63 - Thank you
Assalamualaikum semuanya. Alhamdulillah bisa update kembali malam ini. Sudah lunas ya janji aku ke teman-teman untuk update tiga hari berturut-turut ^^
Siapa yang sedari tadi udah nungguin MARIPOSA 2 part 63 UPDATE?
GIMANA? SUDAH SIAP HATINYA?
MENTALNYA JUGA SUDAH DISIAPKAN BELUM?
OKE, MARI KITA SAMA-SAMA TARIK NAPAS PANJANG-PANJANG DULU DAN PERLAHAN HEMBUSKAN YA, JANGAN DITAHAN PLIS! NASI MASIH ENAK RASANYA! HEMBUSKAN! HEMBUSKAN!
SUDAH SEMUANYA?
SIAP?
DAN, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2, SEMOGA HATI ANDA SEMUA MASIH BAIK-BAIK SAJA SETELAH BACA PART INI ^^
*****
Iqbal menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia berencana langsung ke rumah Acha terlebih dahulu sebelum kembali ke Apartment-nya. Jujur, Iqbal benar-benar ingin memperbaiki hubungannya dengan Acha.
Iqbal sangat merindukan gadis itu, Iqbal juga tahu selain dalam keadaan yang sedang marah. Acha pasti juga sangat sedih saat ini.
DRTTDRTT
Suara panggilan terdengar dari ponsel Iqbal dan sudah terhubung di Audio mobil yang dikendarai Iqbal. Iqbal melirik ke layar audio, mendapati nama Rian tertera di sana.
Iqbal segera mengangkat panggilan tersebut dengan menekan tombol telepon di dekat stir mobil.
"Hallo Bal, lo dimana?"Suara Rian terdengar gelisah dari sebrang sana.
"Di jalan."
"Lo udah pulang kuliah, kan ?"tanya Rian kembali.
"Baru aja. Kenapa?"
Rian menghela napas panjang, membuat Iqbal semakin penasaran dan merasa ada sesuatu yang penting ingin disampaikan oleh Rian.
"Papa gue udah nemuin Mama Biya tadi siang."
Iqbal sontak memelankan kecepatan mobilnya, setelah itu ia meminggirkan mobilnya terlebih dahulu, Iqbal ingin lebih fokus mendengar berita penting dari Rian.
"Terus?" tanya Iqbal ketika sudah menghentikan mobilnya.
"Masalahnya kondisi Mama Biya sedang tidak baik. Beliau sedang dirawat di ICU saat ini."
Kedua mata Iqbal langsung melebar, terkejut mendengarnya.
"Kok bisa?"
"Mama Biya sudah lama mengalami depresi berat dan kabarnya berulang kali melakukan bunuh diri, begitu juga semalam. Untung saja langsung dibawa ke rumah sakit, tapi kondisinya sedang kritis."
Iqbal mengangguk-angguk mulai paham.
"Biya sudah tau info ini?"
"Sudah, tadi siang Papa gue sempat nemuin Biya di café dekat Apartmen, Papa gue nawarin Biya untuk ketemu Mamanya tapi Biya bilang belum siap. Sepertinya dia masih di dalam Apartmen dalam keadaan terguncang."
"Dia sendirian sekarang?"
"Iya, sori gue belum bisa kesana, pagi ini gue berangkat ke lombok bersama keluarga Amanda. Lo bisa lihat keadaan Biya sekarang? Gue takut terjadi apa-apa sama dia," pinta Rian.
Iqbal langsung mengangguk.
"Bisa, gue kesana sekarang."
"Oke, kalau dia ingin ketemu Mama-nya segera anterin, gue kirim alamat rumah sakitnya."
"Iya. Thanks Yan."
Sambungan berakhir, Iqbal terdiam beberapa saat. Kemudian, mengeluarkan ponselnya untuk mengecek notifikasi, dan masih tak ada notifikasi dari Acha.
"Gue ke rumah Acha nanti malam aja." Iqbal mengambil keputusan yang menurutnya benar.
Iqbal segera memutar arah mobilnya, menuju ke Apartmennya. Keadaan jalanan lumayan macet karena jam orang-orang pulang sekolah, kuliah maupun kantor.
Dari kaca jendela mobil, Iqbal melihat langit yang mulai menggelap. Napasnya menghela panjang.
"Sepertinya akan hujan."
*****
Iqbal turun dari mobil setelah memarkirkannya, lalu berjalan sedikit cepat masuk ke dalam tower Apartmennya. Iqbal juga mencoba menghubungi Biya tapi tidak dijawab oleh gadis itu, membuat Iqbal khawatir, takut Biya melakukan hal yang tidak-tidak.
Iqbal keluar dari lift, langkahnya lebih cepat, hingga akhirnya Iqbal berhenti tepat di depan unit Apartmen Biya.
Tingtong!
Iqbal menekan bel Apartmen Biya, tak ada jawaban.
"Apa dia keluar?"
Iqbal mencoba untuk kedua kalinya dan tetap tidak ada jawaban. Iqbal pun memilih untuk mengetuk-ketuk keras pintu Apartmen Biya sekaligus memanggil nama gadis itu.
"Biya," panggil Iqbal.
Iqbal terdiam sejenak, untuk memastikan ada pergerakan atau tidak dari dalam.
"Biya, lo di dalam?" panggil Iqbal kedua kalinya.
Dan, masih tak ada jawaban.
"Biya keluar, ini gue Iqbal," perjelas Iqbal sedikit mengeraskan ketukannya.
Iqbal kembali mempertajam pendengarannya, memeriksa lagi apakah ada pergerakan.
"Biya keluar sebentar!" suara Iqbal naik lebih tinggi.
Dan, akhirnya Iqbal bisa mendengar suara langkah seseorang semakin mendekati pintu, hingga pintu tersebut terbuka.
Iqbal akhirnya bisa melihat sosok perempuan dengan keadaan cukup berantakan, kedua mata sembab dan pipi yang memerah kebanyakan menangis.
"Iqbal."
Biya menangis dan menghambur memeluk Iqbal, membuat Iqbal terkejut bukan main. Untuk beberapa saat, Iqbal berusaha untuk mengontrol dirinya agar kembali tenang.
"Mama gue, Bal." Suara isakan Biya semakin terdengar, membuat Iqbal tidak tega.
Tangan Iqbal perlahan terangkat, membalas pelukan Biya. Iqbal menepuk-nepuk pelan punggung Biya, memberikan ketenangan kepada gadis itu.
"Mama lo pasti baik-baik saja," lirih Iqbal berusaha menguatkan Biya.
"Gue takut Bal."
"Ada gue di sini, nggak perlu takut."
Perlahan Biya melepaskan pelukannya, Iqbal dapat melihat lebih jelas air mata Biya yang masih terus turun.
"Tenang dulu," pinta Iqbal.
Biya menggelengkan kepalanya, menggambarkan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Selama ini gue kira Mama gue hidup lebih bahagia daripada gue dan gue berharap banyak ketika gue bertemu Mama gue, kehidupan gue bakalan bisa berubah bahagia bersama Mama gue. Dan, ternyata yang terjadi sekarang jauh dari harapan gue."
Iqbal tidak tau harus menghibur seperti apa, dia tidak jago dalam hal ini. Situasi ini sedikit canggung untuknya. Namun, dia juga tidak bisa membiarkan Biya terus menangis.
"Mama gue dalam keadaan Kritis, Bal. Gue harus apa? Gue benar-benar takut banget. Dan, gue nggak sanggup lihat Mama gue."
Iqbal melangkah lebih dekat, ia menarik tubuh Biya ke dalam pelukan-nya. Hanya ini yang bisa Iqbal lakukan, memberikan ketenangan untuk Biya dalam pelukannya. Iqbal tidak cukup pandai untuk memberikan kata-kata penenang di situasi seperti sekarang.
"Lo nggak perlu takut, gue yakin, Mama lo akan baik-baik aja," bisik Iqbal hangat.
Iqbal dapat merasakan Biya membalas pelukannya lebih erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Iqbal.
Iqbal kembali menepuk-nepuk pelan punggung Biya, sekal lagi membiarkan Biya meluapkan segala rasa khawatir dan takutnya. Iqbal menunggu sampai Biya bisa kembali tenang dan bisa meredahkan tangisnya.
Dan, baik Iqbal maupun Biya tidak menyadari seorang perempuan baru saja keluar dari lift di lantai unit mereka. Perempuan itu berjalan ke arah Apartmen Iqbal, menekan bel pintu Apartmen Iqbal untuk menemui Iqbal.
Hingga akhirnya perempuan itu berbalik badan dan terkejut ketika melihat Iqbal dan Biya tengah berpelukan.
Dengan langkah lemah, perempuan itu mendekat ke arah Iqbal dan Biya, namun keduanya masih juga tidak sadar.
Perempuan itu menghentikan langkahnya, dengan suara yang bergetar, terdengar sebuah panggilan.
"Iqbal."
******
Baik Iqbal dan Biya langsung melepaskan pelukan mereka dan menoleh ke sumber suara. Meskipun nadanya lemah, panggilan itu cukup terdengar oleh Iqbal dan Biya.
Dan, betapa terkejutnya Iqbal ketika mendepati sosok Acha sudah berdiri tak jauh dari dirinya dengan tatapan sayu dan berkaca-kaca.
Tidak hanya Iqbal yang terkejut, Biya juga sama. Tangisnya langsung berhenti saat itu juga.
"Acha," lirih Iqbal.
Iqbal dapat melihat jelas sorot mata kecewa dan sedih yang diberikan oleh Acha untuknya.
"Iqbal jahat banget sama Acha."
Iqbal dapat mendengar suara Acha yang semakin melemah. Dan, tanpa menunggu balasan dari Iqbal, Acha langsung berbalik badan menuju ke lift.
Gadis itu meninggalkan Iqbal begitu saja tanpa ingin mendengarkan alasan apapun. Seolah yang dilihatnya sudah lebih dari jelas.
"Bal, lo buruan susul Acha."
Iqbal tersadarkan dari keterkejutannya, ia benar-benar tak menyangka bertemu Acha dalam keadaan seperti ini. Pikiran Iqbal langsung blank saat itu juga.
Iqbal menoleh ke Biya.
"Gue udah nggak apa-apa, lo kejar Acha sekarang dan jelasin semua," ucap Biya kembali.
Iqbal mengatur kesadarannya sesaat.
"Lo beneran udah nggak apa-apa?" tanya Iqbal meyakinkan.
"Iya. Gue nggak apa-apa," jawab Biya memaksakan senyumnya.
Iqbal mengangguk singkat.
"Sori, gue tinggal dulu," pamit Iqbal.
"Iya."
Iqbal pun bergegas, ia melewati lift yang sudah tertutup. Iqbal memilih untuk turun menggunakan tangga darurat agar bisa mengejar Acha lebih cepat.
*****
Acha tak bisa lagi menahan air matanya yang sedari tadi ia tahan, hati Acha benar-benar sangat hancur saat ini. Acha dengan jelas melihat pacarnya sendiri berpelukan dengan cewek lain.
Di saat Acha merasa Iqbal menjadi harapan satu-satunya yang bisa membantunya, hubungannya dengan Iqbal akan bisa membaik, semua itu langsung sirna sekejap.
Acha merasa semuanya semakin terasa berat baginya.
Dengan tangan yang masih bergetar, Acha berusaha untuk mengontrol tubuhnya, Acha memesan ojek online agar dia bisa pulang sekarang juga.
Pintu lift terbuka, beberapa orang yang menunggu di luar pintu lift terkejut melihat Acha menangis dengan tubuh bergetar. Acha tidak peduli, ia segera keluar dari lift, melewati orang-orang yang menatapnya dengan bingung dan kasihan.
Acha mempercepat langkahnya untuk keluar dari tower Apartment tersebut.
Saat sudah menginjakkan kakinya di luar, Acha disambut dengan rintikan-rintikan hujan, Acha tidak peduli, ia terus menerjangnya.
"Acha!"
Acha dapat mendengar jelas suara teriakan seorang cowok memanggilnya dan Acha sangat hapal siapa pemilik suara tersebut yang tak lain adalah Iqbal.
Namun, Acha benar-benar sudah tidak peduli, ia tetap terus berjalan agar bisa segera sampai di gerbang depan Apartment, tempat ojek online pesanannya sudah menunggu.
"Natasha berhenti!"
Acha tersentak kaget, Iqbal tiba-tiba sudah menghadang tepat di depannya dan meraih lengannya. Acha mau tak mau akhirnya menghentikan langkahnya saat itu juga.
"Cha, dengerin gue," suara Iqbal terdengar tak beraturan begitu juga dengan napas cowok itu. Iqbal terlihat jelas seperti habis berlari, keringatnya bercucur di pelipis maupun lehernya.
"Minggir," tajam Acha, sama sekali tak mau menatap Iqbal.
Acha berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Iqbal dilengannya.
"Cha, gue bisa jelasin."
Kalimat itu malah membuat hati Acha semakin sakit, air matanya kembali ingin menerobos turun. Acha terus menyorot ke bawah, tak sudi untuk menatap Iqbal detik ini.
Acha dapat melihat kaki Iqbal mendekatinya.
"Gue mohon, dengerin gue sebentar aja."
Apalagi yang harus Acha dengar? Penjelasan apalagi yang akan Iqbal katakan kepada Acha? Sejak kemarin, Iqbal terus memperumit masalah ini, bertingkah seolah masalah ini bukan masalah yang besar untuknya? Seolah Acha yang terlalu membesarkan masalah ini.
Dan, apakah setelah kejadian tadi, Iqbal masih akan bertingkah seperti itu?
Acha mengepalkan kedua tangannya, menguatkan dirinya agar berani untuk menghadapi Iqbal. Perlahan, Acha mengangkat kepalanya, membalas tatapan Iqbal yang sangat sendu dan merasa bersalah kepadanya.
Acha memberikan tatapan tak ramah kepada Iqbal. Dengan sisa keberaniannya, Acha langsung menyentakkan lengannya dengan keras, membuat Iqbal kualahan dan lengan Acha berhasil lepas dari genggaman Iqbal.
"Cha," panggil Iqbal lirih. Sekali lagi, Iqbal berusaha untuk menyentuh tangan Acha.
Namun, Acha dengan cepat menyembunyikan tangannya dan mundur satu langkah.
"Nggak punya otak!"
Hening! Iqbal sangat terkejut mendengar perkataan kasar Acha untuk pertama kalinya. Sedangkan, Acha sendiri sangat sadar ketika mengatakannya, amarahnya sudah tak bisa ia tahan lagi.
Semua masalahnya sejak tadi pagi, tadi siang hingga malam ini, berkumpul menjadi satu dan memuncak tak bisa dikendalikan oleh Acha!
"Cha, ucapan lo kasar," tukas Iqbal masih tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Lebih kasar mana sama perbuatan Iqbal barusan?" lawan Acha dengan berani.
"Cha, yang lo..."
"Iqbal peluk cewek lain di depan Acha," serang Acha tak memberikan kesempatan Iqbal menjelaskan.
"Cha, sumpah yang lo lihat tadi nggak se..."
"Apa jangan-jangan kalian berdua lebih dari itu di belakang Acha?" serangan kedua Acha berhasil membuat Iqbal langsung tersudutkan.
"Cha dengerin gue! Mama Biya dalam keadaan kritis sekarang, gue cuma berusaha nenangin dia," jelas Iqbal secepat mungkin agar tidak dipotong lagi oleh Acha.
"Harus dengan pelukan?" sindir Acha.
Iqbal menghela napas panjang, memberikan tatapan Acha lebih lekat, mendengar ucapan Acha barusan membuat Iqbal tidak mengerti dengan jalan pikiran Acha saat ini padahal ia sudah berusaha menjelaskan.
"Lo bisa kasih simpati sedikit, nggak? Beri pengertian sedikit saja. Biya baru saja kena musibah, Mamanya di ICU dan sedang kritis. Dia sendirian, Cha!"
Tubuh Acha kembali bergetar, setelah mendengar suara Iqbal yang tiba-tiba meninggi dan tatapan Iqbal juga berubah dingin, terasa menembus sampai ke tulang tubuhnya, sangat sakit.
Acha menatap Iqbal dengan nanar.
"Acha juga sendirian sekarang."
Acha ingin sekali menerikannya sekarang tepat di depan wajah Iqbal. Namun, bibir Acha terasa keluh, Acha tidak bisa mengeluarkannya, Acha menahannya.
Untuk beberapa detik, baik Iqbal dan Acha saling perang tatapan. Tak ada yang mau mengalah.
Perlahan, Acha memaksakan senyumnya, sangat pedih.
"Kamu berubah ya."
Deg! Iqbal dapat merasakan jantungnya serasa akan terlepas dari tempatnya. Acha tak lagi memanggilnya dengan namanya, dan ketika hal itu terjadi, menandakan bahwa Acha benar-benar sedang marah besar.
Tatapan Iqbal melemah.
"Cha..."
Iqbal ingin mendekat. Namun, Acha langsung mundur lebih cepat, tak membiarkan Iqbal mendekatinya bahkan menyentuhnya.
"Kamu bukan Iqbal yang Acha kenal. Iqbal yang Acha kenal nggak akan bentak Acha seperti itu. Iqbal yang Acha kenal nggak akan buat Acha nangis, karena dia janji buat Acha bahagia. Iqbal juga nggak pernah natap Acha se-dingin itu. "
"Cha, jangan kayak gini," pinta Iqbal.
"Kayak gini gimana?"
"Lo salah paham, Cha." Iqbal berusaha untuk menjelaskan.
"Salah paham?" sinis Acha.
"Gue nggak mungkin suka sama Biya, Cha."
"Bukan nggak mungkin, tapi belum!" tegas Acha mengelak pernyataan Iqbal.
"Lo nggak perca..."
"Masih untung Acha nggak tampar kamu!"
Acha tidak bisa lagi menahan air matanya yang sedari tadi ia tahan, emosinya semakin meluap tak terkendali. Acha kembali mengepalkan jemarinya lebih kuat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Acha tak sanggup lagi, ia benar-benar sudah lelah. Dan, sebelum Iqbal membalas ucapannya, Acha lebih dahulu bersuara kembali.
"Acha pulang dulu. Kamu kembali aja ke dalam, tenangin cewek itu lagi. Itu simpati dari Acha yang kamu inginkan buat dia."
Iqbal merasakan tubuhnya merinding hebat mendengar setiap kata yang barusan keluar dari bibir Acha. Iqbal berusaha utnuk menenangkan degupan jantungnya yang berdetak sangat cepat entah sejak kapan.
"Gue anter pulang," ucap Iqbal masih berusaha untuk memperbaiki keadaan.
Acha menghapus air matanya yang semakin memaksa turun lebih deras. Ia mengatur napasnya sebentar.
"Nggak usah, Acha bisa pulang sendiri," tolak Acha cepat.
"Gue mohon."
Acha menarik napas panjang-panjang dan perlahan membuangnya. Acha mengangkat kepalanya ke atas, melihat langit yang semakin gelap dan rintikan hujan yang bertambah banyak.
Langit pun tau bagaimana perasaan Acha sekarang.
Detik berikutnya, Acha menurunkan kepalanya, kembali menatap Iqbal, sangat lekat. Sejenak, Acha mencoba untuk berhenti menangis walau sangat sulit.
"Setelah izinin dia tidur di Apartmen kamu, kasih pelukan ke dia dan terus bela dia. Kenapa kamu nggak pacaran sama dia aja?" Acha dengan berani mengutarakan saran gilanya. Yah, pikiran Acha sudah tidak bisa dikendalikan saat ini!
Iqbal tercengang mendengar perkataan Acha yang semakin memojokannya.
"Cha, sumpah gue nggak ada hubungan apapun sama Biya. Lo salah paham." Iqbal terus berusaha untuk menjelaskan.
Acha tersenyum sangat sinis. Sama sekali tidak ingin percaya. Dua orang lawan jenis saling berpelukan? Sungguh tidak ada perasaan apapun?
"Apa Acha harus nunggu melihat kalian berdua tidur bareng dulu, baru Acha nggak akan salah paham?"
Untuk kedua kalinya, Iqbal dibuat terkejut dengan serangan Acha. Kedua mata Iqbal membelalak sempurna, sangat tak menduga Acha akan berkata seperti itu.
"Lo nggak waras!" tajam Iqbal mulai tak bisa mengendalikan emosinya. Menurut Iqbal, ucapan Acha benar-benar sudah keterlaluan.
Namun, bukannya takut, Acha malah tersenyum saat ini. Tentu saja, sebuah senyum kepedihan.
"Kalau Iqbal yang Acha gituin, pasti langsung ngebantah dan peluk Acha. Iqbal pasti minta maaf ke Acha, Iqbal akan bujuk Acha sampai Acha nggak nangis lagi dan sampai Acha kembali tersenyum," lirih Acha, pertahanannya kembali runtuh.
Dengan senyum yang masih ia paksakan mengembang beserta air mata yang perlahan kembali turun, Acha mengutarakan isi hatinya.
"Acha ingin Iqbal yang sayang sama Acha, Iqbal yang buat Acha tersenyum dengan tatapan hangatnya, Iqbal yang nggak pernah bentak Acha dan Iqbal yang selalu lembut ke Acha. Bukan kamu."
Yah, Acha hanya mengetes saja tadi, ingin tau bagaimana reaksi Iqbal ketika mendengar tuduhannya. Dan, bukannya sebuah pelukan ketenangan yang Acha dapat, melainkan makian dari Iqbal.
Dan, Iqbal tau bahwa yang dilakukannya barusan semakin memperkeruh keadaan. Acha semakin marah kepadanya.
"Natasha," pangil Iqbal lembut.
"Kamu memang sudah berubah."
Iqbal dibuat terbungkam kembali. Serangan bertubi-tubi dari Acha membuatnya tak bisa berkutik. Apalagi melihat air mata Acha terus turun tanpa bisa berhenti dan semua itu karenanya, membuat hatinya sangat bersalah.
"Kemarin, kamu pertanyakan rasa sayang Acha ke kamu. Kamu ingin tau jawabannya apa?"
Acha sekuat mungkin menahan isakannya. Acha bahkan menekan kukunya sendiri di telapak tangannya agar dia tidak terisak.
"Acha nggak pernah sedikit pun hilangin rasa sayang Acha sejak awal suka sama seorang Iqbal, Acha bahkan nggak bisa bayangin gimana hidup Acha tanpa seorang Iqbal dan gimana hancurnya Acha jika harus berpisah dengan Iqbal. Acha bahkan pernah bilang, Acha rela mati hanya untuk seorang Iqbal."
Acha sama sekali tak melepaskan sorot matanya dari Iqbal.
"Bodoh banget ya, Acha."
Tatapan pilu Acha dan senyum pedih Acha saat ini merupakan bukti nyata bagaimana perasaan Acha.
"Apa hanya Acha selama ini yang punya rasa sayang sebesar itu? Pada akhirnya, sampai detik ini, masih Acha yang terus berjuang sendiri dengan perasaan Acha. Sepertinya, Acha masih belum berhasil mendapatkan semua rasa cinta seorang Iqbal."
Sekuat apapun Acha ingin mempertahankan senyumnya, Acha tetaplah gadis yang lemah. Acha sudah tidak kuat lagi dan energinya hampir habis. Yah, Acha ingin menyerah sekarang.
Acha memberikan sebuah senyum yang tulus untuk Iqbal.
"Makasih untuk dua tahunnya."
Setelah itu, Acha segera berbalik, berjalan menjauh pergi dengan hati yang hancur. Tangis Acha pecah sejadi-jadinya. Ia tak bisa lagi menahan suara isakannya.
Sedangkan Iqbal terdiam membeku ditempatnya, menyadari semua kesalahannya yang sangat fatal itu. Kaki Iqbal terasa kaku, tak bisa ia gerakkan setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Acha.
Iqbal ingin sekali mengejar, namun fakta-fakta yang disebutkan oleh Acha masih terus mengguncangnya.
"Apa yang sudah gue lakuin ke Acha."
****
#CuapCuapAuthor
Bagaimana part ini? Nyeseknya berasa nggak?
PENASARAN SAMA KELANJUTANNYA? INGIN BACA PART SELANJUTNYA?
Sebelumnya aku ucapkan Makasih banyak kepada teman-teman yang sudah membaca Mariposa 2 dan suka Mariposa 2.
Mariposa 2 part 63 bukanlah endingnya, kalian bisa membaca lanjutan Mariposa 2 part 64 sampai Part Ending di Novel Mariposa 2 yaa.
TEMAN-TEMAN YANG INGIN BELI NOVEL MARIPOSA 2 BISA SEKARANG JUGA BELI DI SHOPEE :
- coconutbooksofficialshop
- tokotmindo
- novelyyoung
TEMAN-TEMAN JUGA BISA LANGSUNG BELI DI GRAMEDIA TERDEKAT DI KOTA KAMU. NOVEL MARIPOSA 2 SUDAH ADA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA ^^
MAKASIHH BANYAAKK SEMUAAAAA. SELALU SUPPORT DAN SUKA MARIPOSA YAA. SELALU SAYANG KALIAN SEMUAAAAA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro