Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 12 - Antara Logika, Mungkin Gila, Atau Cinta?

*di klik dulu mulmednya biar bisa full ngeliatnya. Muka Alvaro bahagia banget ya abis bikin Sofie syok dengan perjanjian yang baru.*


Alvaro sedang menikmati waktu santai malamnya dengan berenang di rumah setelah di sibukkan dengan jadwal syuting dan menyanyi yang padat seharian. Di tengah-tengah konsentrasinya untuk menyelesaikan putaran ketiganya, pikiran Alvaro kembali pada hari dimana ia menginap di rumah orang tua Sofie.

Pagi itu Alvaro terbangun seorang diri di tempat tidur Sofie. Padahal ia yakin saat ayah Sofie masuk ke dalam, dirinya memeluk Sofie karena ia memang mengerjai gadis itu. Tapi berikutnya Alvaro tak ingat apapun karena dirinya benar-benar tertidur setelah semalaman tak bisa tidur nyenyak di sofa yang sangat sempit. Namun yang membuat ini menjadi aneh adalah Sofie yang tak membahas apapun mengenai kejadian pagi itu. Padahal biasanya Sofie akan marah atau memukulinya kalau tahu Alvaro sedang mengerjainya. Tapi yang paling aneh dari semuanya adalah entah kenapa Alvaro merasa ada yang memeluknya ketika ia tidur.

"Alvaro aku mau pakai kamar mandi kamu."

Sebuah suara dari seseorang yang tengah menjadi pusat pikirannya membuat Alvaro tersadar dari lamunannya dan menoleh.

"Tadi itu minta izin atau maksa? Galak banget sih." Goda Alvaro seperti biasa.

"Tanpa izin kamu pun aku akan tetap pakai kamar mandi kamu. Tadi itu cuma peringatan supaya kamu pakai kamar mandi lain."

Alvaro berdecak. "Kenapa kamu pakai kamar mandi aku sih? Kamu kan punya kamar mandi sendiri."

"Karena cuma kamar mandi kamu yang ada bathtubnya. Aku mau relaksasi. Mau berendam sambil pakai aromatherapy."

Kemudian Sofie langsung berbalik meninggalkan Alvaro ketika lelaki itu memanggilnya dan membuat langkahnya terhenti.

"Sofie."

"Apa?"

"Kalau nanti aku nyusul boleh nggak?" Tanya Alvaro sambil menaik turunkan alisnya.

Sofie langsung menaikan jari tengahnya tinggi-tinggi. "Ke laut aja sana!"

***

Sepertinya Alvaro tak bisa menikmati waktu santainya kali ini. Setelah tadi dirinya selesai berenang dan sekarang tengah menonton tv, entah kenapa bukannya mendapati tubuhnya menjadi segar, badannya malah terasa tak enak. Acara tv yang menarik pun terasa jadi tak menarik. Hm, sepertinya semua ini bermula dari pola tidurnya yang kacau di rumah orang tua Sofie kemudian di lanjutkan dengan jadwal menyanyinya yang padat beberapa hari terakhir ini di tambah aktivitas berenang yang barusan ia lakukan.

Namun sebagai lelaki, Alvaro merasa kalau badannya ini di bawa tidur sebentar, pasti akan membaik. Baru saja dirinya akan merebahkan tubuh di sofa, tiba-tiba seluruh lampu mati dan ruangan menjadi gelap.

"Shit, mati lampu!" Maki Alvaro.

Buru-buru Alvaro bangkit dan berjalan mengendap-endap mencari lilin ke dapur. Ketika langkahnya belum banyak tiba-tiba terdengar teriakan Sofie dari arah kamarnya. Seketika Alvaro mendengus kesal.

"Good! Mati lampu dan sekarang Sofie teriak. Double trouble! Argh!" Ucap Alvaro yang langsung memutar langkahnya menuju kamar sambil menggerutu.

Setelah membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuju kamarnya sendiri tanpa penerangan akhirnya Alvaro berhasil sampai tanpa terbentur suatu apapun.

"Alvaroooo! Tolongin aku! Kamu dimana?!" Dari arah kamar mandi teriakan Sofie semakin kencang.

"Sabar! Ini hampir sampai!" Balas Alvaro berteriak.

"Cepetan! Di sini gelap! Aku takut! Nggak bisa lihat apa-apa!"

Darah Alvaro seketika mendidih. "Namanya juga mati lampu, Sofie! Ya pasti gelap lah! Sekarang kamu jangan bawel dan jangan bergerak dari tempat kamu berdiri kalau mau di tolongin sama kamu!" Ucap Alvaro yang kesabarannya semakin menipis menghadapi Sofie.

Setelah itu Sofie memang diam. Tapi kemudian terdengar suara isakan dan itu semakin membuat Alvaro jengkel.

"Kamu kenapa nangis sih?!" Ucap Alvaro yang tepat pada saat itu berhasil membuka pintu kamar mandi.

Namun keadaan yang gelap tak memungkinkannya untuk melihat Sofie. Saat ia bingung bagaimana menemukan Sofie, tiba-tiba dirinya merasa di tabrak seseorang.

"Varoooo..." Rupanya Sofie dapat mendengar suara pintu di buka dan langsung memeluk Alvaro.

"Aku takut..." Rengeknya dan memeluk Alvaro kencang-kencang.

Alvaro yang kaget terdiam sesaat sebelum membalas pelukan Sofie.

"Tenang, tenang. Aku di sini." Ucapnya sambil mengelus punggung Sofie. Kemarahannya langsung menguap entah kemana.

Namun detik itu Alvaro langsung menelan ludahnya begitu merasakan punggung Sofie.

Ini kulit bukan baju.
Dan licin.
Ya Tuhan...
Jangan bilang kalau Sofie nggak pakai...

Tepat pada saat itu lampu menyala. Alvaro terpana. Sofie kaget.

Sofie kaget karena baru tersadar bahwa dirinya telanjang bulat, sedangkan Alvaro terpana melihat pemandangan di depannya. Sebuah tubuh basah begitu menggiurkan tanpa sehelai benang pun terpampang nyata di hadapannya. Sepasang payudara indah dengan lekuk tubuh sempurna di tambah sesuatu yang menggiurkan diantara paha Sofie. Alvaro keras.

"AAAAAAAA!!!" Sofie langsung berteriak begitu tahu bahwa Alvaro tengah memandangi tubuh telanjangnya.

Ia langsung mendorong tubuh Alvaro ke samping dan lari mengambil handuk. Alvaro yang tak siap langsung terhuyung ke belakang dengan kaki menabrak pinggiran bathtub. Karena hilang keseimbangan, akhirnya tubuh Alvaro jatuh ke dalamnya.

"OH, GOD!!! SOFIE!!!" Alvaro berteriak murka karena sekarang tubuhnya jadi basah kuyup.

"Kenapa kamu dorong aku sih?!" Tanya Alvaro emosi.

Sofie yang sudah kembali dengan handuk melilit di tubuhnya menatap Alvaro kesal.

"Siapa suruh kamu ngeliatin tubuh aku?!"

"Ya mana aku tahu kalau kamu telanjang!" Jawab Alvaro emosi.

"Harusnya kamu tutup mata!"

"Gimana aku mau tutup mata kalau di pikiran aku cuma ada payudara kamu!" Balas Alvaro.

Dan jawaban Alvaro kembali membuat Sofie menaikan jari tengahnya tinggi-tinggi sebelum meninggalkan lelaki itu.

***

Ada yang berbeda dengan Alvaro pagi ini. Lelaki itu terlihat pendiam. Tidak seperti biasanya yang selalu rusuh dan menyebalkan mengomentari ini itu atau sekedar berdebat dengan Sofie.

"Sarapan." Sofie menaruh piring berisi sandwich yang terbuat dari roti gandum dengan telur setengah matang di tambah bacon dan keju di dalamnya ke hadapan Alvaro dengan nada jutek seperti biasa.

Namun Sofie terheran-heran karena Alvaro tak memulai pertengkaran melainkan mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kening Sofie pun semakin berkerut ketika Alvaro mulai makan dalam diam.

"Tumben nggak ngajak ribut pagi ini." Sofie mulai membuka pembicaraan karena rasanya sangat janggal sekali ketika ruang makan begitu hening.

Lagi-lagi Sofie di buat heran karena Alvaro hanya tertawa dan terlihat begitu di paksakan.

Alvaro kenapa sih?
Kesambar petir apa sih dia?

Merasa gagal untuk memulai pertengkaran dengan suaminya itu akhirnya Sofie memilih duduk dan memulai sarapannya juga. Dari sudut matanya, berkali-kali Sofie mencuri pandang ke arah Alvaro karena masih penasaran dengan sikap si menyebalkan itu sampai tiba-tiba Alvaro terbatuk dan berlari ke arah tempat sampah untuk memuntahkan makanan yang ada di mulutnya.

Seketika Sofie langsung mencibir, "Bagus banget ya drama kamu pagi ini. Sok-sokan nggak nyari ribut, ternyata nunggu timing yang tepat. Kenapa lagi sarapan buatan aku pagi ini?" Dengusnya sebal.

Bukannya menjawab, Alvaro makin terbatuk dan kini sedang berlari ke arah wastafel untuk memuntahkan isi perutnya lagi. Detik itu Sofie sadar bahwa ada yang tak beres dengan Alvaro. Segera saja ia berlari menghampiri lelaki itu.

"Varo, kamu kenapa?!" Nada panik langsung terpancar dengan jelas dari suara Sofie.

Alvaro hanya menggeleng dan kembali memuntahkan isi perutnya. Dengan reflek Sofie langsung memijit tengkuk Alvaro untuk memudahkan lelaki itu mengeluarkan isi perutnya. Tapi Alvaro menepisnya dengan cepat.

"Jangan, Sof. Jauh-jauh dari sini. Bau muntah." Katanya lemah.

Namun Sofie tak bergeming. Gadis itu terus memijit tengkuk Alvaro agar semua cairan itu keluar dari mulutnya. Setelah dua kali lagi memuntahkan isi perutnya, Alvaro terduduk lemas di kursi.

"Kamu dari kapan kayak gini?" Tanya Sofie khawatir sambil menyerahkan segelas air hangat.

"Kemarin." Jawab Alvaro jujur dengan lemah.

Sofie langsung tersadar. Ini pasti akibat ulahnya yang mendorong Alvaro hingga tercebur ke dalam bathtub.

"Ya Tuhan, Varo... maafin aku ya..." Ucap Sofie tulus.

Alvaro tersenyum dan menggeleng. "Ini bukan gara-gara kamu kok."

Walau sebenarnya Alvaro tahu sakitnya kali ini bermula dari pola tidurnya yang kacau di rumah orang tua Sofie beberapa hari lalu di tambah jadwalnya yang padat serta aktivitas renangnya tadi malam dan harus berakhir dengan dirinya yang 'berenang' lagi di kamar mandi.

"Kenapa tadi malam kamu nggak bangunin aku kalau kamu sakit?" Ucap Sofie merasa bersalah.

"Aku takut ngerepotin kamu, Sof." Balas Alvaro tersenyum menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kamu nggak ngerepotin aku sama sekali Alvaro! Malah sekarang aku yang khawatir ngeliat kamu kayak gini!" Tanpa sadar nada bicara Sofie naik dan wajahnya panik.

Alvaro kaget. Ia hanya bisa menatap Sofie dengan pandangan yang sulit di artikan. Sekhawatir itu kah Sofie padanya? Tapi setelahnya Sofie malah langsung meninggalkan Alvaro. Saat lelaki itu berpikir bahwa Sofie memang meninggalkannya karena marah, gadis itu kembali membawa obat pengurang rasa mual. Ah, rupanya Sofie meninggalkannya untuk mengambil obat di kotak P3K.

"Sekarang kamu minum ini dulu." Ucap Sofie dengan nada yang tak bisa di bantah.

Alvaro menuruti perintah Sofie dalam diam. Tapi matanya tak bisa berhenti menatap Sofie karena gadis itu terlihat begitu panik. Saat memberikan obat saja tangan Sofie gemetar. Bahkan ketika Sofie menyentuh dahinya, Alvaro dapat melihat bahwa Sofie menahan napasnya.

"Ya Tuhan, Varo! Badan kamu panas!" Detik itu juga Sofie langsung menarik Alvaro untuk berdiri.

"Kita mau kemana?" Tanya Alvaro bingung.

"Kita ke rumah sakit sekarang. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Alvaro." Jawab Sofie panik.

Mendengar hal itu Alvaro sontak melepaskan genggaman Sofie. "Aku nggak apa-apa, Sof. Paling ini cuma kelelahan aja. Lagipula aku ada GR siang ini. Tidur di mobil selama perjalan juga cukup. Habis itu paling sembuh."

Sofie melotot. "Kamu bilang apa barusan?!" Ucapnya seakan yang di katakan Alvaro barusan adalah hal yang mustahil.

Alvaro mendesah. Kenapa Sofie sangat mengkhawatirkan dirinya sih? Dan ketika Sofie kembali mengambil tangan Alvaro, lelaki itu menghindar.

"l'm fine, okay? Aku sering kayak gini. Di bawa tidur sebentar juga sembuh."

Mendengar apa yang di katakan Alvaro membuat Sofie tertegun. Entah kenapa ia sedih.

Jadi Alvaro sering sakit seperti ini?

"Oke kalau kamu mau tidur." Kata Sofie pada akhirnya.

Kemudian gadis itu menarik tangan Alvaro yang kali ini lebih kencang agar lelaki itu tak bisa melepasnya.

"Kita mau kemana?" Tanya Alvaro bingung yang akhirnya pasrah mengikuti langkah Sofie.

"Kamar kamu. Kamu butuh tidur." Jawab Sofie tegas.

Namun jawaban Sofie membuat langkah Alvaro terhenti. "Aku nggak bisa, Sofie. Aku ada GR siang ini. Aku udah bilang di bawa tidur sebentar di mobil juga baikan kok."

"KENAPA KAMU KERAS KEPALA BANGET SIH?!" Tanpa sadar Sofie sudah berteriak dan setitik bening meluncur menuruni pipinya.

Alvaro kaget bukan main di marahi seperti itu. Sofie pun kaget dengan dirinya sendiri yang sampai semarah ini hingga mengeluarkan air mata. Ia pun segera menghapus air matanya dengan punggung tangan secara kasar agar Alvaro tak melihat walau sebenarnya ia tahu Alvaro melihatnya dengan jelas.

"Tidur dan istirahat di kamar sekarang juga atau aku akan tetap bawa kamu ke rumah sakit?!" Ucap Sofie lagi walau tak seemosi tadi.

Alvaro diam tak menjawab hanya memandangi wajah gadis di depannya ini. Dan ketika Sofie kembali menarik tangannya, Alvaro tak menolak kali ini. Hatinya menghangat melihat air mata Sofie.

***

"Sekarang kamu tidur. Aku ambil termometer dulu buat ngukur panas kamu. Kalau sampai nanti sore kamu masih panas, aku nggak mau tahu, kita harus ke rumah sakit." Ucap Sofie sambil menyelimuti Alvaro dan meninggalkan lelaki itu.

Alvaro mengangguk. Saat tubuh gadis itu menghilang, Alvaro berusaha memejamkan matanya tapi tak bisa. Rasa itu kembali lagi di hatinya. Sebuah rasa asing yang sudah lama bertengger di hatinya untuk Sofie. Dan ketika di lihatnya Sofie kembali dengan membawa termometer beserta mangkuk besar dan kompresan sambil tersenyum lembut kepadanya, jantung Alvaro langsung berdetak kencang. Rasa itu langsung berkali-kali lipat besarnya dan semakin nyata untuk seorang Sofie Callistin Syanania.

"Sekarang kita ukur demam kamu dulu ya. Habis itu aku kompres kamu biar panasnya berkurang."

Lalu dengan cekatan Sofie melakukan itu semua. Alvaro terpana. Baru pertama kali ia di perlakukan seperti ini. Di rawat dan merasa di... sayang.

"Ya ampun, 36 derajat. Kamu panas banget, Varo. Sekarang kamu harus tidur dan jangan mikirin apa-apa. Aku akan telepon Danu, bilang kalau kamu sakit dan ngga bisa kemana-mana." Ucap Sofie sambil membereskan barang-barang yang ia bawa.

"Oh iya, kompresannya akan aku ganti setiap 15 menit sekali ya. Aku ada di ruang tamu kalau kamu butuh apa-apa." Ucap Sofie sambil tersenyum.

"Sekarang tidur." Lanjut Sofie tanpa bisa menghentikan dirinya untuk mengusap rambut Alvaro.

Ketika gadis itu hendak berbalik, Alvaro menahan tangannya.

"Kenapa, Sof?" Tanya Alvaro.

Sofie langsung terdiam.

"Kenapa kamu ngelakuin semua ini ke aku?" Alvaro memperjelas kalimatnya.

Tubuh Sofie membeku. Tapi matanya tidak berkata demikian. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. Dan ketika cairan bening itu kembali menetes, Alvaro menarik tangan Sofie hingga ia terduduk di dekat Alvaro. Lelaki itu bangun dari tidurnya dan langsung memeluk Sofie.

"Aku nggak apa-apa, Sofie..." Bisiknya pelan sambil mengelus punggung Sofie.

Perlakuan Alvaro ini malah membuat bahu Sofie bergetar dan tangisnya pecah. Tanpa sadar Sofie mengalungkan lengannya di leher Alvaro.

"Aku... aku... takut kamu kenapa-kenapa..." Ucapnya terbata-bata diantara tangisnya yang entah kenapa tak mau berhenti.

Alvaro mendesah panjang. Ia eratkan pelukannya pada Sofie. "I'm okay, Sofie. I'm okay."

Dan setelahnya mereka tetap berpelukan seperti itu sampai Sofie melepaskannya karena perasaan malu dan jengah.

"Kamu harus tidur sekarang. Panggil aku kalau ada apa-apa." Ucapnya seraya bangkit ketika Alvaro kembali menahannya.

"Temenin aku di sini, please? Kalau kamu di samping aku, aku bisa panggil kamu lebih cepat daripada kalau kamu di ruang tamu."

Sofie bimbang. Namun ketika Alvaro semakin menarik tangannya hingga Sofie jatuh tertidur di sampingnya, akhirnya Sofie mengangguk.

Kini tubuh mereka saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat.

"Jangan nangis lagi ya. Aku nggak apa-apa kok." Ucap Alvaro sambil tersenyum lalu mengelus rambut Sofie.

Dan setelahnya mata Alvaro benar-benar terpejam sambil menggenggam tangan Sofie dengan erat.

***

Sore menjelang. Alvaro terbangun dari tidurnya. Perlahan ia merasakan bahwa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai membaik setelah berkali-kali Sofie mengompres kepalanya di tambah obat yang di berikan gadis itu. Alvaro hendak bangkit ketika ia menyadari bahwa ada sebuah lengan yang melingkari pinggangnya. Alvaro menoleh dengan cepat. Di sisi sebelahnya, Sofie sedang tertidur sambil memeluk pinggangnya dengan kepala tepat berada di samping Alvaro. Gadis itu terlihat damai dengan napas teratur yang meniup di sana. Entah dorongan dari mana, Alvaro merubah posisi tidurnya hingga kini ia berhadapan langsung dengan Sofie dan tanpa bisa di cegah tangan Alvaro terulur begitu saja untuk mengusap rambut Sofie. Kemudian tangan Alvaro beralih ke pipi gadis itu hingga tanpa sadar kepala Alvaro sudah mendekat. Ketika bibirnya hampir bergesekan dengan bibir Sofie, mata gadis itu tiba-tiba terbuka.

"Kamu mau ngapain?!" Sofie kaget dan langsung mendorong tubuh Alvaro menjauh.

Tubuh Alvaro terhempas dan ia langsung mendesah panjang. "Kamu kenapa bangun sih." Ucapnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

Detik itu juga Sofie melotot dan bangkit dari tempat tidur Alvaro.

"Kalau aku lihat dari kelakuan kamu yang kurang ajar ini aku rasa kamu udah sembuh." Ucap Sofie dingin.

Namun Alvaro malah mengeluarkan tawa aneh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu salah. Aku belum sembuh sama sekali. Justru aku semakin sakit." Ucapnya begitu misterius.

Melihat kelakuan aneh Alvaro, Sofie semakin marah dan memutuskan untuk meninggalkan kamar lelaki itu. Namun baru dua langkah ia berjalan, Sofie merasakan dirinya di tarik dan tubuhnya terhempas dengan kasar di atas tempat tidur. Alvaro langsung menindihnya, memposisikan tubuhnya diantara kaki Sofie, sengaja membuat gadis itu untuk merasakan sesuatu yang mengeras pada tubuhnya dengan kepala mereka yang sangat dekat sampai Sofie bisa merasakan deru napas Alvaro yang menggebu tepat di atas bibirnya.

"Aku sakit, Sof. Aku sakit karena semua pikiran aku terpusat sama kamu."

Alvaro menyatukan keningnya dengan kening Sofie. Suara lelaki itu berdesis seperti menahan sesuatu yang berat.

"Lepasin aku! Dasar cowok gila!" Sofie memberontak sekuat tenaga.

Tak dapat di pungkiri walau dirinya dalam keadaan terdesak saat ini, jantung Sofie langsung berdetak kencang ketika lelaki itu mengatakan bahwa pusat pikiran Alvaro adalah dirinya.

Melihat Sofie yang meraung, memberontak dan memaki di bawahnya membuat Alvaro ingin membungkam mulut pedas gadis itu. Tanpa pikir panjang segera saja ia layangkan sebuah ciuman tepat di bibir Sofie.

Bukan jenis ciuman lembut penuh kasih sayang, melainkan ciuman menuntut, ciuman untuk sebuah pengakuan. Sebuah ciuman dengan lumatan nikmat namun juga mendominasi yang membuat Sofie kaget bukan main karena rasa terlena tapi juga ingin memberontak di saat yang bersamaan. Namun, ketika rasa terlena yang justru semakin kuat, tiba-tiba Alvaro melepaskan ciumannya.

"Bilang kalau kita nggak tertarik satu sama lain." Alvaro mengucapkan ini sambil menyatukan kening mereka kembali. Napasnya beradu dengan napas Sofie yang tersengal-sengal.

Sofie di tempatnya belum mampu menjawab. Ia semua terlalu... entahlah, tak bisa di jabarkan dengan kata-kata. Dan itu di manfaatkan kembali oleh Alvaro mencium Sofie. Kali ini lebih lembut, lebih ingin bermain-main dengan bibir Sofie. Alvaro kalut. Sofie pun kalut. Dan ketika Alvaro mulai menghisap bibir bawahnya, Sofie mengerang keras karena tak kuat lagi menahan semua ini. Sofie pun akhirnya membalas tapi Alvaro malah melepaskannya lagi.

"Kamu masih mau bohong kalau kita itu nggak tertarik satu sama lain?"

"Aku emang nggak pernah tertarik sama kamu!" Balas Sofie yang akhirnya kembali ke alam sadar setelah merasa di permainkan oleh ciuman Alvaro.

"Tapi kamu balas menghisap bibir aku, Sofie!" Balas Alvaro marah.

Sofie melayangkan sebuah pukulan pukulan di perut Alvaro karena mulut lancang lelaki itu. Alvaro meringis kesatikan tapi detik berikutnya lelaki itu tertawa.

"Apa? Mau menghidar lagi? Mau mengelak lagi dengan pukul aku? Sofie, Sofie, kamu itu terlalu gengsi untuk mengakui kalau kamu juga tertarik sama aku."

"Kalau kamu bilang saat kita di Bali itu adalah nafsu semata, mungkin aku percaya. Tapi tatapan mata kamu buat aku waktu di studio beberapa hari lalu itu nggak bisa bohong, Sof. Aku tahu arti tatapan kamu karena aku juga ngerasain hal yang sama. Apa kamu masih mau mengelak?" Tanya Alvaro.

"Kamu terlalu percaya diri, Alvaro!" Ucap Sofie marah.

Namun ucapan Sofie malah membuat Alvaro tertawa. "Cuma segitu bantahan kamu? Atau kamu sudah kehilangan kata-kata untuk mengelak?"

Alvaro tersenyum lagi. "Mungkin bisa. Tapi kejadian kemarin dan hari ini nggak akan bisa, Sofie. Aku bisa lihat gimana paniknya kamu manggil nama aku saat mati lampu dan langsung peluk aku begitu aku sampai di kamar mandi. Lalu tadi pagi saat kepanikan luar biasa kamu ngeliat aku sakit. Kamu nangis dan peluk aku lagi. Kamu bahkan ngerawat aku seharian, Sofie. Dan tolong koreksi kata-kataku tadi kalau memang ada salah." Ucap Alvaro mengakhiri kalimatnya.

Sofie terdiam. Yang di katakan Alvaro satu pun tak ada yang tak benar. Sekarang Sofie tersudutkan karena ia sudah kehilangan alasan untuk berkilah. Memang, Sofie punya ketertarikan yang sama terhadap Alvaro. Bukannya ia tak senang ketika mengetahui bahwa Alvaro juga memiliki persaan yang sama. Tapi rasanya semua ini terlalu salah. Apalagi mereka mengawali semua ini dengan cara yang salah. Dan akan sangat salah juga jika ini semua di teruskan. Perlahan Sofie menatap Alvaro yang sedang menunggu jawabannya.

Mungkin sekarang saat yang tepat untuk mengakhiri semua permaian gila ini. Maaf Alvaro. Kali ini aku harus bohong sama kamu. Tapi biarlah. Biarlah ini semua selesai. Biarlah aku pendam perasaanku agar kita bisa kembali sebagaimana seharusnya kita kembali.

"Mungkin yang kamu bilang benar, Alvaro. Tapi kamu harus ingat apa tujuan awal pernikahan ini. Balas dendamku sama Nico. Dan itu jauh lebih besar di bandingkan sekedar rasa tertarikku sama kamu. Jadi maaf, aku nggak bisa balas perasaan itu. Dan karena sepertinya kita sudah nggak sejalan sepikiran, aku mau kita bercerai." Ucap Sofie.

"Aku juga nggak peduli lagi dengan berita yang nanti akan beredar luas di luaran sana. Soal orang tuaku dan orang tua kamu, aku pastikan aku akan bertanggung jawab. Kamu jangan khawatir. Aku bisa mengakhiri apa yang aku mulai."

Penjelasan Sofie membuat kemarahan Alvaro mencuat. "Jadi semua ini masih tentang balas dendam kamu?!" Tanya Alvaro tak percaya.

Tapi setelahnya Alvaro seperti mempertimbangkan sesuatu.

"Oke, akan aku ikuti permainan balas dendam kamu. Tapi aku menolak cerai dari kamu."

"Atas dasar apa kamu bisa menolak?! Kamu nggak bisa larang-larang aku! Aku bebas dan berhak menentukan pilihanku di sini!" Ucap Sofie marah.

Atas dasar apa? Alvaro pun sebenarnya bingung atas dasar apa ia menolak. Apalagi ini semua masih tentang balas dendam Sofie. Harusnya ia senang karena pernikahan sandiwara ini akan segera berakhir. Tapi hatinya sangat tak rela melepas Sofie. Namun ia juga tahu sekedar rasa tertarik bukan alasan kuat untuk mempertahankan pernikahan ini. Di tengah kebingungan yang melanda, Alvaro teringat sesuatu. Segera saja ia berjalan ke arah laci kecil yang berada di samping tempat tidurnya dan mengambil benda itu.

"Ini." Ucap Alvaro mengangkat benda itu tinggi-tinggi.

Mata Sofie terbelalak tak percaya.

"Kamu jangan bercanda, Alvaro." Sofie geleng-geleng kepala dan tertawa frustasi.

Namun Alvaro malah tersenyum karena ia tahu detik ini dirinya telah menang telak atas Sofie. Wajahnya pun langsung nampak tenang sekarang.

"Aku nggak bercanda sama sekali, Sofie. Perlu kamu ketahui ini masih dari masa penikahan kita yang artinya aku bisa menggunakan seluruh kartu ini dalam kurun waktu setahun. Jadi permintaan kamu untuk bercerai dari aku di tolak. Kecuali kalau kamu minta bercerai setelah masa pernikahan kita selesai. Aku akan dengan senang hati mengabulkan permintaan kamu itu. Malah memang seharusnya kita bercerai setelah satu tahun bukan?" Ucap Alvaro penuh kemenangan walau di dua kalimat terakhir ia berbohong.

"Tapi kamu nggak bisa pakai kartu itu untuk hal semacam ini!"

Alvaro tertawa meremehkan Sofie yang tengah panik dan frustasi di depannya.

"Kamu jangan lupa perjanjian kita. Di situ di tulis kalau Three Sofie's Yes Card dapat digunakan dalam bentuk apa pun, hal apa pun, kapan pun dan dimana pun. Bahkan kamu juga tanda tangan di sana. Jadi, hari ini aku akan menggunakan satu dari tiga kartu ini untuk menolak bercerai dari kamu. Dan kamu tahu artinya kan? Kamu nggak bisa menolak karena kamu hanya di perbolehkan menjawab iya." Jelas Alvaro panjang lebar.

"Yang kedua, aku akan pakai satu kartu lagi untuk membuat perjanjian baru. Kamu dengar ini baik-baik, Sofie."

"Satu. Selama sisa masa pernikahan kita aku mau kita layaknya sepasang suami istri yang sebenarnya."

"Oh iya, tolong kamu coret kata 'tidak' pada perjanjian lama kita di peraturan nomor satu yang berbunyi 'tidak ada kontak fisik' karena perjanjian nomor dua yang akan aku buat selanjutnya adalah di haruskan melakukan kontak fisik."

"Ketiga, aku dan kamu akan tidur di satu tempat tidur yang sama."

"Keempat, setiap pasangan wajib menunggu pasangannya sampai di rumah. Jadi kalau aku atau kamu pulang malam, kita wajib menunggu satu sama lain lalu menyambutnya dengan pelukan atau ciuman."

Kemudian Alvaro seperti pura-pura berpikir dengan keras. "Hm, aku rasa itu cukup."

Lalu Alvaro memperhatikan satu kartu yang tersisa. "Sisa satu kartu lagi. Ini akan aku simpan. Siapa tahu ke depannya aku butuh ini untuk mengambil keuntungan lainnya dari kamu."

Dan seperti teringat akan sesuatu Alvaro menjetikan jarinya. "Oh iya, surat perjanjian baru dan materainya menyusul."

Di tempatnya Sofie lupa caranya bernapas. Tubuhnya sekaku patung. Ini benar-benar di luar ekspektasinya. Sekarang Sofie kalah telak. Ia tak bisa berbuat apa pun. Ingin rasanya Sofie menenggelamkan diri saja di laut.

"Kamu benar-benar sakit jiwa." Hanya itu yang bisa Sofie ucapkan diantara rasa syok yang melanda.

Tapi Alvaro malah mengeluarkan smirk khasnya. "Aku memang gila. Aku gila karena kamu, Sofie."

Kemudian Alvaro mulai maju perlahan yang diikuti Sofie dengan mundur perlahan.

"Kamu mau apa, Alvaro?!" Teriak Sofie ketakutan.

Alvaro tersenyum. Dengan satu langkah cepat diraihnya pinggang Sofie kemudian berbisik tepat di bibir gadis itu.

"Mencoba peraturan nomor satu dan nomor dua dari perjanjian baru kita."

***

Eaaaaaaaaaaaaaaaa...
Geregetan nggak sih?!

Oh iya, buat yg nanya kenapa bab ini sempet nggak bisa di buka karena memang aku unpublish. Soalnya tadi belum selesai nulis tapi tangan aku nggak sengaja mencet tulisan publish. Jadi buat yg ngerasa aku phpin maaf ya...

Dan buat yang nggak sabar sama lanjutannya tahu kan harus apa? Vote dan comment yang banyak, oke?

Love love,
Abi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro