53 - IF
Assalamualaikum teman-teman semua. Bagaimana kabarnya?
Alhamdulillah, hari ini bisa kembali bawa MARIPOSA 2 buat teman-teman semua.
Siapa yang udah nggak sabar buat baca Mariposa 2 part 53?
Tunjukan Emoji MARIPOSA kalian ^^
Maaf ya kalau part ini masih ada typonya.
Dan, semoga teman-teman semua selalu baca MARIPOSA 2 dan Support MARIPOSA 2 Amin.
Oh ya, jangan lupa juga buat follow Instagram @luluk_hf dan @novelmariposa yaa. Karena bakalan ada banyak spoiler-spoiler, give away dan games-games tentang Mariposa ^^
Dan, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2. Semoga suka dengan part ini. Amin
*****
"Siapa Bal? Pacar baru? Lo udah putus sama Acha?"
Iqbal mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil, ia cukup terkejut mendenga pertanyaan tiba-tiba itu. Siapa orang yang memiliki keberanian bertanya seperti itu kepadanya?
Perlahan Iqbal menoleh, mencari pemilik suara itu. Hingga akhirnya Iqbal melihat seorang cowok berpostur tinggi dengan jaket jins denim kebanggannya. Cowok itu melambaikan tangan ke aranya dengans enyum tak berdosa.
"Long time no see, bro."
Iqbal yang sudah bersiap untuk memberikan tatapan tajam dan dinginnya langsung hilang begitu saja, senyumnya mengembang tipis. Yah, Iqbal melihat teman lamanya yang sangat susah ditemui karena kuliah di luar kota.
Cowok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Dino. Teman satu tim Iqbal saat olimpiade bersama dengan Acha.
"Kapan datang ke Jakarta?" tanya Iqbal berjalan mendekati Dino.
Dino pun ikut melangkah lebih dekat ke arah Iqbal, mereka saling ber-tos dan terlihat sangat senang bisa berjumpa kembali setelah hampir satu semester tak dipertemukan.
"Minggu kemarin," jawab Dino.
Iqbal mengerutkan kening sebentar, memikirkan apa yang dilakukan cowok ini di kampusnya.
"Nemuin Dina?" tebak Iqbal.
Dino mengangguk, senyumnya melebar.
"Gue antar dia karena ada kegiatan seminar, sekalian aja gue keliling-keliling buat lihat kampus kesayangan anak Arwana," perjelas Dino dengan nada sedikit menyindir.
Iqbal terkekeh pelan mendengarnya.
"Anak ITB memang nggak pernah mau kalah," sindir Iqbal balik.
"Jelas dong, harga mati!" bangga Dino.
"Otak aman di ITB?" tanya Iqbal prihatin melihat kantung mata Dino yang berubah menghitam. Sepertinya cowok itu juga tak pernah tidur sepertinya.
"Di buat aman ya harus aman. Semester masih panjang," jawab Dino dramatis. "Lo sendiri gimana? Masih kuat di Kedokteran?"
"Semester masih panjang, bukan?" jawab Iqbal balik penuh arti.
Dino tertawa mendengar jawaban Iqbal. Nampaknya, nasibnya tak jauh beda dengan temannya ini.
Iqbal memperhatikan Dino kembali lebih lekat, tidak ada yang berubah dari cowok ini. Masih ceria, murah senyum dan dipenuhi semangat membara seperti saat dia masih di SMA dulu.
"Lo masih pacaran sama Dina?" tanya Iqbal sedikit penasaran.
Raut wajah Dino langsung berubah terkejut.
"Masihlah! Ya walaupun banyak dramanya. Paham sendirilah drama orang LDR gimana. Banyak kangennya, banyak miss-komunikasinya belum lagi harus saling percaya," curhat Dino dadakan.
"Bener juga," sahut Iqbal. Ia sendiri tidak bisa membayangkan jika dirinya LDR dengan Acha. Apakah bisa saling mempertahankan satu sama lain?
"Gue sampai lelah dengar quotes 'orang yang disayang bakal kalah dengan orang yang selalu ada'. Ya kalau imannya kuat mah nggak bakal kalah. Ya, kan?" seru Dino menggebu-gebu.
Iqbal mengangguk-angguk saja, biar cepat. Daripada melihat Dino semakin membahas kemana-mana.
"Nice!" lanjut Dino senang karena Iqbal menyetujui pernyataannya. Kini, kedua mata Dino berpindah ke seorang gadis yang sudah ada di dalam mobil Iqbal. Kening Dino mengerut, penasaran siapa sosok gadis itu.
Dino kembali menatap ke Iqbal.
"Lo putus sama Acha?" tanya Dino tanpa basa-basi.
"Nggak," jawab Iqbal cepat.
Kening Dino semakin mengerut.
"Terus, cewek itu siapa?" Dino memberikan kode dengan kedua matanya.
Iqbal menoleh sebentar ke mobilnya, melihat Biya yang juga tengah memperhatikannya. Kemudian, Iqbal menatap ke depan.
"Teman," jawab Iqbal seadanya.
Tatapan Dino bertambah tidak santai, dipenuhi kecurigaan.
"Sejak kapan seorang Iqbal Guanna Freedy, manusia paling dingin sedunia mau nganterin cewek lain selain Acha?" tanya Dino kembali.
"Gue pernah nganterin kakak gue," balas Iqbal dengan enteng.
"Maksudnya cewek lain yang nggak ada hubungan keluarga sama lo!" gemas Dino.
"Bi Ina pernah gue anterin ke rumah sakit," jawab Iqbal lagi dengan wajah tak berdosanya.
Dino menghela napas berat, berusaha untuk sabar. Ternyata sikap menyebalkan Iqbal sama sekali tidak hilang.
"Maksudnya, cewek yang....
"Dia teman kecil gue, Rian dan Glen," potong Iqbal cepat, agar tidak membuat Dino semakin salah paham. Iqbal sendiri mulai tak nyaman dengan pertanyaan Dino yang terasa semakin menyudutkan.
"Ah..." Dino langsung manggut-manggut. "Gue kira lo selingkuh dari Acha."
"Ngawur!" tajam Iqbal.
"Ya kan siapa tau aja. Sebaik-baiknya cowok kalau udah ketemu mangsa lain, bisa aja berpaling."
"Pengalaman pribadi?" sindir Iqbal terang-terangan.
Dengan cepat Dino menaruh jari telunjuknya di bibir Iqbal.
"Jangan suudzon, gue masih berusaha setia dan akan selalu setia dengan Dina," lirih Dino sok drama.
Iqbal dengan cepat menepis tangan Dino dari bibirnya.
"Tangan lo bau trasi," pekik Iqbal. Ia sungguh-sungguh mencium bau trasi di telunjuk Dino.
Dino langsung menciumi jari-jarinya sendiri, kemudian nyengir lebar.
"Sori, gue habis makan sambal buatan calon Mama mertua, a.k.a emaknya Dina," jelasnya panjang lebar.
Iqbal hanya geleng-geleng pelan.
"Gue balik dulu," pamit Iqbal.
"Oke, salam ke Acha, Rian dan Glen. Kapan-kapan nongkrong bareng sebelum gue balik ke Bandung," pinta Dino.
"Gue usahakan."
"Beneran ya, jangan merah-merah di bibir aja."
"Hah?" bingung Iqbal tak paham.
"Maksudnya bilangnya di usahakan tapi ternyata sama sekali nggak di usahakan," jelas Dino.
"Ribet!"
"Ya pokoknya gitulah! Intinya lo paham kan?" paksa Dino.
"Nggak."
"Paham ajalah, Bal!"
Kali ini, Iqbal manggut-manggut cepat sembari mengangkat jempolnya sebagai jawaban, biar Dino juga senang dan tidak memaksa lagi.
"Gue balik," ucap Iqbal bersiap untuk membalikkan badan.
Namun, Dino lebih cepat mencegahnya, menahan lengan Iqbal.
"Bal," panggil Dino lirih dengan tatapan penuh arti.
"Apa lagi?" balas Iqbal mulai was-was sendiri.
"Gue punya banyak stok video-video baru. Jadi, pastikan lo ajak Rian dan Glen nongkrong bareng," bisiknya penuh arti sembari kedua alis dinaikan.
Iqbal memberikan lirikan tajam dan detik berikutnya menampar pelan pipi Dino.
"Tobat!" tajam Iqbal.
"Astaghfirullah," nyebut Dino cepat sembari mengelus pipinya.
Setelah itu, Iqbal segera berjalan menjauhi Dino untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Bal! Beneran kasih tau Rian dan Glen. Mereka pasti senang denger kabar bahagia ini."
Iqbal masuk ke dalam mobil dengan kepala geleng-geleng, tak habis pikir dengan hobi Dino yang ternyata tidak berubah.
"Sinting!"
Tanpa menjawab ucapan Dino, Iqbal segera menjalankan mobilnya. Menjauh dari parkiran kampusnya.
*****
Setelah pulang kelas Akademi, Acha tak langsung pulang. Ia janjian dengan Amanda untuk nongkrong di café bareng. Hitung-hitung untuk refreshing. Sudah lama mereka tidak "Girls time" bareng.
"Enak yang cokelat atau Redvelvet?" tanya Amandamenunjuk dua kue yang ada di piring Acha.
"Cokelat," jawab Acha kembali memasukan satu suap kue ke mulutnya. "Kalau punya Amanda, enak cokelat atau Matcha?" tanya Acha balik.
"Matcha dong," jawab Amanda semangat.
Acha langsung mengernyit dengan cengiran tak setuju dengan jawaban Amanda. Yah, meskipun Acha sudah tau bahwa Amanda adalah matcha addict.
"Acha selalu heran, kok bisa ada orang yang suka banget sama Matcha. Padahal rasanya aneh," pekik Acha.
Amanda melototkan mata, tak terima.
"Aneh darimananya? Enak tau, Cha!" seru Amanda.
"Rasanya aneh Manda, kayak makan pasta gigi," perjelas Acha, ia mengingat kembali saat-saat pertama mencoba kue rasa matcha. Dan, Acha sama sekali tidak suka.
"Lidah lo aja yang cupu!" ledek Amanda.
"Enaka aja, Lida Acha mahal tau," balas Acha tak terima.
"Cupu... Cupu... Cupu...." ledek Amanda menjadi seolah tak mendengarkan balasan Acha.
Acha memberikan desisan pelan, sedikit sebal dengan ledekan Amanda.
"Nyebelin! Acha panggilin sapi-sapi Acha, tau rasa Amanda!" ancam Acha.
Mendengar ancaman Acha yang seperti anak kecil malah membuat Amanda tertawa puas. Sudah lama ia tidak melihat wajah kesal Acha seperti sekarang.
Acha yang melihat Amanda tertawa lepas seperti itu mau tak mau pun ikut tertawa. Acha sangat senang melihat Amanda benar-benar sudah pulih. Acha juga sangat bersyukur, Amanda sahabatnya yang penuh semangat telah kembali.
"Kondisi Amanda sekarang bagaimana? Sudah benar-benar baikan?" tanya Acha hati-hati.
Tawa Amanda berhenti, tertegun sesaat mendengar pertanyaan Acha. Amanda tersenyum kecil.
"Gue udah baik Cha, malah lebih dari baik. Gue berusaha nerima keputusan Mama yang ingin pisah dari Papa. Gue nggak mau egois. Mama juga berhak bahagia," jawab Amanda.
Acha sangat terharu mendengarnya.
"Amanda juga berhak bahagia. Apapun keputusan Amanda, Acha selalu dukung."
"Makasih banyak Cha, selalu ada buat gue."
"Sama-sama Amanda."
Mereka saling bertatap hangat dan sangat bersyukur karena bisa saling ada untuk satu sama lain.
"Gue nggak nyesel terapi ke Dokter Reli. Benar-benar sangat membantu," ungkap Amanda. "Setelah pernah depresi, gue jadi bener-bener sadar bahwa kesehatan mental itu penting banget."
"Iya Amanda. Acha juga ikut sadar akan hal itu," sahut Acha.
Amanda menghela napas pelan, tatapanya menerawang penuh harap.
"Gue berharap orang-orang yang sedang mengalami masa-masa berat saat ini akan tetap berusaha bertahan, tidak menyerah dan yakin bahwa mereka bisa kembali bahagia."
"Acha juga berharap Amanda bisa lebih bahagia mulai hari ini dan seterusnya," tambah Acha.
Amanda dan Acha sontak tertawa bersama, tak menyangka pertemuan hari ini akan menjadi pertemuan yang menyentuh dan seserius ini.
"Kak, ini pesanannya."
Tawa Amanda dan Acha terhenti ketika seorang pegawai café memberikan paper bag di atas meja mereka.
Amanda menatap paper bag itu dengan bingung.
"Siapa yang take away?" tanya Amanda.
"Acha," jawab Acha cepat, ia menatap ke pegawai café tersebut. "Makasih ya Kak."
"Sama-sama Kak."
Pegawai café tersebut pun beranjak, meninggalkan Amanda yang masih tak mengerti dan Acha yang senyum-senyum sendiri menatap paper bag tersebut.
"Lo pesen apa, Cha?" tanya Amanda menunjuk ke paper bagtersebut.
"Acha beli kue cokelat," jawab Acha.
"Kapan pesannya?"
"Waktu Amanda ke toilet tadi."
Amanda mengangguk-angguk kecil, mulai paham.
"Terus, kue cokelatnya buat siapa? Lo nggak kenyang?"
"Buat Iqbal. Acha mau kasih surprisebuat Iqbal."
Amanda mengerutkan kening, semakin heran.
"Dalam rangka apa? Iqbal ulang tahun?"
Acha menggeleng pelan.
"Nggak dalam rangka apa-apa. Acha pengin aja kasih kue cokelat buat Iqbal karena Iqbal sangat suka sama kue cokelat. Mumpung Iqbal masih mudah ditemuin."
"Emang Iqbal nggak sibuk?"
"Untuk saat ini sepertinya jadwal kuliahnya belum terlalu padat. Nggak tau minggu depan. Makanya, Acha mau antar kue cokelat ini ke Apartmen Iqbal."
Amanda tersenyum meledek.
"Ya ampun so sweet-nyasi bucin satu ini."
"Kayak Amanda nggak pernah bucin aja," ledek Acha balik.
"Sebucin-bucinnya gue masih dalam batas wajar, Cha. Kalau bucin versi lo mah udah nggak wajar! Nggak ada yang bisa ngalahin rasa bucin lo di dunia ini," cibir Amanda melebih-lebihkan.
Acha terkekeh mendengarnya, ia sendiri tak bisa mengelak. Nyatanya memang begitu. Rasa sayang Acha ke Iqbal sangatlah besar.
"Mau gue antar nggak ke Apartmen Iqbal?" tawar Amanda.
"Boleh Amanda. Tapi nanti nggak usah di tungguin. Biar Iqbal yang anterin Acha pulang."
Amanda mengangkat jempolnya dengan senang hati.
"Oke."
Acha menoleh ke luar jendela, tak terasa langit mulai menggelap. Padahal rasanya seperti baru setengah jam dia dan Amanda duduk di café ini.
"Cepet banget ya waktu," lirih Acha yang cukup bisa di dengar oleh Amanda.
Amanda ikut menatap ke arah jendela café.
"Bener, waktu emang berlalu cepat. Dan semakin dekat juga kita dituntut untuk siap menjadi dewasa," lirih Amanda penuh arti.
Acha menatap ke Amanda, sedikit kaget mendengar pernyataan Amanda.
"Kalau bisa kembali ke masa lalu? Amanda ingin ke masa apa?" tanya Acha sungguh-sungguh.
Amanda berdeham pelan, napasnya menghembus teratur.
"Nggak ada. Gue nggak ingin kembali," jawab Amanda jujur.
Acha terdiam sesaat, merasakan tatapan Amanda yang tenang.
"Kenapa?"
"Gue takut kalau gue kembali dan tiba di saat gue hancur seperti kemarin. Ternyata gue benar-benar menyerah dan nggak bisa bertahan."
Acha langsung menyentuh tangan Amanda, mengenggamnya hangat.
"Amanda orang yang kuat. Acha yakin, dimanapun Amanda berada, Amanda akan bisa melewati dengan baik," ucap Acha tulus.
Amanda tersenyum tipis, senang mendengarnya.
"Lo sendiri gimana?" tanya Amanda membalikkan pertanyaan.
"Apa?" bingung Acha.
"Kalau diberi kesempatan bisa kembali ke masa lalu. Lo ingin kembali ke masa apa?" perjelas Amanda.
Acha mengerutkan keningnya, berpikir cepat.
"Ah, Acha tau. Acha benar-benar ingin banget kembali ke masa ini, Amanda," seru Acha dengan wajah mendadak serius.
Amanda sontak mendeatkan wajahnya, sangat penasaran.
"Apa? Apa?"
Acha perlahan mengembangkan senyumnya.
"Acha pengin kembali di empat tahun lalu, Amanda."
"Empat tahun yang lalu? Ada apa?" bingung Amanda.
"Ada bazar boneka dan diskon sapi besar-besaran, Amanda."
"Hah?" kaget Amanda bukan main.
"Waktu itu Acha nggak bisa datang karena Acha sakit. Gara-gara nggak bisa datang, Acha nangis hampir tiga hari. Makanya, Acha pengin banget bisa kembali ke masa itu dan Acha datang ke bazarnya. Acha borong semua boneka sapinya."
Amanda tak bisa berkata apapun lagi saat ini. Bibirnya tanpa sadar sudah setengah terbuka.
Detik berikutnya, Amanda hanya bisa menghela napas berat, sembari geleng-geleng takjub.
"Subhanallah sekali jawabanmu, nak."
****
Acha segera bangkit dari kursinya setelah melihat Amanda membayar pesanan mereka. Acha menguncir rambutnya terlebih dahulu. Kemudian, ia mengambil tasnya dan paper bag pesananya.
Acha berniat untuk beranjak, namun ia menyadari sesuatu. Entah kenapa, Acha merasa sedari tadi ada yang memperhatikannya dari kejauhan.
Acha perlahan menoleh ke sebelah kanannya. Dan benar saja, Acha mendapati dua cowok di kursi ujung sedang memperhatikannya. Namun, ketika Acah memergoki dua cowok itu, mereka langsung mengalihkan pandang. Pura-pura sedang berbincang.
"Cha, Ayo!" panggil Amanda.
Acha langsung kembali menatap Amanda, memberikan respon dengan anggukan. Acha pun segera menyusul Amanda yang sudah berjalan ke arah pintu café.
Acha berjalan dengan pikiran tak fokus. Ia merasa familiar dengan dua cowok tadi. Akan tetapi, Acha tak bisa mengingat apa dia benar-benar mengenal dua cowok itu atau tidak.
"Kenapa?" tanya Amanda menyadari tatapan kosong Acha.
Acha tersentak. Ia memaksakan senyumnya dan menggeleng pelan.
"Nggak apa-apa, Amanda."
"Beneran?"
"Iya."
Amanda pun segera masuk ke mobilnya, begitu juga dengan Acha. Mereka berdua beranjak menuju ke Apartmen Iqbal.
*****
Iqbal menyeka keringat di dahinya. Hampir dua jam, ia membantu Biya pindahan. Akhirnya semua selesai. Barang-barang Biya sudah tertata rapi dan kondisi Apartmen pun sudah layak untuk di huni.
"Sudah semua, kan?" tanya Iqbal ke Biya yang tengah mengambil air minum di dapur.
"Sudah kok. Tinggal tata pakaian gue. Nanti gue bisa tata sendiri," jawab Biya.
Biya kembali ke ruang tengah, menyodorkan segelas air putih untuk Iqbal.
"Minum," suruh Biya.
Iqbal mengangguk dan menerimanya. Ia meneguk hingga habis minuman tersebut.
"Mau makan, nggak?" tawar Biya.
Iqbal melirik ke arah gadis itu.
"Emang lo punya makanan?" sindir Iqbal.
"Ada, mie instan," jawab Biya dengan santai.
Iqbal mendesis kecil, ia kemudian bangkit dari duduknya.
"Makan di Apartmen gue. Di kulkas ada makanan yang bisa di panasin," ucap Iqbal dan berjalan keluar begitu saja dari Apartmen Biya.
Biya menatap Iqbal dengan bingung. Namun, detik berikutnya ia mengikuti saja dibelakang Iqbal.
Biya menatap punggung Iqbal dari jauh. Langkah cowok itu semakin cepat. Biya menghela napas pelan.
"Nggak bisa apa ngajaknya lembutan dikit?"
****
Setelah memanaskan makanan yang ada di kulkas, Iqbal dan Biya segera makan. Tak ada yang mereka bicarakan, mereka berdua sama-sama fokus menghabiskan makanan mereka.
Jujur, baik Iqbal maupun Biya masih terasa canggung.
Biya mengakhiri makannya duluan, ia meletakkan sendoknya kemudian meminum jus jeruk yang dibuatkan oleh Iqbal.
Biya memperhatikan Iqbal yang sangat lahap menghabiskan lauk di piringnya.
"Gue boleh tanya." Biya akhirnya memberanikan diri untuk memecah keheningan di antara mereka berdua.
Iqbal mengangkat kepalanya, menatap Biya.
"Tanya apa?" balas Iqbal datar.
Biya berdeham pelan, sedikit ragu untuk menanyakannya.
"Pacar lo nggak marah, lo bawa cewek lain ke Apartmen lo?"
Pertanyaan Biya berhasil membuat Iqbal berhenti mengunyah, tubuhnya perlahan berubah tegak. Tatapan Iqbal yang semula tenang sedikit goyah.
"Kenapa tanya itu?" Bukannya menjawab, Iqbal malah melemparkan pertanyaan balik ke gadis di depannya.
Biya mengangkat kedua bahunya. Jujur, dia sendiri tidak tau kenapa dia menanyakan hal tersebut.
"Pengin tanya aja. Biasanya cewek kan suka drama dan melebih-lebihkan sesuatu. Apalagi kalau tau cowoknya bersama cewek lain. Di Apartmen pula," perjelas Biya.
Iqbal mengangguk-angguk singkat. Ia menaruh sendoknya, menyelesaikan makannya saat itu juga.
"Mungkin enggak," jawab Iqbal sedikit tak yakin.
"Serius enggak?" tanya Biya dengan senyum meremehkan.
Iqbal berusaha untuk yakin dengan jawabannya.
"Gue akan kenalin dia ke lo."
Kini giliran Biya yang menganggukan kepalanya, cukup puas dengan jawaban Iqbal kali ini.
"Sebaiknya seperti itu. Gue nggak mau dia salah paham," ucap Biya sungguh-sungguh.
Iqbal hanya membalas dengan jempol kanannya. Ia bersiap berdiri, menumpuk piring-piring di depannya untuk di bawah ke tempat cucian.
"Gue aja yang cuci," ucap Biya berniat membantu.
"Nggak usah," tolak Iqbal cepat.
"Oke."
Namun, saat Iqbal akan mengangkat piring-piring tersebut, suara kunci akses pintu Apartmen-nya berbunyi.
Baik Iqbal dan Biya langsung menoleh cepat ke arah pintu. Hingga akhirnya, pintu Apartmen Iqbal benar-benar di buka dari luar.
Seseorang gadis dengan senyum lebar terlihat di ambang pintu dengan satu tangan membawa paper-bag.
Namun, senyum itu hanya bertahan beberapa detik. Ekspresinya berubah bingung dan tubuhnya membeku saat itu juga.
Diantara mereka bertiga, hanya Biya yang akhirnya tersadarkan, Biya menoleh ke Iqbal. Respon cowok itu sama saja dengan gadis yang sedang berdiri di ambang pintu. Bedanya, tatapan Iqbal cukup tegang.
Biya tersenyum miring menatap dua insan yang saling bertatapan sangat lama, seperti sebuah drama telenovela.
"Sepertinya akan terjawab, dia marah atau tidak."
*****
#CuapCuapAuthor
Bagaimana part ini? Semoga feel-nya nyampe ke teman-teman pembaca.
Gimana nih perasaan kalian waktu baca ending part ini?
- Deg-degan
- Penasaran
- Pasrahkan ke Author
- SEGERA DI LANJUT PART BERIKUTNYA ^^
Menurut kalian Acha bakalan marah apa enggak, nih?
PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA?
Kalau kalian benar-benar udah nggak sabar dan penasaran banget kalian bisa banget nih demo berjamaah di Instagram Author : @luluk_hf .
Siapa tau Authornya tergugah dengan semangat demo kalian dan akhirnya segera melanjutkan part berikutnya ^^
SAMAPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA.
SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA SELALU BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 ^^
Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian untuk baca Mariposa 2 yaa ^^
MAKASIH BANYAAK SEMUAANYAA. SAYANG KALIAN SEMUA. DAN, JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro