Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 - Cewek itu lagi

Assalamualaikum semuanya. Selamat malam. Alhamdulillah aku balik lagi bawa Mariposa 2. 

SIAPA YANG UDAH NGGAK SABAR BUAT BACA PART 32? 

SUB JUDULNYA MERESAHKAN YA KAWAN. SIAPIN HATI DULU YUK ^^

TUNJUKAN EMOJI SAPI KALIAN KALAU UDAH BENERAN SIAP UNTUK BACA PART INI ^^ 

Yuk main tebak-tebakan gambar lagi. Ini adalah salah satu adegan di part ini ^^

ADA YANG BISA NEBAK NGGAK INI ADEGAN APA? YUK YUK IMAJINASI LIARNYA DIKELUARKAN WKWK

OH YA AKU JUGA ADA INFO. KALAU DI INSTAGRAM @luluk_hf dan @novelmariposa ADA GIVEAWAY NOTE SAPI MARIPOSA. JANGAN LUPA IKUTAN YAA ^^

DAN... SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2. SEMOGA SELALU SUKAA YAA ^^

*****

Acha hanya bisa terbungkam dan bergeming diatas kasur. Tak berani memandang ke depan. Entah sudah berapa puluh menit wanita paruh baya dengan paras cantik ini terus mengoceh kepadanya. Mondar-mandir dihadapan Acha dengan raut wajah dipenuhi amarah dan kekhawatiran menjadi satu.

Darimana Mamanya tau? Acha berpikir keras!

"Natasha! Kamu dengar Mama nggak?" jengah Kirana. Melihat sang putri yang tak meresponnya sama sekali.

"De... Dengar Tante Mama," lirih Acha sedikit takut.

"Bagaimana bisa kamu sakit sampai diopname nggak kabarin Mama?"

"Ka... Kan Mama lagi sibuk banget sama project diluar kota, ja... jadi Acha nggak bera..."

"Terus kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana? Kamu nggak pikirin Mama bakalan khawatir banget?" potong Kirana menggebu.

"Ma... Maaf Tante Mama. Acha salah."

"Iya kamu salah!"

"Maaf."

Kirana menghembuskan napas kasar, menatap sang putri dengan sorotan masih berkobar.

"Kalau tadi pagi, Iqbal nggak telfon Mama. Kamu masih nggak mau kasih tau Mama kalau kamu sakit?" tanya Kirana.

Kan! Benar firasat Acha. Pasti yang memberitahu sang Mama adalah Iqbal. Siapa lagi?

Sejak pagi tadi juga, Acha tidak melihat keberadaan Iqbal. Cowok itu pasti sudah berangkat ke kampus tanpa membangunkan Acha.

Saat Acha bangun, dihadapannya sudah ada Mamanya dengan kedua mata yang menggelap dipenuhi kobaran api. Tentu saja Acha sangat kaget sekaligus takut bukan main. Dan, Acha pun hanya bisa pasrah, menerima semua luapan amarah dari sang Mama.

Yah, Acha memang pantas mendapatkannya.

"Acha udah nggak apa-apa Tante Mama," ucap Acha pelan, berusaha menenangkan emosi sang Mama.

"Untungnya nggak apa-apa, kalau sampai terjadi apa-apa bagaimana?"

Lagi-lagi Kirana memberikan serangan telak kepada Acha, membuat Acha semakin terpojokkan.

"Acha masih sakit Tante Mama, jangan dimarahin," ucap Acha berusaha menyelamatkan diri.

"Barusan katanya udah nggak apa-apa?" sindir Kirana.

"Sekarang sedikit apa-apa," jawab Acha seenaknya.

"Natasha!" geram Kirana.

Acha mengerucutkan bibirnya, menatap Kirana dengan wajah memelas.

"Tante Mama udahan ya marahnya, Iqbal udah diemin Acha dari kemarin masa Tante Mama mau ikut-ikutan marah juga ke Acha," rajuk Acha.

Kirana memberikan lirikan tajam ke arah sang anak.

"Mama doain Iqbal terus diemin kamu!"

"Tante Mama kok jahat, doain gitu!" seru Acha tak terima.

"Lebih jahat mana sama kamu?" serang balik Kirana.

"Ta... Tapi kan nggak doain gitu juga. Tega banget."

"Ya karena kamunya bandel! Udah besar masih aja bertingkah kayak anak kecil. Sok-sokan nggak mau ngerepotin orang!"

"Kan niat Acha baik," balas Acha tak mau kalah.

"Sebelah mana baiknya? Coba jelaskan ke Mama. Apakah nggak ngasih kabar ke orang tua itu baik?"

Acha diam tak bisa menjawab. Ia lagi-lagi kalah telak.

"Jawab Natasha!" paksa Kirana.

"Nggak baik Tante Mama," jawab Acha pelan.

"Sekarang sudah tau kesalahan kamu? Sudah sadar yang kamu lakuin benar-benar salah?" tanya Kirana memberikan penekanan.

"Tau Tante Mama. Maaf."

Acha segera menangkupkan kedua tangannya, ia merasa sangat bersalah kepada sang Mama. Acha melihat Kirana benar-benar marah kepadanya. Acha tak lagi berani melawan.

"Tante Mama maafin Acha. Acha janji nggak bakal kayak gini lagi. Acha janji selalu kasih kabar ke Tante Mama. Udahan ya marahnya," mohon Acha sungguh-sungguh.

Kirana menghela napas panjang, menurunkan kedua tangannya yang sedari tadi masih terlipat didepan dadanya. Kirana menatap kedua mata sang putri yang berkaca-kaca, seolah meminta ampunan kepadanya.

Tatapan Kirana mulai melunak, napasnya lebih tenang.

"Jangan buat Mama jadi orang tua yang nggak baik, Natasha. Sesibuk apapun Mama, tetap kamu yang penting buat Mama. Kamu yang paling utama buat Mama," ungkap Kirana.

Pernyataan Kirana langsung menusuk hati Acha, terasa sangat sakit mendengarnya. Perlahan Acha tertunduk, tak bisa lagi menahan bendungan air matanya yang sedari tadi ingin menerobos keluar.

"Maaf Tante Mama."

"Mama cuma punya kamu, kalau ada apa-apa sama kamu, bagaimana Mama harus maafin diri Mama karena nggak bisa jaga kamu dengan baik?"

Acha meremas jemarinya bersamaan dengan air matanya yang terus menetes membasahi kedua pipinya. Tak menyangka, bahwa yang dilakukannya sudah membuat sang Mama seterluka ini.

"A... Acha minta maaf Tante Mama," ucap Acha menahan isakannya.

Kirana berjalan mendekati putrinya. Duduk dipinggir kasur Acha. Kirana melihat tubuh Acha yang bergetar, membuat hati Kirana tidak tega. Ia merasa sudah cukup untuk menyadarkan putrinya akan kesalahannya.

Kirana perlahan memberikan pelukan ke Acha, mengelus pelan-pelan punggung Acha. Namun, pelukan Kirana bukannya menenangkan Acha malah semakin membuat Acha terisak. Tangisannya bertambah deras seolah rasa bersalah Acha meluap saat itu juga.

"Acha benar-benar minta maaf Tante Mama. Jangan marah lagi sama Acha," tangis Acha dalam pelukan Kirana.

Kirana mempererat pelukannya.

"Mama yang salah. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu. Mama belum bisa jadi Mama yang baik buat kamu," lirih Kirana.

Acha menggelengkan kepalanya cepat.

"Tante Mama sama sekali nggak salah. Tante Mama udah jadi Mama yang baik buat Acha. Acha aja yang nakal suka repotin Tante Mama. Acha juga sering bandel nggak nurutin pesan-pesan Tante Mama," ungkap Acha disela isakannya.

Kirana merasakan hatinya tersentuh mendengar jawaban dari putrinya.

"Jangan lakuin seperti ini lagi, Natasha. Selalu jujur ke Mama. Jangan buat Mama merasa bersalah," pinta Kirana.

"Iya Tante Mama."

"Mama sayang sama kamu dan selamanya akan seperti itu. Jadi, jangan merasa merepotkan Mama karena Mama nggak pernah direpotkan sama kamu. Mama selalu bahagia bersama kamu."

Acha mengeratkan pelukan Kirana saat itu juga bersamaan dengan air matanya yang turun bertambah banyak.

"Acha juga sayang sama Tante Mama. Acha lebih bahagia punya Tante Mama. Sekali lagi Acha minta maaf."

Untuk beberapa detik, Kirana dan Acha sama-sama terdiam. Acha sibuk meredahkan tangisannya dan Kirana berusaha menenangkan putrinya. Kirana mulai melegah. Ia merasa memeluk Acha seperti ini, menyadarkan bahwa putrinya sudah bertumuh besar walau kadang sifatnya masih seperti anak-anak.

Tangisan Acha akhirnya meredah dan Acha lebih tenang. Kirana perlahan melepaskan pelukannya, menatap kedua mata putrinya yang sembab.

Kirana terkekeh pelan, tangannya menghapus bercak air mata Acha.

"Udah jangan nangis," ucap Kirana lembut.

"Iya Tante Mama."

"Beneran keadaan kamu udah nggak apa-apa sekarang?" tanya Kirana lagi.

Acha mengganggukkan kepala cepat.

"Acha beneran udah sehat. Kata dokter kalau hari ini Acha udah nggak demam lagi dan nggak lemas lagi, Acha udah boleh pulang," jelas Acha dengan jujur.

"Syukurlah. Mama beneran khawatir terjadi apa-apa sama kamu," ungkap Kirana menunjukkan kembali rasa bersalahnya.

Acha menggenggam tangan kiri Mamanya, memberikan tatapan yang hangat.

"Acha beneran udah nggak apa-apa Tante Mama," ucap Acha menenangkan sang Mama.

Kirana menghela napas pelan, mengangguk percaya.

"Acha pasti keluar rumah sakit hari ini Tante Mama. Jangan khawatir lagi," tambah Acha memamerkan senyum bahagianya.

Kirana mendecak pelan, takjub dengan perubahan suasana hati sang putri yang begitu cepat.

"Seandainya Mama belum tau kondisi kamu dan kamu udah keluar rumah sakit hari ini. Siapa yang akan bayar biaya rumah sakit kamu? Kamu punya uang?" tanya Kirana ingin tau.

Ah! Acha langsung tertegun saat itu juga dengan bibir terbuka sempurna. Kenapa ia tidak terpikir sampai sana?

"Acha nggak punya uang," jawab Acha dengan lugunya.

"Kamu mau minta bayarin Iqbal?" sindir Kirana.

"Bukan ide yang buruk, bukan?" tanya Acha iseng.

"Natasha!!" tajam Kirana mulai mengeluarkan sorot mata apinya.

"Maksud Acha pinjam uangnya Iqbal dulu, baru nanti Tante Mama yang ganti uangnya Iqbal," ralat Acha cepat-cepat.

"Memangnya Iqbal bakalan mau kamu ganti uangnya?" cerca Kirana tak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.

Acha bergumam panjang.

"Pasti mau, kan?" tanya Acha balik, nada suaranya tak yakin.

"Nggak mungkin mau!" telak Kirana tajam. Tentu saja, Kirana sangat tau bagaimana sifat Iqbal. Dua tahun berpacaran dengan putrinya membuat Kirana mengenal sosok Iqbal dengan sangat baik.

"Iqbal pasti mau Tante Mama," ucap Acha masih optimis.

"Kamu nggak ingat kejadian Mama nitip ambilkan pesanan 100 dessert-box untuk arisan di butik. Kamu lupa bawa dompet dan Iqbal mau bayarin gitu aja. Saat Mama ingin ganti uangnya, dia nolak terus nggak mau nerima uang dari Mama!" cerita Kirana mengingatkan sang putri.

"Iqbal nggak enak kali sama Tante Mama. Kan Cuma 100 dessert-box," ucap Acha kekuh dengan keoptimisannya.

"Natasha! satu boxnya harganya delapan puluh ribu. Kali aja seratus!"

Acha tertohok saat itu juga.

"De... Delapan juta," lirih Acha terbata.

"Dan kamu masih yakin Iqbal bakalan nerima uang ganti kalau kamu pinjam uang dia untuk biaya rumah sakit kamu?"

Acha menggaruk-garuk belakang lehernya yang sedikit gatal. Ia tersadar bahwa otak pintarnya kadang-kadang tak berfungsi di situasi seperti ini? Benar-benar sebuah keputusan yang buruk tidak memberikan kabar ke Mamanya! Kesalahan yang cukup besar. Acha sangat menyadarinya sekarang.

"Jangan merepotkan orang lain sayang. Nggak baik. Lebih baik repotkan keluarga sendiri, karena keluarga akan selalu ada buat kamu, saat senang maupun susah," pesan Kirana bijak.

"Iya Tante Mama. Acha akan ingat baik-baik pesan Tante Mama."

Kirana membelai rambut Acha, merapikan rambut putrinya yang sedikit berantakan. Kirana menatap Acha yang juga tengah tersenyum ke arahnya. Putrinya bukan anak kecil lagi, kini sudah tumbuh dengan cantik.

Ah! Kiran teringat satu hal lagi. Tangannya perlahan turun. Ia memberikan tatapan lebih lekat ke Acha.

"Bagaimana kemarin bisa sakit? Kamu salah makan roti expired lagi?" tanya Kirana penasaran. Nyatanya, sehari sebelum meninggalkan Acha, kondisi sang anak baik-baik saja, dan putrinya ini kadang suka teledor memakan roti expired karena asal dimakan saja tanpa melihat tenggat kadaluwarsanya.

Acha terkejut mendengar pertanyaan Kirana. Ia menggelengkan kepala pelan dan sorot matanya mulai goyah.

"Acha nggak makan roti, Tante Mama," jawab Acha gugup.

"Kamu begadang lagi?" tebak Kirana.

"Nggak Tante Mama. Bu... Bukan karena itu."

"Lalu, kenapa kamu bisa sakit?"

Acha mengigit bibirnya, ragu-ragu untuk menjawabnya. Tapi, tatapan menyelidik Kirana saat ini membuatnya tak berkutik.

"Jawab Natasha," paksa Kirana.

"Acha habis hujan-hujanan dibelakang rumah," pasrah Acha tak berani berbohong.

Kirana langsung berdiri saat itu juga, kedua matanya terbuka lebar-lebar.

"Astaghfirullah! Natasha Kay Loovi!"

Dan, Acha pun harus siap menerima ceramahan Kirana untuk satu jam kedepan. Melebarkan kedua telinganya yang akan memanas. Mengangguk saja untuk mempercepat omelan-omelan dari sang Mama. Acha memasrahkan dirinnya untuk kedua kalinya.

*****

Iqbal berjalan menuju perpustakaan, lima menit yang lalu ujian-nya berakhir dengan baik. Langkah Iqbal lebih dipercepat, Iqbal ingin meminjam buku sebentar kemudian langsung ke rumah sakit, menemui Acha.

"Iqbal," suara panggilan dari belakang membuat Iqbal perlahan memperlambat langkahnya.

Iqbal tak ada niat untuk menoleh ke belakang, suara itu sudah cukup Iqbal hapal. Suara yang terlalu bersemangat walaupun badai menghadang dan petir menyambar.

Siapa lagi jika bukan Abdi. Sang manusia bisa segalanya.

"Iqbal tungguin!"

Abdi berlari-lari kecil, hingga bisa menyusul Iqbal, berjalan disamping Iqbal.

"Mau ke perpustakaan, kan?" tanya Abdi dengan senyum mengembang penuh.

"Nggak."

"Lah, terus kemana?"

"Kemana aja asal nggak ada lo," dingin Iqbal.

"Gini amat jawabnya. Untung hati gue nggak gampang tersakiti," desis Abdi sok dramatis.

"Yang masuk aja nggak ada, gimana mau tersakiti," tajam Iqbal.

Abdi merasakan hatinya tertohok, terjungkal dan tertikam tanpa ada darah yang keluar. Mugkin ini yang dinamakan, sakit tapi tak berdarah.

"Tau tau yang udah punya pacar cantik!" decak Abdi.

Iqbal tersenyum kecil mendengar suara pasrah Abdi yang tak bisa lagi membalas ucapannya.

"Ada tugas apa?" tanya Iqbal tanpa basa-basi.

"Suudzon mulu lo Bal. Lo kira gue nyamperin lo karena cuma ada perlunya doang?" tanya Abdi tak terima.

"Hm, cuma ada perlunya doang," balas Iqbal cepat.

Abdi lagi-lagi kalah cepat dari Iqbal, cowok itu terus saja menyerangnya tanpa ampun. Abdi berusaha untuk sabar.

"Gue cuma mau menyampaikan salam dari Sia. Dia juga nitipin sesuatu buat lo."

Iqbal menghentikan langkahnya saat itu juga, Abdi mau tak mau juga ikut berhenti. Abdi mengeluarkan dua buah kotak berukuran kecil berwarna ungu, memberikannya ke Iqbal.

"Kenapa dikasih dua?" tanya Iqbal bingung, mengira Abdi salah memberi.

"Katanya buat lo dan pacar lo. Gue juga kaget sejak kapan Sia dekat sama pacar lo," jawab Abdi hampir lupa.

Iqbal mengangguk-angguk kecil, ikut heran. Apakah Acha sering berhubungan dengan Sia.

"Kondisi Sia bagaimana?" tanya Iqbal.

Senyum Abdi perlahan merosot, berubah dengan senyum hambar.

"Yah gitu. Kalau gue bilang dia baik-baik aja, malah buat dia terlihat menyedihkan. Kondisinya memburuk sejak satu minggu ini. Dia harus selalu memakai alat bantu pernapasan sekarang," jelas Abdi.

Iqbal mengangguk mengerti, tak terlalu kaget mendengarnya. Satu-satunya jalan Sia bisa sembuh adalah dengan mendapatkan donor ginjal.

"Belum ada pendonor?" tanya Iqbal.

Abdi menggeleng kecil.

"Sia masih ada di urutan ke tujuh, keluarga juga udah coba nyari-nyari dan cukup susah," jawab Abdi.

Iqbal menepuk bahu Abdi pelan.

"Dia pasti bisa bertahan," ucap Iqbal memberikan semangat.

Abdi tersenyum sembari mengangguk.

"Semoga saja."

Iqbal memperhatikan Abdi, tak menyangka cowok satu ini punya sisi yang bisa mellowseperti ini. Iqbal semakin yakin bahwa Abdi memang sangat menyayangi sepupunya itu.

"Mau ikut ke perpustakaan?" tawar Iqbal mengalihkan topik.

"Boleh deh, biar gue kelihatan pinter kayak lo." Abdi mengiyakan tanpa ragu.

Iqbal terkekeh pelan, mereka berdua melanjutkan langkah mereka yang sempat tertunda.

"Lo itu sebenarnya pintar, tapi...." Iqbal sengaja menggantungkan perkataannya.

Abdi mengerutkan kening, mulai was-was.

"Tapi apa?" curiga Abdi.

"Lebih banyak bodohnya!" tajam Iqbal.

"Gue itu nggak bodoh Bal! Orang bodoh mana bisa masuk kedokteran?" protes Abdi tak terima.

"Oke," seru Iqbal menyebalkan.

"Gue itu cuma malas aja. Gue nggak pengin membuat orang terkejut dengan kepintaran gue. Coba aja gue nggak malas, gue jamin Albert Einstein insekyur dengan otak gue," bangga Abdi.

"Hm."

Abdi mendecak sebal dengan rekasi Iqbal yang tak niat. Bukannya dia yang membuat Iqbal kesal malah dirinya yang bertambah sebal.

"Bal, lo jadi orang jangan dingin-dingin. Heran gue sama pacar lo, kok bisa betah sama orang dingin kayak lo!" gerutu Abdi.

Iqbal tersenyum mendengarnya. Jika dipikir-pikir, memang tidak salah ucapan Abdi. Bagaimana Acha bisa betah dan tetap ceria jika berada disampingnya? Dan, Iqbal bersyukur dengan hal itu. Acha selalu menerima semua kekurangannya.

"Gue juga heran," ucap Iqbal datar.

"Sama siapa? Pacar lo?" tanya Abdi.

"Bukan, sama diri gue sendiri."

Abdi mengerutkan keningnya bertambah heran.

"Kenapa sama diri lo? Lo kaget juga pacar lo bisa nerima lo?"

Iqbal menggelengkan kepalanya.

"Terus?" bingung Abdi.

"Kok bisa gue mau temenan sama lo," jawab Iqbal lebih menyebalkan.

Abdi tak segan langsung menyentuh dadanya dengan kedua tangannya. Entah sudah berapa kali dia mendapatkan seragan bertubi-tubi dari mulut dingin seorang Iqbal. Abdi menatap Iqbal dengan penuh kobaran. Ia tak mau kalah kali ini dengan Iqbal.

"Jangan-jangan lo main pelet ya ke pacar lo?" tuduh Abdi tiba-tiba.

Iqbal langsung memberikan lirikan tajam. Bagaimana bisa mahasiswa kedokteran mengucapkan perkataan tak berdasar seperti itu.

"Otak lo beneran bikin terkejut kalau digunain," sinis Iqbal.

"Gue masih gunain separuh aja. Mau nyoba kalau gue gunain seluruh otak gue?" tawar Abdi dengan senang hati.

Iqbal menggeleng cepat.

"Lo bene.."

Prang!

Perkataan Iqbal terhenti karena mendengar suara benda dibanting cukup keras entah darimana. Iqbal dan Abdi sama-sama mengedarkan pandangan mereka, mencari asal suara itu.

Mata Iqbal terhenti tepat di belakang gazebo yang ada disebelah perpustakaan. Seorang gadis terpojokkan dihadapan dua cowok berpakaian hitam dan badan yang cukup kekar.

"Bal! Cewek itu kayaknya dalam bahaya! Dia mau diapain sama dua cowok itu?" seru Abdi yang juga menyadari asal suara tersebut.

Iqbal tak menjawab, langkahnya perlahan mendekat ke arah cewek dan dua cowok itu.

"Bal, lo mau kemana? Seriusan lo mau nyamperin?" tanya Abdi khawatir, namun langkahnya tetap mengikuti Iqbal.

Iqbal masih tak menjawab, kakinya terus saja berjalan, pelan-pelan.

"Sampai kapan lo mau buat kita nunggu? Lo mau kabur lagi? Hah?"

Suara salah satu cowok menggema, kobaran matanya terlihat sengit mengintimidasi cewek dihadapannya. Sedangkan, cewek itu masih diam tak berniat melawan.

Iqbal dan Abdi sama-sama membelalakan mata ketika dagu cewek itu dicengkram kasar oleh salah satu cowok itu. Iqbal dan Abdi menghentikan langkah mereka, tak ingin melangkah lebih dekat lagi.

"Lo kabur kemanapun bakalan gue temuin!"

"Bal, kita harus gimana? Tolongin cewek itu," racau Abdi lagi.

Iqbal menghela napasnya sebentar bersamaan dengan otaknya yang bekerja sangat cepat. Iqbal mengeluarkan ponselnya dan segera menelfon bagian keamanan kampus.

Seluruh mahasiswa/mahasiswi Arwana memang diwajibkan untuk menyimpan nomer keamanan kampus sebagai bentuk pelayanan keamanan semua mahasiswa/mahasiswi dikampus Arwana.

"Lo telfon siapa?" tanya Abdi bingung. "Pak polisi?" lanjutnya dengan lugunya.

Iqbal menggeleng kecil, bersamaan dengan itu panggilannya terhubung.

"Gazebo samping perpustakaan Pak. Ada dua cowok seperti preman sedang mengancam seorang perempuan," lapor Iqbal. "Iya Pak. Terima kasih."

Iqbal mengakhiri panggilannya, tak selang berapa lama dua petugas keamanan berbaju hitam datang cepat menyelamatkan cewek itu.

"Wah," takjub Abdi baru melihat kejadian seperti ini untuk pertama kalinya. Abdi menoleh ke Iqbal, lebih kagum lagi. Bagaimana bisa disituasi menegangkan seperti tadi, Iqbal masih bisa berpikir jernih.

Kalau di film-film mah pasti sudah seperti pahlawan kesiangan. Sok-sokan menyelamatkan cewek tersebut dengan melawan dua cowok kekar tadi. Namun berbeda dengan Iqbal!

Memang benar kata banyak orang, Iqbal orang yang sangat tenang dan selalu menggunakan logikanya terlebih dahulu sebelum bertindak.

Seperti sekarang, tanpa harus mengotori tangannya dan ikut campur langsung, Iqbal berhasil menolong cewek itu.

"Lo beneran dingin-dingin bikin baper ya Bal, orangnya!" seru Abdi penuh arti.

Iqbal tak menggubris ucapan Abdi, ia bernapas lega, melihat cewek itu tidak apa-apa. Cewek itu menjauhi tempat kejadian, berhasil lolos berkat bantuan petugas keamanan. Ia berjalan mengarah ke Iqbal dan Abdi yang masih berdiri ditempat mereka.

Iqbal memperhatikan cewek itu yang juga tengah melirik tajam ke arahnya. Tatapan cewek itu seperti menyimpan amarah dan ketakutan menjadi satu.

"Cewek itu lagi,"batin Iqbal mengenali wajah familiar cewek yang barusan melewatinya.

Iqbal melihat cewek tersebut masuk ke dalam perpustakaan, sedangkan dua cowok berbadan kekar tadi dibawah oleh dua petugas keamanan, mungkin untuk diselidiki.

"Cantik doang, mainnya sama preman," cibir Abdi tiba-tiba.

Iqbal menoleh ke Abdi, memberikan tatapan dingin.

"Canda Bal, asal nyebut aja. Nggak serius kok gue, ampun," ralat Abdi cepat.

Iqbal geleng-geleng, hampir menyerah menghadapi sifat Abdi. Ia pun segera melanjutkan langkahnya yang tertunda, begitu juga dengan Abdi. Mereka berdua masuk ke dalam perpustakaan.

"Di, tunggu." Iqbal mengentikan langkahnya diambang pintu perpustakaan.

"Kenapa Bal?" bingung Abdi.

Iqbal menoleh ke Abdi, memberikan sorot mata yang serius. Iqbal menepuk pelan bahu Abdi.

"Ganteng doang, nggak berani ngelawan preman!"

Abdi mengumpat cepat, kesabarannya diambang batas. Tak kuat lagi menahan serangan mematikan teman baiknya ini.

"Bangsat lo Bal!"

*****

Iqbal masuk ke dalam kamar rawat Acha, ia mendapati Acha sedang duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. Acha tak menyadari kehadiran Iqbal. Perlahan Iqbal menutup pintu kamar rawat Acha, tak ingin mengganggu Acha.

Saat di lobby rumah sakit, Iqbal sempat berpapasan dengan Mama Acha yang sedang mengurusi semua biaya administrasi Acha, Kirana meminta Iqbal menemani Acha sebentar. Yah, sore ini Acha sudah diperbolehkan pulang.

Pandangan Iqbal beralih ke paper bag cokelat besar diatas kasur dan beberapa barang yang masih berantakan dipinggir-pinggirnya. Iqbal berjalan mendekati kasur Acha, menaruh tasnya terlebih dahulu dibawah. Kemudian, membereskan barang-barang Acha, memasukannya satu persatu ke paper-bag cokelat.

Acha tersentak, akhirnya menyadari keberadaan Iqbal. Acha bergegas berdiri. Jantungnya kembali berdegub cepat. Iqbal bahkan masih tak mau menyapanya.

Acha menghela napas panjang sebentar. Setelah itu, perlahan berjalan mendekati Iqbal.

"Iqbal," panggil Acha.

Iqbal menoleh ke Acha, dengan wajah yang selalu tenang. Dalam hati Acha bersorak senang, meskipun tak menjawab panggilanya, Iqbal mulai meresponnya, mau menatapnya.

"Iqbal masih belum mau bicara ya sama Acha?" tanya Acha hati-hati.

Iqbal tetap diam, tak berniat menjawab. Acha pun memaksakan senyumnya. Acha berusaha menyemangati dirinya.

"Yaudah, kalau Iqbal masih belum mau bicara sama Acha, nanti Acha tanya lagi ya. Acha akan tunggu sampai Iqbal nggak diemin Acha lagi."

Acha berjalan mendekat, memberanikan diri untuk menyentuh rambut Iqbal dan membelainya pelan. Sentuhan Acha berhasil membuat tubuh Iqbal menegang, kaget.

Acha tersenyum hangat.

"Semoga Iqbal cepat maafin Acha ya."

Setelah itu, Acha berbalik menjauh dari Iqbal. Sedangkan, Iqbal masih terus memandang punggung Acha yang menjauh. Gadis itu duduk manis di sofa, kembali memainkan ponselnya. Acha sedang bertukar pesan dengan Amanda yang tidak bisa menjenguknya karena harus kerumah saudaranya.

"Jangan lihatin Acha terus. Nanti Acha tambah gugup!"

Iqbal tersentak mendengar ucapan Acha barusan. Ia segera mengalihkan pandangannya, melanjutkan memasukan barang-barang Acha. Sedangkan Acha senyum-senyum sendiri melihat sang pacar yang salah tingkah karena perkataannya.

Acha yakin bahwa emosi Iqbal sudah lebih tenang. Tak seperti kemarin. Iqbal pasti akan segera memaafkannya dan mau bicara lagi dengannya.

****

Kirana masuk ke dalam kamar rawat Acha, kaget melihat keadaan kamar rawat yang sangat rapi. Kirana menoleh ke Iqbal, cowok itu tengah menaruh paper-bag Acha dan tas Acha diatas meja.

"Iqbal yang beresin semua?" tanya Kirana tanpa suara ke putrinya yang tengah duduk santai diatas kasur.

Acha yang mendapatkan sinyal pertanyaan dari sang Mama, segera mengangguk cepat.

"Wah!" kagum Kirana, perlahan melangkah lebih masuk. Kirana mendekati Iqbal yang sudah duduk di sofa sembari mengeluarkan ponsel. Iqbal tersenyum kecil ke arah Kirana yang juga tengah tersenyum ke arahnya.

"Iqbal maaf ya, tante jadi merepotkan," ucap Kirana segan.

"Nggak ngerepotin Tante," balas Iqbal.

Kirana bergumam panjang, seolah tengah berpikir sejenak.

"Iqbal, maaf kalau tante ngerepotin lagi. Iqbal mau nggak anterin Acha pulang dulu dan jaga Acha sebentar dirumah. Tante mau ke butik buat nyerahin laporan yang kebawa sama Tante. Tadi pagi, Tante langsung pergi gitu saja ditengah meetingdengan karyawan tante," jelas Kirana.

Acha yang sedari tadi diam dan hanya sebagai pendengar langsung melototkan kedua matanya. Apa-apaan Mamanya?

Acha sangat tau itu semua hanya akal-akalan Kirana saja agar dia dan Iqbal bisa segera baikan. Acha menatap Iqbal dengan khawatir. Akankah cowok itu mengiyakan permintaan Mamanya?

"Iya Tante, nggak apa-apa," jawab Iqbal menyetujui tanpa ragu.

Acha melengos pasrah, jujur ia senang sekaligus khawatir. Berduaan dengan Iqbal lagi, di dalam mobil pula. Apa yang harus Acha bicarakan dengan Iqbal? Walaupun dia bicara pasti Iqbal masih mendiamkannya.

Sedangkan Kirana tersenyum dengan puas, ia melirik sang putri sambil mengedipkan matanya sekali. Acha mendecak pelan melihat reaksi Mamanya.

"Makasih banyak Iqbal," seru Kirana senang.

"Sama-sama Tante."

Setelah memeriksa sekali lagi di seluruh penjuru kamar rawat Acha dan memastikan tidak ada barang yang ketinggalan, mereka bertiga keluar dari kamar rawat. Acha memaksa untuk berjalan sendiri, tidak mau menggunakan kursi roda. Acha merasa dirinya benar-benar sudah tidak apa-apa.

Mereka bertiga masuk ke dalam lift kosong, menuju basement rumah sakit, tempat parkir khusus untuk mobil pasien ataupun keluarga pasien opname.

"Beneran kamu kuat jalan sampai parkiran?" tanya Kirana memastikan untuk kesekian kalinya.

"Iya Tante Mama. Acha kuat kok," jawab Acha dengan gemas.

Kirana menghela napas panjang, meskipun Acha terlihat baik-baik saja, Kirana masih was-was sendiri.

"Tante Mama," seru Acha, ia tiba-tiba teringat sesuatu yang sangat ingin ia tanyakan ke Mamanya.

"Kenapa sayang?" balas Kirana.

Acha menoleh ke Mamanya dengan kening berkerut.

"Tante Mama tadi pagi ngelihat handuk merah Acha nggak?" tanya Acha.

"Handuk merah?" bingung Kirana.

"Iya, kemarin kan Acha nggak bawa apa-apa ke rumah sakit. Akhirnya Juna beliin Acha semua peralatan mandi termasuk handuk merah di minimarket rumah sakit. Tapi, tadi pagi Acha cari handuk merahnya nggak ada, tiba-tiba hilang. Kan jadinya Acha bersihin wajah Acha nggak pakai handuk," aduh Acha panjang lebar.

"Mama sama sekali nggak lihat ada handuk merah, mungkin kamu salah naruh," ucap Kirana yang paham putrinya ini kadang teledor.

Acha menggeleng cepat.

"Acha yakin kok taruh di belakang pintu. Apa kebawa sama Juna?"

Sedangkan Iqbal yang sedari tadi mendengarkan perbincangan Acha dan Kirana hanya bisa diam, tak bergerak sama sekali bahkan beberapa kali menahan napasnya. Iqbal berusaha untuk bersikap tenang namun sedikit susah. Jujur, Iqbal gelisah.

Yah, kalian tau sendiri siapa pelaku yang menghilangkan handuk merah tersebut!

Detik berikutnya, Acha menoleh ke arah Iqbal dengan cepat.

"Iqbal lihat handuk merah Acha nggak?"

******

#CuapCuapAuthor

HANDUK MERAH JANGAN SAMPAI LOLOS, KAWAN ^^

BAGAIMANA PART INI KAWAN-KAWAN SEMUA? 

KIRA-KIRA SIAPA YA CEWEK ITU? ADA YANG BISA NEBAK NGGAK? ^^ 

SIAPA YANG NGGAK SABAR BACA PART SELANJUTNYAA ? ^^ 

PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA?

SAMPAI JUMPAA DI PART SELANJUTNYAA YAA ^^

MAAF YAA TEMAN-TEMAN SEMUA, AKU SEBENARNYA PENGIN BANGET UPDATE SATU MINGGU DUA KALI, TAPI DARI TIM KHAWATIR KALAU AKUNYA GAK BISA KONSISTEN. JADI UNTUK SEMENTARA SATU MINGGU SEKALI DULU YA, NANTI KALAU AKU UDAH YAKIN BISA SATU MINGGU DUA KALI, BAKALAN AKU INFOIN KE KALIAN. MAAF YA TEMAN-TEMAN SEMUA ^^ 

SEMOGA KALIAN SEMUA TERUS BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 YAA AMINNN ^^ 

Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian, saudara-saudara kalian, tetangga kalian dan keluarga kalian untuk baca MARIPOSA 2 ^^

Jangan lupa juga buat COMMENT dan VOTE yaa, paling ditunggu dari kalian semuaa. Biar aku lebih semangaat nulisnyaaa ^^ 

TERIMA KASIH BANYAAKKK SEMUAANYAA SELALU SAYANG KALIAAN SEMUAAAA. LOVE YOUU ALL ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro