Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

51 - Unexpected

Assalamualaikum teman-teman semua. Alhamdulillah hari ini bisa kembali Update Mariposa 2. Sebelumnya aku ucapin Minal Aidzin Wal Faidzin ya. Mohon maaf lahir dan batin. Maaf kalau aku ada salah kata ataupun perbuatan. Selamat hari raya Idul Fitri bagi teman-teman yang merayakan. 

Dan, aku juga minta maaf karena minggu kemarin aku belum bisa update Mariposa 2. Sebenarnya dalam satu bulan terakhir ini kondisi kesehatanku sedang menurun dan OCD-ku juga tiba-tiba nggak bisa dikontrol. Makanya, aku belum bisa maksimal nulis. 

Bahkan, harusnya di bulan puasa aku udah janji update Mariposa 2 seminggu 2 kali jadi nggak bisa terlaksana dengan lancar. Aku benar-benar minta maaf yang sebesar-besarnya ke teman-teman semua.

Insyaallah aku akan pelan-pelan bayar hutang 3 Bab-ku yang harusnya aku posting waktu hari puasa. Jadi, sabar ya teman-teman. Semisal aku telat update atau tidak bisa update di hari Jumat mohon dimengerti ya. Pasti ada alasan kenapa aku belum bisa update. Salah satunya karena aku benar-benar ingin memulihkan kesehatanku dulu. 

Semoga teman-teman semua bisa mengerti dan bersabar ya menunggu Mariposa 2 untuk update. 

Aku juga berharap teman-teman pembaca semua selalu Support Mariposa 2 dan selalu baca Mariposa 2. 

Dan, semoga teman-teman pembaca semua juga selalu dukung karya-karya Luluk HF, Amin.

SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 PART 51. SEMOGA SUKA DENGAN PART INI AMIN. 

*****

Hari ini adalah hari pertama Acha mengikuti kelas Akademi untuk persiapan ujian pendaftaran kedokterannya. Acha masuk ke dalam kelas yang masih sepi. Sepertinya, Acha berangkat terlalu pagi.

Acha memilih untuk duduk terlebih dahulu di kursinya.

Acha sengaja mengambil kelas yang hanya berisi tiga orang. Acha takut tidak bisa fokus jika terlalu banyak orang di kelas akademi yang diambilnya.

Acha menghela napas panjang, entah kenapa dia tiba-tiba gugup sendiri. Mungkin, sudah lama dia berada di tempat seperti masa sekolahnya dulu. Apalagi, Acha juga akan berkenalan dengan orang-orang baru hari ini.

Acha membuka buku paket soalnya selagi menunggu kelasnya dimulai.

"Kak Acha."

Acha sedikit tersentak mendengar namanya yang tiba-tiba di panggil dari arah pintu kelas. Acha mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara tersebut.

Kedua mata Acha terbuka sempurna ketika mendapati seorang gadis yang cukup dikenalnya tengah berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar.

"Tesya," panggil Acha balik.

Gadis yang bernama Tesya tersebut dengan semangat melambaikan tangannya ke Acha, kemudian segera menghampiri Acha. Mengambil duduk di sebelah Acha.

"Kak Acha kok bisa disini? Ambil kelas buat daftar Kedokteran?" tanya Tesya memastikan.

Acha mengangguk tanpa ragu. "Iya."

Tesya masih memberikan ekspresi takjubnya bisa berjumpa dengan sang kakak kelas yang cukup lama tak dijumpainya.

"Wah, nggak nyangka banget bisa ketemu Kak Acha lagi disini. Long time no see, Kak," takjub Tesya.

Tesya adalah adik kelas Acha di SMA Arwana dan seingat Acha gadis itu merupakan anak olimpiade Fisika seperti Iqbal.

Awal Acha mengenal Tesya, tidak cukup baik karena Acha sempat salah mengira Tesya suka dengan Iqbal karena gadis itu sering pergi ke kelas Iqbal untuk meminta ajarkan soal-soal fisika.

Namun seiring berjalan waktu, hubungan Acha dan Tesya menjadi lebih baik dan dekat. Apalagi mereka berdua sering bertemu di Lab Olimpiade saat SMA.

"Ambil kedokteran juga?" tanya Acha sedikit tak menyangka. Karena setau Acha, dulu Tesya sangat ingin menjadi seorang Arsitek.

Tesya menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Acha, senyum di wajah Tesya sedikit menghilang.

"Terpaksa. Papa dan Mama pengin gue masuk kedokteran," jawab Tesya dengan berat hati. "Padahal Kak Acha tau kan, kalau gue pengin banget terjun di dunia Arsitek dari dulu," lanjut Tesya.

Acha mengangguk kecil, tatapanya berubah prihatin.

"Nggak mau dijelasin baik-baik ke Papa dan Mama?" tanya Acha.

"Udah. Dan, mereka tetap nggak mau dengar, tetap ingin gue masuk Kedokteran."

Acha menepuk-nepuk pelan bahu Tesya, mencoba menghibur gadis itu.

"Sabar ya Sya. Mungkin kalau dicoba untuk jelasin lagi pelan-pelan, mereka mau ngerti," saran Acha.

Tesya tersenyum kecil mendengar kalimat Acha dan tatapan Acha.

"Kak Acha nggak usah khawatir. Gue sendiri nggak benci-benci banget masuk Kedokteran. Meskipun terpaksa, gue sedang berusaha untuk menikmati dan menyukainya," perjelas Tesya.

Acha tersenyum lega, karena dia tidak tega jika melihat orang yang masuk jurusan karena dipaksa orang tua. Pasti terasa cukup berat bagi orang itu. Terpaksa menjalankan apa yang awalnya tidak di inginkannya.

"Anyway, Kak Acha gimana kabarnya?" tanya Tesya kembali ceria.

"Baik, Tesya sendiri?"

"Sangat baik dan selalu berusaha untuk menjadi baik."

Acha terkekeh pelan mendengar jawaban Tesya. Adik kelasnya itu ternyata tak berubah. Selalu ceria, penuh semangat dan berhati baik.

"Daftar Kedokteran Universitas Mana?" tanya Acha lagi penasaran.

Tesya tersenyum penuh arti.

"Sepertinya sama dengan Universitas Kak Acha," jawab Tesya sungguh-sungguh.

Acha membelalakan kedua matanya, lagi-lagi tak menyangka. Bisa bertemu dengan gadis ini lagi saja sesuatu yang tak terduga.

"Universitas Arwana?"

"Yaps. Kayaknya udah tradisi nggak sih? Anak SMA Arwana pasti larinya ke Universitas Arwana."

Acha mengangguk menyetujui.

"Sepertinya iya."

"Maklum aja kan alumni sesama Yayasan biasanya dapat diskon SPP," canda Tesya.

"Bener juga."

Keduanya pun langsung tertawa, seorang hal tersebut lucu bagi mereka.

"Kak Acha masih pacaran sama Kak Iqbal?" tanya Tesya hati-hati.

Acha tersenyum malu sembari mengangguk.

"Masih."

"Gila! Langgeng banget Couple ter-legend satu ini. Kasih tau dong rahasianya biar hubungan awet?" takjub Tesya.

Acha mengerutkan kening, belagak seperti orang berpikir keras.

"Rahasiannya cuma satu," ucap Acha sok misterius.

"Apa Kak? Apa?"

"Pacarnya harus Iqbal."

Tesya langsung mendesis kesal.

"Yah... Kalau itu mah susah Kak nyarinya. Satu banding sejuta umat, ketemunya bisa-bisa baru mendekati akhir hayat!" cibir Tesya tak terima.

Acha terkekeh pelan mendengar jawaban sewot Tesya.

"Tesya sendiri masih belum punya pacar?"

Tesya menghela napas panjang sembari menggelengkan kepalanya lemah.

"Kadang sendiri itu lebih mengasikkan Kak. Galau-galau sendiri, nangis-nangis sendiri, ketawa-ketawa sendiri. Paling cuma bisa gigit jari kalau lihat kebucinan orang lain," ucrhat Tesya.

"Makanya cari pacar," celetuk Acha.

"Cariin dong Kak. Nggak perlu kayak Kak Iqbal, mirip dikit pun nggak apa-apa," ucap Tesya.

Acha langsung bertepuk tangan sekali, seolah mendapat pencerahan.

"Sama Glen mau?" tawar Acha.

"Astaghfirullah," sahut Tesya sangat cepat.

"Kok malah nyebut Sya?"

"Nggak ada yang lain apa Kak? Masak sama Kak Glen?"

"Loh kenapa? Glen ganteng dan kaya raya loh Sya."

"Ganteng dan kaya sih. Cuma bisa tiap hari emosi gue kalau pacaran sama Kak Glen," cibir Tesya tak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.

Acha mengangguk-angguk setuju tanpa ragu.

"Bener banget! Acha setuju," tambah Acha. "Jadi beneran nih, Tesya nggak mau di jodohin sama Glen?" tawar Acha sekali lagi.

"I am fine thank you, Kak. Ikhlas lahir batin gue. Demi nenek moyang gue dah kalau perlu. Sumpah."

Untuk kedua kalinya, mereka kembali tertawa bersama dengan topik yang cukup absurd dan tanpa rasa canggung sama sekali. Mereka terlihat sangat senang bisa berjumpa kembali.

Apalagi Acha, ia sangat bersyukur bisa berjumpa dengan Tesya. Setidaknya Acha tidak perlu kesulitan untuk mencari teman dekat. Bahkan, Acha saat ini berharap bahwa dirinya dan Tesya bisa sama-sama masuk Kedokteran di Universitas yang sama.

Keduanya pun kembali berbincang-bincang sembari bernostalgia masa-masa kisah waktu SMA mereka.

*****

Iqbal berjalan menuju parkiran, dari jauh ia mendapati seseorang tengah bersandar di bumper mobilnya. Iqbal menajamkan pengelihatannya. Dan benar saja, sosok Glen mulai melambaikan tangan ke arahnya, menyambutnya.

"Hai saudara beda bapak dan ibu," sapa Glen.

Iqbal menghentikan langkahnya tepat di depan Glen.

"Siapa ya?" tanya Iqbal dingin.

Glen menghela napas panjang, kemudian menjulurkan tangannya ke Iqbal.

"Perkenalkan. Glen Anggara, putra paling tampan satu-satunya Bapak Anggara dan Ibu Anggara," ucap Glen dengan bangga.

Iqbal dengan cepat menepis tangan Glen dengan sengaja.

"Mau ngomong apa?" tanya Iqbal tak ingin basa-basi.

"Abuegile, dingin amat bang. Es puter Mbak Wati kalah dinginnya," cibir Glen.

"Mbak Wati jualan es puter sekarang?"

"Nggak. Masih jualan cireng. Ngarang aja gue biar kerjaan Mbak Wati kelihatan banyak," jelas Glen.

Iqbal mendesis pelan, harusnya dia tak menganggapi kegilaan sahabatnya ini.

"Buruan. Gue mau pulang," suruh Iqbal tak sabar.

Glen manggut-manggut, menegakkan tubuhnya.

"Bunda udah izinin gue buat pinjemin apartmen gue buat Biya. Tapi baru bisa di huni besok. Hari ini masih di perbaiki dan bersihkan Apartmennya," ucap Glen.

Iqbal diam sejenak, teringat dengan pertemuannya tadi pagi dengan Biya yang cukup tidak baik.

"Oke. Lo bilang ke dia," suruh Iqbal.

Glen mengerutkan kening.

"Lo aja deh. Gue ada kelas habis ini," tolak Glen.

"Lo aja. Gue mau pulang."

"Lo aja, nggak baik nolak menjadi orang baik," ucap Glen sok bijak.

"Lo aja, gue tau dosa lo lebih banyak."

Glen kalah telak, tak bisa lagi membalas kalimat tajam sahabatnya.

"Beneran nih harus gue? Canggung gue kalau ketemu Biya sendirian," ucap Glen ragu.

"Ajak Rian," suruh Iqbal.

Glen mendecak pelan.

"Kayak lo nggak tau aja, Si Rian kan udah balik bucin sama Amanda," cibir Glen.

"Bener juga."

"Temenin dong. Lo kan belum bucin-bucin amat sama Si Sapi."

"Ogah."

"Apa gue ajak sapi-sapinya Acha aja?" tanya Glen tanpa berpikir panjang.

Iqbal mendesah berat, makin tak paham dengan otak Glen.

"Lo mau di seruduk sapi?"

Glen langsung menggeleng cepat.

"Gue lebih takut di seruduk sama emak sapi-sapinya," gidik Glen merinding duluan membayangkan Acha meraung-raung di hadapannya.

"Nggak usah manja, lo sendiri aja!" suruh Iqbal mulai kehabisan kesabaran.

Lagi-lagi Glen hanya bisa menghela napas panjang, menggerutu seperti anak kecil.

"Serius nih gue sendiri yang bilang ke Biya?" tanya Glen sekali lagi dengan tak yakin.

Iqbal menepuk-nepuk pelan bahu Glen.

"Serius."

Glen pun hanya bisa menghela pasrah. Dari tatapan Iqbal saat ini, Glen sebenarnya sudah tau bahwa cowok itu tetap tidak akan mau.

"Oke gue samperin dia nanti habis kelas."

Iqbal mengangguk kecil, senyumnya mengembang kecil ke arah Glen.

"Yaudah minggir," usir Iqbal tanpa belas kasihan.

"Bisa nggak mintanya yang baik-baik dan lebih halus?" pinta Glen sungguh-sungguh.

"Nggak bisa!"

"Sama Acha aja bisa, sama gue aja nggak bisa! Pilih kasih lo!" seru Glen tak terima.

Iqbal mengibas-kibaskan tangannya, tak peduli.

"Cepetan minggir!"

Glen ingin sekali melayangkan tangannya untuk sekali-kali menampol kepala Iqbal. Siapa tau sikap sadis cowok itu bisa berkurang.

"Untung lo sahabat gue," cibir Glen.

Iqbal berganti menepuk pelan pipi Glen.

"Gue nggak beruntung punya sahabat kayak lo," tajam Iqbal.

Glen dengan cepat menepis kesal tangan Iqbal dari pipinya.

"Sialan lo Bal!"

Iqbal terkekeh puas melihat tatapan Glen yang berubah kesal. Iqbal pun segera berjalan melewati Glen.

"Gue pulang," pamit Iqbal.

"Hati-hati nyetirnya. Ingat umur masih muda dan pacar masih butuh kasih sayang," teriak Glen semakin gila.

Iqbal mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil. Dia menatap Glen sebentar.

"Lo juga hati-hati kuliahnya. Otak masih muda dan belum pernah terpakai."

Glen menahan untuk tidak mengumpat lagi. Namun, kedua tangannya menangkat jari tengah untuk sahabat tersayangnya itu.

Iqbal tertawa puas dan segera masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan Glen yang masih terlihat uring-uringan sendiri.

Iqbal menurunkan jendela kaca mobilnya.

"Glen," panggil Iqbal.

"Apa? Belum puas? Mau hina gue lagi? Hah?"

Iqbal mengembangkan senyum paling tulusnya untuk Glen.

"Nggak usah pinter-pinter kuliahnya. Nanti Bunda lo kaget."

*****

Iqbal merebahkan tubuhnya di sofa, memilih-milih film yang ingin di tontonnya malam ini. Dua jam yang lalu, Iqbal sudah mengerjakan tugas laporannya. Ia memilih istirahat sebentar sebelum melanjutkan membaca jurnal untuk materi praktikum besok pagi.

Ting Tong!

Suara pintu Apartmen Iqbal berbunyi, mengalihkan perhatian Iqbal sesaat dari layar televisinya. Iqbal mengerutkan kening dengan tangan menaruh remote-nya perlahan.

"Siapa yang datang?"

Iqbal berpikir sebentar, kemudian melirik ponselnya. Tak ada notifikasi dari siapapun yang memberitahu akan datang ke Apartmennya.

Iqbal pun segera berdiri, berjalan ke pintu Apartmennya. Tanpa bertanya-tanya sendiri lagi, Iqbal membuka pintunya.

Iqbal terdiam lama, meyakini dirinya sesaat bahwa dia tidak salah melihat siapa yang berdiri di depannya saat ini. Iqbal berusaha untuk tetap bersikap tenang, menyembunyikan keterkejutannya.

"Gue nggak punya tempat tinggal," ucap gadis itu dengan wajah sangat datar.

Tatapan Iqbal beralih ke tas cukup besar yang ada di tangan kanan gadis itu.

"Bukanya lo nggak mau ngerepotin?" balas Iqbal dengan suara dinginnya.

"Bukannya lo bilang lebih suka di repotin sejak awal?" balas gadis itu lebih dingin.

Ah! Iqbal tak menyangka bahwa gadis itu bisa membalas ucapan sarkasnya. Satu sudut bibir Iqbal terangkat tipis.

"So shameless," decak Iqbal pelan namun cukup terdengar di telinga gadis tersebut.

Gadis itu tersenyum lebih sinis dari Iqbal, tanpa ada rasa takut.

"Gue emang nggak tahu malu. Jadi, gue boleh masuk, kan?"

Iqbal menghela napas pelan, kemudian membukakan pintunya lebih lebar, memberikan izin kepada gadis itu masuk ke dalam Apartmennya.

Dengan langkah santai dan tenang, gadis itu berjalan masuk, melewati Iqbal begitu saja.

Iqbal membalikan badanya, menatap gadis tersebut yang duduk di sofanya, tempatnya beberapa menit yang lalu. Tatapan gadis itu sangat tenang dan sama sekali tak bisa Iqbal baca.

Yah, gadis itu adalah Biya.

*****

Untuk beberapa detik, tak ada yang membuka suara lagi. Baik Biya maupun Iqbal. Biya fokus menatap kosong ke arah depan, sedangkan Iqbal tengah di dapur mengambilkan minuman untuk Biya.

Iqbal mendekati Biya, meletakkan segelas air putih di meja.

"Thanks." Kalimat pertama yang keluar dari bibir Biya dan memecahkan keheningan mereka.

Iqbal mengangguk singkat, masih dengan posisi berdiri.

"Lo udah makan?" tanya Iqbal.

Biya menggeleng pelan.

"Belum."

Tangan Biya yang ingin mengambil gelas di depannya terurungkan, matanya terhenti ke sebuah kuncir rambut berwarna merah muda di atas meja yang sangat dikenalnya.

"Ah, disini ternyata," lirihnya seolah menemukan barang yang sedang dicarinya. Biya pun mengambil kuncir rambut tersebut dan segera menguncirkan ke rambutnya.

Iqbal memperhatikan saja apa yang tengah di lakukan gadis itu. Benar dugaan Iqbal, kuncir itu milik Biya. Napas Iqbal menghela dengan berat. Perasaan bersalah tiba-tiba mengoyak hatinya.

"Ayo makan," ajak Iqbal.

Biya menoleh ke Iqbal sedikit terkejut. Ia melihat Iqbal sudah kembali berjalan ke dapur, tepatnya tengah membuka kulkas dan mulai mengeluarkan beberapa kotak makanan.

Biya pun segera berdiri, menghampiri Iqbal.

"Ada yang bisa gue bantu?" tawar Biya.

"Duduk aja," jawab Iqbal tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.

Biya mengangguk menurut, lalu memilih duduk di kursi tepat di depan meja makan. Biya menunggu Iqbal yang tengah memanaskan makanan.

Tak lama kemudian, makanan-makanan yang telah di panasi oleh Iqbal datang, di tata satu persatu oleh cowok itu di hadapan Biya.

"Makan," suruh Iqbal tanpa menatap Biya sama sekali.

Biya menatap Iqbal yang duduk di sebrangnya. Cowok itu mulai sibuk menaruh nasi dan lauk di piringnya sendiri. Biya pun hanya bisa pasrah merasakan dinginnya sikap Iqbal yang menurutnya tak akan pernah bisa berubah.

"Lo yang masak sendiri?" tanya Biya ingin mencairkan ketegangan di antara mereka.

Pertanyaan Biya berhasil membuat Iqbal berhenti makan, tatapan cowok itu sedikit goyah. Pasalnya makanan-makanan di hadapannya tersebut adalah makanan yang di bawakan oleh Acha tadi pagi.

"Bukan," jawab Iqbal singkat dan melanjutkan lagi makannya.

"Udah gue duga," simpul Biya, ikut menghabiskan makannya.

Biya beberapa kali menghela napasnya, sedikit tak suka dengan suasana antara dia dan Iqbal. Mereka seperti orang yang sedang perang dingin.

"Glen udah bilang ke gue tadi sore, Apartmennya bisa gue huni besok," ucap Biya memberitahu.

Iqbal meletakkan sendoknya di atas piring yang sudah kosong. Mengakhiri makannya lebih cepat. Akhirnya, kedua mata Iqbal mau membalas tatapan Biya.

"Keputusan lo?" tanya Iqbal tak mau basa-basi.

Biya bergumam pelan kemudian mengangguk kecil.

"Gue akan tinggal disana. Nggak ada pilihan lain yang lebih baik dari itu bukan?"

Iqbal ikut mengangguk, merasa cukup lega bahwa gadis itu tidak keras kepala lagi.

Untuk beberapa saat Iqbal memperhatikan Biya baik-baik. Gadis itu kembali menghabiskan makanannya. Iqbal merasa Biya seperti bukan gadis yang di temuinya kemarin, yang selalu menolak dan keras kepala.

Kini, gadis itu selalu menerima apapun yang di tawarkannya. Mungkin, sepertinya Biya sungguh-sungguh dengan ucapannya ingin merepotkannya sejak awal.

"Pelan-pelan makannya," suruh Iqbal.

Biya refleks mengangguk, mengurangi kecepatan makannya. Biya sendiri tidak sadar jika dia makan secepat itu. Mungkin efek dia belum makan sejak pagi.

DRTTDRTT

Ponsel Iqbal berdering cukup kencang. Iqbal dan Biya bersamaan menoleh ke arah sofa tempat ponsel Iqbal berada. Iqbal pun segera berdiri, menghampiri ponselnya.

Iqbal mengambil ponselnya dan terdiam sesaat ketika mengetahui siapa pembuat panggilan itu.

Yah, timingyang sangat tepat bagi Acha melakukan sebuah panggilan untuk Iqbal malam ini.

Iqbal menghela napas panjang, berusaha untuk tetap tenang. Iqbal memilih duduk di sofa. Kemudian, menerima panggilan tersebut.

"Halo, ada apa Cha?" sapa Iqbal.

Suara Acha mulai terdengar semangat di telinga Iqbal.

"Nggak apa-apa, Acha pengin telfon aja. Nggak ganggu Iqbal, kan?"

"Nggak."

"Iqbal lagi apa? Lagi dimana? Udah makan?"

Tanpa sadar senyum di bibir Iqbal mengembang. Suara Acha yang menggemaskan membuatnya tiba-tiba merindukan gadis itu. Padahal baru tadi pagi mereka bertemu.

"Satu-satu tanyanya."

Terdengar suara helaan pelan dari Acha.

"Iqbal lagi apa?"

"Selesai makan."

"Dimana? Apartmen?"

"Iya."

"Sama siapa? Pasti sendiri lagi?"suara Acha terdengar sedih.

Iqbal terdiam, tak langsung menjawab. Perlahan tatapan Iqbal mengarah ke gadis yang ada di meja makan Apartmenya. Gadis itu masih sibuk makan, seolah tidak peduli dengan yang dilakukan oleh Iqbal saat ini.

"Sama teman," jawab Iqbal jujur. Tak ingin berbohong.

Acha terdengar takjub sekaligus terkejut.

"Sama teman? Siapa? Rian? Glen?"

"Bukan, teman di kampus," lagi-lagi Iqbal mencoba menjawab dengan jujur. Toh memang benar, Biya adalah temannya dan bekerja di perpustakaan kampusnya.

"Teman kampus? Acha nggak kenal sama orangnya, ya?"

"Nggak. Kapan-kapan gue kenalin." Iqbal sungguh-sungguh dengan kalimatnya ini. Dia memang ingin mengenalkan Acha dengan Biya. Iqbal tak ingin ada kejadian salah paham suatu saat karena kebodohannya sendiri.

"Oke Iqbal. Yaudah, Acha tutup kalau gitu. Nggak mau ganggu Iqbal sama teman Iqbal,"ucap Acha berusaha mengerti.

"Iya. Maaf nggak bisa telfon lama."

"Nggak apa-apa Iqbal. Acha juga habis ini mau istirahat."

"Iya."

Acha tak langsung menutup telfonnya, seolah masih ada yang ingin ia katakan ke sang pacar.

"Iqbal, besok pagi Acha bawakan sarapan lagi buat Iqbal ya? Acha mampir ke Apartmen Iqbal sebelum berangkat ke Akedemi,"ucap Acha penuh harap.

Iqbal sedikit terkejut mendengarnya.

"Gue aja yang datang ke rumah lo besok pagi," ucap Iqbal berusaha tidak membuat Acha salah paham.

"Seriusan?"tanya Acha tak menyangka.

"Iya."

"Iqbal nggak telat kuliah kalau harus ke rumah Acha dulu?"tanya Acha masih tak yakin.

"Nggak, gue kuliah jam sepuluh."

"Oke Iqbal. Besok pagi Acha tunggu ya. Selamat malam pacarnya Acha."

Iqbal mendesah berat, rasa bersalah itu tiba-tiba kembali datang.

"Cha," panggil Iqbal pelan.

"Kenapa Iqbal?"

"Semangat buat persiapan ujiannya. Jaga kesehatan," pesan Iqbal tulus.

"Iya Iqbal. Makasih banyak. Iqbal juga jangan capek-capek."

"Iya. Good night,Natasha."

Panggilan pun berakhir, Iqbal menaruh kembali ponselnya di sofa dengan hati yang sedikit hampa. Iqbal kemudian berdiri, kembali berjalan ke meja makan untuk membereskan piring-piring di meja makan.

Biya sendiri sudah selesai makan sedari tadi, menunggu Iqbal selesai menelfon. Jujur, Biya tidak ingin menguping tapi dia bisa mendengar dengan jelas perkataan Iqbal dengan lawan bicaranya di telfon.

Biya menatap Iqbal sebentar.

"Pacar?" tebak Biya, memberanikan diri untuk bertanya.

Iqbal mendongakkan kepala, menatap balik Biya.

"Iya," jawab Iqbal tanpa ragu.

Biya mengangguk-angguk singkat, sedikit tak menyangka sosok dingin seperti Iqbal ternyata bisa memiliki seorang kekasih. Biya jadi sedikit penasaran dengan pacar Iqbal yang berhasil meluluhkan dinginnya seorang Iqbal dan juga pasti sangat sabar menghadapi Iqbal.

Tak ingin berlarut dengan rasa penasarannya. Biya segera berdiri dan mengambil piring yang sudah di tumpuk oleh Iqbal.

"Gue aja yang nyuci. Sebagai terima kasih sudah di kasih makan dan tempat tinggal," ucap Biya dan dengan sigap membawa semua piring-piring kotor tersebut ke dapur.

Iqbal yang tak sempat mencegah, akhirnya memilih membiarkan saja. Iqbal pun memilih untuk masuk ke kamarnya, mengemasi barang-barang yang dibutuhkannya untuk ke kampus besok.

Seperti kemarin, Iqbal memilih untuk tidur di rumahnya. Tak mungkin dia tidur di Apartmen. Iqbal masih memiliki akal sehat dan rasa tanggung jawab ke Acha.

PRAAANGGG!!! PRAAANG!!!!

Suara barang-barang berjatuhan terdengar sangat keras dan berhasil membuat Iqbal terkejut. Iqbal pun segera keluar dari kamarnya dengan cepat dan melihat apa yang telah terjadi di dapur tersebut.

Iqbal membelakakan kedua matanya ketika mendapati Biya terduduk di lantai dengan kedua tangan melindungi kepalanya dan beberapa peralatan masak yang tergeletak di sebelah gadis itu.

Iqbal meneguk ludahnya yang mendadak kering. Ternyata bufet dapurnya memakan korban lagi setelah Acha beberapa hari yang lalu.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Iqbal khawatir.

Biya tak menjawab, hanya suara ringisan yang terdengar. Iqbal pun lebih mendekat dan duduk dihadapan Biya.

"Hei," panggil Iqbal sekali lagi.

Biya perlahan membuka kedua tangannya dan mendongakkan kepalanya. Iqbal terkejut melihat dahi sebelah kiri Biya sedikit berdarah, seperti tergores benda tajam.

"Dahi lo luka," ucap Iqbal memberitahu.

Biya tak bisa menjawab apapun, namun raut wajahnya saat ini sudah sangat jelas sebagai jawaban bahwa gadis itu sangat kesakitan.

"Gue obati luka lo. Bisa berdiri?"

Biya mengangguk lemah, ia pun mencoba untuk berdiri dengan erangan dari bibirnya lebih keras. Kepalanya terasa sangat sakit.

"Pegang tangan gue," suruh Iqbal.

Biya menerima lengan Iqbal sebagai tumpuhannya. Iqbal pun membantu Biya untuk berjalan sampai di sofa dan mendudukkan gadis itu.

Setelah itu, Iqbal mengambil kotak P3K-nya dan kembali menghampiri Biya. Gadis itu beberapa kali masih meringis kesakitan dengan mata yang terpejam-terbuka.

"Tahan sebentar," ucap Iqbal dan mulai membersihkan luka dahi Biya dengan sigap dan telaten.

Biya menahan napasnya sebentar ketika wajah Iqbal maju lebih dekat untuk menempelkan plaster luka di dahinya. Biya dapat melihat jelas wajah Iqbal yang menurutnya tidak berubah seperti Iqbal waktu kecil.

"Nggak usah dilihatin terus."

Ucapan Iqbal berhasil membuat Biya langsung gelagapan sendiri dan salah tingkah. Biya segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tak menyangka akan tertangkap basah seperti orang bodoh oleh Iqbal.

Iqbal berdecak pelan sambil geleng-geleng melihat tingkah Biya.

"Besok pagi kalau udah kering ganti plasternya," pesan Iqbal menyelesaikan tugasnya.

Iqbal segera berdiri dan mengembalikan kembali kotak P3K ke kamarnya. Ia juga mengambil barang-barangnya untuk bersiap pergi dari Apartmennya.

Biya melihat Iqbal yang keluar dari kamar dengan membawa tas-nya bahkan cowok itu sudah memakai jaket dan cukup rapi.

"Mau pergi sekarang?" tanya Biya mencoba untuk kembali tenang.

"Iya."

Biya mengangguk pelan, merasa sedikit tidak enak.

"Sori karena gue lo harus keluar lagi," ucap Biya.

"It's okay. Besok lo pulang dari perpustakaan jam berapa?" tanya Iqbal.

"Empat sore. Kenapa?" tanya Biya balik.

"Gue antar ke Apartmen Glen."

"Oke. Kita bertemu di parkiran kampus."

Iqbal mengangguk setuju. Setelah itu, Iqbal bersiap untuk beranjak pergi. Namun baru akan membuka pintu Apartmennya, suara Biya terdengar kembali, memanggilnya.

"Makasih buat makan dan plasternya."

Iqbal membalikkan badannya, menatap ke Biya yang terlihat masih tidak enak. Iqbal memberikan sebuah senyuman kecil.

"Makasih juga sudah nggak keras kepala lagi."

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI?

Semoga kerinduan dengan MARIPOSA 2 terobati ya di part ini.

Paling greget sama tokoh siapa di part ini?

Kira-kira kalian udah ada pandangan menebak konfliknya belum?

SATU KALIMAT YANG INGIN DI SAMPAIKAN UNTUK IQBAL?

Oh ya, Disini siapa aja yang udah masuk group Telegram Mariposa Universe?

SAMPAI BERJUMPA DI PART SELANJUTNYA TEMAN-TEMAN SEMUA. 

Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian dan saudara-saudara kalian  untuk baca MARIPOSA 2 ya. 

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu paling ditunggu dari teman-teman pembaca semua. 

TERIMA KASIH BANYAK SEMUANYA DAN SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN YA. 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro