengan senang hati menceraikan kamu setelah satu tahun. Tapi. Itu. Dulu. Sebelum perasaan yang pelan-pelan tumbuh diantara kita ini ada. Dan jangan coba-coba bohong lagi karena aku tahu dengan pasti kamu juga merasakan itu!"
"Dulu mungkin kamu belum mengambil dunia aku, Sof. Tapi sekarang, setelah semua yang kita lalui, aku nggak bisa, Sof. Aku nggak bisa tanpa kamu. Aku tahu jalan yang kita ambil awalnya memang salah, tapi apa yang terjadi diantara kita sama sekali nggak pernah salah, Sofie. Tolong kamu sadari itu." Kini Alvaro sedikit melunak untuk membujuk Sofie tetap bersamanya.
Alvaro berusaha mengambil tangan Sofie tapi perempuan itu menghindar. Pergi dari sini adalah satu-satunya jalan bagi Sofie sebelum ia benar-benar melemah dan mengubah jalan pikirannya.
"Maaf. Tapi aku nggak bisa. Tolong jangan paksa aku."
Ketika akhirnya Sofie berbalik langkah untuk keluar dari rumah, Alvaro mencekal tangannya dan menatap Sofie dengan penuh kemarahan.
Alvaro menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan semua ini. Ia tatap bola mata Sofie dengan tajam.
"Kamu ternyata belum berubah, Sofie. Setidaknya aku mengakui kesalahan yang aku perbuat, meminta maaf, berusaha memperbaiki keadaan dan mengutarakan perasaan aku yang sebenarnya ke kamu. Tapi kamu jauh lebih parah! Kamu tolak permintaan maaf aku, bersikeras dengan ego kamu, membohongi perasaan kamu sendiri dan menolak untuk mengakui kalau ini semua masih bisa di perbaiki!"
Sofie meronta minta di lepaskan dari cengkraman Alvaro, tapi tangan Alvaro begitu kuat sampai terasa sakit di kulitnya.
"Kamu dan rasa gengsi kamu yang luar biasa besar itu menutup semua kenyataan yang sebenarnya sudah terpampang jelas-jelas di depan mata kamu. Bahkan hati kamu, Sofie! Dengar ini, Sofie Callistin Syanania. Pada akhirnya, kamu akan datang ke aku, mengatakan semua kebenaran yang seharusnya terucap hari ini. Semua yang sebenarnya ada di hati kamu! Akan aku pastikan itu! Ingat omongan aku baik-baik!"
Kemudian Alvaro melepaskan cengkramannya begitu saja. Dan tanpa berkata apa-apa lagi Sofie berlari keluar rumah.
***
Saat di dengarnya deru mobil meninggalkan rumah, Alvaro berteriak sekencang-kencangnya. Marah pada Sofie dan dirinya. Ia hancurkan semua dekorasi yang telah di buatnya dengan susah payah. Alvaro rusak mawar-mawar itu hingga berceceran ke lantai. Ia banting semua piring dan gelas yang sudah tertata dengan rapi untuk makan malam berdua dengan Sofie. Pasta buatanya pun berhamburan ke lantai. Lama kemudian matanya menatap sekeliling ruangan yang seperti kapal pecah. Perlahan Alvaro jongkok lalu terduduk bersender pada dinding berlapiskan mawar yang sudah koyak sebagian sisinya.
Alvaro kalah dalam mempertahankan orang yang paling berharga dalam hidupnya.
"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu kembali, Sofie?"
***
Tangannya yang sedari tadi tak berhenti gemetar akhirnya menyerah untuk tak lagi melanjutkan perjalanan. Mobilnya menepi hanya sampai di luar komplek perumahan. Tangisnya langsung pecah. Berulang kali ia pukul setir mobil untuk melampiaskan rasa sakitnya. Isakan sudah berubah menjadi raungan. Kini ia pukul-pukul dadanya untuk mengurangi rasa sakit dan sesak yang begitu luar biasa hebat. Ini baru namanya sakit hati. Pertarungan harga diri dengan dirinya sendiri sekalipun harus mengalahkan orang yang ia cintai.
"Maafin aku, Alvaro..."
***
Ternyata, tak semua perayaan selalu berakhir menyenangkan...
***
Selamat membaca, semuanya! Harus tersenyum ya abis baca bab ini!
Dan... jangan bilang 'next' dulu ya, haha. Authornya masih maboq perasaan bikin bab super menguras emosi iniiihhh!
Jangan lupa vote dan komen yang super banyak!!!
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro