5 - Permintaan dan Janji
Assalamualaikum, alhamdulillah aku balik lagi bawa Mariposa 2 ^^
Sebelumnya aku mau ucapkan "Minal Aidzin Wal Faidzin yaa. Mohon maaf lahir dan batin. Maaf kalau aku ada salah kata maupun perbuatan."
Dan, sebelum baca part 5. Jangan lupa buat nonton Video di Channel Youtube " Luluk HF"
Aku baru aja upload video tentang "APAKAH AKU BAKALAN BUAT CERITA RIAN DAN AMANDA?"
https://youtu.be/4tOpLwf0uvY
Jangan lupa buat tonton videonya yaaaa dan jangan lupa juga buat "SUBSCRIBE" Makasih banyaaak ^^
JANGAN LUPA JUGA BUAT COMMEN SESERU MUNGKIN, BERIKAN REAKSI MENARIK KALIAN DI PART INI YAA.
KARENA KALAU AKU NEMU BEST COMMENT AKU AKAN KASIH "HADIAH", YANG BAKALAN AKU UMUMKAN DI INSTAGRAM @novelmariposa ^^
Dan, Selamat membaca ^^
****
Hari ini adalah hari paling sakral bagi Iqbal, mungkin bukan hanya Iqbal saja melainkan semua teman satu kelasnya di fakultas kedokteran. Karena untuk pertama kalinya mereka akan dipertemukan dengan "Guru Besar"mereka.
Iqbal menoleh ke belakang, melihat teman-teman ceweknya banyak yang merengek takut untuk masuk ke dalam Lab Anatomi. Bahkan Abdi yang sedari tadi berdiri disamping Iqbal terus merapat ke Iqbal.
"Bal, lo nggak takut?" tanya Abdi, wajahnya sedikit pucat.
"Nggak," jawab Iqbal santai.
"Emang lo udah pernah liat mayat?"
"Pernah," jawab Iqbal jujur.
Mata Abdi melotot tak santai, kaget dengan jawaban Iqbal.
"Seriusan? Kapan?"
Iqbal tersenyum kecil, penuh arti.
"Waktu gue kecil saat Mama gue meninggal."
Abdi langsung terdiam, mulutnya tertutup rapat, ia merasa tidak enak sendiri.
"Maaf Bal," sesal Abdi.
"Santai aja."
Tak lama kemudian, Asisten dosen mempersilahkan mahasiswa dan mahasiswi kelas Iqbal untuk segera masuk ke dalam Lab. Semuanya dibagi menjadi lima kelompok.
Iqbal melangkahkan kakinya untuk pertama kali di Lab Anatomi, bau formalin langsung menyengat indera penciumannya. Udara didalam terasa lebih panas dibandingkan diluar ruangan.
Dan, pemandangan cukup menakjubkan dan sedikit mencekamkan menyambut Iqbal dan teman-temannya.
Mereka akhirnya dipertemukan secara langsung oleh "Guru Besar" mereka. Tak lain dan tak bukan adalah mayat asli yang digunakan untuk praktek di Lab Anatomi untuk mengenal secara langsung bagian-bagian tubuh manusia.
*****
Semua berdiri sesuai kelompok masing-masing, setiap kelompok berisikan delapan orang, mereka berbaris memutari mayat yang ada ditengah-tengah mereka. Mayat tersebut sudah terbelah, bagian dalam tubuhnya terlihat nyata.
Profesor Tomi mulai menjelaskan materi singkat, setelah itu diganti oleh Asisten dosen yang memandu mereka, memperkenalkan bagian-bagian organ manusia.
"Silahkan, setiap mahasiswa harus menghafalkan dan berani menyentuh organ-organ tersebut bergantian," perintah sang Asisten Dosen.
Iqbal menarik napas dalam-dalam, tangannya sedikit berkeringat tak menyangka ia diharuskan untuk menyentuh organ-organ yang sudah pucat itu.
Huek Huek
Banyak teman-teman cewek Iqbal yang muntah, tak bisa menahan rasa mual mereka. Beberapa dari mereka langsung dilarikan keluar dari Lab.
"Bal, lo duluan," suruh Abdi.
Semua mata teman-teman satu kelompok Iqbal tertuju kepadanya. Iqbal disudutkan. Akhirnya mau tak mau Iqbal pun terpaksa harus bergerak dulu. Ia memberanikan diri untuk menyentuh organ-organ tersebut dan menghafal bagian-bagiannya.
"Sel, lo kalau mau muntah buruan keluar!" suruh Abdi melihat Sela sudah menutup mulutnya menahan mual.
"Bal, perut gue nggak kuat. Mau anterin gue ke UKS nggak?" pinta Sela dengan suara lemas.
Iqbal menatap Sela sebentar, kemudian menyodorkan paru yang baru saja dipegangnya.
"Lo mau nyentuh ini?" tawar Iqbal dengan sengaja.
Sela memelototkan matanya, ia langsung kabur keluar, tak kuasa menahan mualnya. Iqbal mendecak pelan sembari geleng-geleng, sedangkan Abdi dan teman-teman lainnya menertawakan tingkah Sela.
Iqbal kemudian melanjutkan prakteknya. Ia menaruh kembali paru yang dipegangnya, menyentuh organ lainnya dengan berani.
*****
Acha berdiri menatap meja belajarnya, memikirkan apa yang harus dilakukannya siangini. Acha bergumam pelan, keningnya berkerut.
"Mandiin sapi-sapisudah," ucap Acha mengingat-ingat apa yang sudah dilakukannya selama sebulan terakhir.
Acha berpikir kembali.
"Buat kue kesukaan Iqbal sudah."
Acha menghela napas berat.
"Enaknya habis ini ngapain ya?"
Drttdrtt
Ponsel Acha berdering diatas meja, ada sebuah panggilan. Acha melihat ada panggilan dari Iqbal. Acha heran sekaligus senang, tidak biasanya Iqbal menelfonnya siang-siang seperti ini. Acha pun segera meraih ponselnya, menerima panggilan itu.
"Hallo Iqbal, ada apa?"
"Keluar."
Acha mengerutkan kening, bingung.
"Keluar kemana?"
"Gue di depan rumah lo."
Acha langsung membuka gorden jendela kamarnya, membuktikan ucapan Iqbal. Benar saja, di depan gerbang rumahnya terlihat Iqbal tengah berdiri disamping mobilnya.
Acha tersenyum lebar.
"Acha keluar sekarang," serunya bersemangat.
Acha mematikan sambungan dan segera keluar rumah untuk menemui pacarnya.
*****
"Iqbal," seru Acha senang, ia langsung berhambur memeluk Iqbal.
Iqbal sedikit terkejut menerima pelukan dadakan dari Acha. Gadis itu tak lama memberikan pelukan, ia segera melepaskannya.
"Iqbal nggak ada kuliah?" tanya Acha bingung melihat Iqbal disini.
"Sudah selesai," jawab Iqbal.
"Kok cepet?"
"Jadwalnya cuma ke Lab aja hari ini."
"Terus nggak ke rumah sakit?"
"Nggak dulu."
Acha manggut-manggut. Ia sangat senang melihat keberadaan Iqbal di hadapannya.
"Kok nggak bilang dulu kalau mau kesini?" tanya Acha lagi.
"Gue juga sebenarnya nggak ada kepikiran kesini," jawab Iqbal jujur.
"Terus ngapain kesini?"
"Tiba-tiba pingin."
Acha tersenyum kecil, meraih tangan Iqbal.
"Kalau gitu ayo mas..."
"Gue mau ke perpustakaan kampus. Mau ikut?" potong Iqbal tiba-tiba.
Acha tertegun. "Emang boleh? Kan Acha nggak kuliah disana."
"Boleh aja."
Acha pun langsung menganggukan kepalanya. Toh, dia juga bingung harus ngapain siang ini. Mending ikut Iqbal. Kapan lagi Acha diajak jalan-jalan ke kampus Iqbal. Walaupun, Acha sendiri sebenarnya sudah beberapa kali ke Universitas Arwana waktu ia masih SMA.
"Kalau gitu Acha ikut."
"Ayo."
"Acha ganti baju dulu. Tungguin."
"Iya."
Acha pun bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya, secepat mungkin Ia bersiap-siap agar tidak membuat sang pacar menunggu.
****
Acha muncul kembali dengan memakai dressputih selutut dan sepatu sneakrswarna pink. Acha membiarkan rambutnya tergerai dan memakaikan dua jepit kecil berwarna pink di sebelah kanan, membentuknya silang.
Sebagai pelengkap, Acha mengenakan tas "Guess" berwarna pink yang Ia dapat dari Ify tiga bulan yang lalu sebagai hadiah kelulusan.
Iqbal tersenyum melihat penampilan Acha.
"Cantik," puji Iqbal.
Acha tersenyum malu mendengarnya.
"Siapa yang cantik?" goda Acha.
"Pacarku," jawab Iqbal tanpa ragu.
Acha langsung memegangi kedua pipinya yang memanas, mendengar satu kata seperti itu saja sudah berhasil membuat jantungnya berdegup cepat.
"Ayo berangkat," ajak Acha.
Iqbal mengangguk, mereka segera masuk ke dalam mobil dan beranjak.
****
Iqbal dan Acha berjalan beriringan menuju perpustakaan Universitas Arwana. Acha sedikit tidak nyaman, melihat beberapa pasang mata yang mencuri-curi pandang ke mereka berdua. Entah mereka terkesan ataupun penasaran dengan identitasnya.
Acha yakin, Iqbal sendiri sangat populer di kampus ini. Anak kedokteran yang memiliki wajah tampan. Siapa yang tidak akan mengenalnya? Apalagi rata-rata mahasiswa dan mahasiswi disini hampir tujuh puluh lima persen adalah alumni SMA Arwana.
Acha merapatkan tubuhnya ke Iqbal, ia sedikit tertunduk. Acha berusaha menyamai langkah kaki Iqbal.
"Beneran Acha nggak apa-apa ke perpustakaan kampus Iqbal?" tanya Acha memastikan sekali lagi.
"Nggak apa-apa," jawab Iqbal.
Mereka akhirnya sampai di depan perpustakaan Universitas Arwana yang cukup megah. Acha sebenarnya tidak asing juga dengan perpustakaan ini. Dulu waktu dia menjalani pelatihan untuk olimpiade Kimia, Acha sering diajak oleh Pak Bambang kemari.
"KTP," pinta Iqbal.
Acha mengangguk dan segera menyerahkan KTP-nya. Peraturan di perpustakaan ini jika ada orang yang bukan mahasiswa Arwana yang ingin masuk ke perpustakaan, maka akses masuknya bisa menggunakan kartu identias seperti KTP atau SIM.
Sedangkan Iqbal cukup menggunakan Kartu Mahasiswanya.
****
Iqbal mengajak Acha duduk di meja paling belakang, Iqbal tau Acha pasti tidak nyaman jika ada yang memperhatikan mereka, seperti saat ini. Bisikan-bisikan terdengar dari depan perpustakaan hingga mereka masuk.
"Cewek di sebelah Iqbal itu siapa?"
"Dia pacar Iqbal. Mereka pacaran sejak SMA."
"Namanya Acha, cantik banget kan? Selain cantik, dia nggak kalah pinter dari Iqbal."
"Dia pacar Iqbal? Serius? Cantik banget."
"Yah, lawannya terlalu kuat. Iqbal udah ada yang punya."
Acha menghela napas berat, kupingnya terasa semakin panas. Acha pun segera duduk disamping Iqbal. Acha berusaha untuk tidak mempedulikan bisikan-bisikan tersebut. Toh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dia cantik dan pintar? Kurang pantas apa dia menyandang sebagai pacar Iqbal?
Acha menoleh ke Iqbal, cowok itu sudah mulai membuka buku anatomi yang sangat tebal tanpa berkata apapun lagi kepadanya. Acha mendengus pelan, apa dia datang kesini hanya untuk melihat Iqbal belajar?
Acha menarik tas Iqbal, mencari-cari apa ada buku yang bisa dibacanya juga. Acha pun menemukan buku paket kimia disana. Acha segera mengeluarkannya. Setidaknya, ia bisa membaca-baca pelajaran kesukaanya.
Dan, keduanya pun mulai larut dengan buku masing-masing.
*****
Acha memutar-mutar bolpoin ditangannya. Mulai merasa jenuh, hampir separuh soal di buku paket kimia yang ada dihadapannya sudah Acha jawab dengan cepat dan tepat. Acha tersenyum bangga melihat pekerjaanya, ternyata kepintarannya tak pernah memudar.
Acha menggerakan kepalanya, memandang Iqbal. Cowok itu masih fokus membaca bukunya. Acha memperhatikan Iqbal lekat. Acha tersenyum kecil, Ia tidak menyangka cowok tampan disampingnya ini adalah pacarnya sendiri.
Acha jadi teringat sendiri saat dimana ia mengejar-ngejae Iqbal seperti gadis gila. Cowok yang sangat dingin dan pendiam, kini sudah banyak berubah. Iqbal menjadi lebih hangat dan tidak sedingin dulu.
"Iqbal," panggil Acha pelan.
"Hm?" balas Iqbal singkat tanpa mengalihkan pandangannya.
Acha menghela napas pelan.
"Lihat Acha bentar," rajuk Acha.
Iqbal pun akhirnya menoleh.
"Apa?"
Acha bergumam pelan, sedikit ragu untuk mengatakannya. Sedangkan Iqbal menunggu dengan sabar.
"Lusa it... itu..."
Kening Iqbal berkerut, bingung.
"Apa?" tanya Iqbal tak mengerti.
Acha menghela napasnya sekali lagi, mengumpulkan keberaniannya.
"Lusa hari apa?" tanya Acha.
"Sabtu?"
"Tanggal berapa?"
"Empat belas."
Acha berdecak pelan, mulai jengah. Sifat Iqbal yang tidak pernah berubah adalah kepekaanya. Cowok itu masih memiliki kepekaan yang minim. Acha pun memilih menatap bukunya kembali dengan raut cemberut.
Bibir Acha sedikit maju, ia mulai bergumam sendiri, sedikit kesal. Acha tak sadar bahwa Iqbal masih memperhatikannya. Iqbal tersenyum kecil melihat tingkah Acha yang menggemaskan seperti itu.
"Gue inget Cha," ungkap Iqbal.
Acha terdiam, jantungnya berdetak cepat. Perlahan, Acha menoleh kembali menatap Iqbal. Acha menyembunyikan senyumnya.
"Ingat apa?" tanya Acha ingin memastikan.
"Ulang tahun lo," jawab Iqbal.
Akhirnya kedua sudut bibir Acha bisa terangkat. Acha senang mendengarnya. Iqbal ternyata tidak lupa dengan tanggal ulang tahunnya.
"Acha boleh minta sesuatu nggak?"
Kening Iqbal berkerut.
"Apa?"
"Acha nggak minta barang mahal bahkan nggak minta sapi di hari ulang tahun Acha. Acha cuma Iqbal kabulin satu permintaan Acha," jelas Acha.
"Apa itu?"
Acha menarik napasnya pelan-pelan dan menghebuskannya cepat. Ia mendadak gugup sendiri.
"Di hari ulang tahun Acha, ditanggal empat belas. Acha mau Iqbal nemenin Acha dari pagi. Iqbal harus terus disamping Acha. Iqbal mau?"
Iqbal terlihat berpikir. Ia langsung mengeluarkan ponselnya, mengecek agendanya. Acha semakin gugup melihat yang dilakukan Iqbal. Wajah cowok itu terlihat serius.
"Ka... Kalau Iqbal ternyata sibuk dan nggak bisa, Acha ngga... Nggak apa-apa kok," ucap Acha terbata-bata. Sebenarnya ia tidak enak sendiri menyebutkan permintaanya ini.
Iqbal masih diam, matanya fokus di layar ponselnya.
"Nggak bisa ya?" lirih Acha sudah sangat pasrah.
Iqbal mengangkat kepalanya, kembali menatap Acha. Kedua sudut bibir Acha perlahan mengembang.
"Bisa kok," jawab Iqbal menyetujui.
Kegugupan Acha langsung menghilang saat itu juga, bibirnya tanpa sadar mengembang cepat.
"Beneran bisa?" tanya Acha masih tak percaya.
"Iya Cha."
"Seriusan? Iqbal nggak ada acara ke luar kota? Luar negeri?" tanya Acha beruntun.
"Nggak ada Cha."
"Iqbal nggak ada jawdwal kuliah? Belajar? Ke rumah sakit?" tanya Acha lagi memastikan untuk terakhir kalinya.
Iqbal menggelengkan kepalanya.
"Nggak ada."
Acha langsung menyodorkan jari kelingkingnya.
"Janji sama Acha," ucap Acha.
Iqbal menerima kelingking Acha, menautkan kelingkingnya sendiri.
"Iya Cha."
"Kalau Iqbal ngelanggar janji Iqbal, apa hukuman buat Iqbal?" tanya Acha tak mau Iqbal melanggar lagi janjinya.
Iqbal bergumam pelan.
"Kamu maunya apa?"
"Nggak tau. Maunya cuma Iqbal datang nemenin Acha pas hari itu," jujur Acha.
"Yaudah."
"Apanya yang yaudah?" cibir Acha.
"Gue akan tepatin janji gue."
Acha tertunduk, melepaskan jarinya.
"Setiap kali Iqbal bilang gitu, Acha selalu takut."
"Kenapa?"
"Takut Iqbal nggak nepatin."
Iqbal meraih tangan Acha, mengenggamnya.
"Lihat gue," pinta Iqbal.
"Nggak mau."
"Natasha," panggil Iqbal lembut.
"Apa?"
"Lihat gue bentar," mohon Iqbal.
Acha menghela napasnya, kemudian perlahan mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap Iqbal.
"Gue beneran akan datang."
"Beneran?"
"Iya."
Acha menganggukan kepalanya.
"Acha akan tunggu. Acha percaya Iqbal bakalan datang."
"Iya."
"Makasih Iqbal," Acha berusaha untuk mengembangkan senyumnya walaupun hatinya masih ada ketakutan dan ketidakpastian. Namun, Acha berusaha untuk mempercayai Iqbal.
Iqbal membalas senyum Acha sembari mengacak-acak puncak gadis itu pelan.
****
Setelah dari perpustakaan, Acha mengajak untuk makan. Acha dari kemarin ingin sekali makan nasi padang. Iqbal pun menuruti saja meskipun dia sedang tidak ingin makan yang bersantan.
Iqbal memarkirkan mobilnya di restoran padang terkenal dekat SMA-nya dulu. Dia cukup sering kesini dengan Acha sepulang sekolah saat SMA.
Mereka pun segera masuk ke dalam restoran.
Iqbal duduk dikursi dengan mata blank, menatap semua makanan yang sudah tertata diatas meja. Sedangkan Acha terlihat bersemangat, gadis itu langsung mengambil sendok dan garpu, menyapu satu persatu lauk yang ada dihadapannya.
Iqbal menelan ludahnya dengan susah payah, isi perutnya terasa mulai naik.
"Iqbal lihat deh ini enak banget," ucap Acha mengangkat paru ditangannya.
Iqbal menahan napasnya beberapa detik, otaknya langsung teringat dengan organ-organ yang dia pegang pagi tadi.
"Iqbal makanjeroanini, kesukaan Iqbal kan?" seru Acha lagi, langsung menaruh hati ayam di piring Iqbal.
Iqbal merasakan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, Ia membeku ditempat. Perutnya semakin terasa mual. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
"Iqbal ususnya enak banget, sumpah. Acha bener-bener kangen makan disini."
Iqbal langsung bangkit dari kursi, perutnya tidak kuat lagi untuk menahan rasa mualnya. Iqbal langsung berlari ke toilet. Acha kaget sekaligus bingung melihat kepergian Iqbal.
"Iqbal kenapa?" teriak Acha khawatir.
Acha pun segera menyusul Iqbal.
****
Acha melihat Iqbal muntah-muntah di toilet, Acha semakin khawatir. Kenapa Iqbal tiba-tiba muntah? Ada apa dengan cowok itu?
Acha pun menunggu saja di depan toilet. Tak lama kemudian Iqbal keluar dengan tubuh sedikit lemas.
"Iqbal kenapa?" tanya Acha menepuk-nepuk punggung Iqbal.
Iqbal menggeleng lemah.
"Iqbal muntah-muntah?" tanya Acha.
"Sedikit," jawab Iqbal. Ia mencuci tangannya di westafel. Acha mengikuti Iqbal dari belakang.
Acha terus menepuk-nepuk punggung Iqbal, memijatnya pelan.
"Iqbal hamil? Siapa yang hamilin?" tanya Acha dengan lugunya.
Iqbal diam saja, pikirannya kosong menahan perutnya yang masih terasa sedikit mual.
"Sudah berapa bulan Iqbal? Kok nggak bilang ke Acha?"
Iqbal menggeleng lemah. Belum bisa bersuara.
"Siapa Iqbal ibunya? Bilang ke Acha, biar Acha suruh tanggung jawab."
Iqbal terkekeh pelan, ia menoleh ke Acha. Wajah gadis itu terlihat khawatir tapi masih sempat saja melawak.
"Gue pagi tadi habis dari Lab anatomi lihat mayat," jelas Iqbal.
Ah. Acha mengangguk mengerti. Acha merasa tidak enak sendiri.
"Maafin Acha," lirih Acha.
"Nggak apa-apa."
"Kita makan ditempat lain aja ya," ajak Acha.
"Iya," ucap Iqbal langsung mengiyakan.
Iqbal memberikan dompetnya ke Acha, menyuruh gadis itu untuk membayarkan, sedangkan Iqbal duluan ke mobilnya. Ia ingin istirahat sebentar, menenangkan perutnya.
****
Setelah makan, Iqbal mengantarkan Acha pulang. Ia tidak mampir ke rumah gadis itu. Iqbal langsung melesat ke rumah sakit. Hari ini ia ada janji dengan Dokter Andi seperti biasanya.
Iqbal segera masuk ke ruangan dokter Andi.
"Sore Dok," sapa Iqbal sopan, menyalami dokter Andi.
"Wajah kamu kok agak pucat Iqbal?" tanya Dokter Andi heran.
Iqbal segera duduk, ia menceritakan kejadian tadi pagi dan siang tadi. Dokter Andi langsung tertawa mendengarnya. Dokter Andi merasa teringat dengan masa-masa ketika dirinya baru pertama kali masuk ke Lab Anatomi. Kisahnya tak beda dengan Iqbal.
"Minum air hangat dulu," suruh Dokter Andi.
"Sudah dok," ucap Iqbal.
"Gimana kuliahnya tadi? Seru?"
"Lumayan," jawab Iqbal.
"Sesulit apapun jangan mengeluh. Hadapi. Kalau nggak bisa tanya, kalau tetap nggak bisa, belajar. Intinya jangan jadi orang pengeluh. Mengerti?" pesan bijak Dokter Andi.
Iqbal tersenyum kecil sembari menganggukan kepalanya. Iqbal sangat suka dengan sifat optimis Dokter Andi.
"Makasih banyak Dok."
TokTok
Pintu ruangan dokter Andi diketuk dari luar.
"Masuk," suruh dokter Andi.
Seorang cowok membuka pintu tersebut, Iqbal terkejut melihat keberadaan cowok itu. Tak lain dan tak bukan adalah Glen, sahabatnya sendiri.
"Masuk Glen," suruh Dokter Andi.
"Ngapain lo disini?" bingung Glen melihat keberadaan Iqbal.
"Lo sendiri ngapain?" tanya Iqbal balik tanpa menjawab pertanyaan Glen.
"Chek-upbulanan," jawab Glen.
Dokter Andi mempersilahkan Glen duduk, ia pun segera mengambil kursi di sebelah Iqbal.
"Hari ini jadwalnya Glen suntik alergi," ucap Dokter Andi memberitahu.
Iqbal menoleh ke Glen.
"Suntik mati aja Dok," Ucap Iqbal dengan wajah serius.
"Lo rela kehilangan sahabat paling ganteng dan kaya raya ini?" tanya Glen lebih serius.
"Rela," jawab Iqbal dengan enteng.
"Sialan lo," umpat Glen sedikit kesal.
Iqbal terkekeh puas melihat reaksi Glen. Mereka berdua pun mendapatkan ceramah sore-sore dari Dokter Andi. Baik Glen maupun Iqbal mendengarkan dengan seksama.
Dokter Andi sudah seperti keluarga bagi mereka berdua, suka memberikan wejangan-wejangan ataupun nasehat kehidupan yang sangat penting untuk masa depan mereka.
"Saya ke UGD sebentar," ucap Dokter Andi tiba-tiba mendapat panggilan.
Dokter Andi keluar dari ruangannye meninggalkan Iqbal dan Glen. Keadaan mendadak hening. Baik Iqbal dan Glen seperti orang bermusuhan, mereka sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Lo tau nggak Bal..."
"Nggak tau," sela Iqbal cepat sebelum Glen menyelesaikan kalimatnya.
"Dengerin gue dulu napa, nyamber aja kek geledek!" kesal Glen.
Iqbal menaruh ponselnya, menoleh ke Glen.
"Apa?"
"Si Meng mendadak hamil, dan Bunda gue histeris banget," ucap Glen memberitahu.
Iqbal bergumam pelan, tidak yakin apakah informasi ini penting untuk dirinnya.
"Masalahnya dimana?" bingung Iqbal.
"Bunda gue histeris," ucap Glen dengan kedua mata melebar.
"Karena?"
"Meng Hamil dan nggak ada yang tau siapa yang hamilin. Meng ditanyain juga nggak mau ngaku. Diem mulu dia sambil gulung-gulung. Nyebelin kan?"
Iqbal menghela napas berat. Entah siapa saat ini yang lebih menyebalkan!
"Bunda minta gue nyariin pelaku yang hamilin Meng. Dia mau minta pertanggung jawaban! Lo mau bantuin gue nggak?"
"Nggak," tolak Iqbal cepat.
"Seriusan nggak mau Bal?"
"Serius!"
"Lo nanti gue undang ke nikahannya si Meng."
"Makasih."
"Beneran lo nggak mau?" tanya Glen untuk terakhir kalinya.
"Iya," serah Iqbal, ia mengambil ponselnya kembali, memainkannya. Daripada meladeni kegilaan Glen membuatnya darah tinggi sendiri.
Glen geleng-geleng, menghela napas kasar. Ia menatap ke depan hampa.
"Emang kucing jaman sekarang pergaulannya terlalu bebas! Nggak nyangka gue," lirih Glen dramatis.
Sekali lagi Glen menghelakan napas beratnya.
"Meng Oh Meng."
****
Iqbal keluar duluan dari ruangan Dokter Andi, ia harus segera kembali ke rumah karena Papanya sudah pulang dari Malaysia untuk urusan bisnis. Hampir satu bulan Iqbal tidak berjumpa dengan Papanya itu. Tentu saja Iqbal sangat merindukan papanya.
Iqbal berjalan menuju keluar rumah sakit. Namun, langkah Iqbal memelan, Iqbal merasa ada yang mengikutinya sejak tadi dibelakang. Iqbal langsung menghentikan kakinya dan membalikkan tubuhnya.
"Nggak ada siapa-siapa," lirih Iqbal.
Iqbal menghela napas pelan, mungkin hanya firasatnya saja. Iqbal pun memilih berjalan kembali, berusaha tidak peduli.
Tanpa Iqbal sadari, memang sejak tadi ada yang mengikutinya. Bahkan orang itu sudah menunggu Iqbal di dekat ruangan Dokter Andi.
Mungkin lebih tepatnya, dia telah memperhatikan Iqbal dari jauh sejak beberapa hari yang lalu.
"Aku ingin mengenalnya. Lebih dekat."
****
#CuapCuapAuthor
TOLONG BANGET DILARANG JADI CENAYANG DADAKAN WKWKWK
GIMANA PART INI?
GEMESNYA DAPAT NGGAK? SUKA NGGAK?
KIRA-KIRA MENURUT KALIAN IQBAL BAKALAN NEPATIN JANJINYA NGGAK KE ACHA? HAYOO?
PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA?
TERUS BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 ^^
BACA JUGA PROJECT CERITA AKU YANG FILOVE ^^
Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian, saudara-saudara kalian, tetangga kalian dan keluarga kalian untuk baca MARIPOSA 2 ^^
Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu paling ditunggu dari kalian ^^
Kalian juga bisa follow instagram @novelmariposa karena banyak spoiler-spoiler MARIPOSA 2 disana ^^
Dan yang punya twitter yuk bisa seru-seruan bareng di twitter : @luluk_hf . Karena aku sering adain GIVEAWAY setiap minggunya di twitter aku ^^
TERIMA KASIH SEMUANYAA DAN SELALU CINTA KALIAN SEMUA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro