Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Perempuan itu

Assalamualaikum semuanya. Apa kabar? Sehat selalu ya buat kita semua. Amin. 

Alhamdulillah hari Jumat datang. Siapa yang dari tadi nungguin MARIPOSA 2 Update?

Keluarkan emoji sapi kalian, jika kalian nggak sabar baca part 35? 

SIAPKAN HATI DULU YUK. PART INI MENGANDUNG SEDIKIT DEG DEGAN HEHE. 

UDAH SIAP? BENERAN SIAP?

DAN... SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 PART 35 TEMAN TEMAN SEMUA ^^

****

Glen memutar permen lolipopnya, lebih dari sepuluh menit ia menunggu Rian dan Iqbal yang tak kujung datang. Pagi ini mereka di undang acara syukuran di Yayasan BINTANG.

Sejak kelas satu SMA mereka bertiga bertekad setiap bulannya menyisihkan uang jajan mereka untuk Yayasan BINTANG. Yayasan ini sebenarnya di bawa pengawasan Keluarga Anggara yang merupakan pendonor dana terbesar. Yayasan tersebut merawat anak yatim dan piatu bahkan ada juga anak yang di buang orang tuanya sejak bayi.

Kini, tekad itu menjadi kebiasaan hingga sekarang bagi Glen, Rian dan Iqbal. Selain untuk meneruskan yang dilakukan keluarga mereka, mereka juga ingin belajar berbagi sejak masih muda.

Glen menegakkan tubuhnya, bernapas legah akhirnya melihat mobil BMW dan Audi bersamaan masuk di halaman luas Yayasan BINTANG. Glen geleng-geleng, tidak biasanya kedua sahabatnya itu telat. Yah, biasanya dirinya yang telat.

Apa Iqbal dan Rian sedang membalas dirinya?

"Abuegile, tepat waktu sekali bujang-bujang kasmaran ini," sapa Glen memaksakan senyumnya.

Iqbal dan Rian berjalan mendekati Glen yang tengah menjulurkan tangannya.

"Salim dulu sama orang ganteng," ucap Glen iseng.

Rian menepis cepat tangan Glen tanpa rasa kasihan.

"Gue anter Amanda dulu ke kampus," ucap Rian memberikan alasan telatnya.

"Bujang kasmaran satu alasan diterima," seru Glen tanpa banyak komentar.

Rian dan Glen menoleh ke Iqbal yang tengah sibuk memakai Apple Watch-nya. Mereka sedikit kaget.

"Jam tangan lo baru?" tanya Rian.

"Sejak kapan lo pakai Apple Watch?" heran Glen diangguki Rian cepat. Mereka berdua paham banget, Iqbal jarang mau ribet pakai jam tangan yang harus di charger dulu ataupun terhubung dengan ponselnya.

"Di kasih Acha," jawab Iqbal singkat.

Rian dan Glen mengangguk-anggukkan kepala, tak berniat bertanya lagi tentang jam tangan Iqbal. Glen menepuk pelan bahu Iqbal.

"Bujang kasmaran dua kenapa telat?" tanya Glen mengembalikan topik semula.

Iqbal menatap kedua temannya bergantian, mengehela napas sangat panjang.

"Tag Heuer gue masuk mesin cuci," jawab Iqbal dengan enggan.

Rian dan Glen langsung melototkan kedua mata mereka.

"LAGI?" seru mereka tak santai.

Iqbal menjauh dua langkah, telinganya mendadak panas mendengar teriakan Glen dan Rian. Ia sudah lelah di ceramahi kakaknya pagi-pagi dan tidak ingin mendengar ceramah lagi apalagi dari dua sahabatnya.

"Lo punya dendam apa Bal sama mesin cuci di rumah lo? Kemarin ponsel dan sekarang jam tangan?" ucap Glen dramatis.

Rian menampar pipi Glen pelan dengan tatapan licik.

"Nggak usah sok ceramahin Iqbal. Lo lupa apa pura-pura lupa?" sinis Rian.

"Apa?" sahut Glen tak santai.

"Bulan lalu, lo juga lupa taruh ponsel lo di dalam kulkas!"

"Abuegile, ingat aja Abang bujang satu ini," cengir Glen dengan tak berdosa.

Rian geleng-geleng, melihat dua sahabatnya bergantian. Tak mengerti dengan kebiasaan teledor Iqbal dan Glen.

"Lo berdua kalau pengin sombong kekayaan nggak usah malu-malu," ucap Rian skiptis.

Iqbal merasa tak nyaman berdiri lama-lama apalagi jika kedua sahabatnya masih ingin membahas salah satu jam tangan kesayangannya yang sudah ia ikhlaskan.

Walaupun pagi tadi, Iqbal harus mendengar omelan kakak perempuanya hampir satu jam. Yah, bagaimana Ify tidak mengomel?

Bukan hanya karena jam tangan tersebut hadiah kelulusan dari Papanya, melainkan harga jam tangan tersebut yang lebih dari tiga puluh juta. Dan, Iqbal dengan entengnya memasukan ke mesin cuci. Meskipun dia tidak sengaja karena lupa mengeluarkannya dari jaket.

"Masuk yuk, udah ditungguin Kepala Yayasan," ajak Glen mengalihkan pembicaraan.

Rian dan Iqbal mengangguk setuju, mengikuti Glen yang berjalan duluan. Glen masih terus mengoceh karena keterlambatan dua sahabatnya.

****

Glen, Rian dan Iqbal di sambut ramah oleh Kepala Yayasan. Mempersilahkan mereka bertiga masuk ke dalam Aula. Keadaan cukup ramai, banyak adik-adik yang sedang makan sembari menonton teman-teman lainnya bernyanyi ataupun menunjukkan bakat di panggung depan.

Glen, Rian dan Iqbal langsung menyalami Bu Dana, sang Kepala Yayasan.

"Makasih banyak Glen, Rian dan Iqbal. Ibu kira kalian nggak bisa datang," ucap Bu Dana terlihat bahagia.

"Maaf ya Bu, kita jarang bisa datang rutin seperti dulu," ungkap Rian mewakili kedua temannya.

"Nggak apa-apa. Saya mengerti, kalian pasti sibuk, kan? Apalagi sekarang udah jadi mahasiswa," balas Bu Dana penuh pengertian.

"Kalau Glen emang sibuk kuliah Bu, beda sama mereka berdua. Sibuk pacaran juga," aduh Glen sengaja.

Perkataan Glen berhasil membuat Rian dan Iqbal langsung memberikan sorot mata tajam kepada sahabat mereka yang paling kaya ini. Sedangkan, Bu Dana hanya tertawa mendengarnya.

"Kalian sudah sarapan belum? Makan dulu ya," suruh Bu Dana.

"Iya Bu. Kasihan Rian dan Iqbal belum pernah sarapan sejak lahir," celetuk Glen lagi.

Rian mendecak pelan, ia merangkul bahu Glen.

"Apalagi Glen Bu, belum pernah sarapan sejak dalam kandungan," balas Rian sengaja.

Lagi-lagi tawa Bu Dana pecah. Baginya ketiga anak ini sama sekali tak berubah. Sikap ramah mereka, percekcokan mereka dan kompaknya mereka. Bu Dana tiba-tiba teringat saat pertama kali bertemu dengan mereka yaitu ketika mereka bertiga masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sangat menggemaskan.

Glen, Rian dan Iqbal di persilahkan duduk di kursi yang telah di sediakan untuk mereka.

"Kalian bisa ambil makanan di sana ya," ucap Bu Dana menunjuk ke deretan meja berisikan makanan prasmanan.

"Iya Bu. Terima kasih," serempak Glen, Rian dan Iqbal.

"Ibu tinggal sebentar."

Bu Dana beranjak pergi meninggalkan Glen, Rian dan Iqbal yang mulai sibuk melihat adik-adik di sekitar mereka. Entah mengapa, mereka merasa sangat tenang. Seolah kepenatan dan beban di tubuh mereka perlahan menguap.

Tidak ada lagi rasa mengeluh, tidak ada lagi otak panas dan tubuh lelah. Hanya ada rasa bersyukur di hati mereka.

"Gue ingat banget dulu waktu pertama kali kesini diajak Bunda, gue yang paling nggak mau ikut," ucap Glen, ingatannya kembali berputar saat pertama kali dia kesini bersama Bu Anggara, Rian dan Iqbal.

Rian dan Iqbal tertawa pelan, sangat ingat.

"Lo nangis karena ngira lo mau di buang di panti asuhan, kan?" decak Rian.

Glen ikut tertawa sembari mengangguk.

"Gara-gara lo berdua yang terus nakut-nakutin gue, bilang kalau gue anak punggut!" balas Glen tak terima.

Rian terdiam sebentar, teringat sesuatu.

"Sebenarnya yang sering bilang lo anak punggut bukan gue dan Iqbal," ucap Rian.

Glen dan Iqbal langsung menoleh ke Rian, ingatan tajam mereka bekerja cepat.

"Lela," ucap Rian dan Glen bersamaan.

Yah, bukan hanya Glen, Rian dan Iqbal yang diajak oleh Bu Anggara ke tempat ini untuk pertama kalinya. Ada Lela juga. Teman kecil mereka yang akhirnya pindah ke Surabaya bersama keluarganya di akhir kelas dua sekolah dasar.

Glen tersenyum samar, sudah lama ia tidak mengingat nama itu. Padahal sejak kecil Glen dan gadis itu selalu saja bertengkar. Dan, Glen juga masih punya kesalahan kepada gadis itu di akhir perpisahan mereka.

"Gimana ya kabar dia?" lirih Glen.

"Lo masih bersalah sama dia?" tanya Rian.

"Hm. Dan itu semua karena lo berdua," sengit Glen.

"Nggak ada yang nyuruh lo bilang 'nggak suka' ke dia."

"Lo berdua terus nuduh-nuduh gue suka sama Lela, makanya gue kesal banget waktu itu."

Rian mendesah berat. "Nyatanya lo suka, kan, sama dia waktu itu!"

Glen melotot tak terima. Ia menunjuk ke Rian dan Iqbal bergantian.

"Lo berdua juga!"

Iqbal kembali tersenyum samar.

"Kenapa dia dan keluarganya tiba-tiba menghilang."

*****

Glen, Rian dan Iqbal terdiam bagai patung dengan membawa piring mereka yang belum ada isinya apa-apa. Kedua mata mereka menyorot ke arah yang sama. Seorang perempuan berambut pendek bergelombang yang sedang menata gelas-gelas tak jauh dari mereka berdiri.

"Cewek itu yang kita temui di café beberapa minggu lalu, kan?" tanya Rian memecah keheningan.

"Hm, yang lo berdua bilang kenal sama cewek itu," sahut Glen.

"Wajahnya nggak asing," tambah Rian.

Iqbal menghela napas pelan, dia bahkan sudah bertemu gadis itu tiga kali. Iqbal tak mau pusing memikirkan hal yang tidak pasti. Menurutnya buang-buang waktu. Ia menepuk bahu Rian dan Glen.

"Ayo makan," ajak Iqbal.

Rian dan Glen tersadarkan, mengangguk cepat dan mengikuti Iqbal mengambil nasi serta lauk-lauk yang tersedia di meja.

Sepanjang mereka menikmati makanan, tatapan Rian dan Glen tak lepas dari gadis yang masih menata gelas dan piring di ujung meja sana. Gadis itu pun nampaknya menyadari bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Sedangkan Iqbal, seolah tidak peduli. Ia hanya fokus dengan makanannya.

Glen menatap ke Rian dan Iqbal cepat.

"Apa gue tanya ke Kepala Yayasan?" tanya Glen memberikan ide terbaiknya.

"Nggak usah!" serempak Rian dan Iqbal.

*****

Namun bukan Glen namanya jika sudah dilarang akan tetap menuruti. Setelah selesai makan, Glen memanggil Kepala Yayasan dan menanyakan rasa penasarannya dan kedua temannya.

"Kalian udah mau pulang?" tanya Bu Dana melihat Glen, Rian dan Iqbal sudah berdiri.

"Iya Bu. Iqbal masih ada ujian siang ini," ucap Rian sopan.

"Oh benar, masih bulannya mahasiswa ujian akhir semester ya?" tanya Bu Dana.

"Glen sama Rian udah selesai Bu. Iqbal yang belum. Maklmum, ujian hidup Iqbal lebih panjang Bu," seru Glen dengan cengiran khasnya.

Bu Dana tertawa pelan, selalu terhibur dengan kekonyolan Glen.

"Ibu ucapin makasih banyak, kalian sudah datang. Ibu sangat senang."

"Kami juga makasih banyak Bu. Kalau bulan depan nggak sibuk, kita usahakan datang lagi," balas Rian.

"Ibu selalu tunggu ke datangan kalian."

Glen teringat akan tujuannya memanggil Kepala Yayasan.

"Bu Dana, kita boleh tanya?"

Rian dan Iqbal langsung menoleh ke Glen dengan tatapan seolah memberikan kode 'Jangan! Jangan!' Namun, Glen mengabaikan tatapan itu.

"Tanya apa Glen?" balas Bu Dana.

Glen tanpa beban menunjuk ke gadis yang baru saja selesai menata gelas dan piring terakhirnya.

"Siapa perempuan itu?"

Semua mata sontak beralih ke arah yang di tunjuk Glen, ta terkecuali Bu Dana yang penasaran dengan pertanyaan Glen.

Bu Dana terdiam sebentar ketika melihat perempuan yang dimaksud oleh Glen. Senyumnya mengambang saat itu.

"Namanya Biya," ucap Bu Dana menoleh kembali ke Glen.

Glen, Rian dan Iqbal tertegun sesaat. Nama yang benar-benar asing bagi mereka, tidak seperti rupa gadis itu yang sangat familiar.

"Biya?" ulang Rian.

"Iya. Tiga bulan yang lalu dia tinggal disini. Tapi, sejak dua minggu kemarin dia izin pindah. Katanya sudah dapat tempat tinggal di dekat tempat kerjanya," jelas Bu Dana.

"Kenapa tanya Biya? Kalian kenal?" tanya Bu Dana senyumnya terukir semakin lebar di wajahnya.

"Nggak Bu, hanya wajahnya sedikit familiar saja. Tapi, kita nggak bisa ingat siapa," jawab Rian.

Bu Dana mengangguk-angguk kecil.

"Mau Ibu panggilkan?"

"Nggak Bu," tolak Rian dan Iqbal cepat.

Namun sepertinya Bu Dana sudah terkontaminasi dengan sikap blak-blakan Glen. Bu Dana tak mengihdakan penolakan Rian dan Iqbal.

"Biya, sini," panggil Bu Dana sedikit kencang.

Gadis yang di panggil, menatap Bu Dana dengan bingung. Bu Dana terus melambai-lambaikan tangan menyuruh gadis itu mendekatinya. Detik berikutnya gadis itu berjalan mendekati Bu Dana.

"Ada apa Bu?" tanya Biya dengan tatapan datar dan suara yang tenang.

Bu Dana tersenyum riang, memperkenalkan Biya ke Rian, Glen dan Iqbal. Keadaan mendadak canggung. Baik Rian, Iqbal, Glen bahkan Biya sendiri hanya tersenyum kaku.

Biya memperhatikan satu persatu ketiga cowok di hadapannya, tentu saja Biya ingat dengan ketiga cowok ini. Cowok yang ditemuinya di café. Apalagi Iqbal, Biya sangat ingat. Hampir tiga kali, dia sudah bertemu dengan Iqbal di bulan ini.

"Oh ya, Biya kerja di perpsutakaan Universitas Arwana, kan?" tanya Bu Dana membuka topik baru.

"Iya Bu," jawab Biya.

"Jam berapa kerja kamu hari ini?"

"Satu setengah jam lagi Bu. Biya habis ini izin balik ya Bu," jelas Biya.

"Kalau gitu kamu bareng aja sama mereka. Kalian habis ini ke kampus, kan?" tanya Bu Dana dengan semangat.

Glen, Rian dan Iqbal saling bertatapan sebentar.

"Saya dan Glen sudah libur Bu. Tinggal Iqbal yang masih ujian dan habis ini langsung ke kampus," jawab Rian.

Tatapan Bu Dana beralih ke Iqbal.

"Iqbal nggak keberatan kalau Biya bareng ke kampus sama kamu?" tanya Bu Dana meminta izin.

Belum sempat Iqbal menjawab, Biya sudah menyela duluan.

"Nggak usah Bu Dana. Ngerepotin. Biya bisa naik angkot," tolak Biya halus.

Bu Dana menggelengkan kepala, tidak setuju.

"Biya, naik angkot dari sini ke kota harus pindah dua kali. Belum lagi nanti kamu harus naik KRL juga, baru berhenti di dekat kampus. Nanti kamu telat," ucap Bu Dana sembari menepuk pelan pundak Biya.

"Nggak akan telat Bu. Biya bisa berangkat sendiri."

Bu Dana tak mempedulikan ucapan Biya, kembali menatap ke arah Iqbal.

"Iqbal nggak keberatan, kan?" tanya Bu Dana lagi.

Iqbal menggeleng kecil, menyetujui saja. Tidak mungkin, kan, dia menolak permintaan Bu Dana.

"Nggak, Bu."

Bu Dana tersenyum senang mendengar jawaban Iqbal.

"Biya, kamu bareng Iqbal saja. Kamu mau dipecat dari pekerjaan kamu karena telat?" peringat Bu Dana.

Biya menghela napas panjang, mengangguk pasrah.

"Iya Bu."

*****

Bu Dana mengantarkan Glen, Rian dan Iqbal keluar, mereka semua menyalami Bu Dana sebelum berjalan ke mobil masing-masing.

"Kalian hati-hati di jalan," pesan Bu Dana.

"Iya Bu."

Bu Dana menatap Iqbal dan Biya begantian.

"Iqbal, nitip Biya ya. Jangan ngebut-ngebut," lanjut Bu Dana.

Iqbal mengangguk pelan. Setelah itu, mereka semua beranjak, masuk ke dalam mobil masing-masing. Bu Dana masih berdiri di depan Yayasan, memastikan Biya juga ikut masuk ke mobil Iqbal.

Tak lama kemudian, ketiga mobil mewah tersebut berjalan menjauh dari Yayasan BINTANG. Meninggalkan Bu Dana yang masih betah berdiri dengan senyum mengembang.

*****

Keadaan benar-benar canggung dan hening di dalam mobil Iqbal. Mereka berdua sama sekali tak membuka suara sedikit pun sejak masuk ke dalam mobil. Iqbal lebih memilih fokus menyetir dan Biya menatap keluar jendela dengan tatapan hampa.

Jujur, Biya merasa tidak nyaman dan menurutnya Iqbal juga. Apa lebih baik dia turun saja sekarang?

Biya menoleh ke Iqbal, mendapati tatapan tenang dan dingin cowok itu.

"Gue nggak nyaman berada satu mobil sama lo sekarang," ucap Biya blak-blakan.

Iqbal sama sekali tak terkejut mendengar ucapan Biya, cowok itu masih saja bersikap tenang.

"Gue juga," jawab Iqbal tanpa basa-basi.

Biya tersenyum hambar.

"Lo bisa turunin gue di Stasiun dekat sini. Gue bisa naik KRL dari sana," ucap Biya.

"Oke," jawab Iqbal tanpa pertimbangan.

Biya mendecak pelan, bahkan cowok itu sama sekali tidak menatapnya. Dan, Biya tak mempermasalahkan itu. Lebih baik seperti ini. Sama-sama tidak peduli.

Tak lama kemudian, mereka sampai di Stasiun yang dimaksud oleh Biya. Mobil Iqbal berhenti di dekat pintu masuk.

"Makasih tumpangannya," ucap Biya lantas turun dari mobil Iqbal.

Tak ada jawaban dari Iqbal, sikap dinginnya ke cewek asing tidak pernah berubah. Setelah Biya menutup pintu mobil Iqbal, mobil itu langsung melaju pergi begitu saja, meninggalkan Biya tanpa pamit.

Biya tersenyum sinis sembari geleng-geleng, seolah takjub.

"Sifat pendiamnya nggak pernah berubah."

*****

Iqbal mengakhiri ujiannya dengan penuh kelegaan. Tak terasa sudah sepuluh hari dia lalui. Teriakan keras terdengar se-isi ruangan. Iqbal terkekeh pelan melihat teman-temannya yang mulai bertingkah aneh.

Ada yang berlarian mengelilingi kelas, ada yang sujud syukur bahkan ada yang meraung-raung. Yah, mereka semua terlihat bahagia. Sepuluh hari yang bagai perang bagi anak-anak Fakultas Kedokteran.

Abdi menghampiri Iqbal yang sudah bersiap menenteng tasnya.

"Ikut makan-makan bareng anak kelas, nggak?" tanya Abdi.

Iqbal menggelengkan kepala.

"Nggak bisa sekarang," jawab Iqbal sedikit tidak enak.

"Yah... Udah ada janji?"

"Hm."

"Sama siapa?"

Iqbal menatap Abdi sembari tersenyum penuh arti membuat Abdi semakin penasaran.

"Lo ada janji sama siapa?" ulang Abdi tak sabar.

Iqbal menepuk bahu Abdi pelan.

"Sama Bidadari."

Setelah itu Iqbal beranjak pergi begitu saja, keluar kelas meninggalkan Abdi dan teman-teman lainnya.

Abdi menghela napas panjang, masih merinding mendengar jawaban Iqbal barusan. "Alamak. Bisa bucin juga dia."

****

Hati Iqbal berbunga-bunga. Bukan hanya karena ujian telah selesai, tapi juga karena di akan bertemu dengan Acha sore ini. Tadi siang sebelum masuk ke ruang ujian, Acha sempat menelfon Iqbal, memberi semangat dan mengajak Iqbal untuk makan bareng di luar.

Tentu saja, Iqbal langsung menyetujui. Tidak ada alasan baginya untuk menolak permintaan sang pacar.

****

Iqbal melihat Acha berlarian kecil keluar rumah. Hari ini Acha menggerai rambutnya dengan memakai short dress jeans warna biru selutut tanpa legan. Acha terlihat benar-benar sudah sehat, senyumnya lebih ceria dari kemarin.

"Ayo berangkat," seru Acha tak sabar.

Mata Iqbal menangkap gantungan kupu-kupu di tas Acha. Itu adalah gantungan kunci yang di beri Sia untuknya dan Acha.

"Mau makan apa?" tanya Iqbal kembali menatap Acha.

Acha bergumam panjang dengan kening berkerut.

"Acha nggak mau makan yang berminyak, pengin makan yang segar dan banyak warna hijaunya.

"Makan daun mau?" iseng Iqbal.

Acha melototkan kedua matanya.

"Iqbal, nggak daun juga!" protes Acha tidak terima.

Iqbal terkekeh pelan.

"Terus makan apa?"

"Sushi," jawab Acha kembali semangat.

"Katanya yang banyak warna hijau?"

Senyum Acha menghilang, berganti dengan tatapan serius ke sang pacar.

"Wasabi warnanya hijau, kan?"

Setelah itu Acha nyelonong begitu saja masuk ke dalam mobil Iqbal, meninggalkan Iqbal yang masih diam di tempat. Iqbal menghela napas panjang.

"Siapa juga yang bilang wasabi warnanya ungu."

****

Iqbal dan Acha sampai di restoran Sushi yang sering di kunjungi Iqbal, Rian dan Glen. Bau segar salmon dan shoyu menyambut penciuman Acha, membuat Acha semakin semangat.

Acha duduk duluan di meja ujung dekat jendela. Letak paling strategis dan di sukai oleh Acha.

"Iqbal mau sushi kayak biasanya?" tanya Acha yang sudah hapal sushi kesukaan Iqbal. Sang pacar sangat suka Sushi yang banyak salmonnya.

"Iya."

Acha pun dengan lihai memesankan menu-menu untuk dirinya dan Iqbal. Sedangkan Iqbal memandangi, sesekali membatalkan menu Acha yang menurutnya tidak akan termakan.

"Apa lagi ya?" lirih Acha seolah belum puas dengan menu-menu yang di pilihnya.

"Cha, pesenannya udah banyak," ucap Iqbal mengingatkan.

Acha menatap Iqbal dengan bibir mengerucut.

"Acha baru pesan enam menu, tambah satu lagi ya," mohon Acha.

"Di habisin nggak?"

Acha langsung cemberut, tak bisa melawan jika Iqbal sudah bertanya seperti ini. Dengan berat hati Acha menutup buku menu di hadapannya.

"Itu aja Kak pesanannya," ucap Acha enggan kepada pramusaji yang menahan tawa melihat tingkah Acha.

"Beneran nggak mau nambah lagi Kak?" tanya pramusaji itu memastikan.

Acha menggeleng lemah.

"Nggak di bolehin sama pacar, Kak," aduh Acha sengaja.

Pramusaji itu terkekeh pelan, kemudian pamit beranjak setelah mencatat dan mengulangi menu yang di pesan Acha.

Iqbal melihat Acha yang masih cemberut, memainkan bibirnya tanpa mau menatapnya. Iqbal menahan senyumnya, terus memandangi sang pacar.

"Mau ngambek sampai kapan?" tanya Iqbal.

"Acha nggak ngambek," jawab Acha cepat, dengan pandangan ke luar jendela.

"Beneran?" goda Iqbal.

Acha mendesah berat, menggerakan kepalanya ke Iqbal. Acha dan Iqbal akhirnya saling bertatapan. Namun kedua mata Acha masih menyorot sebal dan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Acha nggak ngambek, cuma kesal aja sama Iqbal. Kalau makanannya tadi nggak habis, kan, bisa di bungkus. Acha pengin banget makan guritanya tadi," Acha meluapkan unek-uneknya.

"Gue nggak ada ngelarang lo buat nggak pesan lagi," balas Iqbal dengen enteng. Toh, memang Iqbal bukannya melarang, hanya memastikan ke Acha, apakah gadis itu bisa menghabiskan makanan yang di pesannya.

Acha mendecak, tambah kesal.

"Iqbal nyebelin banget," keluh Acha.

Iqbal tak bisa lagi menahan untuk tidak tersenyum, ekspresi kesal Acha sangatlah lucu.

"Lo juga," ucap Iqbal terang-terangan.

Acha membulatkan matanya, terkejut. Kedua tangannya langsung di taruh di meja.

"Apa? Acha nyebelin juga?" protes Acha tak terima.

Iqbal menggelengkan kepala.

"Bukan."

"Terus apa?"

Senyum Iqbal bertambah lebar, tangannya mengenggam jemari Acha yang ada di atas meja.

"Gemesin."

Acha seketika membeku mendengarnya. Ia merasakan jantungnya kembali berdetak cepat dan pipinya juga merona setelah mendengarkan pujian dari Iqbal.

"Ng.. Nggak usah godain Acha, nggak mempan," ucap Acha terbata-bata.

Iqbal terkekeh pelan.

"Gue pesenin guritanya," ucap Iqbal mengalah. Ia tak mau membuat Acha kesal lebih lama. Iqbal ingin hari ini menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan sang pacar.

Seketika senyum Acha mengembang mendengar ucapan dari Iqbal.

"Beneran? Acha boleh nambah guritanya?" tanya Acha memastikan.

"Iya Natasha."

Acha bersorak senang, tidak sia-sia ia berpura-pura cemberut tadi. Acha tak bisa berhenti senyum melihat Iqbal memesankan gurita untuknya.

****

Semua menu sushi berjejer memenuhi meja. Iqbal dan Acha meneguk ludah mereka melihat banyaknya pesanan mereka. Acha menghela napas panjang, ternyata benar ucapan Iqbal bahwa pesanannya sudah sangat banyak. Belum lagi, mereka mendapatkan gratis semangkok Curry Udon.

"Ayo makan," ajak Iqbal tak mau berpikir panjang. Kalau tidak habis ya bisa di bungkus.

Acha mengangguk, mengambil sumpit di depannya. Mereka berdua makan dengan tenang tanpa banyak bicara. Baik Acha dan Iqbal sama-sama lapar.

Tanpa mereka berdua sadari seorang cowok bertubuh tinggi dengan senyum mengembang lebar berjalan mendekati Iqbal dan Acha.

Cowok itu langsung nyelonong duduk disamping Acha, membuat Acha terkejut bukan main.

"Astaghfirullah," nyebut Acha memegangi dadanya, ia bahkan hampir tersedak gurita.

Sedangkan Iqbal tetap terlihat tenang, tanpa melihat siapa cowok itu Iqbal seolah sudah tau. Iqbal kenal dari parfumnya.

Iqbal mengangkat kepalanya, benar dugaannya. Iqbal dapat melihat sosok Glen dengan sebuahpet cargo travel dipangkuannya.

"Hai kaum-kaum bucin milenial," sapa Glen dengan tak berdosanya.

Acha menoleh ke arah Glen dengan tatapan kesal.

"Bisa nggak datangnya nggak ngagetin?" cibir Acha.

"Nggak bisa, gue emang sengaja biar lo kaget," balas Glen dan dengan santainya mengeluarkan satu sumpit.

Acha menghela napas kasar, melihat Glen yang mulai asik mencomoti sushi di meja seenak jidat. Ingin sekali memukulkan sumpit di kepala Glen.

"Glen jangan di habisin, itu sushi kesukaan Iqbal," peringat Acha melihat Glen menghabiskan lima salmon kurang dari semenit.

Namun Glen tak peduli, berganti mencomoti irisan salmon segar yang masih utuh. Acha meletakkan sumpitnya dengan keras, bertambah kesal.

"Glen pesan sendiri sana," suruh Acha.

"Gue udah pesan," jawab Glen tanpa menatap Acha.

"Terus kenapa makan punya Iqbal dan Acha?"

"Masih di bungkus."

"Glen kan bisa makan di rumah," ucap Acha masih berusaha sabar.

Glen tak menjawab, ia merebut gelas minuman Iqbal, menghabiskannya sampai tak bersisa. Sedangkan Iqbal tak bisa berkomentar apapun selain geleng-geleng. Iqbal sama sekali tidak terkejut melihat pemandangan seperti ini.

"Makan sushi punya Glen sendiri!" emosi Acha.

Glen menghentikan aktivitas makannya, menoleh ke Acha sebentar.

"Lo nggak pernah dengan pepatah tenama Cha?" tanya Glen sok misterius.

"Pepatah apaan?" bingung Acha bercampur sebal.

Glen tersenyum lebar.

"Makan punya orang lain itu lebih enak dan nikmat, daripada punya sendiri. Apalagi gratis. Beuh!"

Wah! Acha tak bisa berkata-kata setelah mendengar pengakuan Glen tanpa rasa bersalahnya. Acha pun akhirnya mengalah, melawan Glen sama saja menghabiskan energinya.

Iqbal melihat Acha sangat kesal, ia berusaha menenangkan gadisnya.

"Gue pesankan lagi," ucap Iqbal mengusap jemari Acha.

Acha mendengus pelan, mengangguk pasrah. Acha melirik ke arah Glen, masih heran dengan kedatangan Glen yang tiba-tiba. Dari banyaknya restoran, kenapa harus berjumpa dengan Glen disini? Sangat mengganggu.

"Makan Cha, jangan sungkan-sungkan," ucap Glen tak tau diri.

"Harusnya Glen yang sungkan," protes Acha.

"Abuegile, kalau sungkan duluan nggak dapat apa-apa Cha," balas Glen sok bijak.

Iqbal selesai memesankan sushi untuk dirinya dan Acha. Ia juga meminta ke pramusaji untuk di prioritaskan dengan segera diantarkan pesanannya, agar Acha tidak terus kesal.

"Lo darimana?" tanya Iqbal menengahi pertikaian Glen dan Acha agar tidak berlanjut.

Glen meletakan sumpitnya, merasa sangat kenyang. Setelah itu menunjuk ke Pet Cargo Travel di pangkuannya.

"Beliin Meng Cargo baru. Besok bunda mau ajak Meng ke luar kota," jawab Glen.

"Bukannya Meng udah punya banyak?" tanya Iqbal, ia pernah melihat beberapa pet cargo tarvel di halaman belakang rumah Glen.

"Buat anak-anaknya. Si Meng udah lahiran, lima anak. Empat anaknya di adopsi sepupu. Jadi di rumah tinggal si Meng dan satu anaknya," jelas Glen panjang lebar.

Iqbal manggut-manggut mengerti.

"Nama anaknya siapa?" tanya Acha tiba-tiba tertarik dengan perbincangan Glen. Jujur, selain suka boneka sapi, Acha juga suka dengan kucing. Yah, walaupun tidak sebesar cintanya ke boneka-boneka sapinya.

"Masih gue cariin. Lo ada ide nama, nggak?" tanya Glen meminta saran.

"Nggak ada," jawab Acha cepat, sedang tak ingin memeras otaknya.

Glen mendecak pelan, beralih menatap Iqbal.

"Lo ada ide nama nggak Bal?" tanya Glen ke Iqbal.

"Gue nggak pintar buat nama," jujur Iqbal.

Glen menghela napas berat, buntu. Tak mendapat pencerahan. Glen bergegas berdiri ketika nomor pesanannya di panggil. Bersamaan itu juga, pesanann baru Iqbal datang semua.

"Makasih sushi-sushinya. Semoga amal kebaikan kalian berdua di balas oleh yang maha kuasa. Amin."

Setelah itu, Glen pergi begitu saja dengan pet cargo travel di tangan kanannya, meninggalkan Acha yang melongo sembari geleng-geleng.

Acha mengerjap-kerjap kedua matanya, masih di buat heran dengan kedatangan Glen dan sikap tak tau diri Glen beberapa menit yang lalu.

"Kayaknya waktu pembagian kesopanan, Glen datangnya paling telat," cibir Acha.

Iqbal tertawa pelan mendengarnya. Ia mengambilkan sumpit baru untuk Acha.

"Kalau kebaikan, dia datangnya paling awal, Cha," ucap Iqbal sungguh-sungguh. Iqbal tau sekali betapa baiknya seorang Glen Anggara walau kadang sifat gilanya membuat orang lain takjub.

Acha menggeleng cepat, tidak setuju.

"Baik apanya? Dari tadi makan semua sushi punya Iqbal seenaknya," gerutu Acha.

Iqbal tersenyum, menatap Acha penuh arti.

"Glen bayarin semua, Cha."

Acha mendadak diam, masih tak mengerti. Acha langsung menoleh ke arah kasir, mencari sosok Glen. Benar saja, Acha menemukan Glen menatapnya dengan senyum lebar sembari melambai-lambaikan struk panjang berwana putih.

*****

Setelah makan sushi sampai kenyang, Iqbal langsung mengantar Acha pulang. Acha sebenarnya masih ingin jalan-jalan bersama Iqbal. Tapi, Acha tidak mau egois. Iqbal pasti butuh istirahat setelah siang tadi berperang dengan ujian terakhirnya.

Iqbal menatap Acha yang masih berdiri di hadapannya dengan tangan tak mau lepas dari genggamannya.

"Nggak masuk?" tanya Iqbal.

Acha menghela napas pelan.

"Belum mau, masih kangen sama Iqbal," jujur Acha.

Iqbal tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya.

"Besok bisa ketemu lagi," ucap Iqbal.

"Besok Iqbal nggak kuliah?"

"Gue udah libur Cha."

Ah! Acha baru ingat sekarang perkataan Iqbal. Selesai ujian terakhir, Iqbal langsung mendapat libur.

"Berarti Iqbal bisa kabulin permintaan Acha yang dulu?" tagih Acha.

Iqbal menganggukan kepalanya, dia selalu mengingat permintaan Acha.

"Selama satu hari, Iqbal harus tebus kesibukan Iqbal dengan temenin Acha dan kabulin kemauan Acha," seru Acha.

Iqbal menggangguk setuju tanpa ragu.

"Besok?"

Acha menggeleng cepat.

"Jangan besok. Acha mau buat planning dulu, selama satu hari kita kemana. Acha nggak mau nyia-nyiain satu hari itu," jelas Acha. "Kalau lusa. Gimana?"

"Oke," jawab Iqbal lagi-lagi langsung setuju.

Acha tersenyum senang melihat Iqbal yang tak menolak permintaannya. Acha melangkah mendekat, menghamburkan tubuhnya untuk memeluk Iqbal.

"Makasih Iqbal," ucap Acha tulus.

Iqbal membalas pelukan Acha sangat erat.

"Gue yang makasih," balas Iqbal lebih tulus.

"Untuk?"

"Sudah ngerti kesibukan gue, selalu nunggu gue dengan sabar dan support gue," perjelas Iqbal.

"Itu udah tugas Acha, Iqbal nggak perlu makasih."

Iqbal melepaskan pelukan Acha, menatap Acha dengan kenign berkerut.

"Tugas?" bingung Iqbal.

"Iya. Acha nyebutnya tugas. Jadi pacar Iqbal nggak main-main tugasnya dan cuma Acha yang bisa sabar jalanin tugas-tugas itu," ucap Acha dengan bangga.

Iqbal tertawa mendengarnya, tidak kepikiran sampai sana. Iqbal menjulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Acha.

"Selalu di samping aku ya, Natasha."

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? SUKA NGGAK? BAPER NGGAK? ATAU BUAT WAS-WAS? 

BERI SATU KALIMAT UNTUK PART 35 INI ^^ 

KALIAN PALING PENASARAN SAMA APA NIH DI PART BERIKUTNYA?

SAMPAI BERJUMPA DI PART SELANJUTNYAA YAAA. SEMOGA KALIAN SELALU SETIA MENUNGGU MARIPOSA 2 DAN BACA MARIPOSA 2 AMIINN ^^

SELALU SUPPORT MARIPOSA 2 YAAA ^^

JANGAN LUPA JUGA BUAT COMMENT DAN VOTE YAA. SELALU PALING DITUNGGU BANGET DARI KALIAN SEMUAA ^^

OH YA, KALIAN KALAU ADA BUAT VIDEO TIKTOK TENTANG NOVEL MARIPOSA ATAU NOVEL-NOVELKU YANG LAIN, JANGAN LUPA TAG KE AKU YA. BIAR BISA AKU REPOST. NANTI KALAU ADA VIDEO YANG MENARIK BAKALAN AKU KASIH HADIAH NOTE SAPI ATAU MASKER SAPI-NYA ACHA ^^ 

KALIAN BISA PANTENGIN INSTAGRAMKU : @luluk_hf  DAN TIKTOK-KU : @luluk.hf 

MAKASIHH BANYAAKKK TEMAN-TEMAN SEMUAA DAN SELALU SAYANG KALIAN SEMUAAA ^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro