36 - Gejolak emosi
Assalamualaikum, alhamdulillah malam ini bisa update MARIPOSA 2 lagi ^^
Siapa yang udah nggak sabar baca Mariposa 2 part 36 update? Tunjukan emoji Meng kalian ^^
Semoga kalian selalu suka dan baca Mariposa 2 ya ^^
Aku juga ada info penting nih. Di bulan februari yang katanya 'bulan penuh cinta' ini aku adain project ' Mariposa 2 penuh cinta untuk para pembaca'
Dimana projectnya diantara lain :
- Cover Mariposa 2 di ganti cover edisi khusus ya selama bulan februari.
- Feeds Instagram Novel Mariposa akan di ganti warnanya seperti cover edision bulan Februari
- Dan para pembaca juga bisa ikutan ganti profile picture Instagram kalian atau wattpad kalian dengan cover Mariposa 2 edisi khusus bulan februari di bawah ini ya ^^
- Para pembaca juga bisa Share cover Mariposa 2 edisi bulan Februari di story Instagram kalian dan tag ke Instagram @luluk_hf dan @novelmariposa dengan caption kenapa 'kamu suka dengan Mariposa 2'
- Nanti aku akan pilih dua postingan secara random selama bulan februari ini, buat dua orang tersebut aku akan kirim hadiah 'Novel Mariposa pertama versi Jaket Film + TTD Author + Postcard Edisi Special Mariposa'
- Project 'Mariposa 2 penuh cinta untuk para pembaca' berlangsung sampai akhir februari ya. Yuk ikutaan semuanyaa. Semangat ^^
Kalian bisa save covernya yaa dan ikutan Project event-nya. Makasih banyak ^^
Dan, Selamat membaca Mariposa 2 ^^
****
Acha tak bisa menghilangkan senyumnya, wajahnya bersinar mengalahkan mentari pagi ini. Sejak satu jam yang lalu, ia berkutik dengan note sapi merah mudanya. Acha membuat planning untuk satu hari-nya bersama dengan Iqbal. Banyak sekali yang ingin Acha lakukan.
"Ke taman hiburan," lirih Acha menambahkan satu planningnya.
Setelah selesai, Acha memotret planning tersebut, untuk di tunjukannya ke Iqbal. Acha bangkit dari kursi belajarnya, berjalan ke luar kamar. Mamanya dari tadi sudah meneriakinya untuk sarapan.
Acha berjalan ke meja makan, menemukan Kirana sudah duduk menata piring dan menuangkan susu untuk Acha.
"Pagi Tante Mama," sapa Acha semangat.
Kirana mengerutkan kening, menatap putrinya curiga.
"Kayaknya ada yang lagi bahagia nih," sindir Kirana.
Senyum Acha melebar, ia duduk di kursi dengan malu-malu.
"Iqbal udah libur kuliah dan Iqbal juga janji ke Acha akan temenin Acha terus selama liburan, akhirnya Acha nggak di duakan dengan kesibukan Iqbal lagi," curhat Acha.
Kirana mengangguk kecil, ikut tersenyum melihat Acha yang terlihat bahagia.
"Tetap harus kasih hari istirahat buat Iqbal ya Cha. Jangan lupa itu. Dia pasti butuh istirahat setelah satu semester pasti kurang tidur dan kelelahan," pesan Kirana.
Acha mengangguk-angguk langsung mengiyakan.
"Tenang aja Tante Mama. Acha nggak akan ganggu semua liburan Iqbal," balas Acha.
"Bagus."
"Jadi, besok Acha jalan-jalan sama Iqbal ya. Pulangnya agak malam. Boleh kan?" tanya Acha meminta izin.
Kirana mengerutkan kening sekali lagi.
"Malamnya sampai jam berapa?" tanya Kirana ingin memastikan.
"Mmm.. jam sepuluh atau sebelas mungkin?"
Kirana menggumam pelan, mencoba mempertimbangkan.
"Oke, Mama izinkan tapi harus janji nggak lebih dari jam sebelas ya," peringat Kirana.
Acha bersorak senang, mengangkat kedua jempolnya.
"Siap Tante Mama. Acha janji. Makasih banget Tante Mama."
"Sama-sama sayang, sekarang buruan makan."
Acha menganggukan kepala, ia segera mengambil sendok dan garpunya, lantas menghabiskan makanannya. Perbincangan ringan berlanjut antara dia dan sang Mama.
"Bagaimana persiapan kuliah kamu? Sudah punya pilihan mau kuliah dimana semester depan?" tanya Kirana membuka topik baru.
Acha menggeleng pelan.
"Kalau pilihan jurusan, Acha sudah punya list banyak. Tante Mama tau kan, mulai dari psikologi, Farmasi, Arsitektur, Kimia murni, Hubungan Internasional, Ilmu komunikasi, Bisnis Internasional dan masih banyak lagi. Tapi, Acha masih belum nemuin yang benar-benar menarik hati Acha," ungkap Acha dengan jujur.
"Masih nggak tertarik kedokteran?" pancing Kirana. Jujur, Kirana punya harapan besar Acha bisa masuk Kedokteran juga, seperti Iqbal. Kirana sangat tahu bagaimana tingkat kepintaran putrinya. Dan menurut Kirana, Acha lebih dari mampu untuk masuk jurusan tersebut.
Acha mendesah berat, ia jadi teringat dengan malam saat Iqbal mengajaknya untuk masuk kedokteran seperti sang pacar.
"Iqbal beberapa hari yang lalu kasih Acha buku 'Bikomia Harper' miliknya dan ngajak Acha masuk kedokteran bareng," curhat Acha.
"Bagus dong, kamu bisa ketemu terus sama Iqbal, bisa belajar bareng juga," balas Kirana mendukung tanpa ragu.
"Nggak tau Tante Mama, Acha masih belum ada tertarik di kedokteran. Acha lihat Iqbal selama masuk kedokteran jadi sibuk banget, tugasnya banyak dan tanggung jawabnya besar. Acha takut hidup Acha nggak bisa nerima semua kesibukan itu," lirih Acha.
"Belum di coba kok sudah bilang seperti itu."
"Lagian masuk Kedokteran juga pasti butuh biaya mahal. Emang Tante Mama punya uang sebanyak itu?" tanya Acha meragukan.
"Kamu bisa daftar beasiswa," sahut Kirana tanpa beban.
Acha mendecak pelan, harusnya dia sudah menduga jawaban dari Mamanya.
"Acha nggak mau gara-gara Acha masuk Kedokteran, Tante Mama semakin lembur kerja demi mendapatkan biaya kuliah Acha. Acha nggak mau itu!" peringat Acha.
Kirana meletakkan sendok dan garpunya sebelum membalas ucapan putrinya.
"Natasha, kamu nggak perlu khawatirkan biaya kuliah. Mama sudah siapkan dari jauh-jauh hari. Mama sangat mampu untuk biayain kamu, bahkan jika masuk Kedokteran sekalipun," ucap Kirana sungguh-sungguh.
Acha menghela napas panjang, hatinya terenyuh mendengar perkataan Mamanya.
"Makasih Tante Mama. Tapi, untuk sekarang biarin Acha mencari jurusan yang benar-benar Acha pengin ya."
"Iya. Tapi jangan lama-lama. Empat bulan lagi sudah pendaftaran Mahasiswa baru, Natasha. Tahun ini, kamu harus kuliah," ucap Kirana tegas.
"Iya. Acha janji pasti kuliah tahun ini. Acha udah persiapkan semua kok, untuk ujian tes masuk. Acha selalu belajar sebelum tidur. Seminggu lima kali, seperti yang Tante Mama perintahkan."
"Pinter. Main boleh, jalan-jalan sama Iqbal boleh, beli dan rawat boneka-boneka sapi juga boleh, yang penting belajar untuk persiapan kuliah nggak boleh diabaikan."
"Siap Tante Mama."
Kirana berdiri dari kursinya, mengambil kunci mobil dan tas di kursi sebelah.
"Mama berangkat ke butik dulu ya. Sudah ada janji dengan client," pamit Kirana, berjalan menghampiri Acha dan mencium singkat puncak kepala putrinya.
"Hati-hati Tante Mama."
Acha melihat kepergian Mamanya yang semakin menjauh. Seperti inilah aktivitas Acha setiap pagi. Bangun, sarapan, melihat keberangkatan Mamanya kemudian Acha melakukan aktivitas menyenangkan lainnya.
Jika tidak bermain dengan boneka sapinya ya nonton film atau kalau sudah bingung mau melakukan apa, Acha memilih kembali ke kamar untuk belajar.
****
Iqbal menutup kupingnya dengan bantal, suara ketukan pintu kamarnya semakin terdengar keras. Iqbal mendecak sebal, padahal semalam hingga pagi hari ini untuk pertama kalinya dia mendapatkan jatah tidur normal setelah sekian lama selalu tidur malam dan bangun pagi-pagi untuk berangkat kuliah.
"BAAALLL BANGGOOONNN!!"
Dan benar saja dugaan Iqbal, suara menggelegar kakak perempuanya terdengar sangat keras. Iqbal membuang bantalnya dan bangkit dengan wajah kesal.
Tak lama kemudian, pintu kamar Iqbal terbuka, menampakkan sosok cantik Ify yang berdiri di ambang pintu, tersenyum tanpa dosa.
Selama liburan, Iqbal memutuskan untuk tinggal di rumah, jadi sejak semalam dia tidur di rumahnya.
"Biasa aja natapnya," sinis Ify melihat sorot mata dingin sang adik.
Iqbal mendesah berat, awal pagi yang tidak menyenangkan. Sedangkan Ify masih dengan sikap santainya, masuk ke dalam kamar Iqbal, duduk di kursi belajar.
"Anterin gue dong," pinta Ify.
"Gue bukan supir lo," tolak Iqbal mentah-mentah.
"Tapi lo adik gue," balas Ify tak mau kalah.
"Terus?"
Ify melebarkan senyumnya.
"Hakikat seorang adik adalah harus selalu siap melakukan apapun yang di perintahkan oleh sang kakak. Karena takdir seorang adik sejak hari pertama di lahir kan adalah menuruti semua ucapan kakaknya," jelas Ify panjang lebar.
"Kenapa gue harus jadi adik lo," gerutu Iqbal.
"Karena sudah takdirnya adek-ku sayang, lo nggak akan dapatin kakak se-cantik, se-baik dan se-menyebalkan gue dimana pun," bangga Ify.
"Najis!"
Ify menghela napas panjang, mulai lelah dengan perdebatan panjang ini.
"Anterin gue ke rumah sakit, gue nggak bisa nyetir," Ify merengek, ia mengangkat pergelangan tangan kanannya. "Tangan gue ke kilir barusan di taman belakang."
Iqbal menatap sang kakak yang sedang memohon kepadanya. Bukan sikap memerintah seperti beberapa menit yang lalu. Iqbal menjadi tidak tega.
"Gue mandi dulu."
Ify bersorak kemenangan, ia mengangguk-anggukan kepalanya seperti anak kecil. Ify melihat Iqbal turun dari kasur dan berjalan ke kamar mandi.
Brak!
Iqbal sengaja menutup pintu kamar mandinya dengan keras, membuat Ify terjingkat kaget.
"BIASA AJA NUTUP PINTUNYA!"
*****
Iqbal berjalan di belakang Ify, mereka sudah sampai di Rumah sakit. Banyak pasang mata yang melirik ke arah mereka, mengira mereka berdua sepasang kekasih dan menganggap keduanya sangat serasi.
"Kenapa cowok ganteng jodohnya selalu cewek cantik."
Suara bisik-bisikan mulai terdengar, namun Iqbal dan Ify tak menggubris dan terus saja berjalan. Toh, perkataan seperti itu bukan pertama kalinya mereka dengar.
Bukan hanya paras tampan Iqbal yang menjadi sorotan, kecantikan Ify pun membuat para kaum adam berdecak kagum.
"Kak, gue nemuin temen dulu. Lo sendiri nggak apa-apa?" tanya Iqbal setelah mereka sampai di depan ruangan Spesialis Ortopedi.
"Temen siapa? Cantik nggak? Lo punya simpanan?" tanya Ify seenaknya.
Iqbal geleng-geleng, tak berniat menjawab pertanyaan sang Kakak. Iqbal pun memilih beranjak, meninggalkan Ify yang tersenyum puas setelah membuatnya kesal.
*****
Iqbal masuk ke dalam lift, menuju ke lantai empat. Tempat kamar VIP berada. Iqbal ingin menjenguk Sia, melihat langsung kondisi gadis itu.
Iqbal berhenti di depan ruangan 402, mengetuk pelan pintu kamar tersebut.
"Masuk."
Iqbal dapat mendengar suara cowok yang sangat familiar. Perlahan, Iqbal membuka pintu tersebut. Benar saja, Iqbal melihat keberadaan Abdi disana. Abdi terlihat terkejut degan kedatangan Iqbal.
Namun, detik berikutnya Abdi tersenyum, senang melihat kedatangan Iqbal.
"Sia, ada Bang Iqbal datang," bisik Abdi ke Sia yang terbaring lemah.
Kedua mata Iqbal beralih ke Sia. Kondisi gadis itu memang semakin lemah, tubuhnya kurus dan sangat pucat. Alat bantu pernapasan juga terpasang dan kedua matanya sangat sayu.
Iqbal mendekat, tanpa melepaskan pandangannya dari Sia yang juga tengah menatapnya.
"Hai," sapa Iqbal pelan.
Iqbal dapat melihat Sia berusaha tersenyum ke arahnya.
"Duduk Bal," suruh Abdi mendekatkan kursi untuk Iqbal.
Iqbal mengangguk, duduk di kursi samping kasur.
"Gue beliin minum dulu, ya," ucap Abdi.
Iqbal ingin menolak namun Abdi sudah bergegas keluar dari kamar rawat Sia. Iqbal pun membiarkannya saja.
Kini hanya tinggal Iqbal dan Sia di dalam ruangan ini. Terjadi keheningan beberapa saat, hanya suara alat bantu pernapasan Sia yang mendominasi ruangan.
Iqbal mendengar Sia bersuara sangat pelan, tapi Iqbal tak bisa mendengar dengan jelas.
"Apa?"
Iqbal mendekatkan dirinya ke Sia, agar bisa mendengar ucapan Sia.
"Makasih Abang Iqbal udah datang."
Iqbal menjauhkan tubuhnya setelah bisa menangkap apa yang ingin di ucapkan Sia kepadanya. Iqbal tersenyum ke arah gadis itu.
Iqbal menatap Sia semakin lekat, tidak tega melihatnya. Pasti gadis ini sangat kesakitan sekarang.
"Sia udah lakuin yang Abang Iqbal suruh. Nggak menyerah dan bertahan semampu Sia."
Sia kembali bersuara dengan napas tak beraturan.
"Lo harus terus seperti itu," balas Iqbal tak menghilangkan senyumnya sedetik pun.
"Sia nggak bisa sembuh. Tapi, Sia udah lakuin yang terbaik, kan?" tanya Sia lemah. Setetes air mata mengalir di pinggir pelupuk mata Sia.
Iqbal menganggukan kepala, tangannya terulur menghapus air mata tersebut.
"Lo udah lakuin yang terbaik untuk diri lo dan keluarga lo."
Sia tersenyum, terlihat senang mendengar ucapan Iqbal barusan.
"Sia mulai takut, Abang," ucap Sia, senyumnya perlahan memudar.
"Kenapa?"
"Sia takut nggak bisa buka mata dan bernapas lagi setiap Sia tidur."
"Lo pasti bisa."
Sia mengatur napasnya sejenak, dadanya semakin terasa sakit. Sia menguatkan dirinya, dia masih ingin berbincang dengan Iqbal. Namun, keadaannya yang lemah membuat Sia tak bisa seluasa seperti dulu.
Sia kembali menatap Iqbal, senyumnya melengkung sangat cantik.
"Sia senang bisa kenal Abang Iqbal dan Kak Acha. Kalian sangat serasi. Kalian jangan pernah berpisah ya."
****
Abdi mengantarkan Iqbal sampai di depan lift, Abdi menjelaskan keadaan Sia yang bertambah buruk sejak kemarin. Iqbal menepuk pelan bahu Abdi, memberi kekuatan.
"Berdoa biar keajaiban datang," ucap Iqbal.
Abdi mengangguk.
"Thanks, Bal. Udah sempatin jenguk Sia. Dia sangat senang banget."
Pintu lift terbuka, Iqbal segera pamit ke Abdi.
"Gue balik."
Abdi melambaikan tangan ke arah Iqbal bersamaan dengan Iqbal menutup pintu lift. Iqbal sendirian di ruangan persegi ini, mendadak dia merasa sangat hampa. Entah mengapa, kalimat Sia yang terakhir sangat membekas di pikiran Iqbal.
'Jangan berpisah ya.'
Iqbal merasa selama ini hubungannya dengan Acha baik-baik saja, meskipun pertengkaran kecil terkadang terjadi. Iqbal sangat tau, bahwa baik dirinya dan Acha selalu berusaha saling mengerti, menjaga hubungan mereka dengan baik.
Namun kalimat barusan membuat Iqbal terhenyak. Apakah suatu saat dia akan berpisah dengan Acha?
Jika pun itu terjadi, karena apa? Iqbal merasa itu tidak mungkin. Karena sampai detik ini tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan gadis itu. Setiap harinya dia selalu memikirkan Acha dan semakin mencintai gadisnya.
Iqbal menghela napas panjang, memikirkan hal seperti ini membuat napasnya sedikit sesak dan kepalanya memberat. Iqbal meyakinkan dirinya, untuk tidak membiarkan hal itu terjadi.
Seperti yang selalu Iqbal katakannya kepada Acha.
'Apapaun masalah yang terjadi dalam hubungan mereka, harus di perbaiki bersama-sama.'
*****
Ify melirik ke Iqbal yang hanya diam dengan tatapan kosong ke depan. Bahkan sejak keluar dari rumah sakit, Iqbal tak membuka suara lagi setelah menanyakan kondisinya. Yah, Iqbal memang pendiam, Ify tau itu. Tapi ia merasa diamnya Iqbal kali ini terasa beda.
"Ada apa?" tanya Ify tidak ingin berlarut dengan praduga-praduga di kepalanya.
Iqbal tersadarkan dari lamunannya, menoleh singkat ke kakaknya.
"Apa?" tanya Iqbal balik.
"Kenapa lo diam dari tadi?" perjelas Ify.
"Gue dari dulu pendiam."
Ify menghela napas kasar, mendadak kesal mendengar jawaban adiknya. Ify mengelus dadanya, berusaha sabar.
"Bertengkar sama Acha?" tebak Ify.
"Nggak."
"Nilai ujian lo jelek?"
"Nggak mungkin."
Ify mendesis kecil, dalam situasi serius seperti ini masih saja sang adik sempat menyombongkan diri.
"Lo nyolong uang di brankas Papa?"
"Itu lo."
Sial! Ify terperangkap dengan pertanyaannya sendiri. Ingatanya mendadak terputar dengan kejadian paling bodoh yang pernah di lakukanya saat kelas satu SMP. Mengambil semua uang Papanya di brankas hanya karena ingin membuat Papa-nya panik.
Ify menghela napasnya kembali, kali ini untuk menenangkan pikirannya sejenak.
"Terus kenapa? Diem lo nggak kayak biasanya. Lo seperti orang yang lagi banyak pikiran," pertegas Ify.
Iqbal ikut-ikutan menghela napasnya, lebih panjang. Iqbal mempertimbangkan untuk menceritakan ke-khawatirannya kepada kakaknya.
"Menurut lo, gue sama Acha bakalan terus bersama, nggak?" Iqbal memilih untuk berbagi dengan sang kakak. Meskipun Ify terkadang menyebalkan, tapi bagi Iqbal sang kakak pendengar yang baik setelah papanya.
Ify terdiam sejenak, mencerna pertanyaan Iqbal barusan.
"Tergantung," jawab Ify.
"Maksudnya?"
"Kalau yang maha kuasa mengizinkan, lo berdua pasti terus bersama. Kalau ternyata salah satu dari kalian harus kembali ke sang pencipta, ya udah bisa dipastikan nggak bisa bersama," ucap Ify memberikan jawaban terbaiknya.
"Kalau itu, gue juga tau Kak!" serah Iqbal tambah frustasi.
Ify terkekeh pelan, dia sebenarnya paham kemana arah pertanyaan adiknya. 'Apakah Iqbal dan Acha tidak akan berpisah? Apakah hubungan Iqbal dan Acha tidak akan berakhir di kata putus?'
"Tergantung komitmen lo dan Acha sekuat apa, Bal," jawab Ify kembali serius.
Iqbal mengerutkan keningnya.
"Gue masih belum paham."
Ify berdeham pelan, merangkai kalimat sebentar di kepalanya agar membuat adiknya lebih mengerti. Ia bersiap untuk menjelaskan.
"Contoh simpelnya gini. Selama ini lo bertengkar sama Acha karena problem kecil aja, kan? Lo lupa ulang tahun Acha atau Acha nyembunyiin dia sakit dari lo atau lo yang terlalu sibuk. Dan, lo berdua bisa mengatasi itu karena komitmen untuk saling mengerti dan barusaha perbaiki semua masalah tersebut di tambah semua itu bukan masalah yang besar."
Iqbal mengangguk mulai paham.
"Tapi, seandainya problemnya lebih besar dari itu. Misalnya, lo atau Acha selingkuh. Lo berdua bisa saling memaafkan, nggak? Masih mau untuk memperbaiki, nggak?" serang Ify tepat sasaran.
Deg! Iqbal langsung menginjak rem-nya mendadak. Untung saja mereka sudah masuk di lingkungan perumahan yang cukup sepi. Ify langsung melotot ke adiknya saking kagetnya.
"Bal!" tajam Ify menyadarkan sang adik.
"Sori Kak, gue cuma kaget."
Ify mengelus dadanya, hampir saja napasnya berhenti karena perbuatan teledor adiknya. Iqbal pun menjalankan kembali mobilnya, lebih hati-hati.
"Acha nggak mungkin selingkuh," ucap Iqbal dengan yakin.
"Nggak ada yang bisa jamin. Begitu juga dengan lo. Selama waktu masih terus berjalan, perasaan setiap orang bahkan sifat setiap orang bisa saja berubah," ucap Ify bijak.
Perkataan Ify berhasil membuat Iqbal terdiam lama, sorot mata Iqbal mulai terlihat tidak tenang.
"Makanya itu, balik lagi ke komitmen lo berdua. Sampai batas apa komitmen yang kalian berdua berlakukan. Sampai batas apa kata 'saling mengerti', 'saling mencintai', dan 'saling memaafkan' itu di berlakukan juga. Kalau batasnya sangat tinggi, bahkan lo berdua masih mau bersama ketika salah satu dari kalian ada yang selingkuh atau melakukan kesalahan fatal..." Ify menggeleng-geleng kepala, seolah tak bisa membayangkan jika hal itu terjadi.
Ify menoleh ke Iqbal, menepuk pelan bahu adiknya.
"Udah, nikah aja lo berdua, kalau sampai itu beneran terjadi," ucap Ify memberikan saran terbaiknya.
Iqbal memberikan lirikan tajam, mengira kakaknya sedang bercanda.
"Batas yang gue ucapin barusan, itu udah level paling atas Bal. Dan level komitmen itu yang biasanya berlaku untuk orang yang sudah menikah. Level paling atas ber-komitmen untuk 'saling mengerti', 'saling mencintai' dan 'saling memaafkan'. Dengan begitu janji 'se-hidup dan se-mati' bisa berlaku." Ify tersenyum bangga dengan semua kalimat yang di sampaikannya.
Iqbal menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Benar kan, apa yang di bilang Iqbal beberapa menit lalu. Selain pendengar yang baik, kakaknya juga guru konsultasi percintaan terbaik. Maklum saja, Jam terbang kakaknya mengenai percintaan sudah lebih handal.
"Jadi gimana?" tanya Ify memecahkan lamunan Iqbal.
"Apa?"
"Sampai batas mana komitmen lo berdua?"
Iqbal menggeleng lemah, tidak yakin.
"Lo mau maafin Acha nggak, kalau dia selingkuh?" pancing Ify ingin tau.
Ash! Iqbal mendesis kasar, hanya membayangkan hal itu terjadi saja membuat napasnya kembali sesak.
Iqbal menghentikan mobil yang sudah sampai di depan gerbang rumah mereka. Lantas, Iqbal kembali menoleh ke kakaknya, menatap dengan lekat.
"Lo sendiri gimana, Kak? Bakalan maafin, jika lo di selingkuhin?" tanya Iqbal balik.
Ify langsung tertawa sinis ketika mendengar pertanyaan Iqbal.
"Jelas enggaklah! Gue udah di masukan ke dalam jurang sekali, ngapain gue mau kembali masuk ke jurang yang jelas-jelas menyakitkan!" jawab Ify langsung memberikan perumpamaan.
Iqbal tertohok saat itu juga. Perkataan Ify sangat benar. Namun, Iqbal tidak yakin bahwa dia tidak akan kembali ke jurang itu lagi.
Yah, Dia pasti akan sakit hati. Tapi, perasaan cintanya ke Acha, bisa saja lebih besar dari rasa sakit hatinya. Jika, hal itu benar-benar terjadi. Mungkin.
Ify tertawa pelan, wajah khawatir Iqbal kentara sekali. Ify mengelus kepala adiknya, menenangkan.
"Acha nggak bakalan selingkuh Bal," ucap Ify sungguh-sungguh.
"Kata lo nggak bisa jamin," balas Iqbal skiptis.
"Kali ini gue jamin," ucap Ify dengan yakin sembari melepaskan seat-beltnya.
"Kenapa?"
Ify kembali menoleh ke Iqbal, tersenyum penuh arti.
"Karena cuma lo yang mampu dan mau beli sapi bahkan sekandang-kandangnya buat Acha!"
Setelah itu Ify langsung keluar dari mobil, meninggalkan melotot kesal karena perkataan Ify barusan. Sedangkan Ify berlarian masuk ke rumah dengan suara teriakan menggelegar.
Iqbal geleng-geleng kecil, menghela napasnya pelan. Ia kembali dengan pergulatan hatinya. Memikirkan kembali perkataan dan masukan bijak sang kakak.
Semua perkataan Ify, dan semua yang di rasakannya ketika mendengar perkataan kakaknya membuat Iqbal semakin sadar. Bahwa, perasaan cintanya ke Acha sudah sangat besar. Iqbal tidak ingin kehilangan gadis itu dan ingin terus bersama dengan gadis itu.
Bahkan, jika di ingat kembali. Acha-lah yang membuat Iqbal tidak se-dingin dulu. Banyak hal baik yang berubah dari Iqbal semenjak bersama dengan Acha.
****
Acha menelan ludahnya menatap deretan lauk di etalase panjang yang terpampang depan matanya. Acha tiba-tiba ingin makan 'Nasi Padang', akhirnya dia berangkat sendiri ke restoran yang biasanya ia datangi dengan Iqbal.
"Tumben Kak datang sendiri? Pacarnya nggak ikut?" tanya Abang penjualnya yang hapal dengan Acha.
Acha tersenyum canggung.
"Pacarnya lagi liburan," jawab Acha seadanya.
Abang penjual hanya mengangguk dan tertawa.
"Pesanan kayak biasanya, Kak?" tanya Abang penjual tersebut.
"Iya Bang. Tambahin daun singkongnya ya," pinta Acha.
"Perkedelnyadouble juga nggak?"
"Boleh Bang."
Acha membayar pesanannya dan menunggu di bungkus dengan tidak sabar. Perutnya sudah meronta-ronta ingin menghabiskan satu bungkus nasi padang pesanannya.
"Acha."
Sebuah panggilan dari suara familiar membuat Acha langsung berbalik, Acha melihat sosok Juna melambaikan tangannya dengan tangan kiri membawa satu kresek besar yang di dalamnya puluhan bungkus nasi padang.
"Juna," balas Acha sedikit canggung. Acha masih merasa tidak enak dengan Juna karena masalah beberapa hari lalu.
Juna terlihat tersenyum senang melihat Acha, ia berjalan mendekati Acha.
"Sendirian?" tanya Juna tak menyadari keberadaan siapapun di samping Acha.
"Iya. Acha lagi pengin makan nasi padang."
"Kak ini ya pesanannya," ucap Abang penjual menyodorkan pesanan Acha.
Acha segera mengambilnya dan mengucapkan terima kasih.
"Juna beli nasi padangnya banyak banget?" tanya Acha basa-basi.
"Iya, ada saudara dari luar kota datang di rumah," jawab Juna.
Acha mengangguk-angguk kecil. Keheningan terjadi beberapa saat.
"Mau langsung balik?" tanya Juna lagi.
"Iya."
"Kesini naik apa?"
"Naik ojek online," jawab Acha lagi.
"Mau gue antar pulangnya?" tawar Juna tanpa ragu.
Acha terdiam, bingung harus menjawab apa. Juna tertawa pelan melihat wajah tegang Acha.
"Takut sama Iqbal?" tebak Juna.
"Maaf Juna," lirih Acha semakin bersalah.
"Nggak apa-apa Cha, gue cuma anter pulang aja. Kita juga nggak keluar bareng, kan?" ucap Juna mencoba menenangkan Acha.
"Iya."
"Gue anter ya, mau hujan loh, Cha."
Acha mendongakan kepalanya, benar saja, warna langit mulai gelap. Padahal beberapa menit lalu, matahari masih baik-baik saja memancarkan sinarnya.
Acha berpikir sebentar, tidak enak untuk menolak. Acha takut jika Juna menganggapnya menjauhi cowok itu.
Acha melirik ke ponselnya, melihat tak ada notifikasi dari Iqbal. Acha berpikir bahwa Iqbal pasti sedang beristirahat di rumah. Iqbal juga jarang datang ke rumahnya siang-siang seperti ini.
"Iya Juna. Makasih. Maaf Acha ngerepotin lagi," jawab Acha, akhirnya mengiyakan tawaran Juna.
"Sama sekali nggak ngerepotin Cha."
Mereka berdua pun berjalan ke parkiran, masuk ke dalam mobil.
*****
Iqbal bukanya masuk ke dalam rumah, malah pergi ke rumah Acha setelah mengantarkan sang Kakak. Iqbal terdiam di dalam mobil, lebih dari lima belas menit ia terus melihat rumah Acha dari jendela mobil tanpa mau turun.
Keadaan rumah Acha terlihat sepi dari luar. Seperti tidak ada orang di rumah tersebut.
Iqbal mengambil ponselnya, melihat tidak ada notifikasi apapun dari Acha sejak tadi pagi. Baru saja Iqbal akan mencari kontak Acha dan melakuka panggilan, sebuah mobil berhenti tak jauh dari mobil Iqbal.
Iqbal memasukan ponselnya kembali, menatap mobil tersebut dengan kening berkerut. Iqbal mempertajam pandangannya, dari dalam mobilnya, Iqbal bisa melihat siapa yang ada di mobil itu.
Iqbal menghela napas berat, melepaskan seatbelt-nya sedikit asal. Setelah itu, tanpa pikir panjang Iqbal keluar dari mobil, ingin menyambut sang pacar.
Sedangkan keadaan di mobil Juna terasa horor. Mereka berdua seperti baru saja melihat penampakkan paling menyeramkan yang pernah mereka lihat sepanjang hidup Acha dan Juna.
"Mampus!" lirih Acha merutuki kebodohannya.
Bahkan, hanya melihat mobil Iqbal saja sudah membuat Acha ketakutan. Acha ingin sekali menghilang, tidak ingin turun.
Juna menoleh ke Acha, ia merasa bersalah.
"Cha, gue bisa jelasin ke Iqbal," ucap Juna ingin membantu.
"Nggak usah Juna. Biar Acha yang jelasin ke Iqbal. Juna nggak perlu turun," tolak Acha. Ia tidak ingin ada perang dingin.
"Beneran?"
"Iya Juna. Makasih udah anterin Acha pulang."
"Sama-sama Cha. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi gue."
Acha tersenyum tipis, ia melirik ke depan, mendapati Iqbal berdiri menyandar di depan mobilnya dengan sorot mata yang sulit di artikan.
"Acha turun ya Juna. Hati-hati di jalan."
Acha keluar dari mobil Juna dengan hati-hati dan rasa takut yang semakin berkecamuk. Setelah itu, mobil Juna beranjak dari hadapan Acha dan Iqbal. Meninggalkan Acha dan Iqbal berdua saja disana.
Acha berdoa dalam hati, supaya dia bisa diberi jurus menghilang saat ini.
Acha menarik napasnya sebentar, menata hatinya untuk tidak gugup. Setelah merasa siap. Acha memberanikan diri untuk menatap Iqbal, berjalan pelan-pelan ke arah sang pacar.
"Iqbal udah lama nungguin?" tanya Acha hati-hati.
Tak ada jawaban dari Iqbal, cowok itu memperhatikan Acha lekat.
"Acha barusan beli nasi padang, Iqbal mau juga nggak?" tanya Acha lagi sambil mengangkat nasi padangnya. Acha berusaha sebisa mungkin terus mengembangkan senyumnya.
Akhirnya ada pergerakan dari Iqbal, cowok itu menghela napas pelan.
"Diantar siapa?" tanya Iqbal, padahal dia sudah jelas tau siapa pemilik mobil tadi.
Glup! Acha meneguk ludahnya susah payah. Tenggorokannya mendadak kering. Padahal suara Iqbal terdengar tenang, namun tetap saja Acha bisa merasakan dinginnya nada itu. Dia seperti baru saja tertangkap basah selingkuh dari sang pacar.
"Acha nggak sengaja ketemu Juna di restoran Nasi Padang. Terus Juna nawarin anterin Acha pulang. Awalnya Acha nggak langsng iyain, tapi karena mendung, Acha takut hujan akhirnya Acha nerima tawaran Juna," jelas Acha sejujur-jujurnya.
Acha mengigit bibir bawahnya, meremas jemarinya semakin gugup. Iqbal kembali diam, seolah masih mencerna penjelasannya. Acha bertambah takut.
"Maafin Acha Iqbal. Acha beneran nggak ada apa-apa sama Juna," tambah Acha tak ingin Iqbal salah paham.
Detik berikutnya, Iqbal tiba-tiba mengambil Nasi padang Acha, dan mengenggam tangan Acha.
"Ayo masuk, katanya lapar."
Acha terhenyak bingung, Iqbal langsung mengalihkan topik begitu saja. Acha bukanya melegah malah semakin takut. Acha pun mengangguk saja, mengikuti langkah Iqbal ke arah gerbang rumahnya.
Acha menoleh ke Iqbal sebelum membuka gerbang rumahnya.
"Iqbal nggak marah, kan, sama Acha?" tanya Acha ingin memastikan.
Iqbal menatap Acha sembari mengeleng.
"Nggak."
"Beneran?"
"Iya."
Acha berusaha untuk mengembangkan senyumnya, sedikit melega mendengarnya.
"Maaf ya Iqbal. Acha pulang dianter Juna tanpa bilang ke Iqbal," sesal Acha.
Akhirnya Acha dapat melihat senyum Iqbal, kali ini Acha benar-benar bernapas lega. Acha dapat merasakan genggaman tangan Iqbal lebih erat.
"Besok-besok minta jemput gue," pesan Iqbal.
"Acha nggak enak kalau telfon Iqbal cuma buat jemput di restoran nasi Padang. Pasti ngerepotin Iqbal."
"Cha..."
Acha menghela napas berat, mengangguk cepat tanpa melawan.
"Iya Iqbal."
Mereka pun masuk ke halaman rumah Acha. Iqbal duduk di sofa panjang teras rumah Acha, menunggu Acha mengambil piring, sendok dan minum.
Iqbal menatap sebungkus nasi pandang di atas meja dengan dingin. Iqbal merasa bungkusan itu juga tengah menantangnya, meledek dirinya.
"Ganteng doang, pacarnya diantar pulang cowok lain!"
Iqbal menghela napas panjang, berusaha meluruskan pikirannya. Ingin sekali Iqbal membuang sebungkus nasi padang tersebut jika tidak ingat bahwa Acha sedang lapar.
Siang ini, emosi Iqbal di buat naik-turun hanya karena sebungkus nasi padang!
Tak lama kemudian, Acha kembali meletakkan piring, sendok dan dua gelas air putih di meja.
"Iqbal mau makan juga nggak?" tawar Acha.
Iqbal bernapas lega melihat kedatangan Acha. Jika saja Acha telat satu detik, mungkin Iqbal benar-benar sudah membuang nasi padang tersebut.
"Nggak," tolak Iqbal cepat.
Acha membuka bungkus nasi padangnya, meletakkan di atas piring, bersiap untuk makan.
"Kenapa nggak mau? Ini nasi padang kesukaan Iqbal loh."
Iqbal menggeleng pelan, menatap nasi padang tersebut dengan ogah-ogahan. Iqbal mendeklarasikan dalam hati, mulai saat ini, dia tidak akan makan nasi padang.
"Beneran Iqbal nggak mau?" tanya Acha lagi karena tak ada jawaban dari Iqbal.
Iqbal menatap Acha, kemudian mengangguk dengan yakin.
"Gue nggak suka nasi padang."
****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA PART INI? SUKA NGGAK?
PERASAAN KALIAN GIMANA WAKTU BACA PART INI?
PENASARAN SAMA PART SELANJUTNYA?
SIAPA YANG PALING GEMESIN DI PART INI?
SAMPAI BERJUMPA LAGI YAA DI PART 37 ^^
SEMOGA KALIAN SEMUA SELALU SUKA, SUPPORT DAN BACA MARIPOSA 2 YA.
JANGAN BOSAN-BOSAN UNTUK BACA MARIPOSA 2 DAN AJAK JUGA TEMAN-TEMAN KALIAN UNTUK BACA MARIPOSA 2 ^^
JANGAN LUPA JUGA BUAT COMMENT DAN VOTE UNTUK MARIPOSA 2 YAA. SELALU PALING DITUNGGU BANGET DARI KALIAN SEMUA ^^
Pantengin juga Instagram @luluk_hf dan @novelmariposa karena banyak spoiler-spoiler dan Info-Info tentang Mariposa 2 disana.
DAN, AYO IKUTAN PROJECET ' MARIPOSA 2 PENUH CINTA UNTUK PARA PEMBACA '
MAKASIH BANYAAK SEMUANYAAAA, SELALU CINTAA KALIAN SEMUAAA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro