BAB 17 - Jaga Jarak Aman
Sofie terbangun dalam keadaan resah karena tak mendapati Alvaro di sampingnya. Ia pikir setelah kejadian semalam Alvaro akan kembali dalam beberapa jam. Nyatanya tidak.
Walau begitu Sofie tetap bergegas menuju ruang utama, mencoba berpikir positif barangkali Alvaro memilih tidur di sofa. Namun, Sofie harus mendapati keresahannya bertambah ketika Alvaro juga tidak ada di sana.
Tak mau putus asa, Sofie kembali bergegas menuju garasi. Siapa tahu Alvaro sudah sampai dari semalam tapi memilih tidur di mobil. Memang, terdengar tak masuk akal. Tetapi, jika melihat kelakuan Alvaro pun yang kadang suka di luar nalar, tidak ada salahnya mencoba.
Kali ini Sofie mengusap wajahnya kasar, tidak bisa menahan rasa frustasi saat lagi-lagi tak mendapati Alvaro di sana.
"Kamu kemana..."
Mata Sofie mulai berkaca-kaca. "Maafin aku..."
Menggigit bibir menahan isak, Sofie bingung harus berbuat apa. Hatinya cemas. Pikirannya buntu.
Ketika kekalutannya semakin menjadi, samar-samar terdengar deru mobil yang sangat ia kenal memasuki rumah dan sekarang berhenti tepat di hadapan Sofie.
"Alvaro!"
Tak mau menunggu lama, Sofie melangkah cepat mendekati mobil. Sofie bahkan tak mau repot-repot menunggu Alvaro membuka pintu karena tangan Sofie sudah lebih dulu bergerak membukanya.
"Kamu darimana aja?" Tanya Sofie cemas saat tubuh Alvaro sudah berdiri di hadapannya.
Sofie mencoba mengusap pipi Alvaro tapi lelaki itu menjauhkan wajahnya tanda menolak.
Sofie terdiam. Ini pertama kalinya Alvaro menolak di sentuh. Rasanya sakit sekali.
"Ke rumah Danu." Jawab Alvaro melewati Sofie.
"Tapi kenapa harus malam-malam perginya?" Tanya Sofie lagi sambil berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah Alvaro.
"Lagi kangen."
Sofie kembali menggigit bibir, memejamkan mata berusaha sabar atas jawaban yang ia yakin asal bunyi itu.
Bingung harus berbuat apa atas sikap dingin Alvaro ini, Sofie akhirnya menanyakan hal yang sejak semalam terus berputar di benaknya.
"Kamu masih marah sama aku?"
Pertanyaan Sofie sukses membuat langkah Alvaro terhenti sehingga Sofie yang masih berada di belakang lelaki itu tak sengaja membentur punggungnya. Keseimbangan Sofie sempat hilang, tapi untungnya Alvaro dengan sigap menarik tangan Sofie hingga kini ia berada di pelukan Alvaro.
Namun, tak sampai sedetik lelaki itu sudah melepaskannya. Dimana, kalau di lain kesempatan hal ini pasti akan di manfaatkan Alvaro untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya. Tapi sekarang rasanya terlalu mustahil.
"Kenapa aku harus marah?" Alvaro balik bertanya.
Sofie diam. Bingung harus berkata apa. Lebih baik menghadapi Alvaro yang meledak-ledak atau membanting barang daripada menghadapi Alvaro yang seperti ini. Irit bicara dan dingin.
"Karena omongan aku semalam..." Jawab Sofie pada akhirnya.
Kening Alvaro berkerut. "Omongan kamu yang mana? Semua omongan kamu tadi malam benar kok. Nggak ada satu pun yang salah."
Sofie meremas baju tidurnya. "Varo, please... jangan kayak gini..." Ujar Sofie sedih mengambil tangan Alvaro kemudian menggenggamnya.
Alvaro tersenyum. "Kayak gini gimana maksud kamu? Kamu nggak lihat aku baik-baik aja?"
Nggak, kamu nggak baik-baik aja. Aku tahu kamu masih marah sama aku. Wajah kamu nggak bisa bohong.
"Maafin aku..." Lirih Sofie semakin mengeratkan tangannya pada tangan Alvaro.
Namun reaksi Alvaro membuat Sofie kaget. Lelaki itu tertawa.
"Apa yang harus di maafin? Nggak ada yang salah disini."
Sofie makin kalut. Untuk pertama kalinya ia benar-benar bingung bagaimana menghadapi Alvaro. Ketika sofie hendak bicara lagi, Alvaro malah melepaskan genggaman tangan Sofie untuk melihat jam tangannya.
"Aku harus mandi. Ada manggung di Outbox pagi ini. Kalau ngobrol terus sama kamu bisa-bisa aku telat."
Dan Alvaro meninggalkan Sofie sendirian dengan perasaan berkecamuk.
***
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sofie tak mengikuti langkah Alvaro menuju kamar lelaki itu melainkan kamarnya sendiri. Sofie merasa itu keputusan terbaik karena sikap Alvaro masih belum stabil. Sofie memilih menyibukan diri dengan mandi dan bersiap karena ia pun ada kegiatan pagi ini.
Setelah selesai mandi, Sofie membuka lemari pakaian hanya untuk mendapati dirinya tersadar bahwa semua bajunya ada di lemari Alvaro. Bahkan alat make up. Sofie lupa kalau ia sudah memindahkan seluruh barangnya ke kamar lelaki itu. Sofie bahkan tak pernah lagi tidur di kamar ini setelah kepulangan Alvaro dari Kuala Lumpur. Sekarang, Sofie hanya bisa mendesah pasrah sambil berjalan keluar menuju kamar Alvaro.
"Varo, aku mau ambil baju." Ucap Sofie sambil mengetuk pintu. Suatu hal yang tak pernah Sofie lakukan sebelumnya.
Tak ada jawaban. Sofie kembali mengetuk pintu sampai tiga kali tapi tetap tak ada jawaban. Akhirnya Sofie memutuskan untuk masuk ke dalam.
"Varo?" Sofie mengidarkan matanya mencari Alvaro ke sekeliling kamar bahkan sampai ke kamar mandi. Tapi tak ada siapa-siapa di sini.
Sofie langsung keluar kamar, berjalan cepat menuju dapur, ruang tamu, halaman belakang sampai kolam renang untuk mengecek keberadaan lelaki itu. Tetapi tidak ada Alvaro dimana-mana sampai ketika langkah Sofie terhenti di garasi karena hal yang ingin ia buang jauh-jauh malah menjadi kenyataan.
Mobil Alvaro sudah kembali menghilang. Seketika rasa sedih berubah menjadi amarah. Sofie tahu dirinya salah. Tapi Alvaro juga tidak bisa memperlakukannya seperti ini. Pergi tanpa pamit seakan ia tak ada di rumah ini.
"Kalau kamu bisa memperlakukan aku kayak gini, jangan kira aku nggak bisa, Alvaro!"
***
Jadwal Sofie yang padat seharian ternyata tak cukup ampuh untuk membuat dirinya lupa akan permasalahannya dengan Alvaro. Dan sekarang, ketika sudah waktunya Sofie pulang ke rumah karena semua kegiatannya telah selesai, perasaan tak menentu yang membuatnya sering melamun, hilang konsentrasi dan moody seharian ini semakin menjadi-jadi tanpa bisa ia kontrol. Sofie rasanya ingin meledakan diri.
Perasaan seperti ingin melahap granat kini datang tanpa bisa Sofie cegah ketika mobilnya memasuki pelataran rumah dan melihat mobil Alvaro sudah bertengger manis di sana.
"Ngapain sih udah di rumah?! Nggak tahu ya kalau aku lagi males banget ngeliat mukanya?!"
Sofie turun dari mobil, merapihkan pakaiannya, sedikit menata rambutnya, membusungkan dada kemudian mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Berjalan penuh percaya diri.
Alvaro yang sampai di rumah sekitar pukul setengah sepuluh malam mendapati dirinya terkejut karena Sofie masih belum pulang. Sekarang, waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam dimana baru terdengar deru mobil Sofie memasuki garasi.
Bukannya pulang duluan, sambut aku, tetap usaha atau inisiatif apa kek supaya aku luluh, tapi malah nggak ngasih kabar seharian dan pulang tengah malam kayak gini!
Kekesalan Alvaro semakin bertambah melihat bagaimana cara Sofie berjalan angkuh nan acuh seakan ia tak ada di sini.
"Nggak sekalian pulang subuh?"
Manolo Blahnik hitam itu sedikit berdecit saat langkah Sofie terhenti karena kalimat Alvaro.
Sofie bukannya tak melihat Alvaro yang sedang duduk tegap bersidekap di sofa menunggunya, ia memang sengaja mengacuhkan lelaki itu dengan tidak menghubungi dan tidak memberi kabar kalau dirinya akan pulang telat agar Alvaro dapat melihat kalau Sofie pun bisa bersikap sama seperti yang dilakukan lelaki itu tadi pagi.
"Maunya sih begitu." Ujar Sofie enteng sambil memutar bola mata. Sengaja mengibarkan bendera perang.
Katanya marah, sakit hati sama ucapan aku. Terus ngapain masih nungguin aku?!
Sofie tetap diam di tempat, melirik reaksi Alvaro dari balik bahunya dan tersenyum kecut karena sukses membuat lelaki itu berdiri dan menghampirinya.
"Nggak ingat ada suami di rumah?" Tanya Alvaro mulai emosi namun tak terkejut dengan jawaban Sofie barusan.
Sudah paham betul bagaimana watak perempuan yang sekarang gantian bersidekap di depannya ini. Ya, tapi... tetap saja kesal mendengarnya!
The real Sofie is back.
Sofie tertawa renyah namun elegan. "Pardon me? Bukannya tadi pagi kamu memperjelas kalau yang aku bilang tadi malam itu semuanya adalah benar?"
Sofie menaikan dagu, menunjukan kepercayaan dirinya. Tak ada lagi Sofie yang memohon-mohon seperti tadi pagi.
"Poin ke dua dalam kontrak kita." Tangan Sofie membentuk angka dua tepat di hadapan Alvaro.
"Di larang mengganggu kehidupan satu sama lain dalam bentuk apapun. Aku ya aku, kamu ya kamu. Kita masing-masing." Sofie menyelesaikan kalimatnya sambil kembali bersidekap.
Alvaro tertawa kasar, membuka mulutnya, menutupnya dan membukanya lagi sambil menghempaskan tangan tak percaya ke udara akibat perkataan Sofie yang sungguh keterlaluan baginya.
"Setelah semua yang kita lakuin, pergumulan keringat kita dalam selimut, kenikmatan yang aku kasih, bahkan sampai hal paling tidak senonoh yang pernah aku lakuin ke tubuh kamu, masih bisa kamu bilang kita masing-masing dan bahas kontrak sialan itu lagi? Gila kamu, Sof."
Alvaro menggelengkan kepalanya berkali-kali lalu menyentuhkan jari telunjuknya ke dahi Sofie. Memaksanya untuk berpikir yang langsung di tepis Sofie dengan geram.
Sofie malu, marah dan merasa di rendahkan. Dan yang paling parah, sekelebat ingatan akan malam-malam panas itu langsung berputar di otaknya.
Semua teriakan, pekikan dan desahan itu. Bagaimana tubuhnya yang kehabisan napas dan bergetar, bahkan kejadian dua hari lalu dimana Sofie sedang berdiri membuatkan makanan dan Alvaro yang tiba-tiba duduk di lantai tepat di belakangnya lalu membuka kedua kaki Sofie, medekatkan kepalanya kemudian melakukan hal yang sangat tidak terpuji di sana. Sofie sampai harus memejamkan mata dan menggigit bibirnya bahkan berpegangan kuat pada pinggiran meja saat Alvaro tetap memaksanya untuk berdiri dengan menahan pinggulnya kuat-kuat menggunakan kedua tangan walau kaki Sofie sudah bergetar bukan main pada saat itu karena hisapan Alvaro yang semakin menggila sampai ketika ia tak punya kekuatan lagi, Alvaro langsung mendudukannya di meja dan mereka menyelesaikannya di atas sana.
"Ingat, sekarang?" Tanya Alvaro menyelidik, mengintimidasi Sofie. Ia maju beberapa langkah yang juga membuat Sofie mundur beberapa langkah.
Pertahanan Sofie melemah, namun sekuat tenaga ia berusaha kembali. Sofie benar-benar tak mau kalah kali ini.
"The past is past." Jawab Sofie tenang saat dirinya berhasil ke posisi semula. Mendengak, angkuh dan acuh.
Alvaro memicingkan mata, mencari tahu maksud Sofie yang sebenarnya walau pada akhirnya tak menemukan kejanggalan melainkan sebuah kejujuran dari kalimat Sofie barusan.
Emosi Alvaro langsung naik sampai ke ubun-ubun. Kemarahan membuatnya berjalan mendahului Sofie, menubrukan bahunya ke bahu gadis itu dengan kasar hingga membuat Sofie sedikit terhuyung ke belakang dan langsung masuk ke kamar sambil membanting pintu tanpa berkata apa-apa lagi.
Sofie melongo tak percaya, gantian menggelengkan kepalanya berkali-kali karena ini pertama kalinya Alvaro berlaku kasar sebelum akhirnya ia berteriak kencang dan masuk ke kamarnya sendiri sambil juga membanting pintu dengan kekuatan penuh.
***
Sofie masuk ke kamar dengan napas memburu, marah dan kesal seperti ingin melemparkan bom molotov ke kamar Alvaro. Ia benci, benar-benar benci dengan semua situasi ini. Sofie tahu dirinya tadi keterlaluan dan makin memperkeruh suasana yang ada. Tapi Sofie masih tak bisa menerima perlakuan Alvaro tadi pagi. Oke, memang semua ini bermula dari emosinya tadi malam sehingga kata-kata yang seharusnya tidak ia ucapkan akhirnya terlontar dari mulut bodohnya itu. Tetapi Sofie sudah meminta maaf, bahkan memohon. Dan reaksi Alvaro? Hanya membuatnya sakit hati.
Sejujurnya Sofie tak mau seperti ini. Sofie ingin kembali ke malam-malam dimana dirinya dan Alvaro berdeketan, bercengkrama dalam tawa, makan bersama, bergelung dalam keringat seperti yang Alvaro bilang tadi, bahkan tak menampik saat Alvaro melakukan hal-hal yang tak senonoh sekalipun. Siapa yang tak mau di beri kenikmatan dan semua kehangatan sudah terjadi beberapa bulan belakangan ini?
Namun, sekali lagi, keegoisan Sofie bertahan pada 'jika Alvaro bisa seperti itu, kenapa aku tidak'.
Mari kita lihat siapa yang akan paling lama bertahan dalam hal ini. Kalah jelas bukan kata yang ada dalam kamusku.
Sofie berdecak gusar sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia butuh mandi dan mendinginkan kepala. Sofie berjalan cepat ke arah lemari berniat mengambil baju. Namun saat membukanya, lagi-lagi Sofie harus meredam emosi karena teringat semua barangnya masih di kamar Alvaro dan tak sempat memindahkan suatu apapun tadi pagi karena hampir terlambat untuk pemotretan. Dan sekarang, mau tak mau, Sofie harus masuk kembali kamar Alvaro untuk mengambil baju.
***
"Inhale... Exhale..."
Sofie membuat gerakan naik turun dengan kedua tangan saat sudah berada tepat di depan pintu kamar Alvaro yang tertutup. Ia butuh sedikit persiapan hanya untuk membuka... pintu.
"Tenang, Sof. Muka harus jutek, nggak perlu ketuk pintu, langsung masuk, eyes straight to the closet, ambil bajunya dan langsung keluar. That's it." Kini Sofie memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti orang pemanasan kemudian mengambil ancang-ancang.
BRAK!!!
Pintu di buka dengan kencang. Sofie berjalan cepat dan kaku seperti robot ke arah lemari tanpa menghiraukan Alvaro yang terlonjak kaget di tempat tidur sambil mengelus dada dengan mata melotot.
"Ambil baju." Ucap Sofie datar. Matanya tetap fokus pada lemari.
Dengan asal Sofie mengambil baju di urutan paling atas secara cepat, lalu bergegas balik, bahkan bisa di bilang setengah berlari keluar kamar.
Alvaro yang melihat kelakuan Sofie mulai dari ia membuka pintu sampai keluar kamar hanya menaikan sebelah alisnya.
"Terus kenapa yang di ambil baju gue?"
***
"Bodoh, bodoh, bodoh!"
Sofie membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Bagaimana tidak?! Setelah bersusah payah mempersiapkan diri hanya untuk mengambil baju di kamar Alvaro kini Sofie tersadar kalau baju yang diambilnya adalah milik lelaki itu.
"Kenapa sih aku nggak lihat-lihat dulu main langsung ambil aja?!"
Sofie mendesah pasrah menatap kaus hitam lusuh bertuliskan The Beatles yang tergeletak di sampingnya. Lama di perhatikannya kaus itu baru kemudian menyentuhnya. Kaus ini... kaus paling jelek yang selalu di jadikan Alvaro sebagai baju tidur karena menurut Alvaro semakin lusuh dan jelek suatu baju, itulah yang paling enak di jadikan baju tidur.
Sofie tersenyum kecut. Teringat akan dirinya yang selalu berebut dengan Alvaro untuk memakai kaus ini ketika dirinya masih tidur di kamar Alvaro yang dulu ia sebut sebagai kamar 'kita'. Bahkan di bagian pinggir kaus ada sedikit robekan ketika suatu malam Sofie berhasil memakai kaus ini terlebih dahulu. Alhasil, Alvaro tak terima, ia memaksa masuk ke dalam kaus sampai ke bagian leher yang membuat Sofie merasa tercekik. Ia pukuli kepala Alvaro main-main yang membuat lelaki itu tertawa cekikikan kemudian menghadiahi lusinan ciuman di sekitar payudara Sofie.
Ah, betapa indahnya dunia ketika aku dan kamu masih menjadi 'kita'.
***
Dua jam berlalu. Tak ada tanda-tanda Sofie bisa terlelap. Ia berguling ke kanan dan ke kiri, mencoba berbagai posisi, berusaha menyamankan kondisi, tapi tetap saja tak satu pun yang membuahkan hasil.
Dalam lubuk hatinya Sofie paham betul kenapa ia tak bisa tertidur saat ini. Bagaimana tidak, pada malam-malam sebelumnya dapat di pastikan akan ada tangan yang mengusap punggungnya dengan lembut, pelukan dan belaian hangat serta kecupan yang di akhiri ucapan selamat malam dari Alvaro dimana lelaki itu akan terpejam perlahan dengan deru napasnya yang teratur. Menandakan bahwa Alvaro mulai terlelap.
Tapi, sekarang? Kembali tidur sendiri untuk pertama kalinya setelah sekian lama di tambah dengan kaus jelek sialan yang ia pakai ini?
Sofie mellow level akut.
Menggeleng-gelengkan kepala dan berulang kali menepuk pipinya untuk kembali menjadi normal agar rasa mellow itu tak semakin menguasai dirinya, Sofie memutuskan untuk keluar kamar. Mungkin segelas susu hangat dapat menghantarkannya ke alam mimpi.
Tepat pada saat Sofie membuka pintu, di saat yang bersamaan Alvaro juga terlihat keluar dari kamarnya. Keduanya kaget, langsung berhenti bergerak dan saling tatap.
"Kamu belum tidur?" Sofie dan Alvaro menanyakan hal yang sama di saat yang bersamaan pula.
Keduanya sama-sama terkejut kenapa hal itu bisa terjadi dan spontan mengulum senyum malu-malu seakan lupa dengan bendera perang yang mereka kibarkan satu sama lain.
Alvaro menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Gimana aku mau tidur kalau yang ada di otak aku cuma kamu, Sof...
Di sisi bersebrangan, Sofie hanya menunduk menatap lantai berusaha menahan senyumnya agar tak semakin lebar.
Tidur? Ngantuk aja enggak. Yang ada malah mellow gara-gara pakai kaus jelek ini...
Namun, ego Sofie buru-buru mengingatkan kalau ia sedang berperang dengan Alvaro. Langsung lah wajah jutek itu kembali di pasang. Tak mau berlama-lama di atmosfir yang berbahaya ini, Sofie akhirnya berjalan cepat menuju dapur.
"Aku mau bikin susu, kamu mau?" Tanya Sofie terus berjalan tanpa menoleh, sedikit berbaik hati menawarkan Alvaro susu walau dengan nada jutek dan wajah dingin.
"Boleh." Jawab Alvaro yang juga langsung berubah datar saat melihat perubahan pada mimik wajah Sofie.
Sekarang dirinya pun sama. Kembali di kuasai ego dan sakit hati akibat perilaku Sofie dua malam ini.
Keegoisan dan kekuatannya yang menghancurkan.
***
Sambil menunggu susunya selesai di buat, Alvaro duduk di sofa dan menyalakan tv agar setidaknya ada suara karena tak satu pun dari dua manusia ini yang mau membuka mulut terlebih dahulu. Gengsi.
Tak beberapa lama kemudian, Sofie terlihat berjalan ke arah Alvaro dengan wajah datar sambil memegang dua gelas susu coklat di tangannya.
"Thanks." Ucap Alvaro cepat saat menerima segelas susu dari Sofie.
Sekarang keduanya duduk bersampingan, dengan batas, dalam diam dan meminum susunya masing-masing. Suara tegukan pun menjadi saksi bisu betapa dua anak manusia yang berbulan-bulan lalu berbagi selimut, kini berubah berbagi... jarak.
"Jangan lupa besok bajunya di cuci, aku mau pakai. Nggak bisa tidur kalau nggak pakai baju itu." Ucap Alvaro memecah keheningan dengan mata lurus menatap tv.
Sontak Sofie menoleh, menatap Alvaro setengah melotot sambil menggigit bagian pipinya dalam-dalam tak percaya.
"Are you serious?!"
"Hm-hm." Ucap Alvaro dengan mata yang masih lurus menatap tv.
"Okay!" Balas Sofie memutar bola matanya.
Sungguh bukan seorang lelaki yang punya jiwa kepekaan tinggi!
Suasana kembali hening, mereka menatap tv tanpa minat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Gelas keduanya sekarang sudah tandas tapi tak ada satupun yang ingin bangkit dari duduknya, tak ingin pula berbicara hingga kepala Sofie yang tiba-tiba oleng ke bahu Alvaro membuat lelaki itu kaget dan sontak menoleh.
"Sof?" Panggil Alvaro lembut. Kemarahannya menguar entah kemana.
Tak ada jawaban. Ketika kepala Alvaro menunduk untuk mengetahui apa yang terjadi pada Sofie, lelaki itu hanya bisa mendesah keras.
"Jangan tidur di sini, Sof." Alvaro mengguncang bahu Sofie pelan namun matanya tetap terpejam.
Ego Alvaro berusaha untuk menyingkirkan kepala Sofie dari bahunya. Namun, naluriahnya berkata lain. Tangan Alvaro yang bersiap menyingkirkan Sofie jadi berbalik merengkuhnya.
"Sofie..." Alvaro mendesah panjang saat merasakan tubuh Sofie dalam pelukannya.
Alvaro hirup aroma rambut Sofie dalam-dalam lalu menciumnya di sana. Sungguh suatu perasaan yang tidak dapat di deskripsikan dengan kata-kata.
Tanpa sadar Alvaro mulai berbaring, membawa serta Sofie dengannya tanpa berusaha membangunkan. Di sofa yang sempit ini Alvaro mengaku kalah pada egonya. Bersama Sofie semuanya jauh lebih nyaman.
"Can we be like this forever?"
Sekarang mereka sejajar, berbaring dan berhadapan... tanpa jarak. Namun yang satu sudah terpejam sedang yang lainnya masih menatap lekat si pemilik mata yang terpejam.
Lama Alvaro menatap Sofie. Meneliti setiap jengkal wajah yang sekarang terlihat lelah dengan matanya yang tertutup ini. Sepasang mata yang jika terbuka akan mengambil seluruh waktu, tenaga dan dunia Alvaro. Sepasang mata yang telah memberinya kebahagaiaan penuh beberapa bulan belakangan ini dan berharap akan terus seperti itu sampai selamanya.
Alvaro meraih tangan Sofie, mengecup telapaknya lalu membawa tangan itu melingkari pinggangnya. Tapi, rupanya, gerakan Alvaro barusan membuat Sofie sedikit bergumam dalam tidur seperti ada yang mengganggunya.
"Sshhh... I'm here." Alvaro mengusap-usap punggung Sofie agar kembali ke alam mimpi.
Alvaro tersenyum, semakin mendekat, hingga hidung mereka bersentuhan, sedikit menggesekannya di sana sebelum satu ciuman lembut mendarat di bibir Sofie.
"Aku baru bisa ngantuk, Sof."
Lalu ia bawa Sofie ke dadanya, ke tempat teraman, ke tempat di mana seorang Sofie Callistin Syanania seharusnya berada. Dan sekali lagi Alvaro kecup telapak tangan Sofie sebelum perlahan lelaki itu menutup matanya.
"Good night."
***
Halo.
Tulisan yang di italic muncul nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro