57 - The Cake
Assalamualaikum, kejutan buat kalian ^^
Alhamdulillah, akhirnya aku update lagi padahal nggak hari Jumat ^^
SIAPA YANG SENANG MARIPOSA 2 PART 57 UPDATE LEBIH CEPAT?
TUNJUKAN EMOJI SAPI KALIAN SEBANYAK-BANYAKNYAA ^^
Aku update ini sebagai pengganti kemarin-kemarin yang aku belum bisa update. Semoga seterusnya juga bisa sering-sering update lagi Amin.
Doakan yaa idenya lancar terus dan aku juga semakin sehat terus. Teman-teman semua juga sehat selalu Aminn.
Maaf ya kalau part ini banyak typo, karena revisinya lumayan dadakan ^^
SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA SEMAKIN SUKA DAN CINTA YA SAMA MARIPOSA 2 AMIN.
DAN, NGGAK PERLU LAMA-LAMA.
SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 ^^
*****
"Nama dia siapa ya?"
Baru saja Abdi akan melangkah mendekat, gadis itu sudah berbalik untuk beranjak pergi setelah selesai membayar dan menerima kuenya. Membuat Abdi lagi-lagi harus mengurungkan niatnya.
"Yah, nggak bisa kenalan sama Bidadari."
Abdi hanya bisa menelan kekecewaan dengan terus memandangi gadis itu berjalan ke pintu toko kue.
Ting!
Abdi tertegun sesaat dengan kedua mata sedikit melebar ketika mendapati gadis itu tanpa sadar menjatuhkan gantungan kuncinya yang terjepit pintu hingga tergeletak dilantai begitu saja.
Abdi pun segera mendekat, mengambil gantungan kunci tersebut. Abdi tersenyum melihat gantungngan kunci itu.
"Boneka Sapi," lirihnya menggambarkan bentuk gantungan kunci yang ditemukannya milik gadis tadi. Ukuran gantungan kunci tersebut tak lebih besar dari genggaman tangan Abdi.
Abdi mendongakkan kepala, melihat dari pintu kaca toko, gadis itu sudah pergi, tak ada lagi sosoknya disekitar toko.
Abdi kembali memandangi gantungan kunci boneka sapi, membolak-baliknya. Hingga Abdi menemukan sebuah kalung besi di leher gantungan kunci boneka sapi itu, disana terdapat rentetan huruf dan angka.
Abdi membacanya.
Lupi 081223355xxx
Senyum Abdi semakin melebar, sepertinya sang pemilik menyertakan nama dan nomernya di gantungan kunci boneka sapi ini.
"Jadi, nama dia Lupi," lirih Abdi.
Abdi pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menyimpan nomor tersebut.
"Lucu juga namanya." Lalu, Abdi memasukkan gantungan kunci boneka sapi tersebut ke dalam tasnya. "Besok gue ajak ketemuan dan kembalikan gantungan kuncinya."
Sebelum Abdi menutup resleting tasnya, Abdi masih tak bisa lepas dari gantungan kunci sapi tersebut. Lagi-lagi senyumnya mengembang seperti orang jatuh cinta.
"Sepertinya dia sangat suka boneka sapi."
Setelah itu, Abdi kembali ke etalase, melanjutkan misinya membeli kue untuk Sia, sepupu tersayangnya.
****
Acha keluar dari minimarket setelah membeli ice-cream, setelah itu Acha tidak langsung pulang. Acha memilih untuk duduk sebentar di kursi yang ada di depan minimarket tersebut.
Acha meletakkan paper-bag berisikan kue yang baru saja di belinya beberapa saat lalu. Acha menghela napas panjang, Ia sangat butuh untuk mendinginkan pikirannya, sungguh.
Sejak semalam kepala Acha terasa penuh hingga sekarang.
Acha membuka ice-creamnya dan segera memakannya. Acha menjilati ice-cream tersebut seperti anak kecil, sesekali Acha menghirup segarnya udara sore dan ramainya kalanan raya tak jauh dari hadapannya.
Acha menatap ke depan hampa dengan mulut masih terus menghabiskan ice-creamnya.
Drttdrtt!
Ponsel Acha bergetar, ada sebuah pesan dari Iqbal. Acha membuka chat tersebut dan segera membacanya.
Iqbal Guanna
Sudah pulang?
Acha memajukan sedikit bibirnya dengan napas panjang yang ia hembuskan. Lagi-lagi kejadian kemarin berputar di pikiran Acha.
Untuk kedua kalinya, Acha hanya membacanya, tanpa ingin membalas langsung. Acha kembali memasukan ponselnya ke dalam saku, melanjutkan menghabiskan ice-cream di tangannya.
"Presiden Sapi!"
Acha terpelonjat mendengar suara cukup kencang yang sepertinya memanggilnya. Acha menoleh ke kanan dan kiri bergantian, hingga akhirnya menemukan seorang cowok tinggi dengan travel-bag digendong di depannya.
Acha mendecak pelan, dari semua minimaket kenapa bisa bertemu musuh bebuyutannya disini. Acha dapat melihat jelas sosok itu yang semakin mendekat dengan tangan melambai-lambai dan cengiran tak jelas.
Yah, siapa lagi jika bukan..... tau sendirilah ya tanpa disebutkan namanya.
"Hai, Presiden Semut," balas Acha malas saat Glen sudah berdiri di depannya.
Glen melebarkan senyumnya, mengulurkan tangannya.
"Salaman dulu sesama Presiden," ajak Glen.
"Harus ya?"
"Biar semua Semut dan Sapi di dunia ini damai. Lo mau Sapi dan Semut musuhan kayak Gajah dan Semut?" heboh Glen.
Acha termenung sesaat.
"Kan, yang musuhan Gajah dan Semut bukan Sapi dan Gajah," balas Acha.
Kini giliran Glen yang termenung dengan tangan yang perlahan turun tak jadi menjabat.
"Bener juga ya."
Acha mendecak lagi sambil geleng-geleng. Kini tatapan Acha beralih ke seekor kucing dengan tatapan berbinar-binar di dalam travel bag yang di gendong Glen.
"Hai, Meng," sapa Acha melambai-lambaikan tangannya.
"Ini bukan Meng, ini anaknya Meng," ucap Glen meralat Acha.
Ah! Acha mengangguk-angguk cepat.
"Namanya siapa?" tanya Acha menunjuk kucing tersebut.
"Belum dikasih nama. Nunggu Bunda gue pulang dari Kairo, baru mau dikasih nama dan diadakan acara tasyakuran," jelas Glen.
Acha mengerutkan kening.
"Bunda Glen pergi ke Kairo buat nyariin nama anaknya Meng?" tanya Acha dengan takjub.
"Enggak Cha," gemas Glen. "Bunda gue nemenin Papa ketemu client-nya disana."
Acha lagi hanya manggut-manggut seperti bocah kecil.
"Kirain."
Glen menunjuk Acha dengan tatapan heran.
"Lo ngapain sendiri di sini? Supir lo mana?"
Acha menatap Glen bingung.
"Acha nggak punya supir dan Acha lagi makan Es-Krim habis pulang dari Akademi," jawab Acha menunjukan es-krimnya yang tinggal setengah.
"Maksud gue Iqbal," perjelas Glen.
"Iqbal pacar Acha, bukan supir Acha," tegas Acha.
"Sama aja. Cowok kalau udah punya pacar, tugasnya selain jadi pacar yang baik, juga harus jadi supir yang baik," ucap Glen mengutarakan pengalaman pribadinya.
Ah. Acha baru menyadarinya. Benar juga yang dikatakan Glen.
"Glen sendiri ngapain disini? Perasaan daerah ini jauh dari rumah Glen," tanya Acha balik.
Glen menghela napas panjang, seolah bersyukur ada orang yang bertanya dan berharap mau mendengar kegundahannya.
Glen mengambil duduk di kursi sebelah Acha.
"Gue habis ke Klinik hewan sebrang sana, anterin Meng," jawab Glen. Nyatanya, dia memang baru saja mengantarkan Meng, kemudian ingin ke minimarket untuk beli cemilan. Namun, tertunda karena pertemuan tak sengajanya dengan Acha.
"Meng sakit?" tanya Acha.
"Iya, muntah-muntah sejak semalam."
Kedua mata Acha terbuka lebih lebar.
"Meng hamil lagi?" kaget Acha.
"Astaghfirullah, enggak Cha!" gemas Glen kedua kalinya, berusaha sabar. "Keracunan makanan. Makanya harus di opname dulu disana," perjelas Glen.
Acha menggut-manggut mengerti.
"Kasihan Meng," lirih Acha bersimpati.
Glen mengelus dadanya pelan.
"Iya, apalagi gue. Kasihan banget harus urus dua bocah."
"Dua bocah?"
"Meng dan anaknya."
"Kenapa Glen yang ngurus?" bingung Acha, setau Acha selama ini Glen paling nggak mau kalau disuruh ngurus Meng.
Lagi-lagi napas panjang keluar dari pernapasan Glen.
"Terpaksa. Mbak yang biasanya urus Meng ngundurin diri beberapa hari yang lalu. Makanya terpaksa gue yang harus urus dulu sampai gue nemuin Mbak pengganti."
"Glen lagi cari babysitter buat Meng?"
Glen mengangguk cepat.
"Iya, cari kucingsitter. Lo ada kenalan, nggak? Sumpah gue butuh banget!" ucap Glen sungguh-sungguh.
Acha terdiam sesaat, kemudian menggeleng, merasa tak memiliki kenalan sama sekali.
"Acha nggak punya."
"Kalau lo kenal sama orang yang mau jadi pengasuh Meng, kabarin gue. Tenang aja, gaji besar, dapat tempat tinggal dan dapat makan," jelas Glen menggebu.
Acha kembali takjub mendengarkan penjelasan Glen. Orang kaya memang beda, kucing saja ada pengurusnya.
"Oke," jawab Acha menyetujui cepat.
Glen menatap paper-bag yang sangat ia kenali ada di atas meja. Dengan tak berdosanya, Glen menyeret paper-bag itu lebih dekat ke dirinya dan mengeluarkan kue itu dari sana.
"Cha, punya lo, kan?" tanya Glen dengan santainya.
Acha yang masih tak paham hanya manggut-manggut saja, memperhatikan Glen masih tanpa protes.
"Iya, punya Acha."
"Gue lapar, gue makan ya."
Tanpa menunggu persetujuan Acha, Glen membuka penutup kue di hadapannya dan langsung melahap kue milik Acha dengan cepat seperti orang kelaparan.
Acha yang baru menyadari apa yang dilakukan Glen langsung membulatkan kedua matanya tak santai.
"GLEENNN!!!" teriak Acha dengan cepat menarik kuenya yang hanya sisa potongan buah di atasnya. Kuenya sudah dimakan habis oleh Glen semuanya.
Glen menelan sisa kue yang masih di kunyahnya, tanganya mengangkat kedua jempolnya.
"Enak Cha, kuenya."
Acha menggeram kesal, ia meratapi kuenya yang sudah hilang dengan tatapan miris. Padahal, ia benar-benar ingin makan kue saat ini.
"Dasar Semut!" sebal Acha.
"Namanya juga Semut, dimana ada yang manis-manis dia pasti mendekat," cengir Glen merasakan mood dan energinya kembali naik karena kue Acha.
"Maafin Acha ya kue, kamu dimakan sama Semut kejam," lirih Acha masih meratapi kuenya.
"Yang ikhlas, Cha. Di umur kita ini harus perbanyak pahala," ucap Glen sok bijak.
Acha memberikan decakan sinis. Acha ingin sekali marah tapi lawannya Glen. Bisa-bisa bukannya puas memarahi Glen, malah dia yang capek sendiri karena buang-buang tenaga.
"Udah sana pergi," usir Acha masih kesal.
"Masih kenyang Cha, main usir-usir aja. Emang minimarket ini milik nenek moyang lo?" tantang Glen tak terima.
Kan, apa Acha bilang! Memarahi seorang Glen sama halnya seperti memarahi mentok yang ingin cari makan.
Bukannya pergi, malah diserang balik! Di cucuk balik!
Acha menghela napas pelan, berusaha memperbanyak sabarnya. Acha melirik jam tangannya, hari sudah bertambah gelap. Acha pun segera berdiri, ingin beranjak pulang.
"Mau kemana?" tanya Glen saat melihat Acha berdiri.
"Pulang," jawab Acha.
"Naik apa? Jalan Kaki? Terbang? Kayang? Salto?" tanya Glen dengan tak berdosanya.
"Ngilang!" jawab Acha ketus.
"Coba ngilang, pengin lihat gue," tantang Glen dengan wajah menyebalkannya.
Acha mendecak lebih kesal, ingin sekali menjambak rambut Glen saat ini juga. Namun, lagi-lagi Acha menahannya.
Ingat Cha, ini Glen! Cowok paling menyebalkan sejagat raya!!
"Acha pulag naik taxi," jawab Acha tak ingin memperpanjang perdebatannya sama Glen.
Glen manggut-manggut.
"Mau bareng gue?" tawar Glen. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasihnya juga karena sudah di beri kue, eh bukan, lebih tepatnya karena sudah sabar kue-nya ia rampas.
Acha mempertimbangkannya sebentar.
"Mau nggak? Jangan lama-lama mikirnya. Mumpung gue lagi baik nih."
"Glen bawa mobil?" tanya Acha karena ia sama sekali tak melihat mobil porsche kebanggaan Glen di sekitar.
"Bawa becak gue," jawab Glen gemas.
"Mana becaknya?" tanya Acha dengan polos.
Glen geleng-geleng, ternyata bukan Acha yang butuh kesabaran ekstra menghadapinya. Glen sendiri juga butu kesabaran tiga kali ekstra untuk menghadapi Acha.
Glen ikut berdiri, kembali menggendong travel-bag dengan anak Meng di dalamnya.
"Mobil gue di depan klinik," jawab Glen menunjuk sebuah mobil Mercy berwarna putih.
Acha mengikuti arah telunjuk Glen, mengangguk-angguk takjub. Orang kaya memang beda, mobilnya pasti banyak.
"Pantesan Acha nggak lihat," lirih Acha.
"Bareng pulang, nggak?" tanya Glen lagi mulai tak sabar.
"Yaudah Acha bareng, tapi Acha dianterin sampai rumah, jangan diculik," peringat Acha.
Glen melototkan kedua mata tak santai.
"Orang yang mau nyulik lo mikir 1000 kali, Cha. Bukannya nyulik dapat tebusan uang, bisa-bisa dapat Sapi!"
Acha mencibir kesal.
"Jadi anterin pulang, nggak?" serang Acha balik.
"Yaudah, ayo."
Glen pun berjalan duluan meninggalkan Acha, dan Acha segera mengikuti dibelakang Glen. Mereka menuju ke mobil Glen yang ada di depan Klinik hewan.
Mereka berhenti di trotoar tepat di depan Zebra-cross bersiap untuk menyebrang.
"Glen," panggil Acha, merapatkan tubuhnya ke Glen. Acha sedikit tak berani menyabrang jalan raya besar. Acha punya trauma saat SD hampir tertabrak.
"Apa?"
Acha menggerakan tangannya, memegangi lengan jaket Glen. Dan, Glen yang menyadari lengannya seperti ditarik langsung menoleh.
"Acha nggak berani nyebrang," ucap Acha lirih.
"Ada lampu lalu lintas," ucap Glen menunjuk tiang lampu lalu lintas tak jauh dari Acha, menunggu lampu tersebut berubah merah.
"Tetap aja, Acha takut."
"Takut apaan?"
"Ditabrak."
"Lo pernah hampir ketabrak?" heran Glen.
Acha mengangguk.
"Pernah, waktu SD."
"Ditabrak apaan?"
Acha menatap Glen sebentar, kedua matanya mengerjak-kerjap seperti anak kecil.
"Mobil yang lagi angkut sapi."
****
Mobil Glen akhirnya sampai di depan rumah Acha. Cowok itu mengantarkannya dengan selamat tanpa ada aksi penculikan yang di khawatirkan Acha.
"Makasih banyak Glen," ucap Acha segera keluar dari mobil Glen.
"Cha jangan lupa titipan gue," teriak Glen dari dalam mobil.
Acha mengurungkan niatnya untuk menutup kembali mobil Glen, tatapanya berubah bingung sesaat.
"Titipan apa?"
"Kalau ada kenalan yang mau jadi pengasuh Meng," jelas Glen.
Ah, Acha mengangkat jempolnya.
"Oke."
Setelah itu, Acha segera menutup pintu dan melihat mobil Glen yang langsung melewat pergi, menjauh dari hadapannya.
Acha berjalan ke gerbangnya, namun ia terdiam saat menemukan sebuah buket bunga mawar yang dikaitkan di pegangan gerbangnya.
"Bunga dari siapa?" bingung Acha.
Tanpa ingin bertanya-tanya dan penasaran, Acha segera mengambil buket bunga tersebut dan membawanya masuk.
****
Acha menyalakan semua lampu rumahnya, Mamanya masih belum pulang. Sepertinya akan lembur seperti hari-hari kemarin. Acha merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah menaruh buket bunga di atas meja. Ia meregangkan otot-ototnya sebentar.
Hari ini terasa sangat melelahkan.
Acha menatap buket bunga tersebut dengan bingung. Tak biasanya ada yang mengirim bunga dan hanya di gantungkan di gerbang rumahnya.
Acha menegakkan kembali tubuhnya dan menarik buket bunga itu. Ada kartu ucapan disana.
Namun, saat Acha ingin mengambilnya, ponsel di saku Acha bergetar. Acha mengurungkan niatnya untuk mengambil kartu tersebut dan mengeluarkan ponsel.
Ada panggilan dari Iqbal.
Acha merasakan jantungnya mendadak berdetak cepat, ia baru ingat chat dari Iqbal masih belum di balas. Acha menarik napasnya pelan-pelan, berusaha untuk tetap tenang.
Kemudian, Acha menerima panggilan tersebut.
"Iya Iqbal?"
"Gue di depan rumah lo."
Kedua mata Acha langsung membulat sempurna, tubuh Acha sontak berdiri tanpa disuruh. Acha pun segera berjalan cepat ke gerbang rumahnya.
*****
Benar saja, Iqbal sudah berdiri di depan mobilnya, menunggu Acha membukakan gerbang rumahnya.
Acha memaksakan senyunya saat kedua matanya bertatapan dengan Iqbal.
"Iqbal ngapain kesini?"
Bodoh! Pertanyaan macam apa itu Natasha? Sejak kapan seorang Acha akan bertanya seperti itu saat pacar kesayangannya berkunjung ke rumah!
Benar saja, Iqbal terlihat terkejut mendenga pertanyaan Acha.
"Gue nggak boleh kesini?" tanya Iqbal dengan suara yang terdengar sedikit dingin.
Acha sedikit mengigit bibirnya, sedikit takut. Acha dapat merasakan nada sindiran dari pertanyaan Iqbal barusan.
"Boleh Iqbal, maksudnya..." Acha nggak menemukan alasan apapun di kepalanya saat ini. Ia benar-benar sudah panik duluan.
Iqbal mendekatkan langkahnya. Bibirnya perlahan terangkat, membentuk sebuah senyuman hangat ke Acha.
"Gue bawa kue buat lo," ucap Iqbal, mengangkat paper-bag yang sedari tadi ada di tangan kanannya.
Acha menatap paper-bag tersebut, paper-bag yang sama seperti miliknya beberapa jam yang lalu sebelum dirampas habis oleh abang-nya Meng!
Acha tersenyum senang melihat paper-bag tersebut. Sungguh, kali ini Acha benar-benar tersenyum tanpa paksaan.
"Buat Acha?" tanya Acha sekali lagi.
"Iya."
Acha menerimanya, mood-nya yang buruk perlahan kembali bahagia karena kue tersebut. Yah, perlu diperjelas. Acha senang karena kue itu, bukan karena kedatangan Iqbal. Acha sangat ingin memakan kue tersebut sejak siang tadi.
"Boleh masuk, nggak?" tanya Iqbal menyadarkan Acha yang masih berbinar melihat kue yang diberikannya.
Acha sedikit terkejut, ia langsung menatap Iqbal kembali.
"Boleh Iqbal," jawab Acha, menyetujui saja.
Mereka berdua pun segera masuk ke halaman rumah Acha, lebih tepatnya mengambil duduk di sofa teras rumah Acha. Tempat biasanya mereka berdua kencan jika di rumah Acha.
"Iqbal mau minum apa?" tanya Acha menawari.
"Nggak usah," tolak Iqbal.
"Beneran?"
"Iya."
Acha mengangguk, mengurungkan niatnya untuk berdiri. Dan, detik berikutnya keadaan mendadak hening. Acha menatap kedepan dengan gugup dengan kedua tangan masih memeluk paper-bag kue.
Sedangkan, Iqbal diam karena ingin memeriksa sesuatu. Dan benar saja, ia semakin yakin bahwa ada sesuatu dengan pacarnya.
Seorang Acha tidak akan pernah diam selama ini saat berada disampingnya. Acha tidak pernah membiarkan kondisi hening dan canggung antara mereka berdua.
Iqbal perlahan menoleh ke Acha, menemukan gadis itu masih diam dengan tatapan gelisah ke arah depan.
"Gue ada salah ya?"
Tubuh Acha langsung menegang saat itu juga ketika mendengar pertanyaan dari Iqbal. Acha sama sekali tak berani untuk menggerakan tubuhnya bahkan menahan napasnya beberapa detik.
"Sa... Salah apa?" tanya Acha balik sedikit terbata-bata.
"Gue punya salah sama lo?" perjelas Iqbal.
Acha meremas jemarinya yang terasa lebih dingin. Acha berusaha memaksakan senyumnya, kemudian memberanikan diri untuk menatap Iqbal balik.
"Maksud Iqbal apa? Acha nggak ngerti." Tentu saja Acha sedang berbohong.
Dan, Iqbal dapat melihat kebohongan itu dalam sekali tatap. Mata Acha yang bergerak tak pasti dan jemari-jemari Acha yang terus meremas dengan gelisah. Bukti nyata bagi Iqbal jika gadisnya sedang berbohong.
"Lo diemin gue dari kemarin malam," ucap Iqbal sengaja memberitahu.
Acha meneguk ludahnya dengan susah payah, tak menyangka Iqbal akan langsung menyerangnya dalam sekali pukulan pertanyaan yang sangat menyudutkan.
Acha lagi-lagi memaksakan senyumnya untuk mengembang lebih lebar.
"Acha nggak diemin Iqbal," ucap Acha membela diri.
Keadaan kembali hening. Iqbal diam, tak langsung membalas, begitu juga dengan Acha. Kedua mata mereka saling menatap, Acha dapat merasakan gelapnya mata Iqbal yang seolah ingin terus menerobos dirinya.
Perlahan, Acha dapat merasakan tangan kekar Iqbal menyentuh pipinya, terasa sangat hangat.
"Nggak mau jujur ya?"
Senyum Acha yang sedari tadi ia paksakan langsung hilang saat itu juga, ketika mendengar pertanyaan Iqbal.
Perlahan, Acha memberanikan diri untuk menyentuh tangan Iqbal. Kemudian, menepisnya tanpa rasa takut, menjauhkan tangan Iqbal dari pipinya.
Dan, sikap Acha barusan berhasil membuat wajah tenang Iqbal seketika berubah kaget. Tatapan hangat mata Iqbal langsung berganti menjadi tatapan meminta penjelasan.
Acha berusaha untuk tidak gentar dengan tatapan Iqbal saat ini. Senyum Acha kembali mengembang, namun bukan sebuah senyum yang hangat.
"Bukannya Iqbal yang nggak mau jujur sama Acha?"
*****
#CuapCuapAuthor
GIMANA PART INI? SUKAA NGGAAK?
AUTHOR : SUKAA BANGETT!! SUMPAAH !! SUKAAA!! WKWKWK
SIAPA YANG GEMES BANGET DIGANTUNGIN KAYAK GINI SAMA AUTHOR?
SATU KATA UNTUK PART INI? SILAHKAN UTARAKAN UNEK-UNEK KALIAN ^^
SUKA ACHA YANG KAYAK GINI APA ACHA YANG KEMARIN-KEMARIN? ^^
PENASARAN NGGAK SAMA PART 58? NGGAK SABAR BUAT BACA PART 58?
SAMPAI BERJUMPA DI PART SELANJUTNYAA YAAA ^^
TERUS BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 ^^
Jangan lupa juga ajak teman-teman kalian untuk baca MARIPOSA 2 ya. Rekomendasikan Mariposa 2 ke group-group teman kalian, saudara kalian kalau perlu Group Arisan juga hehe ^^
Dan, Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu paling ditunggu dari kalian semuaaaa. Aku selalu suka baca komen-komen tulis kalian, komen-komen reaksi kalian yang bener-bener buat aku semangat buat nulis terus^^
FOLLOW INSTAGRAMKU JUGA YAA " @luluk_hf " AKU SERING SHARE SPOILER-SPOILER MARIPOSA DAN INFO-INFO DISANA ^^
MAKASIH BANYAAK SEMUANYAA. SAYANG KALIAN SEMUAA DAN SELALU JAGA KESEHATAAN YAA. JANGAN LUPA MINUM VITAMIN DAN KALAU KELUAR SELALU PAKAI MASKER YAA.
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro