Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

60 - The Question

Assalamualaikum teman-teman semuanyaaa. Alhamdulillah hari Jumat datang lagi ^^

SIAPA YANG SUDAH NUNGGU MARIPOSA 2 UPDATE DARI TADI?

TUNJUKAN PASUKAN MENG KALIAAN SEBANYAK MUNGKIN ^^

Paling nunggu scene apa nih di part 60 kali ini? ^^

SUDAH DISIAPKAN DAN DIKUATKAN HATINYA BUAT PART INI? ^^ 

Sebelum baca Mariposa 2. Aku ada info penting nih buat teman-teman semua ^^

PRE ORDER EBOOK SNAPSNIP GENG MULTINASIONAL SEASON III SUDAH DIBUKA YAA ^^

BAGI TEMAN-TEMAN YANG INGIN ORDER LANGSUNG BISA ISI FORM INI :

https://bit.ly/POEbookGengMultinasional

TEMAN-TEMAN BISA LANGSUNG ISI FORM DI : https://bit.ly/POEbookGengMultinasional

UNTUK BULAN INI SAJA ADA DISKON DARI HARGA 50.000 MENJADI 30.000

Pembayaran bisa melalui :

-Transfer Bank  (BCA dan BRI)

-Shopeepay

-Dana dan OVO 

(Kalian langsung aja buka link ini diatas dan ada  tata cara pembayarannya yaa)

JADI JANGAN SAMPAI KETINGGALAN KARENA HANYA BULAN INI SAJA^^

SEGERA PESAN DAN BELI SEKARANG JUGA EBOOK SNAPSNIP GENG MULTINASIONAL  ^^

DAN, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2. SEMOGAA SEMAKIN SUKA SAMA MARIPOSA 2 YAA ^^

*****

Iqbal mengejar Acha, mempercepat langkahnya hingga dia bisa menangkap lengan Acha dan membuat Acha mau tak mau berhenti.

"Mau kemana?" tanya Iqbal, berusaha mengatur napasnya sebentar.

"Pulang," jawab Acha tanpa mau menatap Iqbal.

Iqbal menghela napas panjang, menenangkan pikirannya. Iqbal tau bahwa Acha masih terlihat marah dengan dirinya. Dan, mungkin bertambah marah karena melihat keberadaan Biya tadi.

"Gue anterin."

"Acha bisa pulang sendiri."

Acha melepaskan tangan Iqbal dari lengannya, namun Iqbal malah berganti menggenggam jemarinya, membuat Acha sedikit terkejut karena genggaman Iqbal yang cukup erat.

Rasanya sangat aneh, dada Acha mendadak terasa lebih sakit. Acha memang merindukan genggaman itu. Namun, ia juga marah dengan pemilik tangan itu.

"Gue anterin, Cha," mohon Iqbal. Jujur, Iqbal ingin sekali memperbaiki keadaan hubungan mereka, menyelesaikan masalah semalam.

Tatapan Acha perlahan menurun ke bawah, senyumnya mengambang tipis.

"Bukannya Iqbal harus anterin Biya?" serang Acha cepat.

Iqbal tidak terlalu terkejut mendengarnya, sudah mengira jika Acha akan membahas kehadiran Biya tadi. Iqbal berusaha tetap tenang.

"Kita satu tower Apartmen, Cha. Satu arah pulang," jelas Iqbal berusaha membuat Acha mengerti.

Acha mengangguk-angguk kecil,senyumnya berubah sinis.

"Acha kan nggak satu arah sama Iqbal, jadi Acha bisa pulang sendiri. Iqbal nggak perlu anterin Acha," sindir Acha terang-terangan.

Iqbal langsung dipojokkan oleh serangan kedua Acha.

"Cha, jangan seperti anak kecil," pinta Iqbal.

Namun, kalimat Iqbal barusan berhasil membuat emosi Acha mulai bergejolak hebat. Kedua tangan Acha mengepal kuat. Acha menahan untuk tetap tenang walau sangat susah.

Perjuangan Acha untuk bersikap lebih dewasa selama hampir dua tahun terakhir serasa di hancurkan seketika oleh kalimat Iqbal itu.

Acha merasakan dadanya kembali sakit dan kedua matanya memanas.

"Maaf, kalau Acha masih seperti anak kecil," lirih Acha.

Dan, Iqbal tersadarkan bahwa dia baru saja membuat satu kesalahan lagi. Iqbal merutuki kebodohannya.

"Cha, bukan gitu maksud gue."

"Acha ngerti kok maksud Iqbal," potong Acha cepat.

"Cha, gue minta maaf," akuh Iqbal cepat tak ingin membuat Acha semakin marah.

Acha berusaha untuk tidak menangis, menguatkan hati dan dirinya sendiri. Acha menghela napasnya pelan-pelan. Kemudian, mengangkat kepalanya lagi.

Acha memaksakan senyum getirnya. Kemudian, menoleh ke Iqbal.

"Iqbal nggak akan lepasin genggaman tangan Iqbal sampai Acha mau dianter pulang sama Iqbal, kan?" tanya Acha.

Iqbal sedikit tertegun mendengarna, namun ia segera mengangguk.

"Iya."

Jawaban yang sudah Acha duga apalagi Acha dapat merasakan genggaman Iqbal mengerat seolah takut dilepas paksa oleh Acha.

"Oke, Acha mau di antar sama Iqbal. Tapi ada satu syarat," ucap Acha sungguh-sungguh.

"Apa?" tanya Iqbal senang mendengar Acha tidak menolak lagi.

Senyum Acha berubah, lebih penuh arti.

"Acha nggak mau naik mobil Iqbal."

Yah, Acha sedang sengaja menunjukkan ke Iqbal. Arti dari sikap kekanak-kanakan sebenarnya!

*****

Demi Acha dan tak ingin Acha semakin marah. Iqbal langsung menerima permintaan Acha. Saat itu juga, Iqbal langsung menelfon Glen dan Rian meminta salah satu dari mereka untuk segera datang ke café sebrang SMA.

Untung saja, Glen mengiyakan karena posisinya berada di dekat café.

Kenapa Iqbal tidak bertukar mobil dengan Abdi saja?

Jangankan berpikiran untuk bertukar mobil! Mengingat nama cowok itu saja untuk saat ini, Iqbal tidak sudi!

Dan, selama menunggu mobil Glen datang, Iqbal tak pernah mau melepaskan genggaman tangan Acha.

Iqbal menoleh ke Acha, gadis itu terlihat sedikit ke panasan karena cahaya matahari sore.

"Mau masuk lagi ke café?" tawar Iqbal.

"Nggak," jawab Acha sekadarnya. Ia hanya berharap Glen segera datang.

Iqbal melihat pelipis Acha yang mulai berkeringat. Iqbal dengan cepat mengusapinya dan membuat Acha sedikit tersentak, menjauhkan wajahnya cepat.

"Keringat lo keluar terus, Cha," ucap Iqbal memberitahu.

Acha tak membalas. Ia memilih mengelap keringat-nya sendiri yang ada di pelipis dan lehernya.

"Glen masih lama?" tanya Acha masih tidak mau menatap Iqbal.

"Sebentar lagi."

Acha tidak bisa mengeluh, dia sadar dengan resiko dari permintaannya sendiri. Acha menundukkan kepala, mulai lelah.

"Kenapa nggaka naik taxi aja?" lirih Acha mengutarakan ide-nya dengan pelan. Namun, cukup terdengar di telinga Iqbal.

Sebenarnya, Iqbal terpikir sampai sana. Tapi, jika dia memilih mengantar Acha dengan taxi. Iqbal yakin, gadis itu akan langsung kabur sesampai taxi mereka sampai dirumah.

Dengan tetap menggunakan mobilnya atau mobil Glen, Iqbal akan punya kesempatan untuk menahan Acha di dalam mobil.

"Mau gue belikan minum?" tawar Iqbal lagi.

Acha menggeleng, masih dengan tatapan ke bawah sembari memainkan satu kakinya.

"Nggak usah."

Iqbal lebih mendekatkan tubuhnya di samping Acha, sorot matanya tak bisa lepas dari gadisnya.

"Acha," panggil Iqbal.

"Apa?"

"Lihat gue," pinta Iqbal.

Terdengar helaan napas pelan dari hidung Acha. perlahan gadis itu menoleh ke Iqbal.

"Nggak suka gue anterin pulang?" tanya Iqbal sungguh-sungguh.

Acha pun dapat merasakan, genggaman tangan Iqbal terasa lebih erat.

"Suka," jawab Acha.

Iqbal tersenyum tipis. Lagi-lagi nada suara Acha lebih menjawab pertanyaannya. Dan, belum sempat Iqbal bertanya lagi. Acha lebih duluan membuang muka, kembali menatap ke bawah, tidak menghiraukan Iqbal begitu saja.

****

Akhirnya sebuah mobil Porsche merah memasuki parkiran Café. Iqbal tersenyum lega yang di tunggu datang juga.

"Glen udah datang," ucap Iqbal.

Acha langsung mengangkat kepalanya, mencari keberadaan mobil Glen. Acha sangat lega sekali. Kehadiran Glen seperti penyelamatnya. Sepertinya baru kali ini, Acha merasa keberadaan Glen sangat membantu hidupnya.

"Makasih banyak teman sesama presiden." Acha mengutarakannya dalam hati dengan tulus untuk seorang Glen Anggara.

Iqbal dan Acha segera berjalan mendekati mobil Glen yang sudah terparkir tepat di samping mobil Iqbal.

Iqbal mengeluarkan kunci mobilnya dan melemparkannya ke Glen saat cowok itu sudah berdiri manis di pinggir pintu mobil.

"Harus banget genggaman tangan?" ledek Glen setelah berhasil menangkap kunci mobil Iqbal.

Baik Iqbal dan Acha tak berniat menjawab. Iqbal langsung merebut kunci mobil Glen dengan tak berdosanya.

"Gue pinjam dulu," ucap Iqbal.

"Mobil lo kenapa lagi?" tanya Glen heran.

Iqbal bingung harus menjelaskan darimana. Dan, sebelum Iqbal menjawab, Acha duluan memotong pembicaraan mereka.

"Iqbal, Acha masuk mobil dulu," pinta Acha.

Iqbal mengangguk cepat, mengiyakan.

"Iya."

Acha menatap Iqbal dengan bingung, untuk beberapa saat.

"Lepasin tangan Acha," pinta Acha kedua kalinya.

Ah... Iqbal buru-buru melepaskannya. Dan, Acha pun berjalan ke sisi lain pintu mobil, memilih masuk terlebih dahulu. Acha meninggalkan Iqbal dan Glen.

Sedangkan Glen, sedari tadi menahan tawa melihat sikap bucin sahabatnya.

"Lo bertengkar sama Acha?" tebak Glen tepat sasaran.

Iqbal menghela napas berat, mengangguk dengan pasrah.

"Iya."

"Gara-gara apa lagi?"

"Gue jarang bertengkar sama Acha," protes Iqbal tidak terima dengan kata 'lagi' dalam kalimat pertanyaan Glen.

"Tapi sekali bertengkar bisa lama dan hebat pertengkarannya!" cibir Glen.

Iqbal menggeleng singkat, tak ingin memperpanjang pembahasan ini.

"Gue duluan," pamit Iqbal.

"Gini aja nih sambutannya? Nggak ada minuman gitu buat gue?" protes Glen balik.

"Lo lebih kaya dari gue," tajam Iqbal.

"Lo lebih pinter dari gue," balas Glen tak mau kalah.

"Lebih pilih kaya apa pinter?"

Glen bergumam panjang.

"Gue mau jadi orang kaya dan juga pinter."

Iqbal menepuk pelan bahu Glen.

"Bangun! Masih sore!"

Sial! Glen mengumpat dalam hati. Ia hanya bisa memperhatikan Iqbal yang sudah berjalan meninggalkannya untuk masuk ke dalam mobil.

"Hati-hati bawa anak gue. Jangan sampai lecet!" seru Glen berpesan.

Namun, Iqbal tak menyahuti. Cowok itu langsung menjalankan mobil Glen beranjak dari sana, meninggalkan sang pemilik asli.

Glen geleng-geleng sendiri sembari mengelus dadanya untuk berusaha sabar menghadapi hidup yang terkadang kejam ini.

Ketika inginberanjak, Glen tiba-tiba tak sengaja menatap telapak tangannaya sendiri. Glen mengangkatnya setinggi keningnya. Sesekali memutar-mutar dengan tatapan lekat.

"Udah berapa lama ya gue jomblo?"

*****

Abdi tak bisa merasakan apapun sekarang. Nyawanya seperti baru saja diambil. Untuk bernapas saja rasnaya enggan lagi. Dan, entah sudah berapa kali Abdi membuang napas beratnya.

Seolah dia adalah manusia yang memiliki masalah paling berat di dunia ini.

Di sisi lain, Biya hanya bisa sabar melihat Abdi yang duduk dengan tatapan kosong. Seperti orang yang sudah tidak punya tujuan hidup dan semangat hidup.

Sebenarnya, Biya ingin sekali meninggalkan 'bocah menyedihkan' ini. Namun, Biya takut besok pagi dia mendapat kabar kalau salah satu mahasiswa kedokteran bunuh diri karena salah pilih Bidadari!

Kan, nggak lucu! Eh, lumayan lucuh sih.

"Lo sampai kapan mau diem terus?" tanya Biya, kesabarannya mulai habis.

Abdi mendesah berat.

"Gue enaknya pindah negara mana ya?"

Biya geleng-geleng, sepertinya otak cowok di depannya itu juga baru saja akan menguap.

"Lo kalau masih diem terus, gue tinggal!" gertak Biya.

"Enaknya ke gurun sahara apa kutub utara ya?"

"Gue tinggal beneran!" kali ini gertakan Biya berubah ancaman.

"Enaknya gue bunuh diri pakai tali apa minum semprotan nyamuk, ya?"

Kedua tangan Biya mengepal, semakin gregetan.

"Abdi!"

Saat itu juga tubuh Abdi yang semula menyender penuh di kursi akhirnya duduk tegak. Abdi menatap Biya dengan kedua mata terbuka sempurna, membuat Biya sedikit kaget.

Dan, Biya baru menyadari bahwa paras Abdi sangat mem-prihatinkan. Wajahnya yang beberapa menit tadi masih ceria dan malu-malu. Kini berubah drastis seperti orang frustasi dan ingin mengakhiri hidupnya.

"Iqbal meskipun cuek dan nyebelin, dia masih punya hati yang murni, kan, ya?" Abdi memaksakan senyumnya dan menunggu jawaban Biya penuh harap.

"Mungkin."

Senyum Abdi perlahan memaksa ingin merosot mendengar jawaban Biya.

"Iqbal orangnya dingin-dingin lembut, kan? Tsundere gitu?"

"Mungkin."

Abdi ingin sekali meratap saat ini juga. Sepertinya dia memang harus pesan tiket pesawat ke kutub utara.

"Iqbal nggak bakalan bunuh gue kan?" lirih Abdi pasrah.

"Mungkin."

Abdi mendesis kesal, jawaban Biya sedari tadi bukannya menenangkannya malah membuatnya semakin takut.

"Lagian, ngapain sih pacar Iqbal harus Acha!" gerutu Abdi.

Biya menghela napasnya pelan, tak paham dengan pemikiran cowok di depannya ini.

"Harusnya lo yang ngapain suka sama Acha!" tajam Biya.

"Ya kan namanya takdir dipertemukan dan gue kiranya dia jodoh gue," balas Abdi memberikan pembelaan.

Biya sudah lelah menghadapi Abdi dan mendengarkan ocehan tak jelas cowok itu. Ia pun memilih untuk berdiri.

"Gue pulang."

Namun saat Biya akan beranjak, Abdi dengan cepat mencegah lengan Biya, membuat Biya kaget. Ia menoleh ke Abdi, melihat cowok itu merengek seperti bocah kecil.

"Kasih gue solusi," pinta Abdi sungguh-sungguh.

Biya mengerutkan kening.

"Solusi apa?"

"Gue pindah negara? Pindah kampus? Apa pindah planet?"

Biya berpikir cepat.

"Pindah alam gimana?" tanya Biya balik memberikan saran terbaiknya.

Abdi langsung mendesis kesal dengan tangan yang langsung melepas lengan Biya.

"Mati dong gue."

"Daripada lo mati di tangan Iqbal."

"Kata lo Iqbal baik anaknya."

"Gue jawab mungkin."

"Sial!" umpat Abdi terpojokkan.

Biya melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Abdi dengan tegas.

"Mau saran terbaik dari gue?"

Abdi menggangguk-angguk pasrah seolah tak punya harapan lagi.

"Mau banget," rajuk Abdi.

Biya menurunkan tangannya perlahan dan mengembangkan senyumnya penuh arti.

"Pura-pura aja amnesia!"

******

Mobil yang dikendari Iqbal dan Acha akhirnya sampai di depan rumah Acha. Dan, Acha memilih tak langsung turun, karena dia tau Iqbal pasti akan mencegahnya. Mereka sama-sama diam, masih belum ada yang mau membuka suara.

Hingga akhirnya, Iqbal bertekad duluan.

"Mau terus bertengkar kayak gini?" tanya Iqbal langsung ke titik permasalahan mereka.

Acha menggeleng kecil. Jujur, Acha juga tidak menginginkannya.

"Sekarang bilang, apa yang lo pikirin, apa yang lo khawatirin, apa yang lo mau dan apa yang harus gue lakuin biar lo nggak marah lagi," pinta Iqbal sungguh-sungguh.

Acha mengigit bibir bawahnya, mulai gundah. Acha ragu untuk menjawabnya.

"Bilang, Cha," mohon Iqbal.

Acha menghela napas panjang, bersiap untuk menjawab.

"Dari awal Acha lihat Iqbal dan Biya berdua di Apartment iqbal, Acha sangat takut. Karena Iqbal yang Acha kenal, nggak akan berduaan sama cewek lain di APartmennya pula. Iqbal yang Acha kenal nggak se-perhatian itu ke cewek lain selain ke Acha."

Iqbal mendengarkan, memilih untuk tak membantah kali ini.

"Acha awalnya berusaha ngerti, karena Biya temen kecil Iqbal walau Acha udah negrasa takut. Tapi saat tau Iqbal nggak jujur masalah kuncir rambut itu, Acha semakin takut. Kenapa Iqbal nggak jujur ke Acha sat itu? Bukan, tepatnya, kenapa Iqbal nggak jujur sama Acha dari awal? Nggak cerita sama Acha dari awal kalau ada temen kecil Iqbal yang harus Iqbal bantu."

Acha menguatkan dirinya agar tidak menangis.

"Acha paham Iqbal kasihan dan ingin bantu Biya, tapi Acha takut rasa kasihan Iqbal berubah lebih dari itu. Sikap Iqbal dan kedekatan Iqbal ke biya terlihat berbeda saat Iqbal dekat sama cewek-cewek lain selain Acha. Acha bisa rasain itu. Terutama saat tau, Iqbal berdua saja sama Biya di Apartment. "

Iqbal tak tega melihat bahu Acha yang mulai bergetar. Iqbal memberanikan diri menyentuh tangan Acha, menggenggamnya.

"Kita hanya makan Cha waktu itu. Bahkan, gue nggak tidur di Apartemen, saat Biya nginap disana."

Deg! Acha tidak salah dengar bukan? Acha langsung menoleh ke Iqbal, menarik tangannya yang di pegang oleh Iqbal saat itu juga.

"Biya pernah tidur di Apartmen Iqbal?" tanya Acha, suaranya langsung memberat.

Bodoh! Iqbal mengumpati dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia mengungkapkan hal itu di situasi seperti ini? Bukannya meredam kemarahan Acha, dirinya semakin menyulutnya.

"Waktu itu Biya nggak ada tempat tinggal. Gue, Rian dan Glen putusin Biya tidur di Apartmen gue dulu di hari itu, sebelum Apartmen Glen di bersihkan dan di tinggali Biya saat ini," perjelas Iqbal.

Kedua mata Acha mulai berkaca-kaca seolah tak mempedulikan penjelasan Iqbal. Karena yang lebih melekat di kepala Acha saat ini adalah kenyataan bahwa cewek lain pernah tidur di Apartmen Iqbal, pacarnya.

"Iqbal ada rasa sama Biya?" tanya Acha lemah.

Iqbal terkejut mendengarnya.

"Cha, gue nggak mungkin suka sama biya. Gue cuma kasihan dan ingin bantu."

"Kasihannya Iqbal istimewa banget sampai Iqbal izinin Biya tidur di Apartmen Iqbal?"

"Dia nggak ada tempat tinggal di hari it..."

"Hotel banyak," potong Acha cepat.

"Kita nggak bisa tinggalin Biya sendiri waktu itu."

"Kenapa nggak bisa?"

Iqbal merasakan emosinya ikut naik, sikap tenangnya mulai goyah.

"Cha, berhenti pojokin gue! Denger penjelasan gue dulu!" Iqbal tanpa sadar menaikan nada suaranya dan membuat Acha tersentak kaget.

Tanpa sadar air mata Acha langsung jatuh saat itu juga, pertahanan Acha runtuh. Tubuh Acha semakin bergetar. Dan, Iqbal menyadri kesalahannya semakin fatal saat melihat Acha menangis.

Iqbal menggerakan tangannya, ingin menyentuh pipi Acha. Namun, Acha lebih cepat menepis tangan Iqbal.

"Acha nggak marah sama Iqbal. Acha diem dari kemarin karena Acha sedang berusaha terus untuk percaya sama Iqbal. Acha berusaha melawan rasa takut Acha, melawan rasa ragu Acha ke Iqbal. Dan, Acha cuma ingin Iqbal jujur, itu aja. Acha nggak ada ingin Iqbal minta maaf ke Acha. Acha hanya ingin tau alasan kenapa Iqbal nggak jujur sama Acha sejak awal!" Acha tak peduli dengan suara isakannya dan air matanya yang terus mengalir tanpa bisa dikendalikannya. Acha hanya ingin meluapkan semuanya sekarang.

"Cha, gue nggak bermaksud bu..."

"Bukan Acha yang nggak percaya sama Iqbal. Tapi, Iqbal yang nggak percaya sama Acha. Kalau dari awal Iqbal jelasin dan cerita tentang Biya, pasti Acha dengan senang hati dengerin dan berusaha mengerti. Tapi, nyatanya, sejak awal Iqbal sendiri yang sembunyiin dan nggak cerita. Karena Iqbal ragu, Acha bakalan bisa ngerti apa enggak."

Iqbal langsung dibuat bungkam, tak bisa membalas, karena perkataan Acha memang sangat tepat sasaran.

"Maaf."

Satu kata yang berhasil membuat air mata Acha semakin turun sangat deras, satu kata yang berhasil membuat dada Acha semakin sakit. Satu kata yang mengartikan bahwa Iqbal memang benar telah ragu kepadanya dan tak percaya kepadanya.

"Iqbal beneran sayang sama Acha?" tanya Acha dengan suara serak menahan isakan.

Iqbal mengepalkan kedua tangan kanannya kuat, saat pertanyaan itu terlontarkan dari bibir Acha. Iqbal seperti baru saja di tikam oleh pedang yang cukup tajam.

"Gue sayang sama lo, Cha," akuh Iqbal jujur.

"Terus kenapa Iqbal ragu buat jujur ke Acha?"

Iqbal tak bisa menjawab, ia sendiri belum tau kenapa dia melakaukan hal itu.

"Nggak bisa jawab ya?" lirih Acha semakin pedih.

Iqbal menggenggam tangan Acha, sangat erat bahkan tak membiarkan Acha untuk menepisnya.

"Gue salah, gue minta maaf."

"Acha nggak butuh maaf Iqbal!" jenuh Acha melihat Iqbal tak kunjung paham.

Iqbal perlahan melepaskan genggamanya. Ia memejamkan kedua matanya sejenak, kepalanya terasa semakin terasa berat. Kenapa semua jadi semakin rumit seperti ini!

Iqbal mengontrol napasnya sejenak, mendinginkan pikirannya. Ia berusaha untuk mencari jalan keluar agar masalah ini cepat selesai dan Acha tidak marah lagi.

Suara isakan Acha membuat Iqbal sama sekali tak bisa fokus dan tak bisa berpikir tenang.

Iqbal perlahan membuka matanya kembali, menatap Acha yang masih terus memperhatikannya dengan kedua mata sudah basah. Air mata gadis itu masih terus turun, sangat deras.

Wajah Acha berubah memerah karena tangisannya.

Kenyataan pahit yang harus Iqbal terima bahwa dia membuat Acha menangis seperti ini. Padahal, ia sudah berjanji akan berusaha untuk buat gadis ini bahagia dan tidak menangis karena dirinya.

"Udah ya nangisnya," mohon Iqbal sungguh-sungguh.

Namun, Acha tak bisa lagi mengendalikan air matanya yang tetap saja terus turun tak berhenti.

"Iya, gue yang salah disini," akuh Iqbal untuk kesekian kalinya.

Acha menjauhkan tangannya yang ingin digenggam kembali oleh Iqbal. Acha sengaja melakukannya, membiarkan Iqbal semakin frustasi karena sikapnya.

"Iqbal paham kesalahan Iqbal dimana?" tanya Acha pilu.

Iqbal mengangguk.

"Gue nggak jujur sama lo."

"Kenapa?"

Lagi-lagi Iqbal terbungkam. Pertanyaan itu terasa sulit terpecahkan di otak Iqbal. Tidak ada satupun jawaban yang ditemukan oleh Iqbal.

Acha memaksakan senyumnya, hatinya semakin sakit semakin tercabik.

"Kalau Iqbal sudah ketemu jawabannya. Iqbal temuin Acha. Kalau belum, nggak usah datang buat ketemu Acha."

Iqbal ingin melawan, tapi bibirnya terasa keluh. Bahkan, ia tak ada tenaga untuk mencegah Acha yang mulai melepaskan sabuk pengamannya, hendak turun.

"Makasih Iqbal sudah anterin Acha."

Acha turun tanpa menatap Iqbal sedikit pun. Hatinya terasa lebih hancur saat ini. Padahal, Acha sudah selalu berhati-hati untuk menjaga hubungannya dengan Iqbal. Nyatanya, bukan hanya dia yang harusnya melakukan itu. Tapi, Iqbal juga.

Acha kembali menangis hingga di depan gerbang rumah.

"Dimana kuncinya!"

Acha mendecak kesal, ia terus mengacak-acak isi tasnya tapi tak kunjung menemukan kunci gerbang rumahnya. Sungguh! Acha sudah ingin segera masuk rumah.

"Gue cariin."

Acha tersentak, tasnya tiba-tiba di tarik oleh seseorang. Acha menoleh, kaget melihat Iqbal sudah ada disebelahnya. Kapan cowok ini turun?

Acha melihat Iqbal yang terlihat begitu tenang mencarikan kunci gerbangnya. Tangan Acha yang sudah gemetar, tak sanggup untuk merebut tasnya.

"Lo tau nggak, Cha."

Acha mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, bersiap menata hatinya. Entah kenapa, Acha merasa perkataan Iqbal setelah ini, akan membuatnya menangis hebat.

"Ini pertama kalinya lo pertanyakan rasa sayang gue ke lo."

Acha tak bisa melepaskan pandangannya dari Iqbal. Cowok itu terus mencari kunci gerbang rumahnya sembari mengutarakan isi hatinya.

Hingga akhirnya, Iqbal menemukan kunci tersebut. Namun, Iqbal tak langsung menyodorkannya ke Acha. Cowok itu memberikan tatapan lekat sekaligus hangat ke Acha, membuat Acha bertambah gugup sekaligus takut.

"Lo sendiri gimana?" tanya Iqbal dengan suara lebih lirih.

Deg! Acha dapat merasakan tubuhnya langsung membeku. Kedua tanagannya tanpa sadar sudah terkepal kembali dan air matanya kembali menetes satu persatu.

"A... Apa?" tanya Acha berlagak tak paham.

Senyum Iqbal mengembang kecil, langkahnya lebih mendekat ke Acha.

"Lo masih sayang sama gue, sekarang?"

Acha tak kuat lagi untuk mendengarnya. Tak menyangka Iqbal akan membalikkan pertanyaan itu kepadanya. Dada Acha terasa bertambah sakit.

Acha dengan cepat merebut kunci gerbangnya dan berbalik badan untuk membuka gerbang rumahnya. Acha tak sanggup untuk menjawab pertanyaan Iqbal.

Namun, karena tangis Acha yang semakin keras, tubuhnya yang terus bergetar tak bisa ia hentikan, membuat tangannya kesusahan memasukan kunci tersebut ke gemboknya.

Iqbal segera menarik Acha kedalam pelukananya, membiarkan gadis itu meluapkan semua amarahnya.

Acha sendiri sama sekali tidak memberontak, ia menerima pelukan Iqbal yang sangat erat. Tangisannya semakin deras tak tertahankan.

"Lo berhak marah sama gue. Nggak apa-apa, Cha."

Acha memebankam wajahnya di dada Iqbal, setiap kata yang keluar dari bibir Iqbal semakin membuatnya sakit.

"Tapi gue boleh mohon?"

Iqbal perlahan melepaskan pelukannya, menatap Acha sangat lekat. Tangan Iqbal bergerak menyentuh kedua pipi Acha, membelainya lembut.

"Jangan pernah hilangin sayang lo buat gue, Natasha."

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI SUKA NGGAK?

PERASAAN KALIAN WAKTU BACA RASANYA SEPERTI APA?

- NANONANO

- NANGIS KEJER

- GILA FEELNYA DAPAT BANGET

- KAAAKK BURUAAN UPDATE PART 61 NYAAA ^^

PALING NGGAK TEGA SAMA SIAPA DI PART INI? ^^ 

SIAPA YANG PENASARAN DAN NGGAK SABAR BACA PART 61-NYA?

MAU DI UPDATE KAPAN NIHH TEMAN-TEMAN? HARI SENIN, SELASA RABU, ATAU JUMAT? ^^

SAMPAI BERJUMPA DI PART BERIKUTNYAA YAA ^^^

SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA SELALU BACA MARIPOSA 2, SELALU SUKA MARIPOSA 2 DAN SELALU SUPPORT MARIPOSA 2 AMIINNN ^^

Jangan lupa rekomendasiin MARIPOSA 2 ke semua teman-teman kalian semuaa yaa ^^

Jangan lupa juga paling terpenting banget dan selalu aku tungguin COMMENT dan VOTE dari teman-teman semuaaanyaaaa ^^ 

Pantengin juga Instagramku yaa @luluk_hf  . Aku biasanya update Spoiler Mariposa 2 dan keseruan-keseruan yang lain tentang Mariposa 2 dan ceritaku lainnya.  Silahkan di Follow ^^ 

MAKASIH BANYAAK SEMUANYAA, SELALU SAYANG KALIAN SEMUA DAN SELALU NGGAK LUPA BUAT INGETIN TEMAN-TEMAN SEMUA UNTUK JAGA KESEHATAN YAAA. JANGAN LUPA BANYAK MINUM VITAMIN YAA^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro