Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43 - Deep Talk

Assalamualaikum teman-teman semua. Maaf ya aku updatenya sedikit telat. Karena hari jumat kemarin ada keluarga besar aku datang dan sedang quality time bareng. Jadi baru benar-benar revisi naskahnya malam ini dan barusan selesai ^^

Semoga kalian selalu setia nunggu Mariposa 2 dan baca Mariposa w yaa ^^

Siapa yang udah nggak sabar baca Mariposa 2 part 43? Tunjukan emoji Sapi kalian ^^

Oh ya sebelumnya aku ada info lagi nih yaitu SNACK ABUEGILE LAGI ADA DISKON BESAR-BESARAN ^^

SNACK ABUEGILE DARI HARGA 16.000 DI DISKON JADINYA CUMA 9.999 LOH. DAN HANYA SAMPAI HARI INI SAJA (HARI SABTU). YUK BURUAN LANGSUNG BELI DI SHOPEE : hfcreations 

DAN, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2. SEMOGA SUKA YAA ^^

*****

Abdi melihat Iqbal dan Gazebo secara bergantian dengan bingung, tak ada siapapun lagi disana, selain Iqbal. Dimana preman-preman itu? Dimana cewek itu? Apa yang terlah terjadi.

Abdi mendekati Iqbal.

"Bal, satpamnya nggak ada," aduh Abdi dengan wajah di penuhi banyak pertanyaan.

"Oke," jawab Iqbal singkat.

Abdi langsung menunjuk ke arah Gazebo.

"Preman-premannya kemana?" tanya Abdi tak sabar.

"Pergi," jawab Iqbal seadanya.

"Kok bisa? Lo apain?"

Iqbal mengangkat dua bahunya.

"Tiup," jawab Iqbal sekenanya.

Abdi mendecak pelan.

"Yang bener Bal. Lo kira mau ngepet di tiup langsung hilang," cibir Abdi.

Iqbal akhirnya menatap Abdi, dengan tatapan malas.

"Yang penting udah pergi, kan?"

Abdi mengangguk, menyetujui, tatapan Iqbal membuat Abdi sedikit tak berkutik.

"Iya," jawabnya memilih mengalah.

"Bagus."

"Cewek yang lo tolong kemana?" tanya Abdi lagi.

"Nggak tau."

Abdi lagi-lagi hanya bisa melengos pasrah.

"Terus, rokok gue mana?" tanya Abdi sembari menjulurkan telapak tangannya.

Iqbal pun segera mengembalikan rokok tersebut. Abdi buru-buru memeriksa rokoknya.

"Alhamdulillah cuma berkurang satu," lirih Abdi dramatis.

Iqbal geleng-geleng, semakin yakin bahwa Abdi dan Glen memiliki sifat yang hampir mirip. Seperti anak kembar beda per-ibu-bapak-an.

Abdi menatap ke Iqbal setelah memasukan bungkus rokoknya ke saku tas.

"Lo pakai buat apa rokoknya?" tanya Abdi penasaran kembali.

"Nggak ada," jawab Iqbal tak berniat untuk menjelaskan.

Iqbal pun segera meneruskan langkahnya yang tertunda menuju ke perpustakaan. Sekalian, ingin mengembalikan dompet yang di temukannya ke cewek tadi.

Abdi menatap Iqbal yang sudah meninggalkannya begitu saja, mengelus dadanya berusaha untuk tabah.

"Diem aja terus! Udah kayak limbad lo lama-lama, Bal!"

*****

Iqbal menemukan jurnal yang di carinya di perpustakaan, namun sama sekali tak menemukan keberadaan cewek yang di tolongnya. Iqbal pun terpaksa membawa kembali dompet tersebut.

Iqbal berniat untuk mengembalikan dompet tersebut jika memang milik gadis tadi.

"Mau cari apa lagi?" tanya Abdi lemas.

Iqbal melihat jam tangannya, pukul tujuh malam, pas sekali perpustakaan akan tutup.

"Nggak ada," jawab Iqbal.

"Makan yuk," ajak Abdi.

"Gue suka cewek," jawab Iqbal dengan nada menyebalkan.

Abdi menahan untuk tidak berteriak, kesabarannya sudah di ujung ubun. Abdi menaruh kedua tangannya di pinggang, menatap Iqbal yang masih bersikap santai sembari memainkan ponselnya, seolah jawabannya barusan sangatlah biasa untuknya.

"Gue cuma ngajak makan, bukan ngajak nikah, Ball!" kesal Abdi.

Iqbal tak langsung membalas, ia masih sibuk membaca pesan dari Acha, gadis itu ingin mengajaknya makan malam di rumahnya. Setelah membalas pesan Acha dengan menyetujui ajakan gadis itu. Iqbal memasukan ponselnya ke saku, menatap Abdi kembali.

"Lo bilang apa?" tanya Iqbal semakin menyebalkan.

Abdi mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, rasanya pengin menendang Iqbal.

"Arah ke KUA sebelah mana, Bal?"

*****

Iqbal menghentikan mobilnya di depan rumah Acha. Ia mematikan mesin mobil dan melepaskan seatbelt-nya. Saat itu juga, mata Iqbal terpaku melihat telapak tangannya yang sedikit lepuh karena kejadian beberapa jam yang lalu.

Iqbal mendecak pelan, merutuki kebodohannya yang meremas rokok tersebut. Sebenarnya, Iqbal bukan sengaja melakukannya. Iqbal melakukannya tanpa sadar. Mungkin karena terlalu berusaha ingin mencegah rasa takutnya untuk muncul, ketika menghadapi ketiga preman tadi.

Iqbal keluar dari mobil, menuju ke gerbang rumah Acha.

****

Acha menyambut Iqbal denga senyum paling manis, Acha tak menduga Iqbal akan menyetujui ajakannya. Acha mengira Iqbal sudah sangat sibuk hari ini.

Melihat kehadiran Iqbal di depannya sekarang, membuatnya sangat senang.

Ide untuk mengajak Iqbal makan malam karena Acha tidak jadi beli Nasi Padang sore tadi, ia pulang dengan tangan dan perut hampa. Dan, semua itu karena percek-cokan unfaedah-nya dengan Glen.

Akhirnya, Acha pun memilih memasak sendiri di rumah. Karena masakannya ternyata terlalu banyak, Acha pun mendapat ide untuk menyuruh Iqbal datang.

Acha juga sudah menyiapkan semua makanan untuk Iqbal di meja teras rumah.

"Habis dari kampus ya?" tanya Acha membuka pembicaraan ketika Iqbal duduk di sofa teras rumahnya.

"Iya," jawab Iqbal sembari menaruh dompet, ponsel dan kunci mobilnya di samping meja.

Acha terdiam sebentar, lebih mendekatkan duduknya ke Iqbal. Kedua mata Acha sedikit menyipit. Acha menyadari bau yang aneh pada tubuh Iqbal. Bukan bau khas parfume Iqbal, ada bau yang sangat lebih Acha kenal.

Yah, Acha sangatlah peka dengan asap rokok, karena Acha sendiri sangat tidak suka dengan bau tersebut.

Acha lebih mendekat lagi, sedikit mendengus baju Iqbal, untuk meyakinkan indera penciumannya.

"Iqbal ngerokok?" tanya Acha tanpa basa-basi.

Acha memundurkan tubuhnya, menatap Iqbal sangat lekat, meminta penjelasan. Jujur, Acha sangat cemas menanti jawaban Iqbal. Acha mendadak takut bahwa Iqbal mulai mencoba merokok dibelakangnya.

Iqbal sendiri terlihat tetap tenang ketika mendengar pertanyaan Acha. Detik berikutnya, Iqbal tersenyum kecil.

"Mau dengerin penjelasan gue?" tanya Iqbal lembut, tak ingin membuat gadisnya khawatir.

"Mau," jawab Acha berusaha meredahkan ke-khawatirannya.

Iqbal menghela napas pelan, sebelum bersuara kembali.

"Tadi waktu mau ke perpustakaan gue nggak sengaja ketemu cewek yang di ganggu tiga preman." Iqbal menjelaskan semuanya, dari awal hingga akhir tanpa ada yang tertinggal. Iqbal tidak ingin membuat Acha salah paham. Ia berusaha berkata sejujur mungkin kepada pacarnya.

Acha pun mendengarkan baik-baik semua penjelasan Iqbal. Beberapa kali Acha merespon dengan anggukan, mengernyit, dan ikut ngeri mendengarnya.

"Akhirnya, preman itu pergi." Iqbal mengakhiri ceritanya.

Acha masih mengerutkan keningnya.

"Terus cewek itu? Selamat?"

"Selamat, dia juga pergi setelahnya," jawab Iqbal.

Acha akhirnya bisa menghela napas lega, ia memperhatikan Iqbal lebih detail dairi ujung kepala sampai ujung kaki, memeriksa apakah pacarnya benar-benar tidak apa-apa dan tidak ada yang terluka.

"Gue nggak apa-apa, Cha," ucap Iqbal dapat membaca gelagat Acha.

Acha mendesah berat, menatap Iqbal sedikit sebal.

"Harus ya ngerokok tadi?" tanya Acha lirih, seolah tidak suka dengan yang dilakukan Iqbal.

"Gue bisa kalah jika pakai kekerasan," jawab Iqbal menyebutkan alasannya.

Acha mengangguk lemah, sebenarnya ia sudah paham bagaimana sifat Iqbal. Pacarnya yang selalu mengedepankan logikanya, memakai cara yang lebih aman tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Itulah, Iqbal. Otaknya lebih dahulu di gunakan daripada meluapkan emosinya.

"Iqbal beneran nggak apa-apa, kan?" tanya Acha lagi masih khawatir.

"Nggak apa-apa, Cha," jawab Iqbal sungguh-sungguh.

Acha menghela napas pelan, mengangguk percaya. Tangan Acha terulur, menyentuh pipi Iqbal dengan hangat.

"Iqbal, jangan nge-rokok lagi ya. Apapun alasannya. Acha nggak suka," ungkap Acha, Acha sendiri sudah tau bahwa Iqbal bukanlah perokok dan tidak suka bau rokok seperti dirinya.

"Iya sayang," jawab Iqbal tanpa ragu seraya menganggukan kepalanya sekali.

Acha tersenyum malu, jantungnya berdebar cepat tanpa di minta. Acha selalu suka dan mendadak gugup, setiap kali panggilan manis itu terdengar dari bibir Iqbal.

"Acha senang dan bangga karena pacar Acha orang yang baik dan suka menolong," ucap Acha tulus.

Iqbal mengembangkan senyumnya.

"Maaf ya," ucap Iqbal mengakui kesalahannya.

Acha mengangguk. "Iya Iqbal, Acha maafin. Jangan diulangi ya."

"Iya."

Kini Acha benar-benar sudah lega, rasa khawatirnya perlahan sirna begitu saja. Melihat Iqbal tidak apa-apa dan Iqbal yang terbuka dengannya membuat Acha sangat senang.

Kedua mata Acha memandang tepat di bibir Iqbal, tak bisa lepas untuk beberapa saat. Kepala Acha membayangkan bagaimana Iqbal merokok, hati Acha sangat sedih. Acha tau, Iqbal pasti sangat tersiksa dan menahan pusing di kepalanya saat melakukannya.

"Kasihan bibir Iqbal harus nyentuh rokok. Pasti panas juga tenggorokan Iqbal tadi. Kepala Iqbal juga pasti pusing ya?" tanya Acha dengan tatapan yang intens ke bibir Iqbal.

Iqbal terdiam, terkejut saat jemari Acha yang semula di pipi kanannya, berpindah tepat di bibirnya. Iqbal dapat merasakan hangatnya jemari Acha di bibirnya.

Iqbal membasahi kerongokongannya yang mendadak kering. Sentuhan jemari Acha di bibirnya, memberikan reaksi yang aneh pada tubuhnya.

"Cha, gue nggak apa-apa," lirih Iqbal, berusaha tetap menyadarkan pikirannya, menahan semua gejolak yang sudah meraung dari dalam tubuhnya.

"Acha yang apa-apa, Acha tau Iqbal pasti kesiksa banget."

Lebih tersiksa sekarang Cha! Ingin sekali Iqbal meneriakannya. Iqbal menahan napasnya beberapa detik.

Acha sendiri masih saja fokus dengan bibir Iqbal, tanpa melihat tatapan Iqbal ke arahnya yang sudah mulai tak fokus. Iqbal mulai gusar, kontrol dirinya mulai saling tarik menarik.

"Acha bersihin ya bibir Iqbal," ucap Acha lagi, jarinya yang semula hanya diam di bibir Iqbal, kini mulai bergerak di bibir Iqbal, seperti gerakan mengusap pelan.

"Cha," panggil Iqbal pelan, suaranya memberat.

"Iqbal diem dulu. Acha masih bersihin bibir Iqbal," gerutu Acha.

Iqbal memejamkan matanya sebentar, kemudian membukanya kembali. Dengan cepat, Iqbal menahan tangan Acha, menghentikan jemari Acha.

Sontak Acha langsung mendongakkan kepala, menatap ke Iqbal dengan bingung. Namun, detik berikutnya Acha menyadari kesalahan besarnya!

Acha bisa melihat bagaimana tatapan Iqbal yang begitu lekat dan menggelap. Kini, giliran Acha yang di buat susah bernapas, tubuhnya berubah panas-dingin.

Keduanya saling bertatapan cukup lama, sama-sama berusaha mengatur detakan jantung masing-masing.

"Cium pipi kamu boleh?" tanya Iqbal memecah keheningan di antara mereka.

Kedua pipi Acha langsung merona ketika mendengarnya, bukannya membuat jantungnya lebih aman, pertanyaan Iqbal semakin membuat kecepatan detakan jantungnya tak terkendali.

"Jangan di tanyain, malu," lirih Acha segera mengalihkan pandangannya. Acha tak kuasa lagi untuk membalas tatapan dalam Iqbal.

Iqbal terkekeh pelan, gemas mendengar jawaban Acha.

"Aku cium ya," izin Iqbal.

Tanpa menunggu jawaban dari Acha. Iqbal perlahan mendekatkan wajahnya dan mendaratkan ciuman hangat di pipi kanan Acha.

Acha hanya bisa membeku di tempat ketika merasakan bibir Iqbal menempel di pipinya. Acha seperti merasakan ada kupu-kupu di dalam tubuhnya yang sedang berterbangan.

Acha menggeliat malu ketika Iqbal melepaskan bibirnya. Acha pun segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Padahal, ini bukan pertama kalinya Iqbal melakukannya. Tapi tetap saja. Selalu berhasil membuat jantung Acha berdegup cepat dan menciptakan getaran aneh di setiap permukaan tubuh Acha.

Iqbal menahan senyumnya melihat Acha yang semakin menggemaskan di matanya.

"Kenapa?" goda Iqbal.

"Acha makin malu," jawab Acha tak berani membuka telapak tangannya.

Iqbal tak lagi bisa menahan untuk tidak tertawa. Tangan Iqbal mengacak-acak gemas puncak kepala Acha.

"Ayo makan," ajak Iqbal.

Acha membuka persembuyian telapak tangannya pelan-pelan, melihat Iqbal yang sudah mengambil sendok dan mengangkat piring.

"Iya Iqbal," balas Acha lirih.

Dengan sikap yang masih malu-malu, Acha ikut mengambil sendok, ikut makan bersama dengan sang pacar.

"Enak nggak, Iqbal?" tanya Acha.

Iqbal mengangguk singkat, "Lumayan."

Acha mendesis pelan, tidak bisakah pacarnya ini sedikit membual untuk menyenangkannya dengan berkata bahwa masakannya 'sangat enak'.

"Tadi pagi sarapan, nggak?" tanya Acha mendadak seperti penyelidik. Nyatanya, tadi pagi Acha sempat mengirim pesan, mengingatkan sang pacar untuk sarapan.

"Sarapan," jawab Iqbal.

"Sarapan apa?"

"Roti."

Acha menghela napas pelan, tidak bisakah pacarnya ini sarapan dengan benar.

"Iqbal udah tidur di Apartmen lagi?" tanya Acha.

"Hari ini ke Apartmen."

Acha menatap Iqbal lekat, tidak tega melihat Iqbal yang akan sibuk kembali, jatah tidurnya akan semakin berkurang lagi dan akan jarang menemuinya lagi.

"Nggak usah dilihatin terus, Cha."

Acha tersadarkan mendengar ucapan Iqbal, tak menyangka bahwa Iqbal menyadari bahwa sedari tadi Acha terus menatap.

Iqbal menoleh, tersenyum kecil.

"Kenapa?" tanya Iqbal seolah tau bahwa ada yang ingin disampaikan oleh Acha untuknya.

Acha bergumam pelan.

"Jangan lupa sarapan, jangan sering begadang dan kalau nggak sibuk hubungi Acha," pinta Acha.

Iqbal mengangguk. "Pasti."

"Apanya yang pasti? Sarapannya? Begadangnya atau hubungi Acha?" serang Acha seolah tak puas dengan jawaban pacarnya.

"Semuanya, Cha."

Acha mendecak pelan, masih tak puas.

"Iqbal itu bilang iya tapi kadang nggak nepatin permintaan Acha. Kalau Iqbal terus lewatin sarapan, nanti Iqbal bisa kena mag. Kalau sering begadang nanti imun Iqbal bisa turun dan kalau nggak hubungin Acaha, nanti..."

Acha menghentikan kalimatnya, seolah kehabisan kata saat itu juga.

"Nanti apa?" pancing Iqbal masih tak mengalihkan tatapannya dari Acha.

"Nanti Iqbal kangen sama Acha."

Iqbal terkekeh pelan, tanpa ragu mengangguk-angguk setuju. Iqbal kembali menghadap ke depan, menyendokan suapan terakhirnya, mengunyahnya sampai habis.

"Gampang itu," jawab Iqbal dengen enteng sembari meletakkan piringnya.

"Apanya yang gampang?"

"Kalau kangen tinggal samperin," tambah Iqbal.

Acha kembali mendengus.

"Jadi Iqbal enak, kalau kangen tinggal nyamperin Acha karena Acha nggak sibuk. Coba Acha, kalau kangen cuma bisa nahan, nggak bisa nyamperin Iqbal langsung," protes Acha mengungkapkan isi hatinya.

"Datang aja ke Apartmen," suruh Iqbal makin santai.

Kedua mata Acha langsung terbuka lebar.

"Acha tidur di Apartmen Iqbal?" tanya Acha dengan polosnya.

Iqbal tersentak mendengar pertanyaan Acha.

"Main, Cha," perjelas Iqbal.

"Oh, kirain," lirih Acha tersenyum kaku.

Iqbal menghela napas panjang sembari geleng-geleng.

"Emang di Apartmen Iqbal bisa main apa?"

Iqbal yang ingin mengambil gelas minumnya langsung membeku, pikirannya mendadak kemana-mana. Padahal Acha hanya bertanya seolah gadis itu memang ingin tau.

Iqbal lagi-lagi menghela napas panjang, merutuki dirinya sendiri. Mungkin ini efek tak siap menghadapi kesibukannya lagi. Otaknya mendadak tak fokus sesaat.

"Banyak," jawab Iqbal berusaha tetap tenang.

"Apa aja?"

"Bawa aja sapi lo, main disana," jawab Iqbal tanpa banyak pikir.

Acha terdiam sejenak, membayangkan sapi-sapinya dia bawa ke apartmen Iqbal. Acha menggaruk pelipisnya sebentar yang sedikit gatal.

"Jangan Iqbal," tolak Acha.

"Kenapa?"

"Sapi Acha suka nggak betah kalau di rumah orang lain. Kasihan sapi Acha, nanti nangis dalam hati," jawab Acha dengan raut serius.

"Yang penting pemiliknya betah kan?" pancing Iqbal.

"Hah? Gimana?" bingung Acha tak menangkap.

"Lupakan."

Iqbal segera menghabiskan segelas air putihnya sampai tak bersisa, membasahi kerongkongannya yang mendadak semakin kering beberapa detik yang lalu, dan itu semua karena Acha.

Sedangkan Acha hanya bisa mengangkat bahu, meskipun masih bingung.

"Iqbal, Acha mau cerita," lirih Acha memasang wajah sendu.

"Apa?"

Iqbal menyandarkan tubuhnya di sofa, mengistirahatkan sebentar punggunya. Ia menatap Acha yang duduk tegak dengan kedua mata menyorot penuh kebimbangan.

"Acha tadi ketemu sama Pskiater, Acha dengar kisah dokternya sampai bisa jadi Psikiater," cerita Acha.

"Terus?"

"Keren," ungkap Acha.

Iqbal berusaha untuk mengartikan tatapan dari sang pacar, membaca sorot mata Acha yang berubah berbinar-binar.

"Tertarik buat jadi Psikiater juga?" tanya Iqbal tanpa basa-basi.

"Nggak tau," jawab Acha bimbang.

"Kalau lo pengin, masuk kedokteran, habis itu ambil Spesialis kejiwaan," terang Iqbal mengarahkan.

"Acha tau. Acha harus daftar Kedokteran dulu seperti Iqbal, kuliah enam tahun, habis itu ambil spesialis dua tahun, baru Acha bisa jadi Psikiater," perjelas Acha.

Iqbal menganggukan kepalanya, mengiyakan.

"Terus?" pancing Iqbal lagi, ia tau Acha masih belum selesai mengungkapkan isi hatinya.

Acha bergumam sebentar.

"Susah nggak masuk kedokteran?" tanya Acha lirih.

"Mau jawab jujur?"

"Mau, Iqbal."

"Lo pasti keterima," jawab Iqbal tanpa ragu.

"Beneran?"

"Iya."

Acha tersenyum kecil, senang mendengar jawaban dari sang pacar.

"Kalau kuliahnya? Susah juga?" tanya Acha semakin penasaran.

"Tergantung."

"Acha ngelihat Iqbal tiap hari sibuk banget dan jarang tidur. Acha jadi ngeri sendiri."

"Banyak juga yang santai, Cha."

"Maksudnya?"

"Nggak sibuk, tidur cepat, dan main terus."

"Itu temen Iqbal di Kedokteran?"

"Iya."

"Terus kenapa Iqbal nggak kayak gitu?"

"Gue pengin cepat lulus, enam tahun terlalu lama buat gue," akuh Iqbal.

Ah... Acha mengangguk-angguk seperti anak kecil. Kini terjawab sudah, alasan semua kesibukan Iqbal dan kenapa Iqbal se-ambisius itu dengan perkuliahannya. Memang benar, enam tahun itu sangat lama.

"Apa Acha masuk kedokteran juga?" tanya Acha sangat lirih, namun dapat terdengar oleh Iqbal.

Iqbal terkekeh pelan mendengar jawaban Acha. Iqbal dapat merasakan kebimbangan sang pacar.

"Sini," pinta Iqbal, menarik lengan Acha.

Acha pun tak menolak untuk mendekatkan tubuhnya dan menyandarkannya di sofa. Acha menaruh kepalanya di bahu Iqbal. Acha dapat merasakan kenyamanan disana.

"Kalau nggak suka, jangan di paksa," pesan Iqbal sungguh-sungguh.

"Bukannya Acha nggak suka. Hanya saja, Acha nggak suka terlalu di budak sama tugas, tugas dan tugas."

Tawa Iqbal pecah untuk kesekian kalinya. Iqbal melirik Acha.

"Lo nyindir gue?" tanya Iqbal skiptis.

"Iya," jawab Acha dengan berani.

Acha menatap Iqbal sepenuhnya, menatap sang pacar lekat.

"Iqbal sesuka itu ya sama belajar?" heran Acha.

"Suka."

"Nggak bosen belajar?"

"Nggak."

Acha mendengus pelan, kembali menyenderkan kepalanya ke bahu Iqbal.

"Aneh," desis Acha.

"Apanya yang aneh?"

"Iqbal yang aneh. Dimana-mana orang itu malas belajar, lihat buku ngantuk atau ngerjain soal langsung nyerah."

"Emang lo nggak suka belajar?" tanya Iqbal balik. Tidak mungkin bukan seorang Acha yang pintar tapi malas belajar? Iqbal yakin Acha bukan titisan dukun yang mendadak bisa pintar tanpa belajar.

Acha menggeleng cepat.

"Acha nggak suka belajar, Acha cuma suka ngerjain soal-soal."

Iqbal mengerutkan keningnya.

"Bukannya sama?"

"Beda dong. Kalau belajar itu baca buku, memahami, merangkum, mengulas pelajaran. Sedangkan, jawab soal-soal, ya jawab aja," jelas Acha seenak hatinya.

Kening Iqbal semakin mengkerut, tak puas.

"Lo ngerjain soal sehari berapa jam?" tanya Iqbal.

Acha mendadak diam.

"Tiga jam kalau ingat waktu, kalau nggak ingat waktu, bisa sampai lima jam."

Iqbal menahan untuk tidak mencubit pipi Acha setelah mendengar jawaban dari sang pacar.

"Lo nggak suka baca buku?" tanya Iqbal.

"Suka," jawab Acha mengembangkan senyumnya, kakinya mulai ikut bergerak-gerak seperti anak kecil.

"Dulu kenapa suka sama Kimia?" Mungkin ini baru pertama kalinya Iqbal menanyakan alasan Acha suka dengan pelajaran Kimia setelah dua tahun pacaran dengan Acha.

Dari dulu, Iqbal hanya tau bahwa Acha memang gadis yang pintar dan sangat ahli pelajaran Kimia.

"Suka aja. Gemesin nggak sih lihat rangakaian atom, lihat reaksi-reaksi kimia, hitung berapa kadarnya. Apalagi kita bisa tau Nitrogen ketemu hidrogen jadi apa, hidrogen ketemu oksigen jadi apa. Kita bisa tau semesta ini sangat dalam dan luas. Menyenangkan bukan?"

Iqbal dapat melihat binar-binar mata Acha saat menjelaskan, menunjukan bahwa gadisnya memang sangat sesuka itu dengan dunia kimianya.

"Lumayan."

"Iqbal sendiri kenapa dulu suka Fisika?" tanya Acha ikut penasaran.

"Karena gue ingin jadi Astronot," jawab Iqbal cepat.

"Kenapa pengin jadi Astronot?"

Iqbal terdiam sebentar, mengingat kembali alasannya sangat suka dengan dunia Astronot.

"Waktu gue kecil. Gue sering tanya ke Papa. Dimana Mama? Kemana Mama? Dan, Papa selalu jawab Mama ada di atas sambil nunjuk langit. Dari situ, gue mikir. Gimana caranya gue bisa ke atas untuk nemuin Mama dan jadi Astronot jalan satu-satunya."

Bibir Acha tertutup rapat, kedua matanya mendadak terasa panas. Penjelasan Iqbal terdengar sangat tulus dan menyentuh. Acha baru tau alasan Iqbal ingin jadi Astronot ternyata sedalam ini.

Acha menatap sang pacar yang memandang lurus, menatap langit malam dengan tatapan kosong, membuat hati Acha bertambah sesak.

"Iqbal nggak nyesel sekarang nggak bisa jadi Astronot?" lirih Acha hampir ingin menangis.

Iqbal menghela napas pelan, sembari menggeleng.

"Enggak. Gue yakin, apa yang gue ambil sekarang adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan buat gue."

Acha tak bisa lagi menahan air matanya yang menetes tanpa bisa ia tahan. Acha tak menyangka Iqbal yang dingin, pendiam dan sangat cuek bisa memiliki kisah dan kata-kata menyentuh seperti sekarang.

Iqbal langsung menoleh ke Acha ketika mendengar suara isakan kecil. Iqbal terkejut melihat Acha yang menangis. Iqbal buru-buru menegakkan tubuhnya.

"Cha, kenapa nangis?" bingung Iqbal.

Acha mengeleng-geleng sembari menghapus air matanya secepat mungkin.

"Acha terharu dengar cerita Iqbal. Pasti Iqbal kangen banget sama Mama Iqbal."

Iqbal terkekeh pelan, menghapus sisa bercak air mata Acha.

"Udah, jangan nangis."

Acha mengangguk-angguk, menahan air matanya untuk tidak keluar lagi. Acha menarik napasnya panjang-panjang, menenangkan dirinya sebentar.

"Udah?" tanya Iqbal.

"Udah Iqbal, Acha nggak nangis lagi."

Iqbal mengambilkan gelas Acha, menyodorkannya.

"Minum."

Acha menerimanya dan segera menghabiskan minumnya.

"Sekarang gue yang tanya," ucap Iqbal seolah ada yang membuatnya penasaran.

"Apa Iqbal?"

Iqbal menatap Acha lebih lekat.

"Kenapa lo manggil Tante Kirana, Tante-Mama?" tanya Iqbal. Sebenarnya Iqbal pernah mendengar jawaban Acha, tapi dia sedikit lupa.

Acha tersenyum kecil, seolah pertanyaan Iqbal lucu. Mungkin, bagi Acha, Iqbal bukanlah satu-satunya orang yang bertanya seperti itu dan penasaran akan hal itu.

Dan, Acha juga senang akhirnya Iqbal bertanya tentang keluarganya. Acha kadang heran dengan Iqbal, apakah cowok itu tidak pernah penasaran dengan keluarganya?

Tapi, Acha tau, sebesar itu Iqbal menghargainya dengan tidak bertanya mengenai masalah keluarga Acha selama dua tahun terakhir ini. Padahal, jika Iqbal tanya pun. Acha akan menjawabnya dengan senang hati. Seperti sekarang.

"Karena Mama Acha bukan Mama kandung Acha. Tante Mama nikah sama Papa Acha waktu Acha masih kecil. Acha dulu nggak mau panggil Mama, Acha manggilnya Tante, tapi waktu Acha makin besar, Acha sangat sayang Tante Mama. Makanya Acha manggilnya Tante Mama sampai sekarang," jelas Acha dengan senang hati.

"Mama kandung lo kemana?" tanya Iqbal sedikit hati-hati.

Acha diam, tak langsung menjawab. Detik berikutnya, senyum Acha berubah sedikit canggung.

"Acha nggak tau. Tante Mama nggak pernah cerita."

"Lo nggak pernah tanya?"

Acha menggeleng.

"Acha takut kalau Acha tanya, nanti buat Tante Mama sedih."

Iqbal mengangguk, mengerti maksud Acha.

"Kalau Papa lo?"

"Meninggal waktu Acha masih kecil, Acha nggak banyak ingat tentang Papa Acha dan Tante Mama selalu berusaha buat Acha sebahagia mungkin dan membuat Acha merasa dengan adanya Tante Mama sudah sangat cukup bagi Acha," jawab Acha dengan tegar.

Tangan Iqbal meraih jemari Acha, mengenggamnya untuk memberi kekuatan.

"Pernah kangen sama Papa?" tanya Iqbal lagi.

"Nggak pernah," jawab Acha dengan sungguh-sungguh.

"Nggak pernah?" kaget Iqbal.

"Iya. Karena Tante Mama berhasil buat Acha merasa sangat cukup hanya dengan adanya Tante Mama. Kadang Acha bersyukur banget bisa punya Tante Mama yang sebegitu sayang ke Acha bahkan Acha merasa Tante Mama itu, Mama kandung Acha."

Iqbal mengangguk-angguk kecil, mulai paham tentang kisah keluarga Acha. Jujur, Iqbal tidak pernah berani bertanya, ia takut menyinggung Acha. Namun, dua tahun pacaran dengan Acha, Iqbal memberanikan diri untuk menanyakannya.

Untung saja, Acha mau menjawab dengan terbuka. Iqbal tidak menyangka pembicaraan mereka berdua akan sedalam ini malam ini, tidak seperti malam-malam lainnya.

"Aneh nggak sih Iqbal?" tanya Acha tiba-tiba.

"Apanya?" tanya Iqbal balik, tak mengerti.

"Tante Mama. Iqbal tau kan, Tante Mama kelihatan masih muda banget? Ya karena emang Tante Mama masih muda. Nikah sama Papa kayaknya masih umur belasan dan setelah kepergian Papa nggak mau nikah lagi. Bahkan, Acha nggak pernah lihat Tante Mama suka atau pacaran. Padahal, banyak banget yang suka sama Tante Mama, dari mulai yang masih single sejak lahir sampai duda," curhat Acha.

"Mungkin emang nggak mau," jawab Iqbal enteng.

"Bener juga sih. Mungkin juga karena udah terkontaminasi dengan dunia oppa-oppa koreanya juga. Tante Mama kan addict banget sama hal-hal berbau korea," seru Acha menggebu.

Iqbal terkekeh pelan, mengangguk setuju.

"Anehnya lagi, kok bisa ya Tante Mama se-sayang itu ke Acha? Nggak pernah benci ke Acha, nggak pernah perlakuin Acha dengan buruk dan selalu ngertiin Acha. Seolah hidupnya hanya demi Acha," lanjut Acha mengutarakan kebimbangannya selama ini.

"Berarti Tante Kirana beneran sayang sama lo," balas Iqbal.

"Bisa gitu? meskipun bukan sedarah?"

"Bisa. Gue contohnya," akuh Iqbal dengan berani.

Acha menahan untuk mengembangkan senyumnya.

"Iqbal se-sayang itu juga ke Acha?" tanya Acha malu-malu.

"Iya."

Acha dapat merasakan genggaman Iqbal yang semakin erat di tangannya.

"Buktinya mana?" tanya Acha menggeliat dengan manja.

"Mau bukti apa?"

Acha berpikir sebentar.

"Kalau Acha tenggelam, Iqbal mau nolongin?"

"Lo bisa berenang," jawab Iqbal dengan logisnya.

Senyum di wajah Acha langsung hilang, berubah dengan rasa sebal. Tidak bisakah pacarnya ini romantis sebentar?! Sedangkan, Iqbal terkekeh puas melihat wajah kesal Acha.

Kepala Acha tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Acha lebih mendekat ke Iqbal.

"Iqbal," panggil Acha.

"Hm?"

"Kalau semisal, Acha selingkuh, Iqbal marah nggak?"

"Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?"

Acha menatap ke genggaman tangan Iqbal yang semakin terasa lebih erat dari semula. Acha kembali menatap Iqbal, kedua mata Iqbal menyorot sangat dalam.

"Semisal aja."

"Ada cowok lain yang lo suka?" tanya Iqbal, suaranya terdengar lebih berat.

Acha menggeleng cepat.

"Nggak ada, sumpah Iqbal. Acha nggak suka sama siapapun kecuali Iqbal."

"Terus kenapa tanya kayak gitu?"

Acha meneguk ludahnya dengan susah payah, suara Iqbal mendadak terasa dingin dan membuatnya sedikit merinding.

"Acha nggak jadi tanya, maafin Acha Iqbal," ralat Acha secepat mungkin.

Genggaman tangan Iqbal melepas, helaan napas berat terdengar jelas di telinga Acha. Iqbal kembali menyenderkan tubuhnya di sofa, mengalihkan pandangannya dari Acha.

Acha mendesis kesal, merutuki pertanyaan bodohnya. Ia baru membuat danau yang tenang menjadi beriak. Acha lupa sesaat, bahwa sosok Iqbal sekarang mulai lebih sensitif jika Acha menyinggung cowok lain apalagi cowok yang bernama Juna.

Acha melirik ke Iqbal, cowok itu mulai sibuk memainkan ponselnya, mendiamkannya.

Acha menghela napas pelan-pelan, menenangkan dirinya sebentar. Kemudian, mendekat ke Iqbal, menyandarkan kepalanya ke bahu Iqbal dan memberanikan diri melilitkan tanganya ke pinggang Iqbal.

"Iqbal marah ya ke Acha?" tanya Acha.

"Nggak."

"Maafin Acha. Acha beneran cuma tanya semisal aja. Acha nggak suka sama cowok lain."

"Gue tau."

Acha mendesah berat, permintaan maafnya sepertinya belum mempan untuk mengembalikan mood Iqbal.

"Berhenti main ponselnya, lihat Acha," rajuk Acha.

Iqbal langsung menurut, memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, kemudian menoleh ke Acha.

"Jangan marah," pinta Acha sungguh-sungguh.

Iqbal menatap Acha lebih lekat, keduanya sama-sama terdiam beberapa saat. Hanya saling memandangi satu sama lain, mencoba membaca arti tatapan masing-masing.

"Lo mau tau jawaban gue," ucap Iqbal serius.

"Hah?" bingung Acha, kegugupannya bertambah.

"Seperti jawaban lo dulu. Gue akan maafin semua kesalahan lo, kecuali selingkuh."

Acha seperti merasakan dadanya tertusuk sesuatu yang menyakitkan. Terasa sangat sesak dan perih. Meskipun, hal itu tidak terjadi, tapi Acha tak bisa membayangkan jika Iqbal marah besar kepadanya sampai meninggalkannya.

Jujur, Acha tak sanggup itu.

"Acha nggak mau kehilangan Iqbal. Acha sayang sama Iqbal," akuh Acha sejujur-jujurnya.

"Apapun bisa di cari solusinya, tapi enggak dengan selingkuh. Yang menandakan, hati lo udah nggak hanya buat gue, Cha."

Acha jarang sekali melihat tatapan serius Iqbal seperti ini. Sangat menakutkan. Mungkin, terakhir Acha melihatnya waktu dia ketahuan bohong di rumah sakit.

Acha mengigit bibir bawahnya, menahan kegugupannya.

"Acha tau Iqbal, maaf."

"Dan itu berlaku buat gue juga, Cha," perjelas Iqbal.

"Iya Iqbal. Acha nggak akan pernah selingkuh. Acha juga yakin, Iqbal nggak akan selingkuh dari Acha."

"Lebih baik lo putusin gue, kalau lo udah ngerasa bosan atau nggak suka lagi sama gue."

Acha langsung menjauhkan tubuhnya dari Iqbal, menegakkannya.

"Iqbal!! Kok gitu bilangnya! Acha nggak pernah bosan sama Iqbal. Acha selalu suka sama Iqbal! Acha sayang banget sama Iqbal," bentak Acha mendadak kesal.

"Gue juga akan putusin lo, kalau gue ngerasa bosan atau nggak suka lagi sama lo."

Acha langsung membeku ditempat, ucapan Iqbal barusan benar-benar terasa menyakitkan. Entah cowok itu hanya melampiaskan marahnya ke Acha secara tersirat atau bagaimana. Acha tidak tau.

Untuk kedua kalinya, Acha merasakan kedua matanya memanas saat itu juga. Ia seperti baru saja diputuskan beneran oleh Iqbal.

Acha merasakan dadanya semakin sesak, perlahan Acha tertunduk.

Acha tidak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Bibirnya terasa keluh. Berbagai kalimat ingin sekali ia rangkai untuk membalas ucapan Iqbal. Tapi Acha tidak bisa. Kepalanya mendadak terasa kosong.

Acha tak menyangka pembicaraan mereka yang awalnya terasa manis, akan berakhir sedingin ini. Dan, itu semua karena kesalahannya sendiri.

Terjadi keheningan cukup lama diantara keduanya. Baik Acha dan Iqbal sama-sama membungkam.

"Maaf."

Dan satu kata itu yang memecah keheningan diantara mereka. Kata itu yang keluar dari bibir Iqbal dan Acha secara bersamaan.

Kepala Acha semkin tertunduk mendengar suara permintaan maaf Iqbal, bukan hanya bibirnya saja.

Iqbal dapat melihat punggung Acha sudah bergetar, gadis itu telah menangis. Iqbal menghela napas pelan, segera menegakkan tubuhnya, dan mendekatkan diri ke Acha.

"Hei," panggil Iqbal lembut, perlahan Iqbal menarik tubuh Acha ke dalam dekapannya, memeluk gadisnya dengan erat sebagai permintaan maafnya.

Saat itu juga tangis Acha semakin pecah dalam pelukan Iqbal. Acha tidak peduli jika sikapnya berlebihan atau kekanak-kanakan. Karena memang seperti ini Acha dan sebesar ini rasa cintanya ke Iqbal.

"Acha nggak suka Iqbal bilang kayak gitu, Acha nggak mau putus dari Iqbal, Acha sayang banget sama Iqbal, Acha nggak akan pernah bosan sama Iqbal dan Acha juga nggak akan selingkuh dari Iqbal," racau Acha meluapkan kekesalannya.

Iqbal membelai rambut Acha dengan lembut, mendengarkan semua perkataan sang pacar.

"Iqbal tau nggak seberasa sayangnya Acha sama Iqbal? Seandainya Iqbal nggak bisa berenang dan Iqbal tenggelam, Acha mau tenggelam juga dan nolongin Iqbal walaupun Acha nggak bisa berenang."

"Cha, udah."

"Acha juga rela lakuin apa aja yang Iqbal suruh walau taruhannya nyawa Acha. Acha mau. Acha nggak bisa bayangin hidup Acha nggak ada Iqbal. Dari awal, Acha suka sama Iqbal, Acha memang benar-benar suka. Makanya, Acha ngejar Iqbal sampai segitunya, Acha pengin Iqbal jadi milik Acha. Karena Acha beneran sayang sama Iqbal."

Iqbal langsung melepaskan pelukanya, menatap Acha dengan sangat lekat.

"Cha, lihat gue," perintah Iqbal, suaranya terdengar lebih berat.

Acha mengatur suara isakannya sejenak, perlahan mendongakkan kepalanya, memberanikan diri untuk melihat Iqbal. Acha dapat menangkap sorot mata tajam dari Iqbal.

"Jangan pernah taruhin nyawa lo buat gue. Jangan melakukan hal bodoh hanya karena gue," ucap Iqbal serius.

Bibir Acha bergetar, menahan takut.

"Tapi, Acha beneran sayang sama Iqbal. Acha be..."

"Nggak gitu caranya, Cha. Sayangi diri lo sendiri baru orang lain. Mengerti?"

Acha tak bisa menjawab, hal seperti itu sepertinya belum ada di kamus hidupnya.

"Jawab gue, Natasha," tegas Iqbal.

"Nge... ngerti Iqbal," jawab Acha pasrah.

"Janji sama gue."

Acha kembali diam, tak berani membalas.

"Cha," panggil Iqbal dengan nada memohon yang berhasil membuat hati Acha melemah.

"Iya, Acha janji bakalan sayang diri Acha terlebih dahulu dan nggak akan taruhin nyawa Acha demi Iqbal," ucap Acha sedikit terbata-bata.

Acha mengusap air matanya, isakanya sudah mulai terhenti.

"Udahan marahnya, Acha minta maaf, Iqbal," pinta Acha sembari menangkupkan kedua tanganya, seperti anak kecil yang tengah mengaku kesalahannya.

"Gue nggak marah, Cha."

Yah, Iqbal memang tidak marah. Dia hanya kesal sesaat saja mendengar pertanyaan Acha tentang selingkuh, membuatnya membayangkan Acha dengan cowok lain hingga tak bisa menahan diri untuk melampiaskan jawaban logisnya ke Acha.

Dan, bukan hanya Acha yang sangat menyukai Iqbal dan tidak mau kehilangan Iqbal. Sebaliknya, Iqbal pun sangat sayang ke Acha dan ingin gadis itu selalu ada di sampingnya.

"Maafin Acha, Iqbal," lirih Acha sungguh-sungguh.

Iqbal mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Acha dengan lembut. Merasa sangat bersalah telah membuat Acha menangis seperti ini.

"Gue juga minta maaf," sesal Iqbal.

Acha mengangguk cepat. Acha mengenggam tangan Iqbal yang menempel di pipinya.

"Iqbal," panggil Acha lirih, menahan untuk tidak menangis lagi.

"Iya?"

"Jangan berhenti suka sama Acha ya."

"Iya Cha."

"Iqbal janji ya, terus sayang sama, Acha," pinta Acha.

"Iya Natasha."

Acha menurunkan tangannya, hatinya melegah. Bibir Acha mengerucut.

"Padahal tadi penginnya cuma cerita tentang dokter yang Acha temuin, malah bahasnya kemana-mana dan Acha nangis jadinya," cemberut Acha.

Iqbal tersenyum kecil, mencubit pipi Acha pelan.

"Yang salah siapa?"

"Acha," jawab Acha mengakui.

Iqbal menghela napasnya pelan, menurunkan tanganya untuk kembali mengenggam tangan Acha. Kemudian, menciumnya cukup lama dan berhasil membuat Acha terkejut dengan sikap tak terduga Iqbal.

"Bukti aku sayang kamu, Natasha." 

****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? SUKA NGGAK?

DARI KEMARIN YANG TANYA PENGIN SCENE ACHA DAN IQBAL UDAH TEROBATI KERINDUANNYA? PART INI HAMPIR FULL DENGAN MEREKA BERDUA ^^

BAGAIMANA PERASAAN KALIAN WAKTU BACA PART INI? NYESEK? DEG-DEGAN? BAPER? ATAU NANO-NANO? ^^

PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA?

PART SELANJUTNYA BAKALAN LEBIH BIKIN DEG-DEGAN LOH DAN BIKIN SENAM JANTUNG^^

JADI, WAJIB BANGET BUAT TUNGGUIN PART SELANJUTNYAAA ^^ 

DAN, SAMPAI BERJUMPA DI PART SELANJUTNYAA JUMAT DEPAN YAAA ^^

SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA SELALU BACA MARIPOSA 2 DAN SUPPORT MARIPOSA 2 ^^

Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian, saudara-saudara kalian dan keluarga kalian untuk baca MARIPOSA 2 ^^

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE di part ini. Karena selalu paling ditunggu biar Authornya tambah semangat nulisnya ^^

MAKASIH BANYAAK SEMUAAANYAAA DAN SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN YAA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro