58 - The Beginning
Assalamuaalikum teman-teman semua, Alhamdulillah aku bawa Mariposa 2 part 58 buat kalian semuaaa ^^
Gimana kabarnya hari ini? Semoga sehat selalu yaa buat kalian semua Aminn.
Siapa yang dari tadi sudah nungguin Mariposa 2 part 58?
SUDAH SIAPKAN MENTAL KALIAN BUAT PART INI?
PALING NUNGGUIN ADEGAN APA NIH DI PART INI?
YUK YUKK JEJERKAN PASUKAN SAPINYA DULU. MANA NIH SUARAANYAA?
Sebelumnya, aku ada info penting nih buat teman-teman semuaa ^^
Besok malam, sabtu 3 Juli 2021 jam 19:00 WIB, Aku bakalan adain ZOOM MEETING yaa. LIMITED (TERBATAS) HANYA UNTUK 100 PESERTA. JANGAN SAMPAI KETINGGALAN YAA ^^
Link Zoom bakalan aku share di Instagram @highfuturebooks yaa. Jadi langsung follow sekarang jugaa biar nggak ketinggalan dan bisa masuk ZOOM MEETING-nyaa ^^
Aku juga bakalan berikan SPOILER untuk Mariposa 2 part 59 dan 60 disana ^^
Jangan lupaa ikutaaannn ^^
DAN, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 SEMOGA SELALU SUKA MARIPOSA 2 AMIN ^^
****
"Bukannya Iqbal yang nggak mau jujur sama Acha?"
Iqbal terdiam lama dengan kedua mata yang menyorot Acha lebih lekat. Otak Iqbal juga mendadak berpikir keras. Kejujuran apa yang dimaksud oleh Acha?
"Maksudnya?" bingung Iqbal.
Kini, Acha yang terdiam. Acha cukup terkejut mendengar bahwa Iqbal tidak menyadari kebohongannya sendiri kepada dirinya.
Memang seperinya sederhana, tapi bagi Acha, kebohongan itu menimbulkan rasa takut yang besar dalam hati Acha. Mengingat lagi bagaimana sikap dan kedekatan Iqbal dengan gadis lain itu.
"Cha, apa?" tanya Iqbal lagi karena Acha masih saja diam.
Acha merapatkan bibirnya. Ia dapat merasakan hatinya terasa mulai sakit.
"Gue nggak jujur apa sama lo?"
Ada yang sesak di tengah dada Acha, pertanyaan-pertanyaan Iqbal bukannya membuat hatinya lebih tenang, malah sebaliknya. Acha merasakan kesakitan dan kekecewaan menjadi satu.
Iqbal mulai menyadari sepertinya dirinya telah melakukan kesalahan kepada gadisnya. Namun, Iqbal sama sekali tidak bisa menemukan dimana letak kesalahannya?
Sedangkan, Acha masih saja diam saat ini. Tatapanya terlihat lebih sendu.
"Gue beneran nggak tahu, Cha," akuh Iqbal sungguh-sungguh.
Helaan napas panjang keluar dari hidung Acha, bersamaan dengan itu juga Acha langsung mengalihkan pandangnya dari Iqbal.
"Yaudah, kalau Iqbal nggak tau."
Detik berikutnya, Acha membangkitkan tubuhnya, ingin beranjak. Namun, dengan sigap Iqbal mencegah, menahan pergelangan tangan Acha.
"Duduk," suruh Iqbal, suaranya terdengar lebih berat.
Acha dapat merasakan genggaman Iqbal lebih erat di pergelangan tangannya. Acha terdiam lagi dengan pikiran yang dipenuhi kebimbangan.
Apakah sikap Acha ini wajar?
Apakah sikap Acha ini berlebihan dan kekanak-kanakan?
Tapi, mendengar Iqbal yang bahkan tidak mengingat bahwa ia telah tidak jujur kepadanya, membuat rasa perih di dada Acha bertambah sakit.
"Gue mohon, duduk Cha," pinta Iqbal kembali. "Selesaikan masalahnya sekarang," tambah Iqbal.
Acha menghela napas lebih panjang, kepalanya sedikit tertunduk.
"Lepasin dulu tangan Iqbal," pinta Acha kembali.
Iqbal tentu saja tertegun, kepalanya mendongak menatap Acha dengan sedikit tak percaya. Dia benar-benar tidak salah dengar, bukan?
"Lo nggak suka lagi gue genggam tangan lo?" tanya Iqbal lirih.
Acha mengigit bibirnya, kembali gelisah.
"Suka," jawab Acha jujur, namun entah kenapa rasanya begitu hampa mengatakannya.
Iqbal mengalah, nada suara Acha lebih menjawab semuanya daripada jawaban gadis itu. Iqbal melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Acha.
Kemudian, Acha duduk kembali, seperti janjinya.
Lagi-lagi keduanya sama-sama diam. Iqbal mulai gusar sendiri karena sikap Acha saat ini. Tidak banyak bicara dan membuatnya menebak-nebak apa yang dia tak tau.
Dan Iqbal sangat tidak suka situasi seperti ini. Napasnya memburu menahan semua emosinya yang terus bergelut sejak tadi.
"Lo tau kan, gue nggak suka hal yang basa-basi?" sikap dingin Iqbal perlahan muncul. Nyatanya, Iqbal memang tidak pernah suka hal yang tidak pada intinya, terlalu dibelit-belitkan. Seperti yang sedang dilakukan Acha saat ini, menurutnya.
Tentu saja ucapan Iqbal barusan menimbulkan rasa kesal di diri Acha. Apa yang barusan dirinya dengar? Basa-basi?
"Gue beneran nggak tau, gue udah nggak jujur apa sama lo. Dan, sedari tadi lo terus diam, nggak kasih penjelasan." Iqbal mulai tidak bisa mengendalikan kontrol tenang di dirinya. "Seengaknya kasih tau gue, salah gue apa? Biar gue bisa tau dan gue bisa cari jalan keluar buat kesalahan gue ke lo."
Dan, seorang Iqbal rela bersuara lebih dari sepuluh kata hanya untuk seorang Acha. Dan itu semua menunjukkan betapa mulai frustasinya Iqbal dengan situasi antara dia dan Acha.
"Kalau lo terus gini, nggak akan selesai masalahnya, Cha."
Acha mengatur napasnya sebentar, tangannya yang sedari tadi sudah terkepal perlahan Acha kendurkan. Lalu, Acha memberanikan diri untuk menoleh ke Iqbal, menatapnya lekat.
"Iqbal kenapa nggak jujur kalau kuncir rambut di Apartmen Iqbal bukan punya Kak Ify?"
Acha akhirnya memilih memberitahu, karena sebenarnya Acha juga ingin tau apa alasan Iqbal tidak jujur kepadanya!
Dan ketika mendengar pertanyaan tersebut, Iqbal langsung mengingat-ingat peristiwa yang di maksudkan oleh Acha.
"Kuncir rambut?"
"Iya, kuncir rambut merah muda di atas meja. Kuncir rambut yang sebenarnya milik Biya," perjelas Acha.
Ah, Iqbal mengingatnya sekarang.
"Gue nggak pernah mengiyakan kuncir rambut itu punya Kak Ify dan gue juga nggak pernah bilang itu bukan punya Biya," ucap Iqbal memberikan pembelaannya. Karena memang itu yang terjadi saat itu.
Iqbal mengingat jelas bahwa dia tidak mengiyakan saat Acha bertanya kuncir rambut tersebut milik Ify atau tidak.
Iqbal hanya menyuruh Acha menaruhnya di meja. Sudah itu saja.
Dan, jawaban Iqbal barusan berhasil membuat Acha takjub sekaligus terkejut. Bagaimana bisa Iqbal menjawab pertanyaanya seperti itu? Seolah Iqbal tidak mengakui kesalahannya?
"Oke, tapi kenyataan bahwa kuncir rambut itu emang punya Biya, benar kan?"
"Iya," akuh Iqbal tak mengelak.
"Kuncir rambut itu udah ada disana, bahkan sebelum Acha lihat sendiri Iqbal dan Biya makan di Apartmen Iqbal, kan?" serang Acha kembali.
Iqbal menghela napas panjang, semakin tak paham dengan arah permasalahan yang sedang diributkan oleh Acha.
"Cha, cuma karena ikat rambut, kan?" tanya Iqbal menekankan sekaligus memastikan bahwa yang dipermasalahkan oleh Acha ini adalah 'hanya sebuah ikat rambut' bagi Iqbal.
Acha merasakan emosinya yang sedari tadi ditahannya mulai naik hingga puncak kepalanya, kedua mata Acha menatap Iqbal dengan tatapan benar-benar tak percaya.
"Iqbal bawa cewek ke Apartmen tanpa pacar Iqbal tau, apa itu juga sesuatu hal yang 'cuma'?" tajam Acha mulai kehabisan kesabaran.
"Dia temen gue, Cha," balas Iqbal memberitahu posisi sosok Biya baginya ke Acha.
"Nggak sekali aja, kan, Iqbal sama biya berdua di Apartmen Iqbal?" Acha semakin meluapkan unek-unek yang di pendamnya sedari kemarin. Sejak ia melihat kuncir rambut milik Biya.
Yah, yang dipermasalahkan oleh Acha sebenarnya bukan tentang kuncir rambutnya. Tapi, tentang ketidak jujuran Iqbal dan tentang Iqbal dengan Biya di Apartmen berdua yang sudah pasti tidak hanya sekali.
Bukannya Acha tidak percaya dengan Iqbal, hanya saja kedekatan mereka berdua membuat Acha takut. Sangat takut!
Jika kalian tau pacar kalian lebih dari sekali membawa perempuan lain ke Apartmennya, bagaimana reaksi kalian? Apakah kalian juga akan bersikap sama seperti Acha?
"Biya teman kecil gue, Cha." Iqbal kembali menekankan hal itu.
Acha refleks tersenyum sinis, sedikit jengah dengan embel-embel 'teman' diantara keduanya yang selalu Iqbal tekankan.
"Yaudah, kalau gitu besok Acha bawa Juna ke kamar Acha. Juna juga teman Acha, kan?"
Acha dapat melihat tatapan kedua mata Iqbal langsung berubah tajam, seolah tak suka dengan kalimat Acha barusan.
Keadaan mendadak terasa tegang, sorot mata keduanya saling menyerang.
Detik berikutnya, Iqbal memilih berdiri, ia tau bahwa pembicaraan masalah ini akan semakin panjang jika diteruskan.
"Gue pulang," pamit Iqbal tanpa ingin menjawab pertanyaan Acha.
"Katanya mau di selesaikan sekarang masalahnya," tantang Acha.
Iqbal menoleh kembali ke Acha.
"Lo yang nggak mau masalah ini di selesaikan."
"Di sebelah mana Acha nggak maunya?" tanya Acha.
"Lo terus memperbesar masalah ini."
Acha menurunkan pandangannya perlahan-lahan, dengan senyuman tipis mengembang.
"Jadi, kalau Acha bawa Juna ke kamar Acha bukan masalah yang besar juga?" lirih Acha dengan perasaan semakin terluka.
"Cha!" nada suara Iqbal meninggi saat itu juga.
Acha mencengkram kedua tangannya kuat-kuat mendengar nada suara tinggi Iqbal yang tak pernah Acha suka. Bibir bawahnya ia gigit, berusaha untuk tidak takut.
Acha menahan kedua matanya yang mulai panas.
"Jadi, Acha yang salah, ya?" lirih Acha getir.
Iqbal menghembuskan napasnya kasar, lebih frustasi.
"Lo seperti nuduh gue selingkuh, Cha," ungkap Iqbal terang-terangan.
"Padahal Acha nggak ada bilang Iqbal selingkuh."
Untuk kesekian kalinya, napas Iqbal menghembus lebih panjang. Iqbal berusaha mengontrol dirinya sejenak, mendinginkan kepalanya. Ia sudah lelah untuk memperpanjang masalah ini.
"Lo mau apa sekarang? Gue minta maaf?"
Acha semakin tertunduk mendengar pertanyaan Iqbal barusan. Terasa lebih menyakitkan. Apakah bagi Iqbal, Acha seperti sedang mengemis permintaan maaf?
"Iqbal pulang."
Dan, tanpa menunggu jawaban dari Iqbal, Acha segera membalikkan tubuhnya. Acha masuk ke dalam rumahnya begitu saja, meninggalkan Iqbal dengan sengaja. Bahkan, tidak memberikan kesempatan bagi Iqbal untuk mencegahnya lagi.
Brak!
Pintu rumah Acha ditutup dari dalam oleh sang pemilik. Iqbal menatap pintu itu dengan tatapan yang tak bisa dijabarkan.
Iqbal sama sekali tak menyangka, jika malam ini dia akan bertengkar dengan Acha. Padahal setiap harinya Iqbal selalu yakin bahwa hubungannya dengan Acha akan baik-baik saja.
*****
Acha masuk kamarnya dan langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi tengkurap. Acha membenamkan wajahnya di bantal.
Tidak, Acha tidak sedang menangis. Bukan, lebih tepatnya belum menangis. Acha hanya sedang berusaha menetralkan rasa di tengah dadanya yang semakin sakit!
"Apa memang benar, Acha yang terlalu membesar-besarkan?"
Dan, beberapa menit kemudian pertahanan Acha roboh. Acha terisak kecil, mulai menangis.
"Acha sangat takut sekarang."
*****
Iqbal belum pulang, masih berada di dalam mobilnya yang terparkir di depan gerbang rumah Acha. Ia sama sekali belum menjalankan mobilnya bahkan mesinnya saja belum menyala.
Iqbal masih tak menyangka, masalah kuncir rambut itu bisa panjang seperti ini!
Jujur Iqbal ingin menyelesaikan masalah tersebut hari ini. Iqbal sangat tidak suka, jika masalah antara dirinya dan Acha berlanjut berhari-hari. Pasti sangat melelahkan.
"Apa gue udah keterlaluan?" lirih Iqbal menyesal karena tidak bisa mengontrol dirinya, malah semakin membuat Acha marah kepadanya.
Tangan Iqbal tercengkram kuat di stir mobilnya.
Iqbal bertekad untuk minta maaf ke Acha besok, setelah gadis itu sudah lebih tenang dan mendinginkan pikirannya. Karena, Iqbal juga butuh hal itu.
****
Acha mendudukkan tubuhnya dan menyandarkannya. Acha sudah tidak lagi menangis. Meskipun, rasa sakit di dadanya masih terasa.
Acha melirik ke ponselnya sebentar, kemudian mengambilnya. Tidak ada notifikasi apapun disana. Iqbal sekalipun.
DRTRDTT
Tubuh Acha tersentak ketika mendengar ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Acha mengerutkan kening, siapa yang mengirimnya pesan ini?
Acha segera membukanya dan membacanya.
Dari : 081200044xxx
Malam, sori ganggu. Gue Abdi
Gue nemuin gantungan kunci boneka sapi lo kemarin di toko kue.
Gue ingin ngembaliin.
Kedua mata Acha langsung terbuka lebar. Acha bergegas turun dari kasur, mengecek tasnya. Dan, benar saja gantungan kunci sapi kesayangannya tidak ada disana.
"Yaaa si Lupi ilang," rengek Acha seperti bocah. Acha sangat sayang dengan gantungan kunci itu karena kado dari Papa-nya Iqbal di hari kelulusannya.
Acha kembali ke kasurnya, duduk. Ia membalas cepat pesan dari orang asing itu.
Untuk : 081200044xxx
Makasih udah nemuin gantungannya.
Bisa saya ambil dimana?
Acha menunggu balasan dari orang itu dengan tak sabar, hatinya mendadak gelisah. Sejenak, Acha melupakan pertengkarannya dengan Iqbal.
Dari : 081200044xxx
Besok di café sebrang SMA Arwana gimana?
Acha mengangguk-angguk senang saat membaca balasan tersebut, sangat menyetujui. Ia segera membalas kembali.
Untuk : 081200044xxx
Oke, jam empat sore.
Mohon di jaga baik-baik si Lupi ya.
Makasih.
Acha menghela napas lega, ia tidak bisa membayangkan jika gantungan kunci sapi tersebut hilang. Bisa nangis tiga hari tiga malam dirinya.
Acha merutuki kebodohannya karena tidak menjaga baik-baik kado pemberian Papa Iqbal.
Acha memajukan bibirnya seperti anak kecil.
"Kasihan si Lupi sendirian sekarang. Dia pasti takut."
*****
Iqbal menekan tulang hidung diantara kedua matanya yang terasa penat. Kepala Iqbal pun mulai memberat. Materi kuliah sejak pagi hingga siang sedikit susah masuk ke kepala Iqbal.
Jujur, pikiran Iqbal terbelah. Ia sedikit tak fokus karena memikirkan masalahnya dengan Acha.
Sebelum melanjutkan kelas selanjutnya, Iqbal memilih istirahat sebentar di perpustakan saat ini. Mencari ke-sunyian untuk sedikit mendinginkan kepalanya.
"Minum."
Iqbal melihat sebuah botol air mineral di letakkan dihadapanya, perlahan Iqbal mengangkat kepala, melihat sang pemberi yang ternyata Biya.
"Thanks," balas Iqbal singkat, meraih botol tersebut dan segera meminumnya.
Biya mengambil duduk di kursi sebelah Iqbal.
"Nggak ada kelas?" tanya Biya.
"Setengah jam lagi," jawab Iqbal.
Biya mengangguk-anggukan kepalanya. Sesaat henign diantara keduanya. Iqbal masih menutup botol minumnya. Sedangkan Biya merogoh saku celananya, mencari kuncir rambutnya.
Iqbal menoleh ke Biya dan saat itu juga matanya terfokus pada kuncir rambut merah muda yang sedang dikenakan oleh Biya.
Iqbal menghela napas panjang, mengingatkannya kembali akan pertengkarannya dengan Acha.
"Kenapa?" tanya Biya merasa ada yang janggal dengan tatapan Iqbal.
Iqbal tak langsung menjawab, namun detik berikutnya Iqbal teringat bahwa Acha mengunjungi Biya kemarin.
"Acha datang ke Apartment lo?" tanya Iqbal membuka pembicaraan.
"Iya," jawab Biya cepat.
"Dia bilang apa?" tanya Iqbal mulai penasaran.
"Maksudnya bilang apa?" bingung Biya tak mengerti.
"Yang kalian obrolin."
Biya bergumam pelan, mengingat-ingat apa saja yang di obrolkannya dengan Acha.
"Acha bilang ingin kenal gue dan tanya diantara lo, Rian dan Glen gue paling dekat sama siapa," jelas Biya tanpa ada yang di tutupi.
"Lo jawab apa?"
"Gue paling dekat sama siapa?" ulang Biya memastikan.
"Iya."
"Lo," jujur Biya.
Iqbal mengangguk-angguk kecil, semakin paham akan prasangka Acha kepadanya.
"Gue salah jawab, ya?" tanya Biya merasakan ada keanehan dari raut wajah Iqbal.
Iqbal menggeleng.
"Nggak. Jawaban lo, hak lo."
Biya tersenyum tipis, lega mendengarnya.
"Kenapa lo tiba-tiba tanya itu?" heran Biya.
"Nggak apa-apa."
Iqbal melirik jam tangannya, mendadak teringat dirinya belum mengambil revisi tugasnya di Laboratorium.
"Gue balik. Thanks minumnya."
Iqbal berdiri, berniat beranjak.
"Ada satu lagi yang di tanyain Acha ke gue," ucap Biya tiba-tiba dan membuat Iqbal mengurungkan langkahnya.
Iqbal menoleh ke Biya.
"Apa?"
Biya melepaskan kuncir rambutnya, menyodorkannya ke Iqbal.
"Dia tanya gue beli dimana kuncir rambut ini."
Dan, terjawab sudah bagaimana asal mula kuncir rambut yang dipertanyakan oleh Acha. Iqbal menghela napas pelan, berusaha untuk tetap tenang di depan Biya.
"Oke."
Setelah itu, Iqbal benar-benar pergi keluar dari perpustakaan dengan langkah yang terasa lebih berat.
*****
Abdi terus mengikuti Iqbal, merajuk dan membujuk cowok itu agar mau menemaninya sore ini untuk pergi ke café, mengembalikan gantungan kunci boneka sapi yang di temukannya kemarin.
"Bal tungguin!" teriak Abdi mempercepat langkahnya.
Iqbal tak mempedulikan suara Abdi, terus saja berjalan menuju parkiran.
"Bal, plis, mau ya, temenin gue," pinta Abdi entah keberapa kalinya sejak tadi siang.
"Nggak!" tolak Iqbal mentah-mentah.
"Gue gugup banget kalau nyamperin sendiri, gue takut mendadak nggak bisa ngomong," ungkap Abdi.
"Bukan urusan gue!"
"Jahat banget lo Bal. Demi masa depan calon jodoh gue nih. Bantuin teman sekali-kali," mohon Abdi pantang menyerah.
Iqbal menghela kasar, mulai jengah. Iqbal menghentikan langkahnya, menatap Abdi dingin,
"Emang siapa yang lo temuin?" heran Iqbal. Tak biasanya Abdi sampai segininya hanya karena seseorang.
Pertanyaan Iqbal berhasil membuat Abdi senyum tersipu. Bayangan wajah cantik gadis yang di temuinya kemarin berterbangan manis di kepalanya.
"Bidadari, Bal," jawab Abdi malu-malu.
"Hah?"
"Cewek paling cantik yang pernah gue temuin. Dan, gue harus dapetin dia! Gue harus jadiin cewek itu pacar gue!"
Iqbal berdecak sebal.
"Urusanya sama gue?"
"Ya lo temenin gue gitu, bentar aja. Cuma ngasih gantungan kunci dia yang gue temuin."
"Tinggal lo balikin aja, kan?" sengit Iqbal.
"Gue takut semakin gugup kalau sendiri balikinnya," jawab Abdi memelas. "Sumpah dia cantik banget, Bal. Nggak pernah gue temuin cewek se-cantik itu sepanjang hidup gue. Gue yakin, lo kalau lihat cewek itu pasti ikut terpana!" tambah Abdi mendadak heboh sendiri.
Iqbal geleng-geleng, sama sekali tak tertarik bahkan tak penasaran dengan cewek yang sedang di deskripsikan Abdi.
"Gue nggak peduli!" Iqbal kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Abdi.
Abdi menghela napas panjang, berusaha sabar. Abdi memeras otakanya secepat mungkin, mencari cara bagaimana Iqbal mau menemaninya.
Ah! Abdi langsung mendapat pencerahan. Ia buru-buru mengejar Iqbal.
"Bal, gue janji. Kalau lo mau temenin gue sebentar aja ketemu cewek itu, gue akan lakuin apapun yang lo suruh. Bahkan, kalau jam dua belas malam lo nyuruh gue cari toko bunga saat lo bertengkar sama pacar lo, gue rela! Atau lo mau gue cariin restoran paling mahal subuh-subuh juga gue jabanin! Sumpah!"
Iqbal menghentikan langkahnya dengan cepat, membuat Abdi mau tak mau mengerem kakinya lebih cepat.
Iqbal menatap Abdi dengan lekat.
"Bisa lo ulangi?"
"Apa?" bingung Abdi.
"Janji lo."
Abdi mendadak gelagapan, ia tadi hanya asal mengatakannya dan hampir tidak ingat lagi. Namun, Abdi berusaha untuk mengingatnya kembali. Ini kesempatan emas baginya, sepertinya Iqbal tertarik dengan tawarannya barusan.
"Gue janji akan lakuin apapun yang lo suruh. Bahkan, kalau jam dua belas malam lo nyuruh gue cari toko bunga saat lo bertengkar sama pacar lo, gue rela! Atau lo mau gue cariin restoran paling mahal subuh-subuh juga gue jabanin! Kalau perlu, gue juga siap cariin hadiah paling mahal buat pacar lo saat dia ulang tahun!"
Senyum di bibir Iqbal mengembang penuh arti.
"Oke, gue temenin."
Kedua mata Abdi langsung terbuka sempurna, rencananya berhasil! Abdi bersorak gembira dalam hati.
"Seriusan? Beneran, kan, lo mau nemenin gue sekarang?" heboh Abdi senang.
"Iya," seru Iqbal malas. Kalau bukan demi tawaran janji Abdi yang cukup menarik baginya, Iqbal tidak akan mau melakukan hal ini.
Abdi mengangguk-angguk semangat.
"Lo butuh bantuan apa? Cari restoran paling mahal? Cari bunga paling besar atau cari sebongkah berlian?" tanya Abdi tak sabar.
Iqbal bergumam sebentar, mengingat-ingat sesuatu yang sangat di inginkan sang pacar.
"Mainan komedi putar," jawab Iqbal.
Abdi mengerutkan keningnya, sedikit bingung.
"Komedi putar yang ada banyak kudanya dan kalau dinyalain ada lagunya, kan?"
"Iya, tapi hewannya jangan kuda."
"Terus apa?"
"Ganti sapi."
Abdi mendadak blank, kepalanya refleks membayangkan komedi putar yang diganti dengan sapi-sapi. Dimana dia bisa menemukannya?
Pantas saja Iqbal mengiyakan permintaannya. Ternyata imbal baliknya lebih sulit daripada mencari restoran mahal ataupun mencari sebongkah berlian.
"Bisa, nggak?" tanya Iqbal karena Abdi tak kunjung menyahuti.
Abdi mengangguk cepat, tanpa banyak pikir. Entah dia mencari dimana komedi putar dengan hewan sapi itu. Itu urusan belakangan.
Terpenting saat ini, Iqbal mau menemaninya bertemu Bidadarinya.
"Bisa banget! Jangankan komedi putar dengan hewan sapi, di ganti banteng pun gue jabanin!" seru Abdi yakin.
"Oke."
Dan, kesepakatan keduanya terjadi begitu saja. Iqbal dan Abdi kembali berjalan ke parkiran. Abdi semakin tak sabar untuk bertemu cewek cantik itu lagi.
"Bal, lo jangan ikutan naksir cewek itu ya waktu ketemu dia!"
"Hm."
"Inget, lo udah punya pacar yang katanya cantiknya naudzubillah!"
"Iya."
"Udah gue patenin nih, dia milik gue."
"Terserah lo."
"Jangan tebar pesona disana!"
"Nggak."
Senyum Abdi semakin melebar, bertambah semangat.
"Doain dia terpesona lihat gue dan langsung suka sama gue."
*****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA PART INI? GIMANA? SUKA NGGAK?
PERASAAN KALIAN WAKTU BACA PART INI GIMANA? NANONANO? SEDIH? GEMES APA GIMANA?
PENASARAN NGGAK GIMANA REAKSI ABDI DAN IQBAL SAAT KETEMU ACHA? ^^
MASIH SUKA ACHA YANG SEPERTI INI? APA SUDAHI SAJA KONFLIKNYA?
ATAU MAU KONFLIKNYA LEBIH DIPANASKAN? ^^
Mau di update kapan nih part 59-nya?
Penasaran nggak sama part selanjutnyaa? ^^
Sampai berjumpa di part 59 yaaa.
Semoga teman-teman semua selalu suka Mariposa 2, selalu baca Mariposa 2 dan Support Mariposa 2 Aminnn ^^
Jangan bosan-bosan baca Mariposa 2 yaa. Dan, rekomendasiin Mariposa 2 ke teman-teman kaliaan yaaa ataupun ke group-group kalian jugaa ^^
Jangan lupa juga untuk tinggalkan COMMENT dan VOTE yang paling aku tunggu banget dari kaliannn semuaaa ^^^
Aku juga sering share spoiler-spoiler Mariposa 2 dan info-info lainnya di Instagramku @luluk_hf , kalian bisa follow yaa ^^
MAKASIH BANYAAK SEMUAANYAA, SAYAANGGG KALIAAN SEMUAA. JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN YAA. SEHAT SELALU BUAT KITA SEMUA AMIN YARABBAL ALAMIN ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro