Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

61 - What's Wrong?

Assalamualaikum teman-teman semua. Selamat malam? Bagaimana kabar semuanya? Semoga baik-baik aja semua ya. 

KANGEENN BANGEETT SAMA KALIAAN SEMUAAAAAAAA. KALIAN KANGEN JUGA NGGAK SAMA AKU DAN MARIPOSA 2? ^^

SIAPA YANG UDAH NGGAK SABAR BACA MARIPOSA 2 PART 61? TUNJUKAN PASUKAN MARIPOSA KALIAN SEBANYAK-BANYAKNYAAA ^^

Sebelumnya, aku ucapin MAKASIH BANYAK kepada teman-teman semua karena sudah sabar dan setia menunggu Mariposa 2 Update. Makasih banyak teman-teman sudah mau ngertiin kondisi aku sampai akhirnya aku bisa kembali menulis dan update kembali. 

Dan, makasih banyak juga untuk semua ucapan, doa dan dukungannya. SAYANG KALIAN SEMUAAA. MAKASIH BANYAK YAAA ^^ 

DAN, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 ^^

*****

Jam dinding di kamar Acha sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi sang pemilik kamar masih terjaga. Tak bisa tidur. Bahkan, yang dilakukannya sekarang mungkin bisa membuat banyak orang geleng-geleng.

Yah, sudah lebih dari tiga jam Acha berkutat dengan soal-soal kimianya. Dari saat air matanya masih terus mengalir deras hingga kini sudah sangat mengering, Acha terus mengerjakan soal-soal kimia tersebut. Sebagai pelampiasan kemarahannya sendiri.

Sejak kejadian di depan gerbang rumahnya, hati Acha terasa masih sakit. Meskipun Iqbal sudah berusaha meminta maaf dan mengaku salah. Acha masih tidak puas, karena Iqbal masih tak bisa menjawab alasan kenapa cowok itu tidak mau jujur kepadanya.

Setelah Iqbal melepaskan pelukannya saat itu, Acha langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa menjawab apapun pertanyaan Iqbal.

"Lo masih sayang sama gue, sekarang?"

Setiap kali Acha mengingat kalimat itu, rasa sakit di tengah dada Acha kembali mencuat. Bagaimana bisa Iqbal mempertanyakan hal itu kepada dirinya?

Dengan segala yang Acha pertaruhkan dan segala sikap yang di tunjukannya selama ini, apakah kurang jelas jawabannya?

"Jangan pernah hilangin sayang lo buat gue, Natasha."

Bodoh! Acha membanting keras bolpoinnya! Kesal karena tinta-nya telah habis. Acha meremas rambutnya pelan, merasa sedikit frustasi sekaligus kesal.

"Kenapa Iqbal egois banget?" lirih Acha dengan suara yang berat.

Acha menyandarkan tubuhnya di kursi, ia menatap ke arah buku paket soal-soal kimia di hadapannya. Acha baru menyadari bahwa dia hampir menyelesaikan semua soal-soal kimia tersebut.

Acha kembali menghela napas panjang, entah kenapa rasa kesalnya sedikit berkurang saat ini setelah melampiaskannya.

Acha melirik ke ponselnya, ada satu pesan dari Iqbal sejak sore tadi tapi masih belum Acha buka.

Acha mengambil ponselnya dan akhirnya memilih untuk membuka pesan tersebut. Acha membacanya.

Iqbal Guanna

Gue akan temuin lo terus dan buat lo nggak marah lagi.

Acha tak bereaksi apapun, wajahnya sangat tenang. Setelah itu, dia mematikan ponselnya dan kembali meletakkannya di atas meja, tanpa membalas pesan dari Iqbal.

Acha berdiri dari kursi, merentangkan kedua tangannya. Acha baru merasakan kaku di bagian pinggangnya.

Acha menatap ke jam dinding, tiba-tiba teringat sesuatu.

"Tante Mama lembur lagi di butik?"

Nyatanya, sejak tadi Acha tidak mendengar kepulangan Mamanya. Dan, sebenarnya Acha sendiri sudah terbiasa ditinggal sendirian di rumah. Mamanya memang cukup sering lembur sampai pagi, apalagi kalau ada banyak pesanan atau mengurus event besar.

Acha berjalan ke kasurnya, tubuhnya sudah terasa lelah dan kaku semua. Acha butuh istirahat sekarang. Apalagi, dia besok harus masuk akademi lagi.

Acha merubuhkan tubuhnya dan menarik selimutnya. Sebelum memejamkan mata, Acha berdoa sebentar. Setelah itu, perlahan menutup kedua matanya.

"Semoga hari besok akan lebih baik."

*****

PRAANGGG!!

Kedua mata Acha langsung terbuka, terkejut bukan main. Bahkan, napas Acha sampai ikut ngos-ngosan. Acha segera mendudukkan tubuhnya. Suara keras apa yang barusan ia dengar? Seperti sesuatu yang pecah?

Dengan kedua mata masih terasa berat, Acha melirik ke jam dindingnya. Menunjukkan pukul setengah lima dini hari.

"Apa Tante Mama sudah pulang?"

Acha memilih berjalan keluar kamarnya, untuk mengecek.

*****

Acha mengedarkan pandangannya, tidak ada siapapun. Acha terdiam sejenak, mempertajam indera pendengarnya. Acha merasakan terdengar suara-suara di arah dapur.

"Tante Mama," panggil Acha lirih.

Jujur, Acha sedikit takut. Namun, Acha berusaha melawannya, ia mengumpulkan semua keberaniannya dan berjalan ke arah dapurnya.

Hingga akhirnya, Acha dapat melihat jelas seorang wanita tengah duduk membersihkan pecahan mangkok kaca yang ada dilantai.

Acha sedikit terkejut dengan kening mengerut.

"Tante Mama kapan pulang?" tanya Acha lebih mendekat.

Kirana mendongakkan kepala, terkejut melihat kehadiran Acha. Kirana memaksakan senyumnya.

"Baru aja," jawab Kirana seadanya dan melanjutkan membersihkan pecahan-pecahan kaca tersebut.

Acha tertegun sesaat. Acha menyadari bahwa kedua mata Kirana sembab seperti orang yang habis menangis dan suaranya juga sangat serak. Apa telah terjadi sesuatu kepada Mamanya?

Acha melihat sang Mama berdiri, membuang serpihan-serpihan kaca yang telah terkumpul. Dan, Acha merasa kantuknya hilang seketika itu juga.

"Kamu kebangun gara-gara Mama ya? Maaf banget, tadi Mama mau ambil mangkok tapi malah kesenggol," jelas Kirana masih menyibukkan diri mencuci tangan di westefel dan sengaja membelakangi Acha.

Acha berjalan lebih dekat, semakin yakin dengan firasatnya. Acha menoleh ke arah ujung meja makan dan menyadari ada sebuah koper. Mamanya mau kemana?

"Tante Mama kenapa?" lirih Acha khawatir.

Kirana langsung terdiam, tubuhnya membeku. Untuk beberapa saat keadaan menjadi hening, hanya suara aliran air di westafel yang terdengar.

Hingga akhirnya, Kirana mematikan keran air dan membalikkan badan ke putrinya. Kirana mengembangkan senyumnya ke Acha.

"Mama nggak apa-apa sayang. Kenapa?"

Kini Acha dapat melihat lebih jelas dua mata sembab itu. Wajah Kirana pun terlihat sangat pucat. Beberapa hari ini, memang Acha jarang bisa bertemu Kirana. Mamanya selalu berangkat pagi-pagi dan pulang malam, sangat sibuk.

"Tante Mama habis nangis?" tanya Acha memberanikan diri.

Senyum di wajah Kirana langsung sirna perlahan, raut wajahnya berubah tegang. Kirana tak bisa lagi menyembunyikan ekspresinya.

"Ma... Mama nggak nangis, Cha," elak Kirana mencoba memaksakan senyum lagi namun gagal! Terlihat sangat kaku.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Acha memaksa.

"Mama nggak apa-apa Acha. Beneran."

"Bohong. Acha tau, Tante Mama habis nangis."

Acha dapat melihat kedua bahu Mamanya mulai bergetar, bahkan terlihat Kirana seperti sedang menahan sesuatu di kedua matanya.

"Ma... Mama beneran nggak nangis," kekuh Kirana kesekian kalinya.

Acha menggeleng, tak mau percaya.

"Ada apa? Jujur sama Acha," pinta Acha memohon.

"Mama beneran nggak apa-apa Cha."

Acha menghela napas panjang, berusaha untuk tak menyerah. Acha perlahan menunjuk ke arah koper Kirana.

"Tante Mama mau pergi? Kemana? Kok nggak bilang ke Acha?" tanya Acha.

Saat itu juga, wajah panik Kirana langsung terlihat jelas. Kirana menggeleng cepat.

"Mama nggak pergi kemana-mana. Kopernya mau Mama bawa ke butik pagi ini," jawab Kirana tergesah-gesah seperti orang berbohong.

Dan, tentu saja Acha semakin tidak percaya.

"Nggak mau jujur ya sama Acha?" lirih Acha sedih. "Acha tau dan bisa rasain dari kemarin. Ada sesuatu yang terjadi dengan Tante Mama," lanjut Acha.

Kini terdengar helaan napas yang lebih panjang dari Kirana, perlahan kepala wanita itu tertunduk dan bahunya bertambah gemetar. Kirana tak bisa lepas lagi dari pertanyaan sang putri.

"Maafin Mama, Cha."

Deg! Acha merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Dugaannya sangat benar. Mamanya sedang ada masalah. Acha mencoba untuk tidak menduga-duga.

"Ada apa Tante Mama? Cerita sama Acha," pinta Acha ingin tau.

Kirana semakin tertunduk dengan kepalanya menggeleng pelan.

"Mama bener-bener minta maaf Cha."

Acha mendekatkan diri, menyentuh dua bahu Mamanya agar berhenti bergetar. Acha tau Mamanya sudah menangis saat ini, terdengar dari suara berat dan seraknya.

"Tante Mama kenapa? Ada apa?" suara Acha terdengar lebih memaksa, ingin penjelasan dari Kirana.

Perlahan Kirana memberanikan diri untuk menatap putrinya. Dan, benar dugaan Acha, kedua mata sang Mama sudah basah dipenuhi air mata.

Seketika itu, hati Acha terasa hancur. Acha hampir tidak pernah melihat Mamanya menangis. Pasti ada sesuatu besar yang telah terjadi.

"Tante Mama cerita ya. Acha mohon."

Kirana menghembuskan napasnya sesaat, kemudian membuka suaranya kembali.

"Mama kena tipu besar. Client yang Mama sangat percaya, yang sudah bertahun-tahun jadi pelanggan butik Mama, tiba-tiba menipu Mama. Pelanggan itu kabur tanpa menyelesaikan pembayaran dan tiba-tiba menghilang. Mama sudah berusaha selama berhari-hari ini buat cari jalan keluar dan berusaha menghubungi client itu tapi nggak bisa."

Acha merasakan kedua matanya mulai berkaca-kaca. Acha tak menyangka Mamanya harus menerima cobaan yang besar seperti ini.

"Keluarga Bu Danti ya?" tebak Acha.

Kirana mengangguk tanpa ragu. Saat itu juga air mata Acha turun dengan bebasnya. Ia tak sanggup melihat Mamanya menangis dan terpuruk seperti ini. Acha sangat kenal dengan beberapa pelanggan Mamanya.

Keluarga Bu Danti terkenal sangat kaya dan selalu memesan baju pernikahan, baju pesta bahkan sering memercayakan Mamanya untuk mengurus nikahan anaknya. Mulai dari gedung, catering, pakaian dan lain-lainnya.

Acha yakin, problem saat ini tidak jauh-jauh dari sana. Dan, Acha juga tak menyangka bahwa keluarga Bu Danti bisa melakukan hal sejahat itu kepada Mamanya.

"Mama sudah percaya banget sama mereka Cha. Karena berkali-kali mereka percayakan acara besar-besar mereka ke Mama, mereka selalu bayar tepat waktu. Makanya, di event yang sekarang, saat mereka bilang bisa bayar 20% dulu dan akan bayar lunas setelah pulang dari luar negeri, Mama sangat percaya. Mama gunain uang Mama dulu buat bayar semua yang kurang," lanjut Kirana.

Acha mengeratkan pegangan tangannya di bahu Mamanya.

"Tante Mama udah ya nangisnya, nggak apa-apa, uang bisa di cari lagi. Tante Mama bisa pakai uang tabungan kuliah Acha untuk bayar kekurangannya," ucap Acha berusaha menenangkan Kirana.

Tangis Kirana seketika semakin memecah, kepalanya kembali menggeleng-geleng. Dan, Acha dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang semakin tidak beres.

"Tabungan untuk kuliah kamu juga ikut Mama gunakan, Cha. Mama berniat meminjamnya sebentar. Tapi, Mama nggak nyangka akan kena tipu hampir enam ratus juta. Mama benar-benar minta maaf."

Saat itu juga pikiran Acha langsung kosong. Tubuhnya yang semula masih kuat, mendadak ikut gemetar. Acha langsung merinding mendengarnya.

"Mama minta maaf sayang. Ini salah Mama. Mama yang bodoh banget terlalu percaya sama orang," tangis Kirana menjadi. "Mama benar-benar nggak nyangka bisa tertipu besar seperti ini."

Acha tak bisa lagi menghentikan air matanya sekarang. Acha sekuat mungkin untuk tidak terisak, beberapa kali Acha mengigit bibir bawahnya sendiri agar isakannya tidak terdengar ataupun keluar.

Acha berusaha berpikir cepat, melihat Mamanya terus menangis dan tertunduk bersalah membuat hati Acha sangat hancur.

"Tante Mama, Acha nggak harus kuliah Kedokteran. Acha nggak apa-apa nggak kuliah Kedokteran. Acha bisa daftar yang lainnya. Acha suka kimia. Jadi, Acha bisa ma...."

Kirana langsung mengangkat kepalanya cepat dengan kedua tanganya mencegkram bahu Acha kuat, membuat Acha sangat terkejut hingga tak bisa melanjutkan ucapannya.

"Kamu harus tetap kuliah Kedokteran. Kamu nggak perlu ikut mikirin bagaimana uangnya. Mama akan berusaha untuk dapatkan uang Mama kembali!" tajam Kirana.

Acha mengepalkan kedua tangannya, sorot mata sang Mama terasa mengintimidasinya.

"Tante Mama, Acha beneran nggak apa-apa nggak kuliah Kedokteran," lirih Acha berusaha membujuk Kirana.

Kirana menggelengkan kepalanya.

"Baru pertama kali ini, kamu menemukan apa yang kamu inginkan setelah bertahun-tahun. Mama nggak mau kamu nggak bisa raih keinginan kamu itu. Mama nggak mau, gara-gara Mama, kamu harus relakan impian kamu. Mama nggak akan biarin itu terjadi. Mama akan memperjuangkannya!"

"Tapi Tante Mama, seka..."

"Percaya sama Mama, Cha. Mama bisa dapatkan uang itu kembali. Bahkan, Mama dapat kabar kalau Bu Danti sedang ada di Surabaya. Makanya, Mama akan berangkat sekarang juga ke Surabaya buat cari Bu Danti."

Entah untuk keberapa kalinya, Acha dikejutkan dengan kabar yang diberikan oleh Mamanya.

"Ta... Tante Mama mau berangkat ke Surabaya sekarang juga?" tanya Acha terbata.

"Iya sayang. Mama harus ke Surabaya sekarang untuk dapatkan uang Mama kembali."

Ah. Acha kini tau untuk apa koper itu. Dugaan Acha ternyata tidak salah dari awal.

"Acha ikut. Acha temenin Tante Mama ya ke Surabaya," ucap Acha sangat yakin.

Kirana menggeleng lagi.

"Nggak! Kamu nggak boleh ikut! Kamu tetap di Jakarta dan lanjutkan Akademi kamu. Kamu harus masuk Kedokteran," tegas Kirana.

"Tante Mama berangkat sendirian, Acha nggak bisa tinggalin Tante Mama. Lagian, Acha sudah banyak belajar kok. Acha ya..."

"Nggak Natasha! Kamu harus tetap masuk kelas Akademi kamu. Jangan buang waktu kamu. Fokus sama persiapan ujian kamu sebentar lagi!"

"Tante Mama..." rengek Acha memohon.

Acha dapat merasakan kedua tangan Mamanya mencengkram bahunya lebih erat.

"Kamu nggak perlu ikut memikirkan masalah Mama. Fokus dengan impian kamu. Fokus untuk masuk Kedokteran. Mama nggak ingin apapun dari kamu saat ini, selain kamu bisa kejar impian kamu dan keterima di Kedokteran. Mengerti?"

Acha melihat kedua mata Kirana yang kembali berkaca-kaca. Acha dapat merasakan ketulusan dari ucapan Kirana yang benar-benar menyentuhnya, membuat Acha tak bisa lagi melawan ataupun memaksa.

"Iya Tante Mama."

Kirana tersenyum lega mendengar jawaban Acha. Perlahan tangan Kirana lepas dari bahu Acha, berganti membelai kepala Acha pelan.

"Mama minta maaf ya harus tinggalin kamu sendiri selama beberapa hari. Nggak apa-apa, kan?"

Acha menggeleng cepat, ia segera menghapus bekas air matanya dan memaksakan untuk tersenyum.

"Acha nggak apa-apa Tante Mama. Acha udah terbiasa dan berani sendirian di rumah," jawab Acha berusaha tegar.

"Makasih sayang. Kalau ada apa-apa langsung kabari Mama."

Acha menurunkan tangan Kirana yang menyentuh kepalanya dan menggenggamnya erat.

"Tante Mama nggak usah khawatirin Acha. Acha beneran nggak apa-apa sendiri. Tante Mama yang hati-hati ke Surabaya-nya. Dan, selalu hubungi Acha."

Kirana melebarkan senyumnya.

"Iya sayang. Makasih banyak sudah menjadi penguat buat Mama. Dan, Mama benar-benar minta maaf."

Acha tak tega melihat Kirana yang akan menangis lagi. Acha pun segera menghamburkan dirinya untuk memeluk sang Mama.

"Tante Mama nggak perlu minta maaf. Tante Mama jangan takut ya. Selalu ada Acha yang akan jadi penguat Tante Mama dimanapun dan kapanpun."

Kirana mengeratkan pelukan putrinya, merasa lebih lega mendengar ucapan Acha.

"Terima kasih sayang. Mama akan segera kembali bawa kabar baik buat kamu."

*****

Setelah sarapan, Iqbal melihat layar ponselnya. Entah sudah keberapa kalinya ia mengecek ponselnya. Hal yang paling langka dilakukan seorang Iqbal.

Tentu saja Iqbal sedang menunggu notifikasi dari seseorang. Tak lain dan tak bukan dari Acha. Sejak semalam, Acha hanya membaca pesannya tanpa membalas, membuat Iqbal khawatir serta takut.

Iqbal mengambil ponselnya, membuka pesan terakhirnya yang dikirimkan ke Acha.

"Dia masih marah banget?"

Iqbal menimang-nimang, apakah dia harus menelfon Acha atau mengirim pesan ke gadis itu.

Iqbal pun memutuskan untuk menelfon Acha. Iqbal segera mencari nomor Acha dan menghubungi gadisnya.

Maaf nomor yang anda tujuh sedang....

Iqbal mengerutkan kening, ponsel Acha mati dan tidak bisa ditelfon. Apa Acha sengaja mematikan ponselnya?

"Pulang kuliah aja gue samperin ke rumahnya."

Setelah itu, Iqbal bergegas untuk berangkat ke kampus untuk kuliah paginya.

******

Acha sama sekali tidak bisa fokus selama kelas Akademinya. Dua masalah yang dihadapinya terus berputar di otaknya dan membuat kepalanya serasa ingin meledak.

Pertengkaran dengan Iqbal belum juga mendapat titik terang, sudah ditambah dengan masalah Mamanya yang ditipu ratusan juta.

"Kak Acha," panggil Tesya menepuk bahu Acha.

Acha tersentak kaget, ia menoleh ke Tesya cepat.

"Kenapa Tesya?"

"Daritadi gue panggil Kak Acha, tapi Kak Acha diem terus," protes Tesya.

"Maaf Tesya. Acha lagi nggak fokus."

"Ada masalah?" tanya Tesya menebak.

Acha memaksakan senyumnya.

"Nggak ada. Hanya sedikit nggak enak badan," bohong Acha.

"Tapi Kak Acha nggak apa-apa, kan?" raut wajah Tesya berubah khawatir.

"Nggak apa-apa."

"Beneran?"

"Iya Tesya. Acha beneran nggak apa-apa."

Tesya menghela napas pelan, berusaha mempercayai jawaban Acha. Perlahan ia bangkit dari duduknya.

"Mau ke kantin, nggak?" ajak Tesya ingin menghibur Acha.

Acha menggeleng.

"Acha disini aja. Lagi males kemana-mana."

Tesya langsung kembali duduk.

"Oke, gue juga disini aja nungguin Kak Acha."

Acha terkekeh pelan, ada-ada saja gadis di depan ini. Acha bersyukur ia bisa bertemu Tesya kembali di akademi ini. Ia tidak merasa kesepian dan sendirian.

"Kak, gue mau cerita."

Acha mengerutkan kening bingung, Ia melihat Tesya yang mendekatkan kursinya, bersiap untuk cerita.

"Cerita apa?" tanya Acha penasaran.

"Gue lagi galau banget akhir-akhir ini," ucap Tesya dengan ekspresi yang dibuat semenderita mungkin.

Kening Acha semakin mengerut.

"Tesya galauin apa?"

"Gue galau karena gue baru sadar kalau ternyata gue udah kelamaan sendiri. Hati gue yang lama kosong ini tiba-tiba bergetar ingin cari pacar," ucap Tesya dengan dramatisnya.

Acha mengerjap-kerjapkan matanya, dibuat terbengong dengan cerita Tesya. Butuh waktu beberapa detik bagi Acha untuk mencerna perkataan Tesya.

"Tesya lagi bercanda?" tanya Acha mengira bahwa gadis itu masih mencoba ingin menghiburnya.

Kedua mata Tesya melebar.

"Gue serius Kak!"

Acha tersenyum kaku.

"Maaf kirain bercanda."

Tesya menghela napas panjang, ia mencoba kembali serius.

"Kenalin gue sama teman cowok Kak Acha, dong. Siapa aja boleh," pinta Tesya penuh harap.

Acha terdiam sejenak.

"Kan, kemarin Acha sudah tawarin," seru Acha.

"Siapa?" bingung Tesya tak ingat.

"Acha tawarin Tesya buat sama Glen."

"Astaghfirullah! Allahuakbar!"

Acha sontak tertawa mendengar Tesya menyebut dua kali. reaksi yang hampir sama dengan pertama kali Acha menawarkan nama Glen ke Tesya.

"Yang bagusan dikit nggak ada, Kak?" tanya Tesya prihatin.

"Glen kurang bagus apa Tesya? Dia kaya banget," ucap Acha menyebutkan satu kelebihan Glen yang hampir tak bisa terkalahkan.

"Otaknya yang kurang bagus!" jujur Tesya tak mau menutup-nutupi.

Acha dibuat bungkam sesaat dengan kejujuran Tesya.

"Benar juga sih."

"Tingkahnya juga aneh. Dulu gue kira Kak Glen itu bodoh, ternyata emang bodoh banget."

Acha menahan tawanya, mendadak merasa kasihan dengan Glen.

"Tapi, kan, kalian bisa saling melengkapi. Glen kaya tapi nggak pinter sedangkan Tesya pinter banget."

"Tapi gue juga kaya," sombong Tesya memberikan kenyataan mutlaknya.

"Bener juga. Berarti nggak saling melengkapi ya?" cengir Acha.

Tesya langsung menggeleng cepat sembari memberikan tanda silang di kedua tangannya.

"Gue mending sendiri seumur hidup daripada sama Kak Glen," ucap Tesya sungguh-sungguh.

"Jangan kayak gitu. Siapa tau Tesya malah jodoh sama Glen."

Kedua mata Tesya kembali melotot tak santai.

"Kak Acha sendiri mau sama Glen?" tanya Tesya mendadak emosi.

"Nggak, makasih," jawab Acha cepat dan jelas.

"Kalau di dunia ini cuma ada satu cowok dan itu Glen. Kak Acha mau pacaran sama Glen?" serang Tesya kembali seolah tak puas dengan jawaban Acha.

"Acha anaknya mandiri Tesya. Acha terbiasa di rumah sendiri, masak sendiri. Semuanya, Acha bisa serba sendiri," jawab Acha sangat panjang kali ini.

Tesya geleng-geleng, sudah menduga pikiran Acha tidak ada beda dengan dirinya.

"Kasihan Kak Glen," lirih Tesya berganti prihatin karena jawaban Acha.

Tesya dan Acha saling bertatapan. Hingga detik berikutnya tawa keduanyaa sama-sama pecah. Topik siang ini mereka sedang me-roasting seorang Glen. Untung saja, Glen tidak ada di dekat mereka. Bisa terjadi perang dunia per-sapian!

Sejenak, Acha lupa dengan masalahnya dan itu karena Tesya. Acha benar-benar bersyukur ada Tesya di dekatnya saat ini.

*****

Abdi menghentikan langkahnya di dekat pintu kelasnya. Entah sudah berapa menit ia berdiri di sana tanpa berani melanjutkan langkahnya. Baru kali ini Abdi merasa masuk ke dalam kelas seperti acara uji nyali.

Jujur, saking takutnya Abdi untuk bertemu Iqbal, Abdi melewatkan kuliah paginya. Ia masih butuh waktu untuk menyiapkan hati dan mentalnya.

"Abdi jangan takut!! Ayo jangan takut!! Lo anak Indonesia paling pemberani!!"

Abdi meremas-remas jemarinya sendiri dengan cemas.

"Iqbal nggak mungkin sampai bunuh lo. Paling lo dihujami kata-kata mutiara aja sama dia. Nggak usah takut, Di!"

Napas Abdi menghela panjang, jemarinya semakin mengeluarkan keringat dingin.

"Apa gue beneran pindah alam aja, ya?"

Abdi menyenderkan tubuhnya ke dinding dengan pasrah. Ketakutannya benar-benar tak bisa ia redam. Membayangkan tatapan tajam nan dingin seorang Iqbal saja, sudah berhasil membuatnya merinding sendiri.

"Ngapain lo, Di? Nggak masuk?"

Seorang cewek baru saja keluar dari kelas dan menatap Abdi dengan bingung.

"Nad, Iqbal sudah datang? Dia sudah di dalam kelas?" tanya Abdi ke cewek bernama Nada, salah satu teman sekelasnya dengan Iqbal.

Nada mengangguk.

"Sudah daritadi. Dia lagi baca buku di bangkunya," jawab Nada memberikan jawaban akuratnya.

"Kira-kira aura Iqbal gimana sekarang? Ekspresi dia bahagia, senang, marah atau sedih?"

Nada mengerutkan keningnya sesaat.

"Emang Iqbal pernah ber-ekspresi ya?" bingung Nada.

"Nggak pernah juga sih," balas Abdi dengan senyum canggungnya.

"Datar!" ucap Nada memberikan jawaban akurat untuk keduanya. Setelah itu, ia beranjak pergi meninggalkan Abdi begitu saja.

Abdi lagi-lagi hanya bisa mengelus dadanya, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup lebih cepat.

"Oke, tenang Abdi. Lo udah nulis surat wasiat, sudah telfon Mama dan Papa. Jadi, walaupun nyawa lo melayang hari ini, setidaknya lo udah siap dan pamitan dengan keluarga," ucap Abdi dramatis ke dirinya sendiri.

Abdi memaksakan senyumnya, ia menatap ke depan dengan tekat kuat. Kedua tangannya ia kepalkan.

"Lo bisa Abdi. Semangat!"

Dengan keberanian tingkat dewa, Abdi berusaha melawan rasa takutnya. Perlahan, Abdi membernaikan diri untuk melangkahkan kembali kakinya sedikit demi sedikit.

Namun, baru menyentuh pintu kelas dan ingin membukanya, langkah Abdi mundur saat itu juga. Abdi merasakan gejolak-gejolak dingin dan aneh yang tak bisa ia tahan lagi di dalam tubuhnya.

Bukannya masuk ke dalam kelas, Abdi langsung balik badan dan berlari dengan kecepatan supernya menjauhi kelas.

"Berengsek! Pakai kebelet lagi!!"

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? SUKA NGGAK? KERINDUANNYA SUDAH TEROBATI?

PASTI BELUM KAN? PASTI MASIH KURANG KAN KARENA KANGEN IQBAL DAN ACHA?

YANG KANGEN BANGET IQBAL DAN ACHA MANA SUARANYA? 

SATU KATA UNTUK ABDI DARI KALIAN SEMUA ^^ 

MAU DI UPDATE LAGI BESOK? ^^ 

Bagi, teman-teman yang belum tau, sebagai rasa terima kasihku kepada teman-teman semua karena sudah sabar menunggu Mariposa 2 update dan selalu support aku. Untuk minggu ini, Mariposa 2 akan update tiga hari berturut-turut (JUMAT, SABTU dan MINGGU)

DAN, SAMPAI JUMPA KEMBALI BESOK MALAM YA ^^ 

SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA TERUS BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 AMIN ^^

Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian untuk baca Mariposa 2. Yuk, bantu share cerita Mariposa 2 di sosial Media kalian yaa ^^

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu paling ditunggu dari teman-teman semua ^^ 

TEMAN-TEMAN JUGA BISA MAMPIR KE INSTAGRAMKU : luluk_hf . KARENA BANYAK SPOILER-SPOILER MARIPOSA 2 DISANA ^^

MAKASIH BANYAAKKK SEMUANYAA, SELALU KANGEN KALIAN SEMUAA DAN SAYANG KALIAAN SEMUAAAAA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro