Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10 - Perjanjian Dibuat untuk Dilanggar

*foto Alvaro cemberut karena pada akhirnya harus bikinin nasi goreng buat Sofie*



"Terlalu sadis caramu..."

"Nggak usah nyanyi!"

"Melemparku dengan lip balm..."

"Berisiiiiiiiiik!"

Sofie melotot dan menutup telinganya rapat-rapat. Sudah dua hari ini Alvaro terus menyanyikan bait menyebalkan itu untuk menggodanya. Ya, sudah dua hari sejak kepulangan mereka dari Bali. Semenjak kejadian pagi itu Sofie menghindari Alvaro secara permanen. Ia sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa kejadian malam itu ia khilaf dan tak akan mengulaginya. Namun jawaban Sofie terlihat tak masuk akal sama sekali bagi Alvaro. Sofie bahkan harus rela malu di introgasi secara mendetail kalau Alvaro mau memaafkannya. Dan akhirnya, dengan sangat memalukan Sofie mengakui bahwa dirinya terbawa nafsu dan suasana. Tapi Alvaro tetap lah Alvaro. Lelaki itu bagai punya seribu cara untuk membuat Sofie merasa serba salah. Apalagi dengan matanya yang lebam akibat terkena lemparan lip balm Sofie pagi itu.

"Kamu udah ngelanggar perjanjian yang kamu buat sendiri."

"Iya, tahu! Kamu udah bilang itu puluhan kali dan aku juga udah ngaku salah. Jadi stop. Oke?"

Alvaro mengangguk. "Nggak oke."

Sofie mengepalkan tangannya keras-keras. "Aaargh! Rasanya kalau ada pedang lebih baik aku tusukin pedang itu ke dada aku supaya terbebas dari kamu!"

Alvaro malah terkekeh. "Yah jangan mati dulu dong, Sof. Nanti yang ngobatin mata aku siapa? Bengkak nih. Mana besok aku manggung acara musik lagi. Masa matanya lebam kayak gini."

"Harusnya pagi itu aku lempar kamu pakai martil, bukan lip balm!" Balas Sofie jutek.

"Wah, sembarangan kalau ngomong. Sadis banget pakai martil. Buta dong aku?"

"Aku sih berdoanya gitu..."

Alvaro geleng-geleng kelapa ngeri. "Dasar otak kriminal."

Dan meledak lah tawa Sofie karena wajah Alvaro yang ketakutan. Tapi tawanya langsung berhenti ketika lelaki itu menjitaknya.

"Nggak usah ketawa deh! Sekarang kamu harus tanggung jawab. Cepat ambil salep di kotak P3K terus olesin di mata aku."

Sofie kembali mengeram kesal sambil menghentakan kakinya dan berjalan ke arah kotak P3K dengan terpaksa.

"Sana rebahan!" Perintah Sofie galak saat sudah mengambil salep yang Alvaro maksud.

Alvaro tersenyum menyebalkan dan merebahkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangan di belakang kepala.

"Sof..." Panggil Alvaro ketika Sofie mulai mengolesi salep di sekitaran area matanya.

"Sofie..." Panggil Alvaro lagi.

"So..."

"Iya, aku dengar! Nggak usah manggil banyak-banyak! Cukup sekali aja!" Selak Sofie dengan kesal.

Alvaro kembali terkekeh menyebalkan karena ia sangat senang setiap kali Sofie kesal akibat perbuatannya.

"Mau ngomong apa sih?! Buruan deh!" Ucap Sofie jengah dengan kedekatan mereka ini.

Bagaimana posisi rebahan Alvaro yang menggiurkan, tawa renyah lelaki itu sampai caranya memperhatikan Sofie. Semua itu mengingatkannya akan malam gila penuh hasrat beberapa hari lalu.

"Kamu galak banget kayak gini dapat warisan dari siapa sih?"

Rasa jengah Sofie hilang seketika. Malah sekarang dengan cepat emosi kembali menguasai dirinya dengan kadar yang sangat tinggi. Sungguh pertanyaan tidak penting yang sangat memancing emosi. Tanpa pikir panjang, Sofie menekan tangannya kencang-kencang pada bagian lebam mata Alvaro dan sedikit menambahkan cakaran kecil dengan jarinya yang di menicure rapi itu.

"SOFIE, YOU HURT ME!"

Alvaro langsung memegang matanya yang kembali dianiaya oleh Sofie. Jujur, ia ingin menangis. Sofie kalau sudah marah bisa berubah menjadi seorang kriminalitas! Namun Sofie tak menghiraukan teriakan kesakitan Alvaro. Ia malah menjulurkan lidahnya lalu berlari meninggalkan lelaki itu.

"Heh, jangan kabur! Awas kalau mata aku sampai buta!" Alvaro mengejar Sofie sambil kesakitan.

Tahu bahwa Alvaro mengejarnya, Sofie sudah bersiap masuk ke kamar lalu mengunci pintu ketika ucapan lelaki itu berikutnya membuat ia berteriak.

"Kamu nggak bisa lari! Kamu lupa ya hari ini jadwal kamu bikin sarapan?!"

"ARGHHHH!"

***

"Ini apa nih?" Alvaro menggeser piring yang berada di depannya dengan tak selera.

"Sarapan." Jawab Sofie datar.

"Sarapan?!" Alvaro bergantian menatap Sofie dan piring yang berisi dua roti panggang, satu sosis dan telur mata sapi itu seakan tak percaya.

"Udah deh makan aja nggak usah bawel." Sofie memutar bola matanya malas.

"Aku nggak mau." Alvaro langsung bersidekap tanda menolak.

Sofie mulai terpancing emosi. "Yaudah kalau nggak mau. Sana bikin sendiri."

Ia pun bergegas meninggalkan dapur ketika Alvaro bangkit dan menghalang langkah Sofie dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Oh, nggak bisa. Ini jadwalnya kamu bikin sarapan dan itu artinya kamu harus buatin apa pun yang aku mau."

Sofie malah berkacak pinggang sambil menaikan dagunya menantang. "Enak aja! Yang kamu bilang tadi itu nggak ada di perjanjian ya! Di perjanjian cuma di tulis untuk buat sarapan bergilir, bukan mengikuti apa yang kamu mau."

Merasa kalau caranya yang melawan Sofie dengan otot tak akan berhasil, Alvaro merubah strateginya.

"Tapi aku nggak suka makan telur mata sapi yang matang..." Ucap Alvaro tiba-tiba mendesah lesu dengan wajah memelas.

Di tempatnya Sofie lumayan kaget karena Alvaro malah melunak.

"Terus sukanya apa?" Tanya Sofie penasaran yang tanpa ia sadari nada bicaranya pun ikut menurun.

Sukanya apa? Ya kamu lah! Haha!

"Aku suka yang setengah matang. Yang kalau di belah kuningnya meleleh keluar."

Sofie mengernyit. "Eww, aku paling nggak suka telur mata sapi yang kayak gitu. Amis."

"Tapi aku suka, Sofie Callistin Syanania. So please, buatin aku telur mata sapi yang kayak gitu ya." Ucap Alvaro tersenyum lebar.

Sofir balas tersenyum. "Aku nggak mau."

Di tempatnya Alvaro mulai emosi. Ternyata melawan Sofie dengan otak pun tak semudah yang ia bayangkan.

"Udah mata aku bengkak di lempar lip balm, sekarang cuma minta telur mata sapi yang setengah matang aja susahnya minta ampun."

"Ya makanya buat sendiri."

"Ya tapi aku nggak mau."

Hm, kayaknya aku harus pakai cara kotor nih...

"Did you remember when I make your legs..." Ucap Alvaro tiba-tiba sambil menyeringai.

"Stooooop!" Sofie langsung maju dan membekap mulut Alvaro yang kurang ajar. Bisa-bisanya ia kembali mengingatkannya akan peristiwa malam itu hanya untuk memaksanya membuat telur mata sapi setengah matang?!

Walau mulutnya sedang di bekap oleh Sofie, lelaki itu tersenyum setan dalam hati karena jarak mereka yang sekarang sangat dekat. Tanpa pikir panjang, ia tarik pinggang Sofie hingga hidung mereka bersentuhan dan menahannya cukup kuat untuk membuat Sofie tak bisa lari begitu saja.

"Buatin aku telur mata sapi setengah matang atau..."

Alvaro sengaja menggantung kalimatnya sambil berbisik di bibir Sofie. Sofie yang tak siap dengan semua ini berusaha berontak dan memukul-mukul dada Alvaro untuk keluar dari kungkungan lelaki itu. Tapi tenaganya kalah jauh dari Alvaro. Karena semakin terdesak, akhirnya Sofie mengangguk.

"Oke! Aku buatin! Tapi lepasin aku dulu!" Teriak Sofie frustasi.

Alvaro tersenyum penuh kemenangan dan langsung melepaskan tangannya pada pinggang Sofie.

"Yes! Aku tunggu lima menit dari sekarang. Jangan lama-lama. Aku lapar. Sana masak." Ucap Alvaro memerintah bak raja.

Kemudian ia duduk kembali dengan angkuhnya dan tak menghiraukan lengkingan marah Sofie sama sekali. Namun, ada dua hal yang tak Alvaro ketahui dari tindakannya barusan.

Pertama, jantung Sofie berdetak dua kali lebih cepat.

Kedua, pikiran Sofie yang ingin memajukan bibirnya tepat pada saat Alvaro berbisik di bibirnya tadi.

***

Keesokan harinya...

"Heh, Alvaro! Bangun! Hari ini kan jadwalnya kamu buatin aku sarapan! Jangan tidur terus dong! Aku laparrrr!" Sofie mengguncang-guncang tubuh Alvaro dengan brutal.

Alvaro yang masih mengantuk langsung berbalik untuk menutupi wajahnya dengan bantal sambil mencoba kembali tidur. Namun Sofie langsung mengambil bantal tersebut dan mulai memukulnya.

"Arghhh!" Akhirnya Alvaro bangun karena tak tahan di pukuli secara membabi buta oleh Sofie.

"Kenapa kamu nyebelin banget sih?! Kemarin aja aku nunggu kamu sampai bangun baru minta di buatin sarapan! Harusnya kamu juga kayak gitu hari ini! Tunggu aku sampai bangun dulu! Aku juga bakal mematuhi perjanjian kok! Aku nggak bakal mangkir!" Ucap Alvaro nyerocos panjang lebar.

Namun Sofie malah menahan tawa. Pasalnya saat Alvaro menyerocos tadi, sesekali matanya terpejam menahan kantuk! Kasihan sekali...

Melihat Sofie yang diam sambil tersenyum tidak jelas, akhirnya Alvaro bangkit dari tempat tidur.

"Sana tunggu di dapur!" Usir Alvaro terang-terangan.

Sofie pun memberikan dua jempolnya sambil bangkit dari tempat tidur Alvaro dengan gaya yang menyebalkan. Saat Sofie hendak berjalan, Alvaro menahannya karena merasa ada sesuatu yang janggal.

"Tunggu." Ucap Alvaro dan membuat langkah Sofie terhenti.

"Kok kamu bisa masuk ke kamar aku?" Tanya Alvaro.

"Pintunya nggak di kunci jadi aku masuk aja." Jawab Sofie datar sambil berlalu meninggalkan Alvaro sendirian.

Namun jawaban Sofie tak menjawab sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perlahan ia turunkan pandangan matanya untuk menatap tubuhnya. Dan kemudian satu seriangai muncul ketika Alvaro merasa sudah menemukan jawabannya.

"Dasar sok polos. Mengambil kesempatan dalam kesempitan banget! Pantes aja badan gue di guncang-guncang! Lama pula! Mana duduknya deket banget sama badan gue lagi!" Gumamnya sambil memperhatikan tubuhnya yang tak tertutupi baju itu.

***

"Kok menunya sama kayak kemarin sih?" Tanya Sofie jengkel menatap piring yang ada di depannya.

"Ya biar impas lah. Masa aku harus buatin kamu yang lebih enak? Rugi lah!" Jawab Alvaro tak kalah menjengkelkan.

Sofie mengeram tertahan. Ia merasa uban-uban di rambutnya langsung muncul dalam sekejap. Tapi apa mau di kata, ia harus memakan sarapan yang dibuatkan Alvaro jika tak ingin membuat sarapan sendiri. Namun yang membuatnya semakin jengkel adalah ketika dirinya melihat isi piring Alvaro.

"Kok sarapan kamu nasi goreng sih?!"

"Karena aku lagi mau nasi goreng."

"Terus aku nggak dibuatin?"

"Ya, enggaklah," Jawab Alvaro tersenyum sangat manis sampai membuat Sofie mual. "Kan udah aku bilang, rugi kalau buatin kamu sarapan yang enak-enak. Kemarin aja aku cuma dikasih roti, telur sama sosis. Ya sekarang kamu harus makan itu juga biar impas."

Sofie menganga tak percaya. Baru pertama kali ia bertemu lelaki tega seperti Alvaro.

"Selamat makan!" Lanjut Alvaro tersenyum riang sambil menyendok nasi gorengnya.

Sofie jengkel sejengkel-jengkelnya. Ia pun mulai memakan sarapannya sendiri dengan tak selera tentunya. Ketika Sofie memotong telur mata sapinya, ia langsung berjengit kaget.

"Ehw! Setengah matang!" Teriaknya sambil menjauhkan piring tersebut.

Alvaro yang sedang mengunyah, melirik piring Sofie sekilas.

"Sorry, kelupaan. Kebiasaan bikin yang setengah matang soalnya. Jadi lupa deh kalau hari ini masakin kamu yang nggak suka setengah matang." Ucap Alvaro dengan nada yang tidak bersalah sama sekali.

Rahang Sofie bergemeletuk. Tanpa banyak bicara ia bangkit dari duduknya dan langsung meninggalkan ruang makan.

"Kamu mau kemana?" Tanya Alvaro.

"Sarapan! Di rumah Bunda!" Jawab Sofie tanpa menoleh ke belakang.

Seketika kepanikan langsung menjalar ke seluruh tubuh Alvaro. Dengan cepat ia langsung mengejar Sofie.

"Kamu mau sarapan apa? Nasi goreng kayak aku? Atau telur mata sapi yang matang? Kamu tinggal bilang nanti aku bikinin. Tapi nggak usah ke rumah Bunda ya... jangan bikin urusan sarapan jadi runyam, please... sekarang duduk lagi yuk?" Ucap Alvaro begitu lembut sambil menggiring Sofie kembali ke ruang makan.

Dalam diam Sofie mengulum senyum kemenangan.

Cemen!
Baru di ancam kayak gitu aja langsung panik!
Takut sama Bunda ya?
Rasain! Makanya jadi orang jangan nyebelin!

***

"Nih."

Siang itu Alvaro menyerahkan sebuah buket mawar pink besar kepada Sofie. Gadis yang sedang menonton tv itu langsung berhenti bergerak, terdiam dan menatap buket mawar pink tersebut sambil tersenyum malu.

Melihat Sofie yang jelas-jelas tersipu, Alvaro memutar bola matanya malas. "Nggak usah ge-er deh. Aku ngelakuin ini sesuai perjanjian nomor 8."

Bibir Sofie langsung melengkung ke bawah dengan sempurna. Hilang sudah debar-debar aneh dan rasa tersipu yang tadi sempat hadir.

"Oh." Hanya itu balasan yang keluar dari mulut Sofie.

Alvaro geleng-geleng kepala. "Ck, ck, ck... cuma 'oh' doang lagi jawabannya. Bilang makasih kek, peluk aku atau apaan kek." Ucap Alvaro jengkel.

"Ih, males! Ogah banget aku peluk-peluk kamu! Beliin aku bunga kan emang sesuai sama perjanjian, ya berarti udah jadi kewajiban kamu!" Sembur Sofie jengkel.

Alvaro yang tadinya mau marah malah terkekeh mendengar jawaban jutek Sofie. Entah kenapa Alvaro selalu puas dan senang jika bisa membuat Sofie jengkel. Malah Alvaro merasa kalau satu hari saja belum membuat Sofie kesal, rasanya kurang afdol. Karena bagi Alvaro semburan dan perkataan jutek Sofie seperti oase baru baginya. Seperti hiburan yang mewarnai harinya.

"Terus bunga segede ember cucian itu mau diapain? Cuma diliatin doang? Di pegang doang?" Tanya Alvaro penasaran.

Sofie yang sedang mencium aroma bunga mawar tersebut langsung memutar bola matanya mendengar pertanyaan Alvaro.

"Ya enggaklah. Makanya kalau baca perjanjian jangan setengah-setengah. Setiap kamu habis kasih aku bunga, kita wajib foto bareng sambil pamerin bunganya dan di upload ke semua sosial media yang kita punya."

"Jadi aku harus upload juga dong?" Tanya Alvaro sebal.

"Ya iya lah! Biar pencitraan kita berhasil di mata masyarakat!"

"Ah, shit!" Maki Alvaro tak suka. Pasalnya ia paling anti kalau sosial media yang ia punya berisikan hal-hal berbau cheesy khas wanita seperti itu. Tidak manly, pikirnya.

"Sekarang fotoin aku," Perintah Sofie sambil menyerahkan ponsel miliknya. "ambil anglenya yang bagus. Biar lengan aku keliatan panjang dan kakiku keliatan jenjang." Lanjutnya.

"Bawel." Balas Alvaro cepat namun tangannya mengambil ponsel Sofie, menuruti perintah gadis itu.

Alvaro sudah bersiap memfoto Sofie ketika gadis itu kembali mengoceh.

"Oh iya, kamu jangan sampai lupa untuk like dan comment. Dan harus yang paling pertama."

"Bawel!!!" Alvaro mengeram tertahan dengan matanya yang melotot seperti ingin memakan Sofie bulat-bulat. Namun gadis di depannya ini memilih tak acuh dan malah merapihkan rambutnya agar hasil fotonya terlihat lebih bagus.

Setelah sepuluh kali jepretan, Alvaro makin kesal karena ternyata hanya satu foto yang di upload Sofie ke Instagram. Lalu buat apa berkali-kali foto kalau yang dimasukan hanya satu?!

Di tengah kekesalannya, tiba-tiba muncul sebuah ide jahil di benaknya.

"Katanya harus foto bareng, tapi dari tadi kamu malah foto sendirian. Gimana sih?! Berarti yang tadi itu nggak sah. Pokoknya foto ulang!"

Lalu dengan gerakan cepat Alvaro mendekat ke arah Sofie, merangkul pundak gadis itu dan membidikan kamera tepat pada wajahnya dan Sofie serta bunga. Namun Sofie segera memberontak dan melepaskan rangkulan Alvaro.

"Kok pake pegang-pegang sih?!" Tanyanya jutek seperti biasa.

Namun Alvaro tak menyerah. Ia kembali merangkul Sofie dan kali ini lebih erat.

"Kamu berisik deh. Katanya mau bikin masyarakat percaya kalau kita ini pasangan romantis. Ya, berarti fotonya juga harus romantis."

Sofie sudah bersiap untuk protes kembali, ketika dengan gerakan tak terduga Alvaro makin menariknya mendekat lalu mengecup bibirnya dengan cepat bersamaan dengan bunyi 'cekrek' yang memandakan bahwa foto telah berhasil di ambil.

Alvaro tersenyum puas sedangkan Sofie masih membeku di tempatnya selama beberapa detik sampai kesadarannya kembali dan menggosok-gosok bibirnya kesal.

"Alvarooooo!!! Kenapa kamu cium aku?!" Sofie langsung memukuli Alvaro dengan buket bunga pemberian lelaki itu.

Alvaro yang tak sempat menghindar langsung mengaduh kesakitan.

"Kamu ibu tiri banget sih..." Ucapnya sambil mengusap lengannya yang menjadi korban Sofie.

"Tuh lihat kelopaknya pada jatuhan. Padahal aku belinya mahal tahu. Kasihan bunga-bunga nggak bersalah itu. Malah jadi alat pelampiasan kamu. Dasar bawang merah!" Sembur Alvaro balik.

Dengan emosi yang masih membara, Sofie menjambak rambut Alvaro dengan kencang.

"Aaaaw! Ya Tuhan, Sofie! Kamu kriminal banget sih."

"Awas cium-cium aku lagi!"

***

"Yaudah kamu siap-siap sekarang."

Dahi Sofie langsung berkerut. "Siap-siap? Emangnya kita mau kemana? Oh, jangan-jangan kamu mau bawa aku ke suatu tempat terus bikin aku celaka. Iya kan?" Tuduh Sofie yang langsung memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan.

Alvaro memutar bola matanya. Tanpa bisa menahan rasa kesalnya, Alvaro langsung duduk di samping Sofie dan menjitak kepala gadis itu.

"Aw!" Sofie mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya.

"Kok aku di jitak sih?!" Tanya Sofie sambil membalas dengan memukul paha Alvaro.

Alvaro jadi terkekeh sendiri dan tanpa bisa di cegah, tangannya sekali lagi menjitak Sofie.

"Kamu pikirannya buruk banget sih sama aku. Kamu lupa ya sama perjanjian yang kamu buat sendiri? Kan kamu yang tulis kalau tiap minggu kita harus jalan bareng."

Sofie yang masih mengusap kepalanya karena di jitak Alvaro hanya bisa ber'O' ria.

"Emang kita mau kemana?"

"Ke tempat syuting aku aja gimana?"

Sofie mengernyit. "Ke tempat syuting kamu? Terus aku ngapain di sana? Nemenin kamu syuting gitu? Males banget!"

Lagi-lagi Alvaro mengeram kesal. Memang di butuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi seorang Sofie Callistin Syanania. Dengan menarik napas panjang dan berusaha tersenyum, Alvaro kembali meneruskan kalimatnya.

"Bukan, Sofie. Hari ini aku manggung live di salah satu stasiun tv swasta, aku pikir kenapa nggak ajak kamu aja ke sana? Daripada kita jalan ke tempat lain untuk memancing wartawan datang, kenapa nggak sekalian aja ke tempat yang memang sudah pasti banyak kamera dan wartawan? Apalagi ini acara live. Banyak keuntungan yang bisa kita ambil dari sana." Jelas Alvaro panjang lebar.

Dalam hati Sofie mendesah. Memang yang di katakan Alvaro ada benarnya. Ia pun setuju. Tapi Sofie seperti menjilat ludahnya sendiri. Dulu ia pernah marah-marah kepada Alvaro karena tak mau di bilang artis yang mencari sensasi, tapi sekarang? Entahlah. Nasi telah menjadi bubur dan takdir membawanya semakin dekat pada hal tersebut. Semua kejadian belakangan ini sampai pernikahan gila yang hanya setahun ini membawanya pada satu ketakutan akan seperti apa karirnya nanti.

Sambil tersenyum kecut akhirnya Sofie mengangguk. "Oke, aku siap-siap dulu."

***

Alvaro sudah bersiap masuk ke mobil ketika gerakannya terhenti dan menatap Sofie.

"Ganti baju kamu sama warna biru."

Sofie yang juga sudah siap masuk ke mobil langsung menghentikan gerakannya ketika mendengar ucapan Alvaro.

"Sorry?"

"Nggak usah pura-pura nggak dengar, Sofie. Katanya mau bikin pencitraan kalau kita ini pasangan romantis, pasangan harmonis, ya warna bajunya juga harus sama dong kalau mau jalan. Biar lovely couplenya tuh keliatan." Ucap Alvaro panjang lebar sambil menahan kesal.

Dahi Sofie mengkerut dengan sempurna.

Kenapa jadi Alvaro yang repot dan sampai sedetail ini sih?
Aku aja nggak kepikiran sampai ke situ...

"Buruan dong, Sof... cepat ganti baju kamu. Jangan jadi patung kayak gitu. Nanti kita telat."

Masih dengan perasaan bingung, Sofie pun akhirnya mengiyakan dan masuk lagi ke dalam rumah untuk mengganti bajunya sesuai permintaan Alvaro yang entah kenapa tak ia bantah kali ini.

Tak beberapa lama kemudian Sofie kembali dengan baju yang warnanya senada dengan baju yang Alvaro pakai, biru.

"Nah, lebih cantik kan sekarang." Ucap Alvaro datar sambil masuk ke dalam mobil.

Tapi ucapan Alvaro yang datar itu mampu membuat Sofie tersipu malu dan merasakan debaran aneh. Saat keduanya sudah berada di dalam mobil, Alvaro tak juga menjalan mobilnya. Ia malah menatap Sofie.

"Apalagi Alvaro?!" Sofie yang bisa menangkap gejala menjengkelkan dari lelaki di depannya langsung memasang tampang jutek.

"Aku mau lihat jari-jari kamu."

Sofie yang lagi-lagi mengkerutkan dahi karena bingung akibat ucapan Alvaro barusan membuat lelaki itu tak sabaran. Di tariknya kedua tangan Sofie lalu ia perhatikan jari gadis itu satu persatu.

"Good." Ucap Alvaro tersenyum tiba-tiba sambil melepaskan tangan Sofie.

"Kamu ngapain sih? Dasar aneh!" Sembur Sofie sambil memeriksa jari-jarinya sendiri. Ia masih bingung apa yang Alvaro cari dari jarinya sampai lelaki itu bisa tersenyum seperti itu.

"Aku senang ternyata kamu udah pakai cincin itu tanpa aku suruh."

Sofie tertegun dan menatap cincin yang Alvaro maksud.

Jadi tindakan Alvaro barusan adalah untuk memeriksa apakah aku pakai cincin pernikahan atau tidak?

Tanpa sadar pipi Sofie memerah dan hatinya seperti di aliri perasaan hangat.

"Mulai sekarang, kamu harus selalu pakai cincin itu. Jangan pernah di lepas. Biar semua orang tahu kalau kamu itu istrinya aku dan citra kita sebagai pasangan harmonis selalu terlihat." Ucap Alvaro setengah mengancam dan memerintah.

Walau Sofie tahu maksud perkataan Alvaro merujuk pada pernikahan palsu ini, tapi entah mengapa rasanya seperti di amanahi sebuah tanggung jawab berat. Sofie menatap cincin yang berada di jari manisnya dengan perasaan campur aduk sambil sesekali mengusapnya sampai ada satu pertanyaan yang menggelitik di benaknya.

"Emangnya kamu juga pakai cincin pernikahan kita?" Tanya Sofie penuh penasaran.

Dengan cepat Alvaro mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

"Sejak ijab qabul. Nggak pernah aku lepas sama sekali." Ucapnya bangga.

Dan ucapan sombong Alvaro barusan makin membuat dirinya di hantui perasaan aneh beriringan dengan melajunya Ronge Rover hitam ini meninggalkan rumah.

***

Nggak kuat nunggu bulan Ramadhan selesai...
Tangan udah gatel mau upload hehe.

Bab ini gantung ya?
Mau aku upload bab selanjutnya?
1.2k votenya dulu ya guys hehe...

Habis itu aku janji langsung upload.
Tapi jangan lupa untuk komen juga ya? Hehe.

Oiya aku mau tanya, kalian biasanya kalo baca wattpad dari pc atau dari hp sih?

Happy fasting!
Abi💋.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro