Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

50 - Kedatangan tak terduga

Assalamualaikum teman-teman semua. Alhamdulillah aku bisa update Mariposa 2 part 50. Maaf ya sudah buat menunggu, karena seperti biasa aku butuh revisi lebih di part ini. Jadi, kalau semisal besok-besok aku telat updatenya mohon di mengerti ya dan semoga teman-teman pembaca semuanya selalu sabar menunggu Mariposa 2 update  :)

Maaf juga ya kalau part ini masih ada typo bertebaran. 

Sudah siap baca part 50-nya? 

Siapa yang udah was-was duluan sebelum baca part ini? 

Scene apa yang paling kalian tunggu di part ini?

Oh ya, untuk merayakan part 50 Mariposa 2, teman-teman setuju nggak kalau aku adain Give Away buat kalian semua? Kalau banyak yang setuju akan aku pertimbangkan dan diskusiin dengan Tim aku. 

Semoga kalian selalu suka Mariposa 2, selalu baca Mariposa 2 dan support Mariposa 2 Aminn. 

DAN SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2

****** 

Iqbal melirik jam tangannya, masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Masih ada waktu tiga jam sebelum dia pergi ke kampus.

Iqbal duduk bersama Papanya di kursi ruang makan.

"Tumben tidur di rumah semalam? Ada yang ketinggalan?" tanya Mr. Bov membuka topik di pagi ini.

Iqbal sedikit terkejut mendengar pertanyaan Mr. Bov. Ia menatap Papanya yang tengah sibuk mengambil nasi dan lauk.

"Pengin aja tidur dirumah," jawab Iqbal seadanya.

Mr. Bov mengangguk-angguk kecil.

"Hari ini ada kuliah, kan?" tanya Mr. Bov lagi.

"Ada, jam sepuluh."

"Nggak jam tujuh?" heran Mr. Bov.

"Profesor-nya minta ganti jam," jawab Iqbal lagi.

Untuk kedua kalinya Mr. Bov memberikan reaksi anggukan kecil. Mr. Bov menatap Iqbal yang mulai sibuk sarapan. Detik berikutnya, Mr. Bov mendadak tertawa pelan, seolah ada yang lucu dengan sang putra.

"Kenapa Pa?" tanya Iqbal heran melihat Papanya yang tertawa tanpa sebab.

"Lucu aja," ucap Mr. Bov.

"Maksudnya?" bingung Iqbal.

"Setiap kali bertemu kamu, Papa selalu berusaha dan selalu dominan mencari bahan pembicaraan. Tidak bisakah kamu sekali-kali yang mencari bahan pembicaraan duluan?" tanya Mr. Bov.

Iqbal menggeleng cepat.

"Iqbal nggak suka basa-basi."

"Bukan basa-basi, hanya saja meringankan beban lawan bicara. Susah loh ngajak bicara orang pendiam."

"Daritadi Papa bicara dengan lancar, nggak kelihatan kesusahan," ungkap Iqbal tak mau kalah.

Mr. Bov menghela napas pelan, putra bungsunya ini memang paling jago membalas ucapan orang dan membuat lawan bicaranya terpojokkan.

"Sepertinya bukan Papa aja yang kesusahan cari pembicaraan sama kamu. Semua orang juga pasti mengalami pengalaman yang sama. Papa jadi heran sama Acha, bisa-bisanya betah pacaran dua tahun sama kamu."

"Buktinya bisa," akuh Iqbal bangga.

Mr. Bov mengerutkan kening, menatap Iqbal dengan tatapan menyelidik.

"Jangan-jangan sikap kamu ke Papa dan ke orang-orang berbeda dengan sikap kamu ke Acha," tuding Mr. Bov.

Uhukk!

Iqbal mendadak tersedak karena ucapan Papanya barusan. Iqbal segera mengambil gelas air minumnya, meneguknya hingga habis.

"Sama aja," jawab Iqbal berusaha tetap tenang.

"Papa nggak percaya. Pasti beda. Kamu kalau sama Acha pasti nggak se-pendiam ini."

"Nggak ada yang beda, Pa."

Mr. Bov menggelengkan kepala, masih tak percaya.

"Kamu kalau manggil Acha apa? Pasti kalau nggak sayang? Honey? Darling? Ya, kan?"

Iqbal menghela napas pelan, udara di sekitarnya mendadak terasa panas. Tidak biasanya sang Papa se-cerewet ini masalah hubungan percintaannya. .

"Papa kenapa jadi kepo banget gini?" heran Iqbal.

Mr. Bov tersenyum picik, semakin ingin menggoda putranya.

"Jadi manggilnya sayang nih?" goda Mr. Bov.

"Pa!!" rajuk Iqbal meminta Papanya untuk berhenti.

Mr. Bov tertawa puas melihat wajah Iqbal yang merona malu. Sungguh topik yang menyegarkan di pagi ini. Kapan lagi bisa melihat Iqbal salah tingkah seperti sekarang.

"Papa juga pernah muda Bal. Dulu Papa juga pernah manggil Mama kamu sayang," cerita Mr. Bov sembari bernostalgia.

Iqbal manggut-manggut, tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Ia menyelesaikan sarapannya dan segera berdiri untuk kabur duluan.

"Iqbal berangkat Pa," pamit Iqbal, mengambil kunci mobilnya di sebalah.

Mr. Bov menatap Iqbal heran.

"Katanya kuliah jam sepuluh?"

"Ke Apartmen dulu, siapin bahan kuliah," jawab Iqbal.

"Jangan rajin-rajin. Papa selalu bingung kalau ditanyain teman-teman Papa gimana cara punya anak pintar," curhat Mr. Bov sungguh-sungguh.

Iqbal menatap Papanya sedikit terkejut, pertanyaan macam apa yang barusan ia dengar?

"Emang se-susah itu jawabnya?" heran Iqbal.

"Susah banget. Karena Papa juga takjub kamu bisa sepintar ini."

"Iqbal belajar Pa tiap hari, biar cepat lulus dan banggain Papa," jelas Iqbal serius.

"Papa sudah jawab seperti itu, tapi teman-teman Papa masih nggak percaya. Anak-anak mereka juga katanya belajar tiap hari."

Iqbal memberikan senyum miring tipis.

"Belajar lima menit main ponsel lima jam?" sindir Iqbal terang-terangan.

Mr. Bov sontak mengelus dadanya, kini giliran beliau yang terkejut mendengar ucapan anaknya.

"Kamu jangan sampai jawab seperti ini di depan teman-teman kamu. Bisa di musuhin semua siswa dan siswi seluruh Indonesia kamu," ucap Mr. Bov dengan raut khawatir.

Iqbal mengangkat bahunya seolah tak peduli.

"Iqbal berangkat," pamit Iqbal kesekian kalinya.

Mr. Bov tersenyum simpul melihat putranya yang semakin bertambah dewasa dan tak pernah mengecewakannya. Mr. Bov benar-benar bersyukur memiliki anak-anak yang penurut dan selalu melakukan yang terbaik.

"Iqbal," panggil Mr. Bov sedikit kencang.

Iqbal segera menghentikan langkahnya karena suara panggilan Papanya. Iqbal membalikkan badan, menatap Papanya heran.

"Kenapa Pa?" tanya Iqbal.

"Panggilan kamu ke Acha beneran sayang kan?"

"Hah?"

Untuk beberapa detik Iqbal tak bisa mencerna pertanyaan Papanya.

"Papa takut aja ternyata panggilan kamu ke Acha itu Bunda, Mama atau jangan-jangan kamu manggil Acha Mami?"

Kedua mata Iqbal terbuka, kaget.

"Pa, Iqbal nggak segila itu!"

Mr. Bov tertawa puas melihat raut wajah Iqbal yang terlihat kesal. Mr. Bov melambai-lambaikan tangan dengan tatapan tak bersalah.

"Sana berangkat," suruh Mr. Bov.

"Papa buruan minum obat, biar nggak makin ngawur," pesan Iqbal sungguh-sungguh.

Mr. Bov langsung mengangkat kedua jempolnya sembari melebarkan senyumnya.

"Oke Papi Iqbal. Hati-hati di jalan ya Pi!"

*****

Iqbal menjalankan mobilnya, keluar dari kompleks perumahannya. Pagi ini jalanan cukup ramai, Iqbal memilih jalan pintas agar segera sampai di Apartmennya.

Hanya butuh waktu tiga puluh menit akhirnya Iqbal sampai di parkiran basement Apartmennya. Iqbal segera melepaskan seatbeltnya.

Drrrtttt

Iqbal merasakan ponsel di sakunya bergetar, Iqbal segera mengeluarkannya dan melihat layar ponselnya. Ada panggilan dari Acha.

Iqbal pun segera menerima panggilan tersebut.

"Kenapa Cha?"

"Iqbal, Acha di depan Unit Apartmen Iqbal. Dari tadi Acha pencet bel-nya tapi Iqbal nggak keluar. Iqbal nggak tidur di Apartmen ya?"

Deg! Untuk beberapa detik Iqbal terdiam, otaknya memproses cepat. Iqbal langsung teringat dengan seseorang yang sedang ada di Apartmennya sejak semalam. Iqbal mendadak merasakan tenggorokannya terasa kering saat ini.

"Lo ngapain ke Apartmen gue?" Bukannya menjawab pertanyaan Acha, Iqbal malah memberikan pertanyaan balik ke Acha dengan bodohnya. Iqbal merutuki sendiri ucapannya barusan.

"Acha mau antar sarapan buat Iqbal. Pagi ini Tante Mama masak banyak soalnya." Acha menjawab dengan lugunya.

Iqbal menghela napas pelan, berusaha untuk tetap tenang namun otak Iqbal berusaha untuk berpikir cepat.

"Gue semalam tidur di rumah. Ini gue udah di basement Apartmen. Tunggu, gue kesana."

Iqbal segera keluar dari mobilnya. Dengan langkah seribu Iqbal menuju ke unit Apartmennya dengan hati yang was-was.

"Apa Acha masuk dulu aja pakai Acsess card milik Acha?"

Iqbal mengatur napasnya, semakin mempercepat langkah kakinya. Iqbal berusaha untuk tetap berpikir tenang.

"Tunggu gue, mau kan?" pinta Iqbal dengan suara pelan, tak ingin terlihat bahwa dia seperti orang yang di buru-burui.

"Iya Iqbal. Acha tunggu Iqbal kalau gitu."

Panggilan pun di akhiri oleh Acha. Iqbal masuk ke dalam lift, memencet tombol menuju ke lantai unit Apartmennya.

Iqbal keluar dari lift, kembali mempercepat langkahnya. Dari kejauhan Iqbal dapat melihat Acha yang masih berdiri di depan pintu Apartmennya. Acha tersenyum ke arahnya sembari melambaikan tangan.

"Iqbal," sapa Acha, senyumnya mengembang penuh semangat.

Iqbal membalas dengan senyum canggung, ia sedang sibuk merangkai kalimat di kepalanya untuk menjelaskan ke sang pacar.

Apa yang harus Iqbal lakukan saat ini? Bagaimana cara Iqbal menjelaskan ke Acha bahwa di dalam Apartmennya ada seorang gadis yang merupakan teman masa kecilnya?

Apakah Acha akan percaya jika Iqbal jujur?

"Udah lama nunggunya?" tanya Iqbal berusaha tetap tenang.

"Nggak kok, baru aja," jawab Acha.

Iqbal mengangguk kecil. Ia melirik ke pintu Apartmennya dengan hati kembali was-was. Keadaan mendadak hening membuat Acha menatap Iqbal dengan heran.

"Iqbal nggak buka pintu Apartmennya?" tanya Acha menyadarkan Iqbal.

Iqbal tersadarkan, ia kembali menatap Acha.

"Iya Cha."

Iqbal menghela napas panjang, bersiap untuk menempelkan acsess card-nya ke daun pintu. Namun, Iqbal urungkan. Ia kembali menoleh ke Acha.

"Cha," panggil Iqbal pelan.

Acha mau tak mau ikut menoleh ke Iqbal, menatap balik sang pacar.

"Kenapa Iqbal?" tanya Acha balik.

Iqbal berusaha untuk tetap tenang, memilih ingin menjelaskan terlebih dahulu ke sang pacar. Jujur, Iqbal takut Acha akan salah paham dengannya.

"Semalam Apartmen gu..."

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ponsel Iqbal berdering. Iqbal pun hanya bisa melengos pasrah. Iqbal segera mengeluarkan ponselnya. Ada sebuah panggilan dari Rian.

"Siapa Iqbal yang telfon?" tanya Acha penasaran.

Iqbal melirik ke Acha sebentar.

"Rian," jawab Iqbal. "Gue angkat bentar."

"Iya Iqbal."

Iqbal segera menerima panggilan tersebut dan mendekatkan ponselnya di telinga.

"Ada apa?"

Rian tak langsung menjawab, suara helaan napas panjang terdengar. Kemudian, Rian mulai membuka suara dengan cukup pelan.

"Acha udah sampai di Apartmen lo?"

Iqbal mengerutkan kening, bingung sekaligus terkejut. Bagaimana Rian bisa tau keberadaan Acha.

"Sudah. Kenapa?"

Helaan napas panjang dari Rian terdengar kembali.

"Syukurlah. Tadi pagi Amanda kasih tau gue kalau Acha mau ke Apartmen lo pagi ini. Makanya gue tadi langsung buru-buru ke Apartment lo untuk jemput Biya sampai lupa kabari lo, gue takut Acha masuk ke Apartment lo dan salah paham."

Kini giliran Iqbal yang bernapas panjang, sangat lega.

"Terus?"

"Gue tadi masuk ke dalam Apartment lo dengan bantuan satpam di resepsionis, tapi di dalam Apartment lo nggak ada siapapun. Sepertinya gadis itu nggak tidur disana semalam."

Iqbal menganguk kecil, tak terlalu terkejut mendengarnya.

"Oke, nanti gue telfon lo lagi. Thanks Infonya."

"Oke."

Panggilan Rian berakhir. Iqbal mengatur napasnya sebentar, sedari tadi ia berusaha keras melawan kegugupannya.

Iqbal menatap Acha yang masih menatapnya dengan bingung dan rasa penasaran.

"Ayo masuk," ajak Iqbal ke Acha.

"Kenapa Rian telfon pagi-pagi Iqbal? Rian kasih info apa?"

"Lo mau datang ke Apartment gue," jawab Iqbal tak sepenuhnya berbohong.

Acha mengangguk-angguk percaya. Acha mengira mungkin Rian takut bahwa Iqbal sudah berangkat ke kampus dan meninggalkan Acha begitu saja.

"Acha masuk ya Iqbal."

Acha pun segera masuk duluan ke Apartmen Iqbal setelah pintu masuk Apartmen Iqbal diuka. Acha berjalan ke arah meja makan, menatap semua makanan yang di bawahnya.

"Iqbal pasti udah sarapan ya?" tebak Acha.

"Iya," jawab Iqbal.

"Sama Papanya Iqbal?" tebak Acha lagi.

"Iya."

"Kalau gitu makanannya Acha taruh di kulkas ya. Nanti malam kalau Iqbal mau makan, bisa di panasin."

"Iya Cha,Thanks."

Setelah membantu Acha untuk menata makanan dan memasukannya ke kulkas. Iqbal pun segera menuju kamarnya untuk menata buku paket yang harus di bawahnya pagi ini. Sedangkan Acha memilih untuk duduk di sofa.

Acha mengedarkan pandangnya di seluruh penjuru Apartmen Iqbal. Sesekali melihat ke pintu kamar Iqbal yang terbuka setengah.

Acha merasa sedikit bosan, ia pun mengeluarkan ponsel dari tas-nya. Namun, kedua mata Acha terhenti tepat di sampingnya. Acha melihat sebuah kuncir rambut berwarna merah muda yang asing baginya.

"Punya siapa?" lirih Acha pelan.

Acha mengambil kunci rambut tersebut.

"Sepertinya punya Kak Ify."

Bertepatan saat itu, Iqbal keluar dari kamarnya. Acha langsung menghadap ke Iqbal dengan menyodorkan kuncir rambut yang di temukannya.

"Iqbal, kuncir rambut Kak Ify ketinggalan," ucap Acha memberitahu.

Langkah Iqbal terhenti saat itu juga. Iqbal langsung menatap ke Acha, mengamati baik-baik kuncir rambut yang di pegang oleh Acha.

Untuk kesekian kalinya, Iqbal merasakan napasnya kembali memberat. Iqbal lagi-lagi harus tetap berusaha tenang, mengontrol sikapnya saat itu juga dengan apik.

Iqbal sangat tau bahwa kuncir rambut tersebut bukanlah milik Ify.

"Taruh aja di meja," suruh Iqbal bersikap biasa.

Sebisa mungkin Iqbal menghindari untuk menjawab bahkan berbohong kepada Acha. Iqbal tidak mau Acha salah paham hingga membuat gadis itu marah. Terbesit pemikiran bahwa Iqbal harus memperkenalkan Acha dengan gadis itu, agar semuanya menjadi lebih mudah baginya.

Acha mengangguk, menaruh kembali kuncir rambut tersebut di meja, sesuai arahan Iqbal.

"Iqbal, makasih banyak buat sushinya kemarin, udah Acha habisin semua," ucap Acha teringat akan makanan yang di bawakan oleh Iqbal.

"Iya. Amanda udah baik-baik aja?"

"Alhamdulillah sudah. Kondisinya sangat membaik sekarang."

"Syukurlah."

Iqbal berjalan mendekati Acha, duduk di sebelah gadis itu. Iqbal memberikan sebuah kertas bukti pembayaran kepada sang gadis.

"Sapi lo," ucap Iqbal.

Acha menatap kertas tersebut dengan mata berbinar-binar. Iqbal benar-benar menuruti permintaannya untuk membantunya ikut pre-order boneka sapi kesukaannya.

"Ya ampun penduduk-penduduk Acha akhirnya nambah lagi," seru Acha semangat. "Makasih banyak Iqbal," seru Acha sangat senang.

"Iya. Mau diambil sendiri atau gue antar?" tanya Iqbal.

Acha bergumam pelan, menimang-nimang.

"Acha ambil sendiri aja. Sekalian Acha pulang dari academi," jawab Acha.

Iqbal mengerutkan kening.

"Mulai kapan masuk academi-nya?" tanya Iqbal. Ia memang sudah tau bahwa Acha sudah mendaftar academy untuk persiapan ujian masuk kuliahnya.

"Mulai besok," jawab Acha.

Iqbal manggut-manggut kecil, senyumnya mengembang tipis.

"Semangat buat persiapan ujiannya," ucap Iqbal tulus, tangannya terulur mengelus puncak kepala sang pacar.

Acha tak segan untuk membalas senyum Iqbal.

"Iya Iqbal. Acha janji Acha akan semangat belajarnya dan masuk di Jurusan dan Universitas yang sama dengan Iqbal."

"Iya. Kalau butuh bantuan, kabari aja."

"Emang Iqbal bisa bantu apa?" tanya Acha iseng.

"Apa aja," jawab Iqbal tanpa pikir panjang.

"Beneran apa aja?" pancing Acha.

"Hm."

Acha bergumam pelan, berpikir cepat kira-kira bantuan apa yang di inginkannya dari Iqbal.

"Iqbal bantu selalu support Acha, bisa?" tanya Acha seperti anak kecil.

Iqbal mengangguk tanpa ragu.

"Bisa."

"Iqbal juga bantu selalu sayang sama Acha, bisa?"

Iqbal mengangguk lagi.

"Bisa."

Acha tersenyum picik, sedikit mencondongkan tubuhnya ke Iqbal.

"Kalau bantu buat rawat sapi-sapi Acha juga bisa?" tanya Acha iseng.

"Nggak bisa," tolak Iqbal cepat tanpa harus berpikir panjang.

Acha mendesis pelan, jawaban Iqbal sebenarnya sudah bisa Acha tebak tapi tetap saja Acha merasa kesal.

"Jahat banget sama sapi-sapi Acha. Padahal sapi-sapi Acha sayang sama Iqbal dan selalu restuin hubungan Acha dan Iqbal."

Iqbal mencubit pelan pipi Acha dengan gemas.

"Kalau bantu rawat pemilik sapi-nya gue bisa."

Acha merasakan kedua pipinya langsung memanas, sungguh ucapan yang sangat tak terduga. Senyum Acha mengembang lebih lebar, sangat senang mendengarnya.

Acha mendekatkan duduknya, ia menjulurkan tangannya ke wajah Iqbal, membelai lembut pipi kanan Iqbal.

"Makasih banyak pacarnya Acha yang paling baik, paling pinter dan paling ganteng," puji Acha berbondong.

Iqbal terkekeh mendengarnya. Ia meraih tangan Acha dari pipinya, mengenggamnya erat. Detik berikutnya, Iqbal memberikan ciuman singkat di punggung tangan Acha.

"Cha," panggil Iqbal lirih, mengenggam tangan Acha lebih erat.

"Iya Iqbal?"

Iqbal menghela napas pelan, memberikan tatapan lebih lekat ke Acha.

"Selalu percaya sama gue ya. Kalau ada apa-apa selalu bilang atau tanya ke gue dulu, jangan pernah menyimpulkan apapun yang hanya lo dengar ataupun lihat."

Acha mengerutkan kening, sangat bingung dan tidak mengerti dengan maksud ucapan Iqbal. Tidak pernah Acha mendengar Iqbal berbicara seperti ini.

"Maksudnya?" Sekeras apapun Acha berusaha mencerna kalimat Iqbal barusan, Acha tetap belum bisa memahami.

Iqbal tersenyum lebih hangat.

"Intinya selalu percaya sama gue. Percaya kalau gue selalu sayang sama lo."

Acha langsung mengangguk cepat.

"Acha selalu percaya sama Iqbal. Dari dulu sampai sekarang."

Iqbal melepaskan genggaman tangannya, berpindah ke puncak kepala Acha, mengacak-acaknya rambut Acha dengan gemas.

"Makasih sayang."

Acha tidak bisa untuk mengembangkan senyumnya kembali, panggilan manis dari Iqbal selalu berhasil membuat jantungnya berdegub cepat.

"Peluk Acha, mau?" tanya Acha sembari melebarkan kedua tangannya.

Iqbal tertawa pelan, kemudian mengangguk kecil.

"Sini."

Iqbal tanpa ragu langsung menarik tubuh mungil Acha, mendekapnya dengan erat. Sesekali Iqbal mencium puncak kepala Acha.

"Iqbal," panggil Acha dalam dekapan sang pacar. Acha tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Kenapa?"

Iqbal menurunkan pandangnya ke Acha.

"Iqbal juga percaya kan sama Acha?" tanya Acha sedikit merengangkan pelukannya, agar bisa melihat wajah Iqbal.

"Percaya."

Acha bergumam pelan, sedikit ragu.

"Kalau gitu, Acha minta izin ya Iqbal," pinta.

"Minta izin apa?" bingung Iqbal.

Acha mengembangkan senyumnya canggung.

"Acha minta izin buat beli nasi padang. Acha kangen banget makan nasi padang. Boleh kan?"

******

Setelah mengantar Acha pulang, Iqbal langsung menuju ke kampusnya. Iqbal berangkat satu jam lebih cepat dari jam masuk kuliahnya. Ada yang perlu Iqbal cari tau.

Setelah sampai di kampus, Iqbal langsung menuju ke perpustakaan. Yah, Iqbal mencari keberadaan Biya dan ingin menanyakan dimana gadis itu tidur semalam.

Perpustakaan hari ini lumayan masih sepi. Iqbal mengedarkan pandangannya dan menemukan keberadaan gadis itu tengah menata buku di rak paling ujung belakang.

Iqbal pun berjalan mendekati gadis tersebut.

"Lo semalam tidur dimana?"

Tak ada basa-basi dalam kamus Iqbal. Bukan menyapa terlebih dahulu ataupun sekadar mengucapkan selamat pagi, Iqbal langsung to the pointke pertanyaan yang ingin di ketahuinya.

Biya mendongakkan kepalanya, sedikit terkejut melihat keberadaan Iqbal. Namun, detik berikutnya, Biya sudah bisa bersikap biasa kembali.

"Minimarket," jawab Biya seadanya.

"Kenapa?" tanya Iqbal lagi.

Biya menghentikan aktivitasnya, kembali menatap Iqbal.

"Terlalu asing dan aneh bagi gue tiba-tiba dalam satu malam bertemu kalian lagi dan menerima bantuan kalian," jujur Biya.

Iqbal mengangguk singkat, menyetuji alasan masuk akal gadis itu. Iqbal melihat Biya mengeluarkan kartu dari sakunya, menyerahkannya ke Iqbal.

"Thanks, gue masih baik-baik saja dan bisa urus diri gue," ucap Biya.

Iqbal menerima kartu tersebut dengan sebuah senyum miring tergambar dibibirnya.

"Lo tau nggak salah satu orang yang paling gue benci di dunia ini apa?" Iqbal tiba-tiba menyerang dengan pertanyaan kepada Biya.

"Hah?" bingung Biya, tak siap mendapatkan pertanyaan Iqbal.

"Orang yang bilang baik-baik saja di awal kemudian mendadak merepotkan di akhir."

Biya merasakan dadanya sesak mendapatkan kalimat yang terdengar menyakitkan dari Iqbal barusan. Bibir Biya bergetar, sekuat tenaga ia barusaha untuk tetap bersikap tegar.

"Gue nggak akan repotin lo, tenang aja," ucap Biya.

Iqbal menyorotkan kedua matanya sangat lekat dan semakin dingin ke arah gadis di hadapannya.

Iqbal mendekat beberapa langkah.

"Dengan kemunculan lo lagi di depan gue dan yang lainnya itu sudah terasa merepotkan."

Setelah itu, tanpa banyak kata lagi Iqbal segera pergi meninggalkan Biya yang hanya bisa diam termenung, tak bisa berkata apa-apa. Ucapan Iqbal lebih dari menusuk.

Dan, Biya kalah telak, tak bisa melawan dan mengelak. Karena memang benar, kehadirannya sekarang pasti sudah menambah beban Iqbal, Glen dan Rian.

Biya menghela napasnya pelan-pelan, tanpa sadar kedua tangan Biya sudah terkepal kuat. Ingin sekali dia marah tapi tak bisa ia lakukan.

Sorot mata Biya perlahan berubah tajam.

"Oke, sepertinya kalian semua memang ingin di repotkan sekarang."

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? SEMOGA KALIAN BERTAMBAH SUKA DENGAN MARIPOSA 2 YAA. 

ADA YANG UDAH BISA NEBAK SCENE DI PART SELANJUTNYA? 

KIRA-KIRA KONFLIK APA YANG AKAN DATANG DI PART SELANJUTNYA??? 

PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA?

SAMPAI BERJUMPA YAA DI PART SELANJUTNYAAA. 

Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian untuk baca MARIPOSA 2 ^^

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu paling ditunggu dari kalian. 

MAKASIH BANYAK SEMUANYAA. SELALU JAGA KESEHATAN YAA. LOVE YOUU ALL. 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro