Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37 - Your wish

Assalamualaikum, akhirnya aku bisa update MARIPOSA 2 lagi. 

Maaf ya telat 10 menit updatenya. Soalnya part ini cukup panjang, makanya butuh agak waktu lama revisinya. Maaf juga ya kalau masih banyak typo. Semoga kalian selalu sukaa dan baca Mariposa 2 yaa Aminn ^^ 

Siapa yang sudah nungguin dari kemarin? Tunjukin emoji sapi kamu sebanyak-banyaknya ^^

UDAH SIAP BUAT BACA MARIPOSA PART 37 NYA ? ^^

AMANKAN HATI DAN JANTUNG KALIAN YAA ^^

EH. MINUM DULU MINUM DULU SOALNYA PART INI AKU BUAT LEBIH PANJANG UNTUK KALIAN ^^ 

UDAH SELESAI MINUM? YUK YUK BERSIAP YAA ^^ 

DAN, SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 ^^

*****

Iqbal mengikat kembali tali sepatunya yang terlepas dan mengenakan Apple Watch di tangannya. Setelah itu, meneguk habis susu putih yang ada di atas meja.

Ify menghentikan langkahnya, melihat adiknya yang sudah rapi sepagi ini. Ify menoleh ke arah jam dinding, memastikan bahwa dia tak salah melihat jam.

"Setengah tujuh pagi?" heran Ify.

Ify menatap adiknya kembali yang tengah memakan roti tawarnya, Iqbal masih belum sadar akan ke datangannya.

"Mau kemana?" tanya Ify.

Iqbal mendongakan kepala, melihat ke arah Ify.

"Keluar," jawab Iqbal seadanya.

"Gue juga tau lo mau keluar, nggak ada yang bilang lo mau ngepet, kan?" gemas Ify.

Iqbal menghela napas pelan, berusaha sabar.

"Jalan sama Acha," jawab Iqbal akhirnya.

Ify mengangguk singkat sembari menahan senyum. Melihat perubahan sikap adiknya yang terlihat manis ke sang pacar, membuat Ify merasa aneh sendiri.

"Se-pagi ini mau jalan kemana sama Acha? Mau nyapu monas bareng?" ledek Ify.

Iqbal tak berniat untuk meladeni kakaknya, energinya lebih baik ia simpan untuk hal yang lebih berguna. Ia segera bangkit sembari memasukan ponselnya ke saku.

"Gue berangkat," pamit Iqbal.

"Udah izin sama Papa, kan?" tanya Ify memastikan.

Iqbal mengangguk singkat. "Semalam."

"Perlu gue kasih uang jajan, nggak?" tanya Ify lagi dengan nada sedikit sombong.

Iqbal menghentikan langkahnya di ambang pintu, menatap sang kakak sebentar.

"Gue nggak nerima uang jajan dari nyolong brankas Papa."

Ify melototkan mata mendengar perkataan sarkas Iqbal barusan, ia bersiap mengambil sandalnya untuk di lemparkan sang adik. Namun, Iqbal lebih cepat menghilang dari pandangan Ify.

"Sialan!" umpat Ify, merutuki nasibnya. Bukannya membuat Iqbal kesal, malah dia yang energinya habis di pagi hari.

*****

Acha memutar-mutar tubuhnya di depan kaca, memeriksa sekali lagi penampilannya. Hari ini sangat spesial bagi Acha, karena dirinya dan Iqbal akan menghabiskan waktu bersama seharian penuh. Acha sangat senang Iqbal menepati janjinya.

Ponsel Acha bergetar ada panggilan dari Iqbal. Tanpa berniat mengangkat, Acha memilih segera keluar rumah setelah berpamitan dengan Kirana.

Tidak lupa, Acha juga membawa paper-bagkuning yang cukup besar. Acha sudah menyiapkan peralatan perangnya sejak semalam.

"Acha, salam ke Iqbal," teriak Kirana yang masih sibuk berkutik di dapur.

"Iya Tante Mama," balas Acha tak kalah kencang.

Acha mempercepat langkahnya, senyumnya mengembang dengan lebar. Tak sabar untuk menghabiskan hari yang menyenangkan bersama sang pacar.

*****

Acha melembaikan tangannya ke Iqbal, bertemu dengan Iqbal sepagi ini membuat Acha teringat kenangan waktu SMA. Iqbal yang setiap pagi akan menjemputnya dan berangkat sekolah bersama.

"Ayo berangkat," ajak Acha.

Iqbal tak langsung menjawab, ia memperhatikan Acha dari atas hingga bawah. Selalu sama setiap harinya. Sangat cantik.

Acha sengaja menggerai rambut panjangnya, Acha juga berdandan meskipun hanya make-up tipis yang di pelajarinya tiga bulan terakhir ini dari beauty vloger di youtube. Bahkan, Acha menggunakan lipstik yang berwarna natural coral biar terlihat lebih sedikit dewasa.

Acha sedikit salah tingkah di tatap selekat itu oleh Iqbal.

"Acha cantik banget ya hari ini?" tanya Acha ingin menggoda Iqbal.

"Iya."

Acha mengangguk-angguk, puas dengan jawaban Iqbal.

"Ayo berangkat Iqbal," ajak Acha lagi, tak kuasa jika Iqbal terus menatapnya seperti itu.

Iqbal tersadarkan dari kekagumannya akan kecantikan sang pacar.

"Nggak pamitan dulu?" tanya Iqbal.

"Acha udah pamitan sama Tante Mama," jawab Acha.

"Gue, Cha," perjelas Iqbal.

Ah.. Acha tersenyum lebar, mengira Iqbal menanyakan tentang dirinya.

"Tante Mama lagi sibuk banget di dapur, tadi nitip salam buat Iqbal," jawab Acha.

Iqbal mengangguk, pandangannya beralih ke paper-bag yang di bawah Acha.

"Ini apa?" tanya Iqbal menunjuk paper-bag tersebut.

"Peralatan perang hari ini."

"Peralatan perang?" bingung Iqbal.

"Percaya sama Acha, hari ini akan menyenangkan."

"Oke. Ayo berangkat," ajak Iqbal.

Iqbal hendak beranjak masuk ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba Acha menarik lengan Iqbal, membuat cowok itu mau tak mau berbalik kembali ke arah Acha.

"Kenapa?" tanya Iqbal.

Acha bergumam pelan, ia menaruh paper-bagnya sebentar, kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

"Ini," seru Acha menunjukan selembar kertas berwarna merah muda yang terlipat.

Kening Iqbal berkerut, menatap kertas tersebut dengan bingung.

"Apa?"

Acha melepaskan lengan Iqbal, kemudian membuka lebar-lebar kertas merah muda di tangannya. Acha menyodorkannya ke Iqbal.

"Permintaan-permintaan Acha yang harus Iqbal kabulkan hari ini," jelas Acha.

Iqbal menerima kertas tersebut, segera membacanya.

Dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini, atas nama Iqbal Guanna Freedy berjanji akan mengabulkan semua perimintaan-permintaan sang pacar yang bernama Natasha Kay Loovi.

Berikut permintaan-permintaan yang harus di kabulkan :

1. Selamat satu hari tidak boleh memanggil gue-lo. Iqbal wajib gunain aku-kamu.

2. Diharuskan sesering mungkin panggil Natasha atau pun sayang ke sang pacar.

3. Destinasi pertama untuk kencan adalah piknik bersama.

4. Destinasi kedua untuk kencan adalah Taman hiburan.

5. Harus selalu berjalan di samping sang pacar dan genggam tangan sang pacar.

6. Kalau selama kencan tidak sengaja melihat boneka sapi, Iqbal wajib membelikan.

7. Sebelum kencan benar-benar berakhir, Iqbal harus memberikan kalimat perpisahan yang romantis ke sang pacar.

Tersayang,

Iqbal Guanna Freedy

Iqbal termenung sesaat, takjub dengan isi kertas yang baru saja di bacanya. Iqbal kembali menatap Acha yang tengah menunggunya dengan pipi merona, menahan kegugupan.

Iqbal tak menyangka Acha benar-benar memikirkan permintaanya dengan sangat baik.

Iqbal tersenyum sembari menatap Acha dengan hangat.

"Jangan lihatin Acha terus, buruan tanda tangan di sana," ucap Acha malu-malu.

"Harus ya?" goda Iqbal.

"Iqbal nggak mau tanda tangan?" tanya Acha lirih, raut wajahnya berubah sedih.

"Mau," jawab Iqbal tanpa ragu.

Senyum Acha kembali mengembang, sangat senang mendengar jawaban dari Iqbal.

"Ya udah, cepetan tanda tangan," suruh Acha.

Iqbal menyodorkan tangan kanannya.

"Bolpoinnya mana?" tanya Iqbal.

"Acha nggak bawa," jawab Acha tak kepikiran sampai sana.

"Gue juga," jawab Iqbal.

Acha menghela napas berat, merutuki kebodohannya yang tidak sekalian membawa bolpoin untuk Iqbal. Acha menoleh ke kanan dan kiri berharap menemukan bolpoin terjatuh di jalan. Acha juga menatap ke arah paperbag-nya sesaat, namun Acha yakin ia sama sekali tidak memasukan bolpoin di sana.

Sedangkan Iqbal terus saja memperhatikan Acha dengan senyum yang masih mengembang hangat. Tanpa Acha sadari, Iqbal sudah mendekat satu langkah ke arahnya.

"Terus gimana? Iqbal beneran nggak bawa bolpoin?" tanya Acha mulai panik sendiri.

"Nggak," jawab Iqbal enteng.

Acha mendongakkan kepala, sedikit kaget melihat Iqbal yang sudah berdiri dekat di hadapannya.

"Acha ambilkan di dalam rumah dulu ya bolpoin un..."

"Nggak perlu."

Acha mengerutkan kening bingung.

"Terus, tanda tangannya pakai apa?"

Iqbal tersenyum penuh arti, tangannya perlahan bergerak menyentuh bibir Acha. Dan, detik itu juga Iqbal tiba-tiba mengusap bibir bawah Acha pelan menggunakan jempol kanannya.

"Pakai ini."

Acha membuka kedua matanya sempurna, tubuhnya langsung menegang di tempat. Apalagi saat merasakan sentuhan jari Iqbal di bibirnya, jantung Acha serasa ingin lepas dari tempatnya. Acha bahkan menahan napasnya beberapa detik.

"I... Iqbal ngapain?" lirih Acha sangat gugup.

"Tanda tangan," jawab Iqbal enteng.

Acha melihat Iqbal mengecapkan jempolnya di kertas tersebut, memperlihatkan cap jari dengan warna lipstik yang di pakai Acha disana. Acha tanpa sadar menyentuh bibir bawahnya, rasanya hangat.

"Selesai," seru Iqbal memperlihatkan kertas permintaan Acha yang sudah ada cap jempol Iqbal.

Acha mengatur napasnya sejenak. Perlahan menerima kertas tersebut dengan tubuh yang masih panas-dingin. Padahal masih pagi, tapi Iqbal sudah berhasil membuat Acha seperti orang gila sendiri.

Acha merasakan pikirannya masih kosong, jiwanya melayang kemana-mana.

"Acha," panggil Iqbal menyadarkan gadisnya.

Acha tersentak, tersadarkan.

"Iya Iqbal?"

Iqbal tersenyum, mengacak-acak kepala Acha dengan gemas.

"Ayo berangkat," ajak Iqbal. Perlahan Iqbal meraih jemari Acha, mengenggam erat. Tangan kiri Iqbal mengambil paper-bag yang berada di samping Acha.

Acha berusaha melawan kegugupannya, ia membalas senyum Iqbal.

"Mulai detik ini, Iqbal harus kabulkan semua permintaan Acha yang sudah Iqbal setujui," pesan Acha mengingatkan.

Iqbal menganggukan kepalanya.

"Iya Natasha."

*****

Mobil Iqbal membelah jalanan, Iqbal melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan, mereka tidak banyak ngobrol. Iqbal fokus menyetir, sedangkan Acha bersenandung mengikuti lagu yang terputar di audio mobil Iqbal.

"Mau piknik dimana?" tanya Iqbal.

Ah! Acha hampir lupa tujuan pertama mereka. Acha bergumam pelan dan segera menoleh ke Iqbal.

"Kalau ke puncak kejauhan, ya?" tanya Acha.

"Lumayan, dua jam," jawab Iqbal seadanya.

Acha menghembuskan napasnya, mulai gelisah.

"Acha pengin piknik di tempat yang rindang, di bawah pohon, pemandangannya juga bagus dan udaranya segar," ucap Acha mendeskripsikan tempat yang di inginkannya.

Iqbal berpikir sebentar, otaknya mulai mencari tempat yang mirip dengan keinginan sang pacar. Iqbal menginjak rem, menghentikan mobilnya tepat lampu lalu lintas berubah merah. Setelah itu, Iqbal menoleh ke Acha.

"Ke rumah lama aku mau," tawar Iqbal.

Acha terdiam sebentar, menahan senyum. Iqbal menuruti permintaan pertamanya. Acha merasakan jantungnya berdegup cepat, padahal hanya mendengar kata 'aku' saja bisa membuat Acha segugup ini.

Acha berusaha menenangkan dirinya sebentar, kembali ke penawaran Iqbal.

"Rumah lama, Iqbal?" tanya Acha bingung.

Acha sama sekali tak tau jika Iqbal punya rumah lain. Acha mengira rumah Iqbal satu-satunya ya selama ini yang di tinggali Iqbal di tambah Apartment-nya.

"Iya. Tiga puluh menit dari sini," jawab Iqbal.

"Iqbal ada rumah lagi?" tanya Acha masih belum mengerti.

Iqbal menganggukan kepalanya.

"Ada, rumah yang aku tinggali pertama kali saat datang ke Indonesia."

Acha ingat sekarang. Iqbal pernah bercerita bahwa cowok itu lahir di prancis dan tinggal disana hingga umur tiga tahun, kemudian pindah ke Indonesia di umur tiga sampai lima tahun. Namun, harus pindah lagi ke Prancis beberapa bulan hingga akhirnya memutuskan kembali lagi ke Indonesia dan menetap di Indonesia.

Yah, sedikit membingungkan memang, tapi Acha mengingatnya dengan baik. Tapi, Acha benar-benar baru mengetahui bahwa Iqbal pertama kali tinggal di Indonesia bukan menempati rumahnya yang sekarang.

"Rumah Iqbal ada pohon rindangnya? Seperti yang Acha deskripsiin tadi?"

"Ada."

"Kalau gitu Acha mau ke rumah lama Iqbal. Kita piknik disana," setuju Acha tanpa pikir panjang.

"Oke."

Lampu lalu lintas berubah hijau, Iqbal segera menjalankan kembali mobilnya. Acha merasakan jantungnya kembali berdegub cepat, ia jadi tidak sabar ingin mengetahui seperti apa rumah lama Iqbal yang baru pertama kali di ceritakan oleh sang pacar.

*****

Mobil Iqbal berhenti di sebuah rumah dengan pagar megah yang menjulang tinggi. Dari depan Acha tak bisa melihat apapun terkeculi tembok tinggi dan pagar tinggi itu. Acha jadi semakin penasaran dengan rumah di balik pagar megah ini.

Acha menoleh ke Iqbal yang masih sibuk menghubungi seseorang. Acha tidak tau siapa, tapi Acha sempat mendengar nama 'Mang Asep' disebut Iqbal beberapa kali.

Tak lama kemudian, pagar megah nan tinggi itu terbuka lebar. Akhirnya Acha bisa melihat sebuah rumah mewah bernuansa putih dan tingkat dua. Bisa dibilang, rumah ini lebih besar tiga kali lipat dari rumah yang di tempati Iqbal dan keluarganya sekarang.

Bahkan, halaman rumahnya pun sangat luas, bisa di buat parkir seratus sepeda motor ataupun abang-abang pasar malam kalau mau buka wahana-nya di halaman rumah ini sangat bisa! Acha yakin itu!

Acha hanya bisa bergumam kagum, kenyataan di hadapannya kembali mengingatkannya bahwa pacarnya memang dari keluarga kaya raya.

"Ayo turun," ajak Iqbal.

Acha mengangguk menurut, Acha mendadak gugup sekaligus takut. Apa tidak apa-apa dia masuk ke rumah semewah ini?

Kalau Acha bisa gambarkan, rumah lama Iqbal ini hampir sebelas dua belas mewahnya dengan rumah keluarga Glen. Bedanya, rumah Glen tidak se-sepi ini.

Acha tersadarkan ketika sebuah tangan menggenggam tangannya, mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah tersebut.

"Di dalam rumah ada siapa Iqbal?" tanya Acha tak bisa menahan penasarannya.

"Nggak ada siapa-siapa," jawab Iqbal.

Iqbal membuka pintu rumah tersebut, bau segar lavender menyambut indera penciuman mereka berdua. Iqbal menghela napas pelan, sudah lama dia tidak datang kesini.

Acha berdeca kagum lagi, ia mengira di dalam rumah ini akan berdebu, banyak barang-barang usang atau semua furniture-nya di tutupi dengan kain putih. Nyatanya sama sekali tidak. Rumah ini sangat bersih dan keadaanya normal seperti layaknya rumah-rumah yang ada penghuninya.

"Nggak ada yang tinggal disini, Iqbal?" tanya Acha lagi.

"Nggak ada. Tapi terkadang Kak Ando tidur disini," jawab Iqbal.

"Kenapa gitu?"

"Kenangan masa kecilnya semua disini dan Kak Ando lebih nyaman tinggal disini," jelas Iqbal.

Acha mengangguk-angguk mengerti.

"Terus kok rumahnya bisa sebersih ini?" tanya Acha. Memang benar, Acha tidak melihat debu kotor di lantai ataupun sofa abu-abu di depannya.

"Ada Mang Asep dan istrinya yang jaga dan bersih-bersih setiap harinya dari pagi hingga sore," jelas Iqbal.

Acha kembali menganggukan kepalanya, semakin mengerti. Ah! Ada satu lagi yang membuat Acha penasaran.

"Kenapa Iqbal dan keluarga Iqbal akhirnya pilih pindah rumah? Kenapa nggak tinggal disini aja?"

Kali ini Iqbal tidak langsung menjawab. Tubuh Iqbal bergerak menghadap ke sebuah foto keluarga berukuran 30R yang cukup besar. Acha pun ikut melihat ke arah foto tersebut.

Acha dapat melihat sebuah keluarga yang bahagia disana. Acha merasa tersentuh melihat foto keluarga tersebut. Mereka terlihat sangat bahagia. Ada Pak Bov yang tengah merangkul seorang wanita paruh baya dan di depannya ada tiga anak. Satu cowok berpatas tampan, satu lagi anak cewek berparas cantik dan mereka mengapit seorang anak cowok kecil menggemaskan berumur dua tahun, mungkin.

"Yang di tengah paling kecil itu Iqbal, ya?" tanya Acha memastikan.

"Hm," jawab Iqbal sembari mengangguk.

"Wanita itu, Mama Iqbal?" tanya Acha dengan hati-hati.

Iqbal kembali menganggukan kepalanya.

"Iya, itu Mama."

Untuk pertama kalinya, akhirnya Acha bisa melihat wajah Mama Iqbal. Cukup mirip dengan Iqbal. Acha harus mengakui bahwa paras Mama Iqbal, sangat cantik.

Acha menurunkan pandangannya ke genggaman tangan Iqbal, terasa lebih erat. Acha menatap Iqbal, cowok itu terlihat sedikit tegang, tatapanya tak setenang biasanya.

"Setelah Mama pergi, kondisi Papa sangat drop. Hampir satu tahun, Papa berjuang melawan rasa kehilangannya." Iqbal mulai bercerita.

Acha mencoba menjadi pendengar yang baik, tangan kirinya meranguk lengan Iqbal, menepuk-nepuk pelan untuk memberi kekuatan kepada sang pacar.

"Hingga akhirnya, Papa mutusin buat pindah rumah. Papa takut jika tetap tinggal disini, Papa terpuruk lagi. Terlalu banyak kenangan bersama Mama disini."

Iqbal mengakhiri ceritanya, ia menoleh ke Acha yang sudah berkaca-kaca mendengar penjelasannya. Iqbal sedikit terkejut melihatnya.

"Kenapa?" tanya Iqbal ke Acha.

Acha mengigit bibir bawahnya, niatnya menenangkan Iqbal malah dirinya sendiri yang terbawa emosional. Acha merasa pasti sulit bagi Iqbal kehilangan Mamanya sejak cowok itu masih kecil. Tak mendapatkan kasih sayang dari seorang Mama.

"Iqbal nggak apa-apa, kan?" tanya Acha khawatir.

"Nggak apa-apa," jawab Iqbal.

"Iqbal pasti kangen ya sama Mama, Iqbal?" tanya Acha lagi.

Iqbal tersenyum kecil, mengusap air mata Acha yang sudah di ujung pelupuk mata gadis itu.

"Pasti itu, Cha."

"Mama Iqbal pasti sudah bahagia disana. Apalagi ngelihat anak-anaknya tumbuh cantik, ganteng, pinter dan baik hati."

Iqbal mengangguk setuju.

"Jangan nangis, Cha," pinta Iqbal.

Acha menggeleng cepat, mengusap kedua matanya yang basah.

"Acha nggak nangis, Acha kelilipan aja," bohong Acha.

Iqbal terkekeh pelan, mengacak-acak puncak kepala Acha dengan gemas.

"Ayo ke belakang rumah," ajak Iqbal.

"Ngapain?"

"Piknik."

*****

Acha membuka mulutnya lebar-lebar, jika ada lomba halaman belakang rumah paling indah, maka Acha akan dengan senang hati memenangkan halaman belakang rumah lama Iqbal menjadi pemenang pertama. Rumah ini bukan lagi tiga kali lipatnya rumah Iqbal ataupun sebelas-dua belas dengan rumah Glen.

Rumah lama Iqbal jauh bukansangat jauh lebih luas. Bahkan, halaman belakang rumah lama Iqbal ini luasnya melebihi tiga kali lipat luas rumahnya sendiri.

Halaman belakang macam apa yang ada kebunnya? Ada kolam renang luasnya, ada lapangan mini untuk basket atau pun futsal dan ada sebuah gazebo panjang yang di jejeri sofa panjang dan meja panjang untuk bersantai.

Dan, benar seperti yang di deskripsikan Acha. Di ujung halaman belakang ini ada sebuah pohon Angsana yang tumbuh tinggi memberikan kerindangan di rerumputan sekitar.

"Kalau Iqbal dan keluarga Iqbal nggak mau tinggal disini. Acha ikhlas kok, kalau di suruh tinggal disini," lirih Acha tanpa sadar.

Iqbal tertawa mendengarnya, melihat raut wajah Acha sekarang sangatlah lucu. Gadis itu masih tak menutup menutup mulutnya.

"Mau tinggal disini?" tanya Iqbal mendekatkan wajahnya ke Acha.

"Acha mau banget," rajuk Acha memberikan sorot mata yang berbinar ke Iqbal.

Iqbal menjulurkan tangannya, mengelus pelan puncak kepala Acha.

"Yaudah, nanti ya sama aku."

Jangan di tanya lagi bagaimana kondisi jantung Acha sekarang. Mulutnya yang belum di tutup semakin tidak mau tertutup. Acha menahan napasnya beberapa detik. Jikalau, perkataan Iqbal tadi hanya sebuah bualan semata, Acha tetap ikhlas menerimanya.

****

Iqbal membantu Acha menata kotak-kotak makanan yang di keluarkan Acha dari paper-bag besarnya. Ternyata memang benar, Acha membawa peralatan perang yang sangat banyak. Iqbal sampai bingung melihatnya.

Mulai dari selimut untuk tempat mereka duduk lesehan, dua bantal sapi kecil, kotak-kotak berisikan makanan, dua botol minuman, peralatan makan, tisu. Bahkan yang paling bikin Iqbal geleng-gelen, Acha membawa buku paket Kimia dan Fisika. Untuk apa coba?

"Ayo makan, Iqbal," ajak Acha setelah selesai membuka semua kotak-kotak makannya.

Iqbal mengangguk, mengambil potongan buah apel dan melon. Ia masih kenyang jika makan nasi atau pun roti.

Baik Acha dan Iqbal fokus makan sembari mengedarkan pandangan mereka ke sekitar. Mereka berdua duduk di bawah rindangnya pohon Angsana dengan pemandangan yang sangat indah.

"Kenapa ada kebun disana?" tanya Acha kembali penasaran, tangannya menunjuk ke sebuah kebun luas di ujung satunya.

"Mama suka berkebun," jawab Iqbal seadanya.

Acha mengangguk-angguk mengerti.

"Kenapa lapangan basketnya ada di halaman belakang rumah? Kalau di rumah Glen, kan lapangan basketnya ada di halaman depan?" heran Acha.

"Mama ingin lihat Kak Ando main basket bareng Papa sembari berkebun," jelas Iqbal lagi.

Acha kembali menganggukkan kepalanya.

"Rumah Iqbal ini benar-benar rumah impian," kagum Acha.

Iqbal tersenyum kecil, ia meraih botol minuman dan meminumnya setengah. Setelah itu, Iqbal mendekatkan duduknya ke Acha.

"Sekarang giliran aku yang tanya," ucap Iqbal menatap Acha lekat.

"Apa?" tanya Acha balik, mulai was-was sendiri. Tak biasanya Iqbal tiba-tiba bertanya seperti ini.

Iqbal mengambil botol minuman Acha, menyerahkan ke sang pacar.

"Minum dulu," suruh Iqbal.

Acha mengangguk, menghabiskan sisa air mineral di botolnya. Iqbal membantu mengusap bibir Acha yang belepotan saus sandwich yang baru saja di makan Acha.

"Iqbal mau tanya apa?" tanya Acha semakin tak sabar.

"Kenapa bawa ini?" Iqbal menunjuk ke dua buku paket Kimia dan Fisika yang tergeletak di dekat bantal sapi.

Ah! Acha langsung menarik dua buku paket itu dengan senyum merekahnya. Ia menaruh dua buku paket itu di tengah-tengah antara dirinya dan Iqbal.

"Acha udah bilang, kan, tadi sebelum berangkat. Hari ini akan menyenangkan," seru Acha.

"Ingat."

Acha menunjuk ke buku paket di depannya dengan senyum semakin lebar.

"Duel sama Acha," ajak Acha dengan tatapan berubah menantang.

Kening Iqbal mengerut, tak paham.

"Duel?" bingung Iqbal.

Acha mengambil buku paket kimianya, membukanya hingga menampakan berbagai macam soal kimia.

"Adu kepintaran. Selama di SMA dulu nggak ada yang bisa nentuin lebih pintar siapa, antara Iqbal atau Acha, kan?" perjelas Acha.

Iqbal mengangguk tanpa ragu, nyatanya memang benar. Saat di SMA dulu, nilainya dan nilai Acha selalu kejar-kejaran. Bahkan, selisih rata-rata nilai mereka hanya diangka 0,1 sampai 0,5 saja.

Untung saja mereka berdua selalu berbeda kelas. Jadi mereka berdua tetap mendapatkan peringkat pertama di kelas masing-masing. Namun, jika sudah peringkat paralel satu sekolah. Iqbal dan Acha bagaikan tom and jerry yang kejar-kejaran di setiap semesternya.

"Mulai sekarang?" tanya Acha, menyerahkan pensil ke Iqbal. Dan, Acha baru ingat bahwa ternyata ada dua pensil terselip di dua buku paket yang di bawa-nya.

Iqbal menerima pensil tersebut tanpa menjawab. Ia menunjuk ke arah buku paket fisika di depannya.

"Kenapa harus kimia dulu?" pancing Iqbal.

"Karena kalau Fisika dulu, Acha pasti kalah telak," jawab Acha dengan jujur. Ia mencoba untuk main aman di kandangnya sendiri.

Iqbal terkekeh pelan, gemas dengan jawaban Acha.

"Oke, kimia dulu," seru Iqbal menuruti. Walaupun dia tak yakin bisa menang. Iqbal sangat tahu bagaimana kemampuan sang pacar jika sudah berhadapan dengan soal kimia. Bukan lagi seperti cenayang, melainkan titisan dukun!

Acha memberikan satu buku kosong untuk Iqbal. Kemudian menutup kembali buku paket kimianya.

Acha menatap Iqbal yang menatapnya dengan ragu, sedangkan Acha sudah tersenyum kemenangan.

"Rulesnya gampang, Acha buka buku paket kimianya dan kita pecahin soal yang paling atas sendiri. Mengerti?" ucap Acha menjelekasn peraturan duel mereka.

"Pemenangnya dapat apa?" tanya Iqbal.

"Yang kalah harus mengabulkan permintaan yang menang," jawab Acha dengan kedua mata mulai memercikan sorot pertarungan dengan sang pacar.

"Oke, setuju."

Acha dan Iqbal mulai bersiap, memegang erat pensil masing-masing dan menatap fokus ke buku paket kimia di depan mereka.

"Mulai!"

Acha membuka buku paket kimianya asal, dan memperlihatkan sebuah soal tentang 'Endapan'. Baik Acha dan Iqbal segera membaca soal tersebut dengan seksama.

(Sumber soal : blog.ruangguru.com)

Acha tak berkedip sedikitpun dengan jari yang sibuk memutar pensil di tangannya. Sedangkan Iqbal mulai mencoret-coret buku kosong di hadapannya dengan mata yang masih fokus  memahami soal tersebut.

"Enam gram," jawab Acha menemukan jawabannya terlebih dahulu.

Tangan Iqbal langsung berhenti bergerak, ia menatap Acha dengan tak percaya. Gadis itu menjawab soal tersebut kurang dari satu menit.

Acha mengintip ke coretan Iqbal, tatapanya tidak tega. Padahal, Iqbal sudah pada penyelesaikan akhir, tinggal menemukan masa zat-nya saja.

"Soal berikutnya," seru Iqbal semakin tertantang.

Acha menganggukan kepalanya, memberikan kode ke Iqbal untuk membuka buku paket kimianya lagi.

Iqbal menuruti saja, Iqbal menutup buku paket kimianya terlebih dahulu.

"Mulai!"

Kini giliran Iqbal yang membuka asal buku paket kimia tersebut. Kali ini, soal yang terbuka tentang 'Energi Ikatan'. Kedua kalinya, baik Iqbal dan Acha langsung fokus memahami soal tersebut yang lumayan panjang.

(Sumber soal : blog.ruangguru.com)

Kali ini Acha tidak hanya menatap soal itu saja, perhitungan soal ini tidak cukup dengan menerawang di otaknya seperti soal pertama. Soal kedua mengharuskan Acha menghitung manual dengan mencoret-coret buku kosongnya.

Tangan Iqbal tak kalah bergerak lincah, Iqbal seolah tidak ingin kalah dengan sang pacar untuk soal kedua.

"Minus lima puluh empat kilojoule per mol."

Untuk kedua kalinya, Acha berhasil menjawab duluan di bandingkan Iqbal. Iqbal tanpa sadar langsung mendecak kesal, padahal ia sudah mendapatkan jawaban yang sama seperti yang di sebutkan oleh Acha.

Hanya saja, Acha lebih cepat menyebutkan jawaban tersebut daripada dirinya. Acha tertawa lebih puas melihat wajah kesal Iqbal. Tak menyangka bahwa Iqbal akan seserius ini menanggapi duelnya.

"Masih mau lanjut?" tantang Acha.

Iqbal meletakan pensilnya, tersenyum ke arah Acha.

"Aku akan kabulin permintaan kamu," ucap Iqbal sungguh-sungguh.

Acha terdiam, menahan senyum karena perkataan Iqbal yang menggunakan aku-kamu. Padahal Iqbal sudah menggunakannya sedari tadi, tapi setiap kali Iqbal mengatakannya, Acha selalu di buat terkejut dan gugup.

Acha masih merasa asing mendengarnya tapi dia sangat suka. Suara Iqbal terdengar lebih manis.

Acha menghela napas pelan, menutup buku paket kimianya.

"Jadi, udah nyerah?" goda Acha meremehkan.

Iqbal ikut-ikutan menghela napasnya, tangannya bergerak mengambil buku paket fisika, mengangkatnya.

"Mau ganti duel ini?" tantang Iqbal, memberikan senyum meremehkan balik ke Acha.

Tawa Acha langsung lepas begitu saja, Iqbal berhasil membalasnya kurang dari lima detik. Acha menepuk tanganya sekali.

"Oke, Acha yang menang di duel kali ini," simpul Acha seenaknya. Acha berusaha menyelamatkan harga dirinya sebelum di injak-injak oleh Iqbal jika ia menerima tantangan Iqbal untuk duel soal-soal fisika.

Acha juga sangat tau kemampuan Iqbal dalam fisika, selama lebih dari tiga bulan berada di satu pelatihan olimpiade dengan Iqbal, membuat Acha sangat hapal. Iqbal bisa menyelesaikan tiga puluh soal fisika kelas sebelas hanya dalam waktu kurang dari satu jam.

Per-satu soal bisa di selesaikan dalam waktu satu sampai dua menit. Dengan tingkat jawaban, hampir 99% pasti benar semua. Menakjubkan bukan?

Iqbal mengangguk menyetujui keputusan Acha. Hari ini, tujuan Iqbal hanya ingin membuat Acha menikmati harinya dan bahagia.

"Mau minta apa?" tanya Iqbal.

Acha bergumam pelan, berpikir sebentar.

"Acha belum kepikiran minta apapun."

"Oke, take your time," ucap Iqbal.

Acha mengangguk, kemudian menarik paper bag besarnya, mengeluarkan sebuah kotak persegi dan mengeluarkan tumpukan kartu di dalamnya, seperti sebuah remi. Iqbal memperhatikan saja dengan penasaran.

"Selanjutnya, kita main ini," ucap Acha.

Acha memasukan dua buku paket fisika dan kimianya kembali ke dalam paper bag. Kemudian menaruh tumpukan kartu di tengah-tengah dirinya dan Iqbal.

"Apa ini?" tanya Iqbal.

Iqbal mengambil satu kartu yang bergambar kepala boneka sapi di belakangnya dan di bagian depannya ada sebuah pertanyaan.

"Kartu kejujuran, Acha buat sendiri semalam," jawab Acha dengan bangga.

Iqbal menghela napas berat, dibuat takjub untuk kedua kalinya, pacarnya ini memang luar biasa. Sampai membuat kartu seperti ini. Dan mengambar boneka sapi di setiap belakang kartu.

"Lucu," ucap Iqbal membolak balikan kartu di tangannya.

"Apanya yang lucu? Kartunya, apa yang buat kartunya?" goda Acha.

"Kartunya," jawab Iqbal dengan enteng.

Acha mendecak pelan, jawaban Iqbal tak sesuai dengan dugaannya. Padahal ia sudah bersiap untuk tersenyum lebar.

Iqbal tertawa pelan melihat raut wajah kesal Acha.

"Gimana cara mainnya?" tanya Iqbal.

Acha mengambil kartu yang ada di tangan Iqbal, mengumpulkan jadi satu dengan kartu lainnya. Kemudian Acha men-shuffle semua kartu tersebut.

"Iqbal ambil satu kartu, bacakan untuk Acha dan Acha akan menjawab pertanyaan dari kartu yang di ambil oleh Iqbal. Begitu juga sebaliknya. Mengerti?"

"Oke."

Acha menaruh kembali kartu yang sudah ia acak. Ia dan Iqbal melakukan suit gunting batu kertas dengan Iqbal sebagai pemenangnya.

"Iqbal mau main dulu atau Acha dulu?" tanya Acha.

"Ladies first," ucap Iqbal mengalah untuk sang pacar.

Acha mengangguk senang, ia pun segera mengambil satu kartu, membaca dalam hati pertanyaan disana.

"Acha bacain pertanyaan untuk Iqbal. Harus di jawab jujur," peringat Acha.

"Oke."

Acha berdeham pelan sebelum membacakan pertanyaan tersebut dengan lantang.

"Siapa orang yang kamu pikirkan pertama kali sebelum tidur?"

Iqbal terdiam sebentar, mengingat-ingat semalam dia memikirkan siapa sebelum terlelap.

"Tidak tentu," jawab Iqbal random.

Acha mendecak pelan, tidak puas dengan jawaban sang pacar.

"Emang siapa aja yang Iqbal pikirkan sebelum tidur?"

"Kadang Papa dan seringnya kamu."

Acha tak bisa untuk tidak tersenyum saat ini, jawaban Iqbal berhasil membuat hatinya berbunga-bunga.

"Iqbal sering mikirin Acha sebelum tidur?" tanya Acha malu-malu.

"Iya."

"Kalau mimpiin Acha pernah?" tanya Acha bertambah penasaran.

"Sering," jawab Iqbal jujur.

"Beneran?" Acha masih tak percaya.

"Iya."

"Acha juga sering mimpiin Iqbal kalau kangen sama Iqbal."

Iqbal ikut mengembangkan senyumnya, tak kalah senang mendengar perkataan Acha barusan.

"Giliran Iqbal," suruh Acha.

Iqbal mengangguk, mengambil satu kartu untuk Acha dan membacakannya.

"Pilih sahabat atau pacar?"

Waah!! Acha langsung membuka matanya sempurna. Tanganya refleks memegangi kepalanya. Acha tak menyangka pertanyaan ini akan di dapatkannya. Salah satu pertanyaan dengan tingkat kesulitan level tinggi, menurut Acha.

Iqbal tertawa pelan melihat raut gelisah Acha. Gadis itu terlihat kesusahan untuk menjawab.

"Acha nggak bisa milih antara Iqbal atau Amanda, kalian berdua sangat penting buat Acha," lirih Acha mendadak frustasi.

"Harus pilih," ucap Iqbal menyudutkan.

"Harus ya?"

"Harus."

Acha menutup rapat mulutnya, fokus dengan pikirannya. Ia mempertimbangkan baik-baik jawaban apa yang ingin di pilihnya.

"Acha pilih sahabat," ucap Acha dengan tatapan bersalah ke Iqbal.

"Oh," jawab Iqbal singkat.

"Maaf Iqbal," lirih Acha takut. Alasan Acha memilih sahabat karena Acha merasa lebih lama bersama dengan Amanda daripada Iqbal. Keduanya sama-sama berarti untuk Acha dan selalu untuk Acha. Tapi, Acha tidak bisa mengorbankan persahabatannya hanya karena cinta.

Iqbal menatap Acha, ingin menggoda gadis itu.

"Nggak sayang sama aku?" tanya Iqbal berpura-pura bersikap dingin.

"Acha sayang banget sama Iqbal. Tapi, Acha juga sayang sama Amanda," jawab Acha cepat tak ingin membuat Iqbal salah paham.

Iqbal tersenyum, mencubit pipi Acha gemas.

"Pilihan yang tepat," ucap Iqbal menyetujui jawaban Acha.

"Hah?" bingung Acha.

"Aku juga akan jawab yang sama Cha," perjelas Iqbal.

Acha akhirnya bisa tersenyum lagi dan bernapas lebih lega.

"Makasih banyak Iqbal."

Iqbal menunjuk kartu di depannya.

"Giliran kamu," ucap Iqbal.

Acha mengangguk, segera mengambil satu kartu secara acak. Kemudian membacakannya untuk Iqbal.

"Kamu lebih pilih pacar di tikung sahabat sendiri atau pacar di tikung kakak sendiri?"

Iqbal kembali terdiam, mencerna sekali lagi pertanyaan yang di bacakan Acha.

"Gimana?" tanya Iqbal mendadak blank.

Acha berusaha sabar, membacakannya sekali lagi.

"Acha kasih perumpamaan ya."

"Iya."

"Iqbal pilih, Acha di rebut sama Glen apa Acha di rebut sama Kak Ando?" perjelas Acha.

"Kenapa harus Glen?" protes Iqbal.

"Kalau Rian nggak mungkin. Rian udah punya Amanda."

"Bener juga. Yang lainnya nggak ada?" tawar Iqbal.

Acha bergumam pelan, mencari perumpamaan lainnya.

"Juna, mau?" tanya Acha asal.

"Nggak!" tegas Iqbal singkat, padat dan cepat.

"Yaudah, balik ke Glen aja," simpul Acha tak berani coba-coba memancing pertikaian dengan Iqbal.

"Oke."

"Jadi Iqbal pilih mana? Acha di rebut sama Glen apa Acha di rebut sama Kak Ando?" tanya Acha tak sabar.

Iqbal berpikir sejenak, sebenarnya pertanyaan tersebut tidaklah sulit untuk di jawab.

"Pacar di tikung sahabat sendiri."

Acha mengerutkan keningnya kaget, tak menyangka dengan jawaban Iqbal.

"Iqbal pilih, Acha di rebut sama Glen?" tanya Acha memastikan.

"Iya."

"Kenapa?" seru Acha tak terima.

"Glen nggak mungkin suka sama kamu, begitu pun sebaliknya."

"Bener juga," lirih Acha menyetujui alasan Iqbal dengan cepat.

"Kalau Kak Ando?" tanya Acha penasaran.

Iqbal menggeleng-gelengkan kepala, membayangkan Acha di rebut oleh kakak kandungnya sendiri terasa memualkan.

"Lanjut," seru Iqbal tak mau menjawab pertanyaan Acha.

Acha mengiyakan permintaan Iqbal tanpa memaksa Iqbal untuk menjawab pertanyaanya.

Iqbal mengambil satu kartu, membacakan pertanyaan untuk Acha.

"Sebutkan tiga hal yang di sukai pacar kamu."

Acha tersenyum semangat, pertanyaan yang sangat mudah baginya.

"Tiga hal yang di sukai Iqbal?"

"Iya."

"Yang pertama pastinya Acha," jawab Acha bangga.

Iqbal tertawa sembari mengangguk setuju.

"Kedua?"

"Kedua, Iqbal selalu suka Acha," jawab Acha dengan yakin.

Iqbal sedikit terkejut mendengarnya, namun akhirnya mengangguk saja, menyetujui.

"Ketiga?"

"Selamanya, Iqbal akan selalu suka Acha. Nggak ada yang lain. Benar, kan?"

Iqbal tersenyum hangat, menganggukan kepalanya.

"Iya."

Acha tak berani menatap Iqbal lebih lama, Ia menahan malu-nya untuk menjawab pertanyaan tadi. Acha segera mengambil satu kartu.

Acha tak langsung membacakannya untuk Iqbal. Acha berperang dengan pikiranya sendiri, seolah mempertanyakan bagaimana bisa dia menuliskan pertanyaan seperti ini.

"Apa pertanyaannya?" tanya Iqbal heran karena Acha diam saja.

Acha tersadarkan, menatap Iqbal sekilas. Acha masih ragu, namun akhirnya memilih tetap membacakannyas aja.

"Pilih putusin pacar kamu atau di putusin pacar kamu?"

Acha merendahkan pandangannya, tak berani menatap Iqbal setelah membaca pertanyaan tersebut. Hati Acha terus bergejolak, menyumpahi dirinya karena sudah membuat pertanyaan bodoh seperti ini.

Acha tersentak kaget ketika Iqbal tiba-tiba merebahkan tubuhnya dan menaruh kepalanya di kedua paha Acha. Lalu, Iqbal mengambil kartu Acha, menatap Acha lekat.

"Natasha," panggil Iqbal hangat.

Acha meneguk ludahnya dengan susah payah, tubuhnya menegang saat itu juga. Apalagi melihat Iqbal mulai mengembangkan kedua sudut bibirnya.

"Iya Iqbal?" balas Acha lirih. Acha merasakan lagi-lagi jantungnya berdetak lebih cepat.

"Aku nggak akan putus dari kamu."

Iqbal mengatakannya sungguh-sungguh. Itulah yang di ingikannya dan di rasakannya saat ini. Rasa cintanya ke Acha sangatlah besar. Sama sekali tak ada pikiran ataupun sekedar keinginan untuk berpisah dengan Acha.

"Acha juga nggak ingin putus dari Iqbal," jawab Acha.

Iqbal meraih tangan Acha, menaruhnya di atas dadanya.

"Ingatkan janji kita berdua?" tanya Iqbal.

"Ingat. Kalau ada masalah apapun di bicarain baik-baik dulu dan selalu di selesaikan bersama-sama."

"Kita akan selalu baik-baik aja."

Acha mengangguk, percaya dengan ucapan Iqbal. Acha membalas senyum Iqbal. Napasnya kembali melega. Acha menatap Iqbal yang juga tengah menatapnya hangat.

Acha merasa seperti sedang menidurkan bayi kecil, wajah Iqbal terlihat menggemaskan dari sudut pandangnya sekarang. Acha menyentuh rambut Iqbal, membelainya lembut.

"Acha suka piknik hari ini. Seperti yang Acha bayangkan," ucap Acha memecah keheningan sesaat mereka.

"Apa yang kamu bayangkan?"

"Acha bayangin kita di bawah pohon besar yang rindang, bersantai bersama, ngobrolin banyak hal dan Iqbal tiduran di pangkuan Acha. Seperti sekarang."

"Aku juga suka," akuh Iqbal.

Acha tertawa pelan, lagi-lagi menyadari bahwa Iqbal masih menggunakan aku-kamu. Mengikuti permintaannya.

"Aneh nggak seharian pakai aku-kamu?" tanya Acha penasaran.

"Lumayan," jujur Iqbal.

Acha kembali tertawa, Iqbal terlalu jujur menjawabnya.

"Kalau seterusnya pakai aku-kamu, Iqbal mau?" tanya Acha penasaran.

"Nggak," tolak Iqbal mentah-mentah.

"Kenapa?" lirih Acha sedikit kecewa.

"Aneh aja."

"Yaudah kalau Iqbal nggak mau," serah Acha tak ingin memaksa.

Iqbal menatap Acha yang sedikit cemberut, Iqbal langsung sengaja menarik bibir Acha, membuat Acha langsung terkejut dan menepuk keras tangan Iqbal.

"Iqbal!!" pekik Acha.

Iqbal tertawa puas, ia segera bangkit, mendudukan tubuhnya.

"Sini," suruh Iqbal menarik tubuh Acha agar lebih dekat.

"Nggak usah dekat-dekat," ketus Acha masih kesal.

"Nggak mau dekat sama pacar sendiri?" goda Iqbal.

"Pacarnya lagi nyebelin!" dengus Acha.

Iqbal menangkupkan tangannya di kedua pipi Acha, menekan pipi Acha sengaja hingga membuat wajah Acha memipih.

"Aku ingin jadi pacar yang apa adanya buat kamu, Cha," ucap Iqbal tulus.

Acha mengangguk pelan.

"Iya Acha tau."

"Maaf ya."

"Untuk?"

"Nggak bisa seterusnya pakai aku-kamu," jujur Iqbal.

Acha menggelengkan kepalanya.

"Nggak apa-apa Iqbal. Hari ini aja, Acha udah seneng banget. Iqbal udah berkali-kali buat Acha gugup sendiri." Acha tak segan mengakui perasaannya.

Iqbal tertawa mendengarnya, kejujuran Acha yang sangat polos selalu menggemaskan di mata Iqbal. Iqbal melepaskan tangannya dari wajah Acha. Perlahan, sedikit mencondongkan tubuhnya.

"Mau nggak jawab pertanyaan aku?"

Acha ingin sekali memundurkan tubuhnya, karena jarak mereka yang cukup dekat. Namun tatapan Iqbal hangat Iqbal berhasil menghipnotisnya. Acha seolah dibuat mematung, tak bisa bergerak sama sekali.

"Apa Iqbal?"

Acha benar-benar sangat gugup. Ia terus berdoa dalam hati, agar jantungnya aman-aman saja. Entah sudah berapa kali, jantungnya dibuat berdetak tak karuan seperti ini oleh Iqbal.

"Pilih sayang sama aku atau cinta sama aku?"

****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? SUKA NGGAK?

JANTUNGNYA MASIH AMAN SEMUAA? ^^

MASIH SENYUM-SENYUM SENDIRI NGGAK? ^^ 

SUKA NGGAK IQBAL PAKAI AKU-KAMU? 

PENASARAN SAMA PART SELANJUTNYAA? 

PERMINTAAN ACHA BELUM SELESAI LOH. PART SELANJUTNYA MAU YANG LEBIH BAPER? GEMESIN APA YANG LEBIH BUAT JANTUNG MELEMAH? ^^ 

SAMPAI JUMPAT DI PART SELANJUTNYAA YAAA ^^

SEMOGA KALIAN SEMUA SELLAU BACA MARIPOSA 2, SELALU SUKA MARIPOSA 2 DAN SELALU SUPPORT MARIPOSA 2 YA. AMIN YARABBAL ALAMIN ^^

JANGAN LUPA AJAK TEMAN-TEMAN KALIAN SEMUAAA BUAT BACA MARIPOSA 2 ^^ 

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yang selalu di tunggu dan di nanti dari kalian semua biar aku semakin semangat NULIS MARIPOSA 2 ^^

MAKASIH BANYAAK SEMUANYAA UDAH MAU BACA MARIPOSA 2 DAN NUNGGU MARIPOSA 2 UPDATE. SAYANG KALIAAN SEMUAAAAA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro