Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62 - The bad view

Assalamualaikum teman-teman semua. Alhamdulillah bisa kembali update malam ini ^^

Siapa yang daritadi sudah nungguin part 62 update?

Oke, untuk part kali ini. Aku hanya bisa memberikan pesan kepada teman-teman untuk .... 

Langsung baca  aja ya. Biar nggak makin penasaran. 

SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGA NGGAK TERIAK BACA PART INI ^^

****

Setelah menyelesaikan urusan per-kebeletan-nya, Abdi membernaikan diri masuk ke dalam kelas. Abdi akhirnya dapatmelihat jelas Iqbal yang duduk di bangku belakangtengah fokus membaca. Cowok itu sama sekali tak terganggu dengan suara ramai teman-teman lainnya. 

Abdi menghembuskan napas panjang-panjang, tangan kananannya sedari tadi tanpa sadar sudah menyentuh dadanya sendri, meminta jantungnya untuk berdetak normal, walaupun sangat susah.

"Lo bisa Abdi, lo bisa!"

Abdi terus melangkah satu demi satu langkah mendekati Iqbal yang auranya makin terasa kuatnya! Jika Abdi bisa menjabarkan detakan jantungnya sekarang, suaranya seperti salon dangdutan tetangga yang ngebass-nya agak cempreng.

Pakjepak jepak jepak jegerr pak jepakjepak jeger!!

Dan, tibalah saatnya Abdi mempertaruhkan hidup dan matinya! Abdi sudah berdiri di depan Iqbal dengaan jemari sudah dipenuhi keringat dingin. Sumpah! Abdi tidak lebai, dia benar-benar gelisah dan takut!

Tau sendirikan Iqbal kalau ngomong pedas dan dinginnya seperti apa?

Ditambah Aura Iqbal yang sudah seperti Voldemort versi alim-nya.

Untuk kesekian kalinya, Abdi mengatur napasnya sesaat, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Abdi meneguk ludahnya sebentar, membasahi kerongkongannya yang sedari tadi kering.

Abdi memaksakan senyumnya yang terasa sulit untuk dia kembangkan.

"Iqbal," panggil Abdi dengan suara lumayan lirih dan memelas.

Tak ada jawaban dari Iqbal, cowok itu sama sekali tak merespon dari gerak tubuh maupun verbal. Ia tetap diam dan fokus membaca bukunya.

"Bal," untuk kedua kalinya, Abdi mencoba keberuntungannya. Namun, tetap tak ada respon. Iqbal masih diam seperti tadi.

Mampuslah Abdi! Keberaniannya perlahan-lahan runtuh seolah tak ada harapan lagi untuknya.

"Iqbal, maafin gue."

Kalimat Abdi barusan akhirnya berhasil membuat adanya pergerakan dari tubuh Iqbal. Cowok itu perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Abdi dengan sorotan tenang dan pastinya sangat dingin.

"Siapa ya?"

Abdi terkejut sekaligus tertegun mendengar balasan Iqbal. Sial! Kenapa jadi Iqbal yang amnesia? Kan, harusnya dia yang pura-pura amnesia!

Abdi tidak tau harus senang atau bagaimana? Abdi mendadak blank. Namun, detik berikutnya, Abdi berusaha mengumpulkan kembali keberaniannya dan menjawab pertanyaan Iqbal tanpa pikir panjang.

"Gue Abdi sang manusia bisa segalanya, umur dua puluh tahun, anak kedokteran, teman dekat lo, teman kelas lo dan kasih gue satu kesempatan untuk hidup lebih lama!" Abdi langsung menangkupkan tangannya saat itu juga. Jujur, Abdi tak ingat dia barusan ngomong apa, ia asal saja menyebut saking takutnya.

Iqbal memberikan respon geleng-geleng pelan yang membuat Abdi sangat senang dan senyumnya sudah tak se-kaku tadi.

"Maaf Bal, sumpah gue nggak tau kalau Acha pacar lo. Beneran gue nggak bohong! Demi emak gue yang sekarang lagi rebahan dirumah sambil main tiktok, gue sama sekali nggak tau!" sumpah Abdi sungguh-sungguh.

Iqbal menutup bukunya, sorot matanya lebih tajam.

"Kalau tau?" pancing Iqbal.

Abdi terkejut kesekian kalinya.

"Ka... Kalau tau gue nggak akan deketin Acha dan gue juga nggak akan ajak dia kenalan," Abdi memberikan jawaban terbaiknya.

Lagi-lagi Iqbal hanya memberikan respon geleng-geleng seolah semakin tak mengerti dengan isi kepala Abdi.

"Bal, maafin gue ya. Jangan marah lagi. Gue janji nggak akan deketin Acha. Gue janji nggak akan suka lagi sama Acha."

"Acha juga nggak akan suka sama lo!"

Telak! Apa Abdi bilang, akhirnya ucapan pedas itu keluar dari bibir seorang Iqbal.

Abdi tetap memaksakan senyumnya, ia lebih mendekati Iqbal dan mengambil duduk di kursi sebelah Iqbal.

"Iya gue sadar kok. Acha nggak akan pernah suka sama gue. Kemarin, dia kelihatan banget nggak ngerespon gue dan cuek ke gue," ucap Abdi dengan hati lapang.

Iqbal megangguk singkat, sangat setuju.

"Harus!"

Abdi merasakan hidupnya tidak akan sampai di sini, tidak ada tanda-tanda Iqbal akan menghabisinya. Abdi lebih mendekat dan menarik-narik lengan baju Iqbal seperti anak kecil.

"Lo mau maafin gue kan, Bal?" rajuk Abdi.

"Hm," jawab Iqbal singkat.

"Lo nggak marah lagi kan, Bal?"

"Iya," lanjutnya malas.

"Lo masih mau kasih liatin hasil tugas lo ke gue kan, Bal?" rayu Abdi penuh harap.

Iqbal tak menjawab pertanyaan Abdi yang satu itu, ia terlalu sibuk dengan ponselnya, mengecek notifikasi ponselnya yang sedari tadi masih kosong.

"Bal, masih mau, kan?" tanya Abdi mengulang.

"Apa?" balas Iqbal mulai lelah.

"Satu kelompok sama gue dan mau kasih lihat hasil tugas lo ke gue," perjelas Abdi.

"Tergantung," jawab Iqbal penuh arti.

Abdi mengerutkan keningnya, mulai makin was-was.

"Tergantung apa?"

Iqbal menoleh ke Abdi, menatap cowok itu dengan tatapan sangat tenang namun terasa menenggelamkan bagi Abdi.

Jujur, Iqbal sangat ingin sekali saja menampol kepala Abdi biar cowok itu bisa lebih peka dan pintar! Namun, Iqbal menahannya. Memang, orang pintar harus lebih mengalah!

"Tergantung apa, Bal?" rengek Abdi mulai nggak sabar karena terlalu gelisah menunggu jawaban dari Iqbal. Nilainya sedang dipertaruhkan saat ini!

"Hapus nomor Acha, hapus pesan dari Acha dan jaga jarak lima meter dari Acha."

Abdi dengan cepat berdiri dari kursinya, memberikan sikap hormat saat itu juga.

"Siap! Laksanakan komandan!"

Iqbal akhirnya puas mendengar jawaban dari Abdi, ia mengangkat satu jempolnya. Dan, akhirnya, Abdi benar-benar bisa bernapas lebih tenang, jantungnya juga perlahan mulai berdetak normal.

Abdi kembali duduk di sebelah Iqbal, melihat Iqbal yang terus menatap layar ponselnya.

"Gue boleh tanya nggak Bal?" tanya Abdi hati-hati.

"Apa?"

Abdi berdeham pelan, menimang-nimang sesaat.

"Lo bisa punya pacar cantik seperti Bidadari pakai dukun mana, Bal?"

*****

Acha masih tak bisa menghubungi Mamanya bahkan pesannya pun masih belum dibalas oleh sang Mama. Jujur, Acha benar-benar khawatir.

Apakah Mamanya sudah sampai di Surabaya dengan aman?

Apakah Mamanya sudah makan?

Apakah Mamanya baik-baik saja sekarang?

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang membuat Acha semakin gelisah. Acha menghela napas berat. Andai saja ia tidak sedang bertengkar dengan Iqbal, pasti Acha bisa menceritakannya kepada sang pacar dan setidaknya bisa mengurangi rasa takutnya.

Acha menatap layar ponselnya, ada dua pesan dari Iqbal yang masuk sedari tadi. Dan, satu panggilan dari Iqbal juga. Namun, Acha sama sekali tak berkeinginan untuk membalas ataupun menjawab panggilan itu.

Acha merasa masih butuh waktu untuk menenangkan diri.

"Kak Acha, ada café baru bagus banget dekat SMA kita dulu. grand opening dan lagi diskon besar. Kesana, yuk."

Suara Tesya membuyarkan lamunan Acha saat itu juga.

"Apa Tesya?" bingung Acha.

"Ada grand openingcafé baru dekat SMA kita dulu. Ayo kesana," ulang Tesya.

Acha berdeham pelan, raut wajahnya sangat mempertimbangkan tawaran Tesya.

"Plis jangan di tolak, gue nggak ada temannya, Kak. Hitung-hitung kita segerin pikiran di sana," mohon Tesya sembari menangkupkan tangannya karena dapat melihat tanda-tanda penolakan dari raut wajah Acha.

Melihat wajah melas Tesya, Acha jadi tidak tega. Acha akhirnya memilih mengangguk, mengiyakan ajakan Tesya.

"Oke, Acha ikut."

"BENERAN?" heboh Tesya kelewat seneng.

"Iya."

Tesya bertepuk tangan seperti anak kecil.

"Gue janji, lo nggak akan bosan di sana, Kak. Gue denger semua baristanya cowok-cowok ganteng masa kini yang menyegarkan mata, batin dan otak kita agar kembali damai," seru Tesya dramatis.

Acha terkekeh mendengarnya.

"Jadi, ke cafenya karena diskon besar atau baristanya?" sindir Acha.

Tesya tersenyum malu-malu mendengar pertanyaan Acha.

"Kalau bisa dua, kenapa satu! Ye, kan?"

*****

Abdi merasakan puncak kepalanya masih terasa sakit sampai detik ini. Padahal tiga jam sudah berlalu sejak kejadian secepat kilat itu terjadi.

Yah, gara-gara pertanyaan bodohnya, kepala Abdi jadi sasaran empuk buku tebal anatomi Iqbal. Untung saja Iqbal tidak benar-benar membunuhnya. Abdi merutuki sendiri kebodohan-kebodohan alaminya itu.

Kelas sudah berakhir sejak tiga puluh menit yang lalu, Abdi masih belum beranjak dari kelas karena tengah menunggu Iqbal. Cowok itu sedari tadi masih diam dikursinya dengan sorot mata yang hanya fokus di ponsel.

Abdi ingin bertanya, tapi ia terlalu takut akan mendapat lemparan buku tebal lagi.

"Di."

Abdi langsung terpelonjat mendengar Iqbal menyebut namanya. Abdi buru-buru berdiri dan mendekati Iqbal.

"Siap Komandan, Abdi sang manusia bisa segalanya siap mendengarkan maupun menjawab apapun perintah dari Komandan," seru Abdi dengan posisi hormat.

Iqbal menghela napas berat, sepertinya pukulan yang dilakukannya tadi pagi semakin memperburuk kinerja otak Abdi.

"Bisa cariin boneka sapi ukuran besar, nggak?" tanya Iqbal serius.

Abdi melebarkan senyumnya saat itu juga.

"Nggak ada yang nggak bisa di dalam kamus Abdi sang manusia bisa segalanya. Rebut pacar temen juga gue bisa!"

Iqbal langsung memberikan tatapan tajamnya.

"Mau gue pukul lagi?"

Abdi nyengir tak berdosa.

"Bercanda doang, Bal."

"Bisa, nggak?" tegas Iqbal.

"Bisa banget! Gue akan cariin sapi paling besar di dunia ini. Bahkan, gue rela cari sampai Merauke kalau perlu!"

Iqbal manggut-manggut puas, ia segera berdiri dari kursinya.

"Cariin secepatnya," suruhnya dengan santai.

Setelah itu, Iqbal menenteng tasnya dan pergi begitu saja keluar kelas tanpa menunggu Abdi. Sedangkan, Abdi berusaha untuk tetap senyum sambil mengelus dadanya.

Abdi segera membalik badanya, menatap Iqbal yang sudah sampai diambang pintu.

"Bal, ini boneka sapi aja apa sapi beneran juga?"

****

Iqbal berjalan menuju parkiran sembari mencoba menghubungi Acha. Dan, lagi-lagi tak ada jawaban dari gadis itu, panggilanya tidak diangkat oleh Acha.

Iqbal menghentikan langkahnya ketika mendapati Glen berdiri di mobil Porsche yang dipinjamnya. Iqbal memang belum sempat mengembalikannya kemarin.

"Dari auranya yang gue lihat jarak lima ratus meter, belum baikan sama Acha?"

Sambutan Glen membuat mood Iqbal lebih buruk. Iqbal hanya memberikan anggukan singkat sebagai jawaban.

"Tengkar mulu, nikah juga belum," sindir Glen lagi sembari melemparkan kunci mobil BMW milik Iqbal.

Iqbal melihat kunci mobilnya sesaat, detik berikutnya ia melemparkan kembali ke Glen, membuat cowok itu kebingungan. Untung saja, ia lebih sigap menangkapnya.

"Bawa mobil gue dulu," suruh Iqbal dengan entengnya.

"Terus mobil gue gimana?"

"Gue pinjam," jawab Iqbal singkat.

"Sampai kapan?"

"Sampai Acha nggak marah lagi."

"Abuegile! Lo berdua yang bertengkar kenapa jadi gue yang LDR sama anak gue," protes Glen.

Iqbal mengedikkan bahunya, berpura-pura tak mendengar ucapan Glen.

"Lo udah masuk kuliah?" tanya Iqbal heran melihat keberadaan Glen dikampusnya.

"Minggu depan," jawab Glen.

Iqbal mengangguk-angguk kecil kemudian menyodorkan tangannya ke Glen.

"Pinjam ponsel lo," pinta Iqbal.

"Buat?"

"Nelfon Acha."

"Kenapa nggak pakai ponsel lo sendiri?"

"Acha sama sekali nggak angkat telfon gue."

Glen menghela napas berat, sepertinya pertengkaran rumah tangga sahabatnya ini lebih serius dari yang dikira.

Glen pun memberikan ponselnya kepada Iqbal, merasa iba dengan sahabatnya satu ini. Iqbal menerima ponsel Glen, segera mencari nama kontak Acha.

Kening Iqbal mengerut, tak menemukan nama Acha di kontak Glen.

"Kontak Acha lo namain apa?" curiga Iqbal.

Glen memberikan cengiran tak berdosanya.

"Presiden Sapi," jawab Glen tak berdosa.

Iqbal mendengkus kecil, semakin tak paham dengan kegilaan Glen. Setelah menemukan kontak 'Presiden Sapi', Iqbal segera melakukan panggilan.

Maaf nomor yang anda tujuh sedang....

Lagi! Acha tak menjawab panggilanya. Bahkan, bukan dengan nomornya. Iqbal menghela napas panjang sembari mengembalikan ponsel Glen.

"Nggak diangkat?" tebak Glen.

"Iya."

"Masa sih?"

Glen menatap layar ponselnya, kemudian mencoba sendiri melakukan panggilan ke nomor Acha. Glen mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Tersambung!" seru Glen dengan kedua mata melebar, sontak Iqbal juga ikut terkejut mendengarnya.

"Diangkat Acha?" tanya Iqbal memastikan.

Glen tak menjawab dan langsung menekan loadspeakerdi ponselnya, membiarkan Iqbal juga bisa mendengar.

Maaf nomor yang anda tujuh sedang....

Sial! Iqbal mengumpat kesal karena dikerjain oleh Glen, sedangkan cowok itu terlihat puas dengan tawanya.

"Lo mending samperin langsung ke rumahnya, selesaiin masalah kalian malam ini juga!" saran Glen.

Iqbal mengangguk-angguk tak bertenaga. Sedari pagi otaknya sudah dibuat berpikir keras bagaimana cara untuk membuat Acha tidak marah lagi kepadanya.

Jujur, Iqbal ingin segera mengakhiri perang dingin ini. Ia hampir tidak bisa fokus selama kuliah hanya karena memikirkan Acha.

"Gue balik dulu," pamit Iqbal, menepuk pelan bahu Glen sebelum beranjak.

"Hati-hati dijalan. Kalau ketemu sapi dijalan, angkut aja, kasihkan ke Acha!" seru Glen memberikan saran terbaiknya.

Iqbal memberikan balasan balik dengan jempolnya juga. Glen menatap kepergian Iqbal bersama dengan mobil merah kesayangannya. Glen melambai-lambaikan tangannya.

"Jaga baik-baik anak gue, Bal! Perlakukan seperti anak lo sendiri!"

*****

Kelas Akademi Acha akhirnya selesai, Acha dan Tesya sudah bersiap akan keluar dari kelas mereka, namun tiba-tiba staff dari bagian administrasi memanggil Acha untuk datang ke kantor Administrasi.

"Tesya maaf sepertinya Acha nggak bisa ikut," lirih Acha tidak enak.

"Gue tungguin Kak, nggak apa-apa."

"Kayaknya bakalan lama, kasihan Tesya kalau nungguin."

Tesya mengembangkan senyumnya sembari mengangguk kecil.

"Yaudah, kalau gitu next time ya, kita kesana bareng."

"Iya Tesya. Maaf ya."

"Nggak apa-apa Kak Acha."

"Besok ceritain ya kalau ketemu Barista cakep."

Senyum Tesya lebih merekah.

"Pasti itu, doakan gue bisa dapat jodoh di sana Kak!"

"Amin!"

Tesya melambaikan tangannya ke Acha.

"Gue duluan ya, Kak."

"Iya. Hati-hati Tesya."

Setelah itu, Acha segera keluar dari kelasnya, menuju ke bagian Administrasi. Acha sendiri tidak tau kenapa dia tiba-tiba dia dipanggil. Sepertinya dia tidak memiliki masalah dengan bagian Administrasi.

"Permisi," ucap Acha saat dirinya telah sampai diambang pintu kantor Administrasi.

Seorang wanita paruh baya tersenyum menyambut Acha.

"Silahkan masuk, Natasha," sapa Bu Wening, kepala Administrasi.

Acha mengangguk kecil, kemudian segera duduk di kursi yang disediakan di sana. Bu Wening pun ikut duduk sambil membawa Map berwarna biru muda dengan nama 'Natasha Kay Loovi'. Jujur, melihat map tersebut membuat Acha mendadak was-was sendiri padahal tadinya dia biasa-biasa saja.

"Gimana kelasnya, lancar? Nggak ada kendala?" tanya Bu Wening dengan ramah, membuka awal percakapan mereka.

Acha tersenyum sopan.

"Nggak ada Bu. Acha kebantu banget selama di sini," jawab Acha jujur.

"Syukurlah. Kalau ada pembelajaran yang kurang atau tidak nyaman, jangan sungkan buat lapor ke kantor ya."

Acha mengangguk kecil.

"Iya Bu."

Bu Wening mulai membuka map biru muda di depannya, mengeluarkan beberapa kertas administrasi dari sana.

"Mama Natasha lagi sibuk ya beberapa hari ini?"

Deg!Acha merasakan hatinya semakin tidak enak. Kenapa Bu Wening tiba-tiba tanya tentang Mamanaya?

Acha berusaha untuk tetap bersikap tenang.

"Iya Bu. Mama Acha sekarang lagi ada kerjaan di Surabaya," jawab Acha.

Bu Wening mengangguk-angguk kecil.

"Pihak Administrasi sejak satu minggu kemarin terus coba hubungi Mama Natasha, tapi belum ada jawaban sama sekali," ucap Bu Wening mulai mengarah ke inti pembicaraan mereka.

"Ada perlu apa ya, Bu?" tanya Acha masih bingung.

Bu Wening mendekatkan satu kertas pembayaran atas nama Acha.

"Awal Natasha masuk akademi, kami memberikan pilihan kepada Mama Natasha untuk langsung membayar lunas atau membaginya 50% di awal dan 50% di akhir saaat kelas Akademi mendekati ujian. Dan, Mama Natasha memilih pilihan kedua."

Acha mendengarkan dengan seksama semua yang dijelaskan oleh Bu Wening.

"Sesuai perjanjian, karena sepuluh hari lagi kelas Natasha akan berakhir dan ujian masuk Kedokteran akan berlangsung, Mama Natasha harus menyelesaikan pembayaran Akademi Natasha. Dan, karena sejak satu minggu kemarin Mama Natasha tidak bisa kami hubungi, makanya kami memanggil Natasha ke kantor administrasi," perjelas Bu Wening membuat Acha semakin mengerti.

Acha tidak bisa lagi mengatur ekspresinya untuk tetap tenang, detak jantungnya sudah bedegub sangat cepat.

"Jujur, Acha nggak tau masalah ini karena Acha kira, Mama Acha sudah urus semua. Nanti, Acha coba telfon Mama Acha buat jelaskan info dari Bu Wening."

Bu Wening tersenyum ramah.

"Iya, Natasha coba bilang ke Mama ya. Terakhir pembayaran yang harus dilunasi enam hari lagi."

Acha meremas jemarinya yang sudah sangat dingin.

"Maaf Bu Wening, kalau boleh tau, kekurangan yang harus Acha bayar berapa?" tanya Acha hati-hati.

Bu Wening bergumam pelan, mencari total pembayaran yang tertulis di lembar yang dihadapkannya ke Acha.

"Ini Natasha, total semua kekurangannya dua belas juta lima ratus rupiah," jawab Bu Wening.

Mendengar jawaban Bu Wening kedua mata Acha lebih melebar, jantungnya terasa akan berhenti beberapa detik. Acha meneguk ludahnya dengan susah payah. Dua belas juta?

Wah! Sangat banyak! Bagaimana Acha bisa mencari uang sebanyak itu hanya dalam waktu enam hari?

Acha sangat tau dari awal bahwa lembaga Akademi yang dimasukinya sangat mahal, karena rata-rata yang masuk kesini adalah anak-anak orang kaya.

Dulu, Acha sempat menolak untuk masuk ke Lembaga Akademi ini, ia sudah memilik Lembaga Akademi lainnya, tapi Kirana memaksanya masuk kesini, karena Lembaga ini memiliki reputasi yang sangat bagus dan hampir 90% anak-anak yang belajar di Akademi ini, masuk kedokteran.

"Bagaimana ini?"Acha merasakan tubuhnya semakin terasa dingin. Acha bingung harus berbuat apa, pikirannya tiba-tiba kosong.

Jujur, Acha juga tidak mungkin menelfon Mamanya dan memberikan beban tambahan kepada Mamanya yang sedang berjuang sendirian di Surabaya.

Acha menarik napasnya sebentar kemudian menghembuskannya pelan-pelan, memaksakan tubuhnya untuk tetap tenang walau sangat susah.

"Bu Wening, Acha usahakan enam hari lagi, Acha bayar kekurangannya," ucap Acha.

Bu Wening mengangguk legah, memasukan kembali kertas-kertas di depannya ke dalam Map biru muda.

"Makasih Natasha."

"Kalau gitu, Acha undur diri ya Bu," pamit Acha.

"Iya Natasha, silahkan."

Acha pun segera berdiri dan menyalami Bu Wening sebelum akhirnya keluar dari kantor Administrasi. Acha merasakan kakinya terasa lemas dan kepalanya terasa berat.

Belum selesai masalah satu dan dua, sudah datang masalah ketiga. Ada apa dengan hidupnya?

Acha berhenti sebentar, menyenderkan tubuhnya di tembok. Acha berusaha mengatur napasnya sebentar.

"Tenang, Acha. Semuanya pasti ada jalan keluarnya."

*****

Acha akhirnya sampai dirumah, Acha mengangkat kepalanya, melihat langit mulai gelap, entah karena sudah pukul lima sore atau memang sedang mendung. Acha lagi-lagi hanya bisa menghela napas berat.

Acha pun masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai.

Acha tak langsung masuk ke kamarnya, ia duduk diam di ruang tamu, menyenderkan tubuhnya sebentar.

"Acha nggak mungkin telfon Tante Mama," lirih Acha.

Acha mengeluarkan ponselnya, melihata ada tiga panggilan. Satu dari Iqbal dan dua lagi dari Glen.

Acha tau alasan Iqbal menelfonnya, pasti ingin tau keberadaanya atau mungkin ingin tanya dia sedang apa atau sudah makan?

Tapi, kalau Glen?

"Kenapa Glen nelfon Acha?"

Acha tak mau lebih memikirkannya, karena ada hal yang lebih genting daripada mencari tau alasan Glen menelfonnya dua kali!

Acha menatap ke depan dengan hampa, berusaha memikirkan segala kemungkinan dan segala solusi untuk masalah Akademinya.

Hampir lima belas menit Acha hanya diam dan tak melakukan apapun. Ia tengah berperang dengan pikirannya sendiri.

"Acha minta bantuan ke siapa?" Keheningan lama itu akhirnya terpecah kembali.

Acha menurunkan pandangnya, menatap ke layar ponselnya dengan tatapan ragu.

"Apa Acha harus minta bantuan ke Iqbal?"

Yah, beratus kali Acha memeras otaknya, jawaban yang didapatnya hanyalah nama Iqbal, sang pacar. Namun, melihat keadaan mereka seperti ini, Acha sedikit ragu.

Acha menghela napas berat, menegakkan tubuhnya, ia berusaha meyakinkan dirinya.

"Natasha! turunkan ego! Acha nggak punya siapa-siapa lagi yang bisa bantu Acha kecuali Iqbal! Nggak ada salahnya juga Acha minta bantu Iqbal. Dia pasti akan bantu Acha!"

Acha mulai bermonolog sendiri untuk meningkatkan keyakinannya!

"Dengan Acha cerita masalah ini dan minta bantuan ke Iqbal, siapa tau hubungan Acha dan Iqbal bisa membaik!"

Acha mengangguk-angguk seolah setuju dengan ucapannya sendiri.

"Nggak capek bertengkar seperti ini? Nggak pengin baikan?"

Acha semakin yakin dengan keputusannya. Ia mengangguk dengan mantap.

"Acha akan coba minta bantuan Iqbal."

Acha segera menyalakan layar ponselnya dan membukanya. Acha mencari nomor Iqbal kemudian menghubungi Iqbal dengan perasaan gugup.

Acha meremas-remas jemarinya yang mendadak dingin.

Maaf nomor yang anda tujuh sedang....

Acha menatap layar ponselnya dengan hampa. Iqbal tidak menerima panggilannya.

"Sebaiknya Acha langsung datang ke Apartmen Iqbal."

Acha segera bangkit dari duduknya, tanpa berpikir lama-lama, ia pun langsung keluar rumah untuk menuju Apartmen Iqbal. Acha yakin Iqbal sudah pulang dari kampusnya.

*****

Acha turun dari ojek online, mengembalikan helm kepada drivernya. Setelah itu, Acha segera berjalan menuju Tower unit Apartmen Iqbal yang cukup jauh jika dari gerbang depan.

Acha merasakan detakan jantungnya kembali berdegub cepat. Entah kenapa, ia merasa deg-degan dan gelisah sendiri. Padahal, Iqbal pasti senang melihatnya datang.

Acha menatap ke langit, terlihat sangat gelap. Udara malam ini pun terasa lebih dingin. Sepertinya, akan hujan.

Acha mempercepat langkahnya, ia segera masuk ke dalam lobi, disambut oleh seorang satpam yang sangat ramah dan terlihat hapal dengan sosok Acha.

"Malam Kak," sapa satpam tersebut.

Acha tersenyum dengan sopan, ia segera mengeluarkan acsess card yang dulu diberikan Iqbal untuknya. Kemudian, Acha masuk ke dalam lift dengan menggunakan kartu ditangannya.

Acha menekan tombol lantai unit Apartment Iqbal. Acha mengedarkan kesekitar, hanya dirinya sendiri.

"Iqbal sudah makan belum ya? Acha nggak kepikiran bawa makanan tadi," lirih Acha bersalah.

Ting!

Pintu lift terbuka, Acha segera keluar dan berjalan menuju unit Apartemen Iqbal. Acha berjalan sangat pelan sembari menenangkan kegelisahannya.

Acha akhirnya sampai di depan pintu Apartmen Iqbal. Acha menarik napasnya pelan-pelan dan mengembangkan senyumnya.

Setelah itu, Acha menekan bel pintu Iqbal. Namun, tak ada jawaban atau terdengar pergerakan dari dalam.

"Apa Iqbal nggak ada di Apartmen?"

Acha menekan sekali lagi, menunggu beberapa saat, tetap saja tidak ada jawaban. Acha melengos pasrah, sepertinya Iqbal memang sedang tidak ada di Apartmennya.

Acha pun memutuskan untuk pulang saja, ia masih sedikit trauma jika menunggu sendiri di depan Apartmen Iqbal. Toh, nanti Iqbal pasti menelfonnya balik.

Acha kembali memaksakan senyumnya, kemudian berbalik untuk menuju lift.

Namun, belum sempat Acha melangkahkan kakinya, Acha dihadapkan dengan pemandangan yang sangat mengejutkan tepat di depan Apartmen paling ujung, yang sangat Acha tau bahwa itu adalah Apartmen yang dihuni Biya.

Meskipun jaraknya sedikit jauh, tapi Acha bisa melihat cukup jelas dari depan Apartmen Iqbal.

Acha merasakan tubuhnya terasa lebih dingin dan senyumnya hilang seketika, begitu juga dengan energinya.

Acha mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, sekeras apapun ia berusaha memperjelas pengelihatannya, kejadian itu malah terlihat lebih nyata.

Acha perlahan memberanikan diri untuk berjalan lebih dekat, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memang tidak salah lihat.

Acha menghentikan langkahnya saat itu juga. Kedua mata Acha dengan sangat jelas menangkap dua orang lawan jenis yang tengah berpelukan. Dan, Acha sangat mengenal kedua orang tersebut.

Acha melawan rasa gemetar di tubuhnya, meningkatkan keberaniannya untuk bersuara walaupun terasa sangat sulit.

Acha perlahan membuka suaranya dengan susah payah.

"Iqbal."

****

#CuapCuapAuthor

TOLONG TAHAN NAPAS DULU TAHAN !!

HABIS ITU TAHAN EMOSI BENTAR!! TAHAN JANGAN BANTING HP YA!!

DAN, GIMANA PART INI? SUKAAA NGGAAKKK? 

SATU KATA UNTUK ENDING PART INI? 

TEMAN-TEMAN MENGUMPAT TIDAK APA-APA ASAL SOPAN YA. DAN, SEBAIKNYA KALIAN SIMPAN ENERGI UMPATAN KALIAN UNTUK PART 63. JADI, SABAR SAMPAI BESOK YA ^^ 

PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA??

KIRA-KIRA APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA DENGAN HUBUNGAN IQBAL DAN ACHA?

SAMPAI JUMPA BESOK MALAM SEMUANYAAA ^^ 

SELALU SUKA MARIPOSA 2, BACA MARIPOSA 2 DAN SUPPORT MARIPOSA 2 YA ^^

Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian untuk baca Mariposa 2 biar bisa gemes, baper dan geregetan bareng-bareng ^^ 

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu ditunggu dari teman-teman semua. Semangat untuk kasih COMMENT dan VOTE yaa di setiap cerita MARIPOSA 2 ^^

YUK, YANG MAU PART 63 DIUPDATE LEBIH AWAL BESOK MALAM, RAMAIKAN DI STORY INSTAGRAM KALIAN TAGAR #WENEEDMARIPOSA2PART63 JANGAN LUPA JUGA UNTUK TAG INSTAGRAMKU @luluk_hf dan @novelmariposa ^^ 

MAKASIHH BANYAAK SEMUAA, SELALU SAYANG KALIAN SEMUA DAN SEMOGA MALAM INI BISA TIDUR NYENYAK YAAAA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro