Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 - Tuan putri

Assalamualaikum teman-teman semua. Alhamdulillah aku bawa Mariposa 2 lagi ^^

Siapa yang nggak sabar buat baca Mariposa 2 part 38 ?

Tunjukan emoji Sapi kalian yang sudah siap baca Part ini ^^

SUDAH SIAP BUAT KASIH KOMEN KREATIF KALIAN DAN KOMEN LUAR BIASA KALIAN DI PART INI? 

Sebelum baca, aku mau tanya ke kalian, penting banget ^^

"KALAU AKU BUKA Pre-Order ke 2 EBOOK SNAPSNIP GENG MULTINASIONAL, SETUJU NGGAK?"

Kalau banyak yang setuju, Segera aku diskusikan dengan TIM Aku yaa ^^ 

DAN SELAMAT MEMBCA MARIPOSA 2.  SEMOGA SUKAAA ^^ 

****

"Pilih sayang sama aku atau cinta sama aku?"

Acha terdiam sesaat, kaget sekaligus heran mendengar pertanyaan Iqbal yang tak terdua. Iqbal yang di kenal Acha jarang menanyakan hal seperti ini. Sedikit menakjubkan buat Acha.

"Bedanya apa?" bingung Acha.

"Nggak tau," balas Iqbal dengan santai-nya.

Acha berdecak pelan.

"Terus ngapain Iqbal tanya?"

"Pengin aja."

Acha menghela napas panjang, berusaha tak kaget dengan sikap Iqbal yang kadang-kadang bisa random, seperti sekarang. Acha mencoba mempertimbangkan matang-matang untuk menjawab pertanyaan Iqbal.

"Acha pilih cinta," jawab Acha dengan yakin.

"Kenapa?"

"Kalau cinta, udah pasti sayang, kan?"

"Entahlah."

Iqbal perlahan menjauhkan tubuhnya dari Acha, sebenarnya ia hanya iseng saja bertanya kepada Acha seperti tadi.

Acha mendesis pelan, siapa yang tanya, siapa yang bingung.

"Kalau Iqbal sendiri gimana?" tanya Acha balik.

"Apa?"

"Pilih sayang sama Acha atau cinta sama Acha?"

"Dua-duanya," jawab Iqbal enteng.

"Kok gitu? Harus pilih dong," protes Acha tak terima.

"Kalau bisa pilih dua-duanya, kenapa harus satu?"

Wah! Acha melengos tak percaya dengan jawaban Iqbal. Ia tidak tau harus senang atau kesal mendengar jawaban sang pacar. Acha menatap Iqbal yang tengah terkekeh puas karena raut wajahnya yang menunjukan ke-tidak-terimaan.

"Kalau gitu Iqbal buktiin," tegas Acha.

"Bukti apa?" bingung Iqbal.

"Kalau Iqbal sayang dan cinta sama Acha?"

Iqbal terdiam sebentar, tatapanya mencoba menerebos lebih dalam di kedua manik mata Acha. Senyum Iqbal mengembang, perlahan tangan Iqbal terlur menyentuh pipi kanan Acha, mencubitnya pelan.

"Bukannya aku setiap hari selalu berusaha buktiin ke kamu?"

****

Posisi Matahari semakin tinggi, sinarnya mulai terasa lebih panas. Iqbal dan Acha menyudahi piknik santai mereka, membereskan barang-barang mereka dan memasukannya kembali ke dalam paper-bag.

"Udah di masukan semua, kan, Iqbal?" tanya Acha memastikan lagi tidak ada yang ketinggalan.

Iqbal mengangguk singkat. "Iya."

Acha menoleh ke Iqbal.

"Langsung ke tujuan berikutnya?" tanya Acha memastikan.

"Terserah."

"Iqbal nggak capek, kan?" tanya Acha lagi.

"Nggak."

Acha bersorak senang, langsung mendekati sang pacar dan merangkul lengan Iqbal dengan erat.

"Ayo ke taman hiburan!" seru Acha bersemangat.

Keduanya pun hendak beranjak, namun pandangan Acha tiba-tiba tertuju ke arah sebuah rumah kecil yang ada di belakang kebun. Acha sontak menghentikan langkahnya dan menunjuk ke arah rumah kecil itu.

"Itu rumah apa, Iqbal?" tanya Acha ingin tau.

Iqbal mau tak mau ikut menghentikan langkahnya, menoleh ke arah telunjuk Acha.

"Rumah rahasia Kak Ify," jawab Iqbal.

Acha mengerutkan kening.

"Rumah rahasia?" takjub Acha.

"Hm, waktu kecil Kak Ify suka sembunyi disana kalau lagi ngambek atau selesai di marahi Papa," jelas Iqbal.

Acha tertawa mendengarnya, seolah hal tersebut sangatlah menggemaskan. Acha jadi penasaran apa yang ada di dalam rumah rahasia itu.

"Boleh kesana, nggak?" tanya Acha penuh harap.

"Boleh," jawab Iqbal tanpa ragu.

Acha bersorak senang seperti anak kecil, mereka berdua pun berjalan ke arah rumah kecil tersebut. Acha semakin tidak sabar mengetahui apa saja yang ada di dalam rumah rahasia Ify.

****

Entah sudah berapa kali Acha dibuat kagum dengan rumah lama Iqbal ini. Bahkan, rumah rahasia Ify yang space-nya kecil terlihat sangat cantik dan bersih. Semua barang tertata rapi dan tak berdebu sama sekali.

Rumah kecil ini seperti sebuah kamar, ada kasur kecil dan sofa kecil serta karpet yang menyelimuti lantainya. Pandangan Acha tertuju ke sebuah mainan komedi putar mini berwarna merah muda. Acha mendekati mainan itu.

"Wah, lucu banget," decak Acha ingin sekali memilikinya.

Iqbal melihat Acha dari kejauhan, tersenyum simpul melihat raut Acha yang menggemaskan.

"Mau?" tawar Iqbal.

Acha sontak menoleh ke Iqbal.

"Emang boleh Acha bawa pulang?" tanya Acha semangat.

"Nggak boleh," jawab Iqbal cepat.

Acha mendecak sinis, merasa di beri harapan palsu oleh Iqbal.

"Kalau nggak boleh, ngapain nawarin Acha?" gerutu Acha sengaja.

Iqbal tertawa mendengarnya, ia melangkah mendekati sang pacar, berdiri disebalahnya.

"Maksudnya mau aku beliin?" perjelas Iqbal.

Wajah sebal Acha langsung hilang seketika, ia kembali menoleh ke Iqbal.

"Mau. Tapi mainan komedi putar mini-nya yang bentuknya sapi jangan kuda seperti ini," jawab Acha dengan tambahan request anehnya.

Iqbal mendadak diam, mencerna baik-baik jawaban sang pacar.

"Harus sapi, ya?" tanya Iqbal dengan lugunya.

"Nggak harus sih, tapi kan Acha sukanya sapi bukan kuda," jawab Acha lagi.

Iqbal menghela napas pelan, mendadak menyesali tawarannya.

"Boleh ditarik nggak tawaranya?" tanya Iqbal sangat lirih namun cukup terdengar di kedua telinga Acha.

Acha tak segan memberikan pelototan tajam.

"Iqbal!" pekik Acha kesal.

Iqbal terkekeh pelan melihat raut cemberut Acha, ia mengacak-acak pelan rambut gadisnya.

"Yaudah," ucap Iqbal dengan enteng.

"Apanya yang yaudah?" ketus Acha.

"Aku beliin."

Acha melirik dengan tatapan masih tak percaya.

"Beneran?"

"Iya."

"Yang mainannya sapi, kan?" tanya Acha seperti bocah kecil request akan mainan-nya.

"Iya Natasha."

Acha akhirnya bisa mengembangkan senyumnya, sembari mengangkat kedua jempolnya, senang mendengarkan jawaban Iqbal.

Dalam benak Iqbal, mengiyakan terlebih dahulu adalah pilihan paling aman. Urusan nanti mencari komedi putar mini sapi adalah belakangan. Iqbal bisa meminta bantuan Glen ataupun Abdi, sang manusia bisa segalanya.

*****

Acha duduk di sofa, asik larut dengan komik yang dibacanya. Ia tak sengaja menemukan tumpukan komik detektif conan lengkap dari Vol 1 – 50. Acha dari dulu ingin sekali membaca komik ini, tapi tidak pernah ada waktu karena sibuk mempersiapkan olimpiade-nya dan lebih mementingkan merawat boneka sapinya.

"Pembunuhnya siapa, sih?" decak Acha semakin hanyut ke cerita yang di bacanya hingga tak menyadari bahwa Iqbal terus menatapnya.

Iqbal merapikan beberapa helai rambut Acha yang menutupi kening gadis itu.

"Nggak jadi ke taman hiburan?" tanya Iqbal lirih.

Acha diam tak menjawab. Ia terlalu fokus dengan komiknya hingga tak menyadari pertanyaan Iqbal.

"Cha, nggak jadi ke taman hiburan?" ulang Iqbal lagi.

Untuk kedua kalinya, Acha tak menjawab. Kening gadis itu malah berkerut, tatapanya lebih serius membaca komik di tangannya. Iqbal menghela napas pelan, berusaha sabar.

"Sayang," panggil Iqbal dengan lembut.

Dan panggilan tersebut ternyata berhasil membuat Acha teralihkan, menyadarkan dirinya. Acha menoleh ke Iqbal dengan pipi merona. Sudah lama, Acha tidak mendengar Iqbal memanggilnya seperti itu.

"Kenapa Iqbal?" tanya Acha dengan lugunya, tak merasa bersalah.

Iqbal mendecak pelan, detik berikutnya tersenyum.

"Nggak jadi ke taman hiburan?" tanya Iqbal entah sudah berapa kalinya.

"Jadi!" seru Acha hampir lupa dengan tujuan berikutnya.

Acha menutup komik di tangannya, menumpuknya di tempat semula. Iqbal ikut berdiri, menunggu Acha di dekat pintu.

"Iqbal," panggil Acha sebelum cowok itu beranjak keluar.

"Hm?"

"Kapan-kapan kesini lagi ya. Acha suka tempat ini," pinta Acha.

Iqbal memundurkan langkahnya, meraih tangan Acha untuk ia genggam. Iqbal mengangguk singkat.

"Iya."

Kemudian keduanya beranjak dari rumah Iqbal. Mereka berdua menuju ke taman hiburan, melawan siang yang cukup panas. Tak ada rasa lelah bagi Acha maupun Iqbal. Mereka berdua sangat menikmati kencan hari ini.

****

Acha sesekali melirik ke tangannya yang terus di genggam oleh Iqbal, mungkin hari ini menjadi hari paling lama Iqbal menggenggam tangannya setelah sekian lama. Acha menatap wajah Iqbal dari samping, tatapan cowok itu lurus dan terlihat sangat tenang.

Mereka berdua sudah masuk ke dalam taman hiburan. Karena hari ini bukanlah week-end, taman hiburan tidak terlalu ramai.

"Mau kemana?" tanya Iqbal menyadarkan lamunan Acha.

Acha bergumam pelan sembari mengedarkan pandangnya.

"Masuk rumah hantu, gimana?"

"Berani?" tanya Iqbal balik.

Acha memarkerkan deretan giginya sembari menggelengkan kepala.

"Nggak berani. Tapi, kan ada Iqbal."

"Yang lain aja," ucap Iqbal cepat, tak ingin mengambil resiko mendengar Acha jejeritan bahkan sampai pingsan.

Acha mendecak pelan, mencari wahana yang menarik untuknya. Tatapan Acha berhenti ke sebuah wahana yang tinggi. Acha menunjuknya.

"Bianglala, gimana?"

Glup! Iqbal terdiam sesaat, kedua matanya mengerjap kaku.

"Kenapa harus bianglala?" tanya Iqbal balik.

"Ya, karena bianglala wahana yang paling nggak nakutin. Dibangingkan roller coaster apalagi tornado. Wah! Acha nggak berani," jelas Acha panjang lebar.

Iqbal berdeham ragu.

"Oke," jawab Iqbal sedikit berat.

Acha dengan cepat menarik tangan Iqbal, menaiki wahana Bianglala kesukaannya. Namun, tidak dengan Iqbal, tubuhnya langsung menegang ketika wahana bianglala yang dinaikinya mulai berjalan.

Iqbal langsung mencari pegangan, berusaha menetralkan detakan jantungnya yang lebih cepat. Iqbal tidak ingin Acha menyadari bahwa dia sedang takut.

Dan, memang benar. Acha sama sekali tidak menyadari. Acha terlalu asik dengan keindahan yang di lihatnya dari tempatnya berada sekarang. Bianglala semakin naik hingga sampai ke puncak. Acha tak berhenti berdecak kagum, saking takjubnya Acha menghentak-hentakan kakinya hingga membuat bianglala-nya sedikit goyang.

"Cha! Jangan gerak!" teriak Iqbal tak bisa lagi menyembunyikan ketakutannya.

Acha langsung menatap Iqbal bingung. Acha memperhatikan Iqbal yang sedikit pucat dan duduk sangat kaku di tempatnya. Acha menahan untuk tidak tertawa.

"Iqbal takut?" tanya Acha.

Iqbal menggeleng kepala, tak mau mengaku.

"Beneran?" goda Acha.

"Hm."

Acha memberikan seringai picik, Acha tiba-tiba dapat ide untuk mengerjai Iqbal. Perlahan Acha berdiri dari duduknya, membuat Iqbal mulai was-was sendiri.

"Beneran Iqbal nggak takut?" tanya Acha sekali lagi.

"Nggak," jawab Iqbal singkat.

Acha mengangguk-anggukan kepala sekali, kemudian dengan sengaja Acha melompat-lompat seperti anak kecil, membuat bianglala yang mereka naiki bergoyang-goyang.

Iqbal menatap Acha dengan kedua mata terbuka sempurna, napasnya langsung tercekat. Iqbal benar-benar sangat takut.

"Cha berhenti!" pinta Iqbal baik-baik.

"Nggak mau! Katanya nggak takut?" ledek Acha sengaja.

"Cha, aku mohon."

"Nggak mau!!"

"Natasha."

Iqbal menghela napasnya dengan gusar, Acha sama sekali tak mau mendengarkan permintaannya. Gadis itu tertawa semakin puas melihat penderitaannya. Jangan di tanya bagaimana kondisi Iqbal saat ini, keringan dingin sudah membasahi pelipisnya.

Iqbal pun memilih memper-erat pegangannya, menutup kedua matanya pelan-pelan dan mengatur napasnya sejenak. Iqbal berusaha menenangkan dirinya sendiri.

*****

Iqbal langsung keluar duluan dari Bianglala, meninggalkan Acha begitu saja. Acha berusaha mengejar sang pacar, langkah Iqbal menadak sangat cepat, bahkan Iqbal sama sekali tidak menunggu Acha.

"Iqbal," panggil Acha.

Iqbal masih saja terus bejalan, tidak mau berhenti. Acha melengos pasrah, sepertinya Iqbal kesal karena kejadian tadi.

Acha memilih berlari agar bisa mengejar Iqbal. Ketika berhasil menyamai langkah dengan sang pacar, Acha segera merangkul lengan Iqbal, menatap cowok itu yang memang terlihat sangat kesal.

"Marah ya?" tanya Acha sedikit takut.

Iqbal menghela napas panjang, menghentikan langkahnya saat itu juga. Iqbal menghadap ke Acha penuh.

Sebelum Iqbal membuka suaranya, Acha segera menangkupkan kedua tangannya.

"Pacar Acha yang paling baik dan tampan. Acha ngaku salah. Acha minta maaf. Jadi, sebagai pacar yang katanya selalu sayang dan cinta ke Acha, nggak boleh marah, ya."

Iqbal mengerutkan kening, mencerna baik-baik ucapan Acha yang panjangnya hampir mengalai gerbong kereta.

"Kalau aku marah, gimana?" tanya Iqbal sengaja.

Acha langsung cemberut, menurunkan kedua tangannya.

"Nggak boleh marah, nanti kalau Iqbal marah, Acha sedih. Iqbal mau Acha sedih?"

Iqbal diam saja, tak berniat menjawab. Bibir Acha semakin maju.

"Nggak berhasil ya, rayuan Acha?" tanya Acha hampir menyerah.

Iqbal mendekat satu langkah, mengembangkan senyum tipis.

"Berhasil," jawab Iqbal.

"Beneran?" tanya.

Iqbal mengangguk, tanganya bergerak menyentuh rambut Acha, membelainya lembut dengan senyum yang masih bertahan di bibirnya.

"Aku nggak mau tuan putri sedih."

*****

Tak terasa sudah mulai petang, langit menampakkan senjanya. Acha dan Iqbal keluar dari Taman hiburan. Setelah berkeliling Taman Hiburan, menaiki berbagai macam wahana akhirnya energi mereka berada di titik lemahnya. Iqbal mengajak Acha untuk makan.

Acha pun menurut saja, ia juga merasa lapar dan butuh mengembalikan energinya.

****

Acha sedikit bingung karena Iqbal mengajaknya ke restoran yang tak pernah mereka datangi. Acha sangat hapal kebiasan Iqbal yang sukanya makan di tempat itu-itu aja, malas mencari restoran yang baru atau tidak dikenalnya.

Namun, malam ini Iqbal mengajaknya ke sebuah restoran yang menurut Acha cukup mewah dan pastinya mahal.

"Iqbal, beneran makan disini?" tanya Acha ragu, memelankan langkahnya.

"Iya."

"Nggak mau makan di tempat biasa, gitu?" tanya Acha lagi.

"Tempat biasa?" bingung Iqbal.

"Di restoran jepang kesukaan Iqbal."

"Nggak pengin makan sushi," ucap Iqbal.

"Gimana kalau makan Nasi padang?" tawar Acha dengan semangat.

Iqbal menghela napas berat, langkahnya terhenti saat itu juga.

"Aku nggak suka nasi padang, Cha," ucap Iqbal berusaha sabar.

Acha mengerutkan kening.

"Sejak kapan Iqbal nggak suka nasi padang?" heran Acha.

Iqbal terdiam, mendadak tak bisa menjawab.

"Makan disini aja."

"Mahal," tekan Acha lirih agar Iqbal saja yang bisa mendengarnya.

"Aku pengin makan steak, Cha," ucap Iqbal memberikan alasannya.

Acha melengos pasrah, tak bisa lagi membantah. Yah, meskipun setiap keluar atau makan pasti Iqbal yang bayar tapi Acha juga masih tau diri. Apalagi hari ini Iqbal sudah mengabulkan banyak permintaannya.

"Ya udah tuan putri nurut."

Iqbal terkejut sesaat ketika mendengarnya, detik berikutnya ia terkekeh pelan sembari mengacak-acak kepala Acha dengan gemas.

"Ayo masuk."

****

Acha melihat Iqbal yang tengah sibuk memilih menu di sebuah Ipad yang di sediakan pada setiap meja. Acha masih tak bisa menghilangkan senyumnya karena teringat ucapan Iqbal yang menyebutnya 'Tuan Putri'. Jika diingat lagi, sudah lama Iqbal tidak menyebutnya seperti itu.

"Iqbal," panggil Acha.

"Hm?" balas Iqbal singkat, masih fokus memilih menu.

"Iqbal," panggil Acha lagi lebih kencang.

Iqbal menghentikan aktivitasnya sejenak, mendongakkan kepalanya untuk menatap sang pacar.

"Kenapa?"

Acha mengembangkan senyumnya.

"Tuan putri haus," ucap Acha sengaja.

Iqbal menunjuk ke gelas berisakan air putih di samping Acha.

"Air putih," ucap Iqbal.

"Bukan haus pengin minum," rajuk Acha.

"Terus?" bingung Iqbal.

Acha menopang kedua tanganya sebagai penyangga dagunya, kemudian mendekatkan sedikit tubuhnya dengan tatapan lekat menyotor ke Iqbal.

"Tuan putri haus kasih sayang," seru Acha melawan rasa gelinya sendiri.

Iqbal terkejut bukan main mendengar pernyataan Acha, sedikit merinding. Iqbal geleng-geleng, tak berniat menyahuti ucapan Acha barusan. Iqbal menuangkan air putih di gelasnya sendiri sampai penuh, kemudian menghabiskannya.

Acha tertawa puas melihat Iqbal yang terlihat kelimpungan karena ucapannya. Apalagi saat mendapati pipi Iqbal merona.

"Kok Pipi Iqbal merah?" tawa Acha dengan puas.

Iqbal langsung menyentuh pipinya, hangat.

"Gerah," jawab Iqbal beralasan.

Acha mengangguk-angguk mencoba percaya, tidak lagi melanjutkan untuk menggoda Iqbal. Bisa-bisa seluruh wajah Iqbal berubah mereah seperti kepiting rebus.

Acha membiarkan Iqbal untuk fokus memesan menu makanan. Kali ini bukan Acha yang memesan seperti biasa, karena Acha baru pertama kali datang ke restoran ini.

Acha mengedarkan pandangannya. Malam ini restoran tidak ramai, hanya ada tiga meja yang terisi. Acha suka dengan design restoran yang bertema klasik, lantai full marmer dan cat mengkilap perpaduan warna emas dan cokelat tua.

Apalagi ornamen di setiap sudut restoran di penuhi lampu gantung. Menambah kesan romantis. Namun dari semua itu, yang paling Acha sukai adalah view di restoran ini. Acha menoleh ke luar jendela, yang langsung menampakkan keindahan gemerlap lampu ibu kota.

"Iqbal kenapa ngajaknya ke restoran ini?" tanya Acha masih ingin tau.

"Steak-nya enak," jawab Iqbal singkat.

"Dikasih tau siapa restoran ini?" tanya Acha lagi.

"Abdi," jawab Iqbal lagi.

Acha mengerutkan kening, seolah pernah dengar nama itu.

"Abdi teman kelas Iqbal di kedokteran?"

"Hm."

Acha manggut-manggut mengerti.

"Sense-nya bagus, pintar kasih saran restoran," akuh Acha.

Iqbal memberikan seringai remeh ketika Acha memberikan pujian 'pintar' kepada Abdi.

"Jangan puji cowok lain."

Acha tertegun sesaat, ia menatap Iqbal yang masih fokus ke buku menu. Acha menahan untuk tidak tertawa.

"Bahagianya Acha punya pacar yang pintar, cakep, baik hati, penyayang dan cemburuan!"

Iqbal langsung menatap Acha tajam.

"Aku nggak cemburu," sangkal Iqbal.

"Bahagianya Acha punya pacar yang pintar, cakep, baik hati, penyayang dan gengisian," ralat Acha cepat.

Iqbal menghela napas pelan, membiarkan saja Acha menang. Iqbal meletakan ipad di tempat semula, ia sudah selesai memesan.

Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Iqbal memesan dua beef tenderloin dan dua beef serloin, satu ribeye dan dua lemon squash kesukaan Acha.

"Wah," decak Acha kagum melihat semua steak di hadapannya yang telihat menggoda. Baik rasa dan juga harganya pasti.

Acha tidak ingin tau berapa harganya karena Acha bisa menduga satu piring steak ini pasti harganya lebih dari lima ratus ribu.

Acha baru saja akan memotong steak-nya, namun Iqbal lebih dulu menarik piringnya kemudian meletakkan steak yang sudah di potongkan Iqbal.

"Makasih pacar," ucap Acha tersentuh.

"Makan," suruh Iqbal.

"Iya."

Dengan lahap Acha menghabiskan satu piring steak tersebut. Benar kata Iqbal, steak di restoran ini sangatlah enak. Dagingnya yang empuk dan juicy dengan mudahnya meleleh di mulut Acha.

Jangan di bayangkan, nanti kalian ngiler!Slurp!

"Enak?" tanya Iqbal melihat Acha tak berhenti mengunyah.

Acha mengangguk semangat sembari mengangkat kedua jempolnya.

"Enak banget Iqbal," jujur Acha.

"Mau kesini lagi?"

Acha langsung menggeleng tanpa ragu.

"Nggak."

"Kenapa?"

Acha tersenyum canggung.

"Terlalu mahal. Acha pilih makan nasi padang aja," jawab Acha dengan lugunya.

Iqbal langsung menghentikan aktivitas makannya, meletakkan garpu dan pisaunya sedikit keras.

Iqbal menatap Acha dengan sorot mata dingin.

"Mau kabulin permintaan aku, nggak?" tanya Iqbal serius.

"Apa?" bingung Acha.

"Nggak usah makan nasi padang lagi."

"Nggak mau! Nasi padang kan enak," tolak Acha cepat. "Iqbal nggak boleh gitu. Nasi padang itu kebanggaan Indonesia loh, Acha seneng setiap kali makan nasi padang," jelas Acha.

Iqbal mengangguk-angguk pelan, kembali mengambil garpu dan pisaunya.

"Seneng, ya?" tanya Iqbal dingin, menusuk daging di hadapannya dengan sedikit sadis.

"Iya, seneng banget. Acha suka sama nasi padang."

"Suka juga sama yang anter?"

Deg! Acha langsung menutup rapat mulutnya, tubuhnya mendadak menegang. Acha sangat tau arah pembicaraan Iqbal kemana, cowok itu sedang menyindirnya!

Acha berdeham pelan, mengumpulkan keberaniannya.

"Acha mulai dari sekarang nggak akan makan nasi padang, Iqbal. Acha janji."

Nasi padang maafkan Acha terpaksa bohong. Maaf ya.

****

Makan malam mereka akhirnya selesai dengan puding karamel sebagai penutup. Acha dan Iqbal sangat kenyang. Acha memegangi perutnya yang terasa sesak. Acha pun sengaja membuka kancing celananya sebentar agar bisa bernapas.

"Iqbal jangan pulang dulu ya, Acha masih kenyang," rajuk Acha, mengatur napasnya yang sedikit berat.

"Iya."

Iqbal menatap Acha dengan gemas, gadis itu bilang kekenyangan tapi masih saja menyeruput lemon-squashnya.

"Katanya kenyang," cibir Iqbal.

"Acha masih haus."

"Haus kasih sayang?" sindir Iqbal sengaja.

Acha berdecak pelan, Iqbal membalasnya. Acha melirik jam tangannya, masih pukul setengah delapan malam. Sedangkan janjinya dengan Mamanya pulang sebelum jam sebelas malam.

"Habis ini mau kemana, Iqbal?" tanya Acha.

"Terserah."

Acha berdeham panjang, berpikir cepat.

"Muter-muter aja gimana?" usul Acha, tak bisa mendapatkan jawaban.

"Pusing, Cha."

"Maksud Acha, jalan-jalan keliling kota gitu, Iqbal," perjelas Acha berusaha sabar.

"Oke."

Acha mengelus dadanya, mencoba untuk tidak terpancing. Sudah kekenyangan, sulit napas masih aja di pancing emosinya!

Untung pacar! Untung ganteng! Untung Iqbal!

Acha melihat Iqbal tiba-tiba berdiri.

"Iqbal mau kemana?" tanya Acha.

"Toilet."

Acha manggut-manggut, membiarkan Iqbal meneruskan langkahnya. Acha mengeluarkan ponselnya sembari menunggu Iqbal. Acha membuka Instagramnya setelah sekian lama, ia menyadari bahwa sudah lama dia tidak upload foto.

"Apa Acha upload foto nasi padang aja ya, biar Iqbal kesal," lirih Acha iseng.

Acha terkekeh sendiri dengan ide ajaibnya.

"Apa langsung sekalian upload foto sama Juna," tambah Acha semakin puas membayangkan wajah kesal Iqbal.

Tawa Acha terhenti ketika seorang pramusaji tiba-tiba datang dan berdiri di hadapannya.

"Maaf Kak mengganggu."

Acha mendongakan kepala, menatap pramusaji tersebut dengan kaget. Apalagi ketika melihat sebuah buket bunga mawar putih cukup besar di tangan pramusaji tersebut.

"I... Iya Kak?" tanya Acha, menyembunyikan kegugupannya. Acha mencoba untuk menahan senyumnya.

Pramusaji tersebut menyodorkan sebuket bunga mawar putih itu ke Acha.

"Buat Kakak cantik, dari pacarnya," ucap Prasmusaji itu.

Acha tersipu malu mendengarnya, ia pun menerimanya dengan senang hati. Acha tak bisa lagi menahan untuk tidak mengembangkan senyumnya.

"Makasih Kak."

"Langeng ya, Kak. Semoga bisa sampai pelaminan."

Acha semakin malu mendapatkan doa seperti itu. Namun, Acha tak segan untuk mengamini.

"Amin. Sekali lagi makasih Kak."

"Iya Kak."

Pramusaji tersebut beranjak pergi, meninggalkan Acha yang di geluti kebahagiaan. Acha benar-benar tersentuh. Ia tak menyangka Iqbal menyiapkan hadiah romantis untuknya. Bunga yang di terimanya paling besar diantara bunga-bunga lainnya yang pernah diberikan oleh Iqbal.

"Harum," lirih Acha mencium pucuk bunga mawar tersebut.

Acha mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Iqbal.

"Jadi, Iqbal ke toilet cuma pura-pura aja. Nyiapin kejutan buat Acha," cibir Acha mulai berbicara sendiri.

Acha menyentuh pipinya yang menghangat, ia sangat suka sikap Iqbal yang diam-diam romantis seperti ini.

"Pantesan maksa ke restoran mewah. Ini ternyata maksud terselubung Iqbal. Biar kejutannya lebih istimewa."

Acha cekikan sendiri, tak peduli jika di lihat orang lain seperti orang gila yang berbicara sendiri sedari tadi.

"Romantisnya pacar Acha."

Tak lama kemudian, Acha melihat Iqbal berjalan mendekatinya dari kejauhan. Cowok itu berjalan dengan tenang. Acha langsung berdiri, menyambut sang pacar dengan menunjukkan senyum paling cantik yang ia punya.

"Iqbal makasih banyak kejutan bunganya, Acha sangat suka," seru Acha meluapkan rasa bahagianya.

Iqbal terdiam di depan Acha, menatap Acha dan bunga yang di pegang Acha dengan bingung secara bergantian.

"Iqbal kapan nyiapin-nya? Kok Acha nggak tau?" tanya Acha lagi, tak menyadari raut wajah bingung Iqbal.

"Bunga siapa?" tanya Iqbal dengan polosnya.

Kini giliran Acha yang dibuat bingung, senyum di wajah Acha perlahan meredup.

"Bunga dari Iqbal, kan?"

"Nggak."

"Iqbal nggak kasih kejutan bunga buat Acha? Tadi pramusajinya bilang katanya dari pacar," jelas Acha.

Iqbal menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada."

Kedua mata Acha mengerjap-kerjap, mulai tak tenang. Acha pun melihat ke bunga yang di pegangnya. Ada suratnya. Acha pun buru-buru mengambilnya dan membuka surat tersebut.

Selamat hari jadi satu bulan Putri, my honey. Love you.

Rama

Wah! Kedua mulut Acha langsung terbuka sempurna, matanya pun melotot tak santai. Iqbal tidak bohong, ini bunga bukanlah dari Iqbal!

Iqbal melihat Acha yang seterkejut itu jadi penasaran. Iqbal merebut surat yang di pegang Acha, membacanya.

Detik berikutnya, pramusaji yang beberapa menit lalu memberikan bunga ke Acha, berlari menghampiri Acha. Pramusaji tersebut terlihat merasa bersalah.

"Kak saya minta maaf sebesar-besarnya, saya salah kasih bunganya. Bunga ini milik tamu lain. Maaf ya Kak."

Iqbal menahan untuk tidak tertawa. Ia mengembalikan surat tersebut ke tempat semula. Sedangkan Acha masih terlihat shock.

"Saya minta maaf Kak," ucap pramusaji tadi hampir menangis ketakutan.

Iqbal yang melihatnya merasa kasihan. Iqbal mengambil bunga dari tangan Acha, mengembalikan kepada pramusaji tadi.

"Nggak apa-apa Kak," ucap Iqbal mewakili Acha.

Pramusaji tadi menunjuk ke Acha.

"Pacarnya diam aja Kak dari tadi. Pasti marah banget ya sama saya?"

Iqbal mengigit bibir bawahnya, ia sudah tidak kuat untuk tidak tertawa. Namun, sebisa mungkin Iqbal tetap menahannya.

"Nggak Kak. Di bawa aja bunganya," suruh Iqbal.

"Iya Kak. Makasih banyak."

Pramusaji itu pun segera beranjak pergi, merasa tak enak, memilih segera lenyap dari pandangan Acha.

Sedangkan Acha tetap berdiri membeku di tempatnya. Mulutnya masih setengah terbuka, matanya mengerjap seperti orang linglung.

Jangan di tanya bagaimana perasaan Acha saat ini. Ia sangat-sangat malu! Ingin sekali Acha menghilang dari hadapan Iqbal dan semua orang yang ada di restoran yang pastinya sudah menertawainya.

"Acha," panggil Iqbal, mencoba menyadarkan pacarnya.

Namun Acha tetap diam, tubuhnya sedikit bergetar.

"Natasha," panggil Iqbal lagi.

Tetap tak ada respon dari Acha, membuat Iqbal mulai khawatir. Iqbal mendekati Acha.

"Tuan putri," panggil Iqbal untuk ketiga kalinya.

Acha langsung tersadarkan, menoleh ke Iqbal dengan sorot mata tajam. Acha mengarahkan telunjuknya ke Iqbal.

"Jangan panggil Acha tuan putri lagi!" peringat Acha sungguh-sungguh.

Belum sempat Iqbal membalas, Acha langsung menarik tasnya dan beranjak pergi dengan kekesalan tingkat tinggi.

Iqbal tak kuasa lagi menahan tawanya, wajah Acha sudah merah padam. Ia tau sang gadis sangatlah malu karena kejadian barusan.

Iqbal pun buru-buru mengambil kunci mobilnya di atas meja kemudian menyusul Acha. Untung saja, Iqbal sudah membayar sebelum ke toilet tadi.

****

Iqbal melirik ke Acha yang dari tadi diam saja sembari menatap kelur jendela. Acha sama sekali tak mau berbicara bahkan menatap Iqbal. Iqbal tidak tau Acha sedang marah atau sedang menahan malu.

Jika kalian jadi Acha, bagaimana?

Sikap Acha membuat Iqbal sedikit gusar. Iqbal pun memilih membiarkan Acha bergelut dengan pikirannya, tak ingin mengganggu.

Iqbal menuruti keinginan Acha waktu masih di restoran tadi, jalan-jalan mengelilingi kota. Yah, meskipun keadaan di dalam mobil terasa dingin dan sepi. Iqbal pun menyalakan audio mobilnya.

Lagu Budi doremi – melukis senja, menemani perjalanan mereka bedua malam ini.

*****

Hampir empat puluh menit, Iqbal melajukan mobilnya tanpa arah. Jam tangan Iqbal menunjukan pukul sembilan malam kurang lima belas menit.

Iqbal bersyukur ada lampu merah di depan, ia mendapatkan kesempatan ingin berbicara sebentar dengan Acha. Iqbal segera menginjak remnya pelan-pelan dan menghentikan mobilnya.

"Natasha," panggil Iqbal, mencoba meraih tangan Acha.

Namun, Acha menepis tangan Iqbal, tanpa mau menatap Iqbal sedikit pun.

"Acha mau pulang," ucap Acha.

Iqbal dapat mendengar suara Acha yang bergetar dan serak. Iqbal lebih mendekat.

"Kamu nangis?" tanya Iqbal ingin memeriksa dugaanya.

Iqbal menyentuh dagu Acha, lagi-lagi Acha menepisnya, sedikit mendorong tubuh Iqbal.

"Acha mau pulang!" tajam Acha.

"Lihat aku bentar," pinta Iqbal.

Acha menepis ketiga kalinya.

"Nggak mau, Acha mau pulang!" sentak Acha ketus.

Iqbal menghela napas pelan, dapat merasakan mood Acha sedang buruk. Iqbal pun tak mau mengganggu lagi. Bersamaan dengan lampu berubah hijau, Iqbal segera menjalankan kembali mobilnya.

"Kita pulang," ucap Iqbal mengiyakan permintaan Acha.

Keadaan kembali hening. Acha dengan pikirannya sendiri dan Iqbal beberapa kali melirik ke sang pacar, memeriksa pacarnya tidak apa-apa.

****

Mobil Iqbal berhenti di depan rumah Acha. Dengan cepat, Acha segera melepaskan sabuk pengamannya dan turun dari mobil Iqbal tanpa berpamitan dengan Iqbal.

Iqbal buru-buru menyusul Acha. Namun, gadis itu sama sekali tak memberikan celah untuk Iqbal. Iqbal tidak dapat mengejar Acha yang sudah masuk rumahnya dengan sangat cepat.

"Apa gue kelewatan, ya?" lirih Iqbal mendadak bersalah.

Iqbal menghela napas berat, mengacak-acak rambutnya frustasi. Iqbal tau Acha pasti sangat malu karena kejadian tadi, apalagi beberapa orang disana tadi tertawa karena kejadian tersebut.

Ditambah Iqbal yang ikut-ikutan menggoda Acha, pasti membuat Acha semakin kesal.

*****

Acha menutup kencang pintu kamarnya, tak mempedulikan sapaan dari Mamanya. Acha membanting tubuhnya di atas kasur, memenamkan wajahnya di bantal. Detik itu juga, Acha meluapkan emosi dan tangisnya yang sudah di tahannya sejak di restoran.

"Acha malu banget!!!" isak Acha.

Acha memukul-mukul guling sapi panjang di sampingnya.

"Iqbal juga jahat! Ikut nertawain Acha!"

Acha semakin kencang mencengkram guling sapi di tangannya.

"Nggak sudi Acha di panggil Tuan putri lagi!"

Acha perlahan bangkit, mendudukan tubuhnya. Acha melihat guling ditanganya yang berubah lecet. Tangis Acha langsung lebih kencang.

"Sapi maafin Acha. Pasti kamu kesakitan ya. Maaf."

Acha langsung memeluk guling sapi tersebut, mengelus-elusnya. Tangis Acha berubah menjadi tangis rasa bersalah ke sapinya, bukan karena kejadian di restoran tadi.

"Ini semua karena Putri dan Rama! Acha nggak suka mereka!"

Acha mengusap air mata beserta ingusnya seperti bocah yang kehilangan mainannya.

"Baru jadian satu bulan aja sok-sokan kasih Bunga mawar gede! Sok romantis banget!"

Acha mengatur napasnya yang mulai tidak karuan.

"Mau pamer gitu ke Acha? Acha juga bisa beli bunga mawar sendiri tanpa di kasih Iqbal!"

Acha berteriak keras, tak peduli dengan suara ketukan dan panggilan Mamanya yang terdengar khawatir.

"ACHA BENCI PUTRI DAN RAMA !!"

****

#CuapCuapAuthor

SEBELUMNYA SAYA MENGUCAPKAN PERMOHONAN MAAF MEWAKILI ACHA DAN IQBAL UNTUK : 

- NASI PADANG DI SELURUH INDONESIA

- NAMA PUTRI DAN RAMA DI SELURUH INDONESIA

MAAPKAN SAYA, IQBAL DAN ACHA YAA ^^

GIMANAA PART INI? GIMANAAA? SUKAA NGGAK?

SATU KALIMAT BUAT PART INI?

 KALAU KALIAN JADI ACHA MALUNYA SAMPAI UBUN-UBUN APA SAMPAI MANA? ^^ 

KIRA-KIRA APA YANG DILAKUIN IQBAL BIAR ACHA NGGAK MARAH LAGI? AYO TEBAK ^^ 

PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA? 

SAMPAI BERJUMPA DI PART SELANJUTNYAAA ^^ 

SELALU BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 YAAA ^^ 

JANGAN LUPA JUGA AJAK TEMAN-TEMAN KALIAN SEMUA BUAT BACA MARIPOSA 2 YAA ^^

DAN YANG PALING DI TUNGGU BANGET COMMENT DARI KALIAN SEMUAA DI PART INI. DAN JUGA VOTE YAA KALAU KALIAN SUKA SAMA PART INI ^^ 

pantengin Instagram @luluk_hf dan @novelmariposa karena banyak spoiler-spoiler dan GIVE AWAY disana  ^^  

MAKASIHH BANYAAKKK SEMUANYAA DAN SELALU SAYANG KALIAAN SEMUAAAAA ^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro