Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29 - Kebohongan kecil


Assalamualaikum teman-teman semua. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya buat kita semua Amin.

Alhamdulillah akhirnya Jumat ini bisa posting Mariposa 2 lagi. Dan memenuhi request dari pembaca agar updatenya tidak malam banget ^^

AKU JUGA MAU UCAPIN TERIMA KASIH SEBESAR-BERSANYA KEPADA SEMUA PEMBACA MARIPOSA 2 UNTUK 10 JUTA VIEWS CERITA MARIPOSA 2. MAKASIHHH BANYAAK. TERUS BACA DAN SUPPORT MARIPOSA 2. 

SEMOGA KALIAN SEMUA TERUS BARENG-BARENG DAN NEMENIN MARIPOSA 2 SAMPAI CERITA INI SELESAI YAA AAMINNN ^^ 

Dan, selamat membaca Mariposa 2. Semoga selalu suka dan selalu baca yaa. Aminn ^^

*****

Iqbal memutar-mutar bolpoin di jemarinya, hampir dua jam ia berkutat dengan buku catatanya, mempelajari bahan-bahan ujian yang sudah ia rangkum sejak satu minggu yang lalu.

Besok adalah hari ke empat Iqbal menjalani ujian akhir semesternya. Selama itu pula Iqbal sama sekali tak menghubingi Acha, bahkan Acha juga tidak menghubunginya seolah gadis itu sengaja melakukannya karena tidak mau mengganggunya.

Iqbal melirik layar ponselnya, ia sengaja menyalakannya. Siapa tau ada notifikasi dari sang pacar.

Iqbal menghela napas pelan, meletakkan bolpoinnya dan meraih ponselnya. Lantas, ia mencoba menghubungi Acha. Iqbal merindukan gadis itu, ditambah lagi dia membutuhkan energi untuk melenyapkan rasa lelahnya.

Sambungan terhubung, Iqbal menunggu.

"Apa dia sudah tidur?" heran Iqbal. Panggilannya tidak dijawab oleh Acha.

Iqbal mencoba sekali lagi. Menunggu dengan sabar berharap panggilannya kali ini mendapat jawaban dari Acha.

Namun, harapan Iqbal tak terwujudkan. Panggilannya tetap tak diangkat gadisnya. Iqbal meletakkan ponselnya kembali di meja belajar. Menghela pasrah.

Apa yang sedang dilakukan gadis itu?

Iqbal melihat jam dinding kamarnya, masih pukul sembilan malam. Waktu yang masih sore bagi seorang Acha untuk tidur.

*****

2 jam yang lalu

Acha merasakan napasnya memberat, keringat dingin terus bercucuran di wajah hingga lehernya. Padahal ia sudah menutupi tubuhnya dengan selimut tebal, tapi rasa dingin masih menusuk kulitnya.

Ditambah dengan tubuhnya yang sakit semua dan lemas. Padahal sejak kemarin kondisi Acha tidak apa-apa. Apa mungkin karena dua hari berturur-turut Acha terkena hujan?

Yah, semalam Acha pergi ke minimarket dekat rumah. Namun ketika perjalanan pulang. Hujan deras mengguyurnya. Mau tak mau Acha berlari ditengah hujan.

Kemarinnya lagi, Acha memang sengaja ingin bermain hujan-hujanan sebentar di belakang rumahnya, mumpung sang Mama sedang ke luar kota selama seminggu. Jadi, tidak akan ada yang melarangnya.

Ditambah lagi makanan yang dikonsumsi Acha selama dua hari terakhir sedikit sembarangan.

Acha menoleh ke samping, meraba-raba ponselnya yang berdering. Ada sebuah panggilan. Acha melihat layar ponselnya dengan samar. Tanpa mengetahui siapa yang menelfonnya, Acha menerima saja panggilan tersebut.

Acha menempelkan ponselnya di telinga. Saat itu juga, Acha dapat merasakan kulit wajahnya terasa panas.

"Hallo," lirih Acha lemah.

Orang disebrang terdengar terkejut mendengar suara lemah dan serak dari Acha.

"Cha, lo nggak apa-apa? Suara lo kenapa?"tanya seorang cowok terdengar khawatir.

Acha mencoba menarik napasnya yang semakin terasa berat.

"I... ini siapa?" lemas Acha.

"Juna, Cha. Gue tadinya mau ngajak lo nongkrong, gue lagi ada di café dekat daerah rumah lo," jawab Juna menjelaskan. "Lo kenapa Cha?" tanya Juna lagi masih khawatir.

Acha menyentuh keningnya, kepalanya memberat. Sepertinya dia memang sedang sakit.

"Acha sepertinya demam," keluh Acha, tak ada gunannya juga berbohong. Nyatanya, Acha sedang butuh bantuan saat ini.

"Lo dimana sekarang? Di rumah? Sama siapa?" tanya Juna berbondong.

"Acha di rumah, se.. sendiri."

"Gue ke rumah lo sekarang. Gue anter ke rumah sakit."

Acha tak ada tenaga untuk membalas lagi. Acha memejamkan kedua matanya erat-erat, berusaha untuk menahan rasa sakit yang semakin menjalar disekujur tubuhnya. Harapannya hanya satu. Juna segera datang dan menolongnya.

Sejak dua hari kemarin, Acha memang sendirian dirumah, sang Mama ada project di Bandung selama satu minggu. Acha sendiri sudah terbiasa di tinggal oleh sang Mama.

Jika diingat-ingat lagi, Acha mendadak dejavu. Sepertinya dulu saat SMA, Juna juga pernah menolongnya waktu sendirian di rumah dalam keadaan sakit.

******

Juna mengurus biaya administrasi dan pendaftaran Acha di rumah sakit. Gadis itu dinyatakan terkena tifus dan harus di opname beberapa hari. Juna ingin sekali menghubungi Mama Acha atau setidaknya Iqbal, tapi saat diperjalanan menuju rumah sakit, Acha sudah berpesan dan sangat memohon kepadanya untuk tidak menelfon Mamanya ataupun Iqbal. Acha takut menggangu project Mamanya yang sepertinya sangat penting dan juga takut menganggu Iqbal yang pastinya sibuk untuk Ujian Akhir Semesternya.

Karena sudah terlanjur berjanji, Juna tidak bisa untuk mengingkarinya. Untung saja, ujiannya sudah selesai sejak dua hari yang lalu. Jadi, setidaknya ia bisa sukarela menemani dan menjaga Acha di rumah sakit.

Juna berjalan menuju kamar rawat Acha, tempat gadis itu dipindahkan. Juna membuka pintu, melihat Acha tertidur lemah disana. Raut wajahnya masih terlihat pucat.

Juna bersyukur ia menelfon Acha tadi. Entah kenapa, tadi dia berfirasat ingin menemui Acha, menepati janjinya untuk nongkrong dengan gadis itu.

Juna duduk di kursi yang ada disamping kasur Acha, memperhatikan wajah Acha lekat. Seulas senyum terangkat tanpa sadar, Juna harus mengakui bahwa Acha tetap terlihat cantik meskipun dalam keadaan sakit.

"Andai saja..." lirih Juna sangat pelan.

Juna dengan cepat menggelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh pikirannya dan kisahnya dahulu. Melarangnya untuk bernostalgia ataupun memikirkan hal-hal yang tidak akan bisa ia jangkau.

Suara dering ponsel Acha yang ada disakunya memecahkan semua pikiran Juna. Acha memang tadi sempat menitipkan ponselnya.

Juna mengeluarkan ponsel Acha, menatap layar ponsel tersebut. Ada panggilan dari Iqbal.

Juna meneguk ludahnya dengan susah payah. Apa yang harus ia lakukan?

"Gue angkat nggak ya?" lirih Juna bimbang.

Juna ingin sekali mengangatnya, tapi Acha sudah melarangnya. Juna menghela napas lega ketika panggilan berakhir.

Namun, detik berikutnya Iqbal melakukan panggilan lagi, membuat tubuh Juna sedikit tersentak.

"Gimana ini?" cemas Juna.

Juna mendecak kesal ke dirinnya sendiri. Juna menatap Acha, wajah lemah dan memohon gadis itu terngiyang-ngiyang dipikirannya kembali. Membuat Juna kalah telak!

Juna pun memilih untuk menepati janjinya. Ia berpura-pura tidak melihat panggilan tersebut. Juna menaruh ponsel Acha di dalam laci kecil disampingnya.

"Maaf Bal."

*****

Glen keluar dari mobil, berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Bundanya tiba-tiba menelfon, menyuruhnya untuk menjemput. Sejak sore tadi Bu Anggara memang pergi ke rumah sakit untuk menjenguk teman arisannya yang sakit.

Glen segera menghubungi Bundanya.

"Bunda dimana? Glen udah di lobby," ucap Glen ketika panggilanya diangkat.

"Kamu ke kamar 415, ketemu dan salim dulu sama tante Risa," suruh Bu Anggara.

"Iya Bun, tapi ini Glen nggak bawa apa-apa, cuma bawa hati yang suci dan otak yang bersih. Gimana?"

Terdengaran suara decakan Bu Anggara.

"Iya, bawa hati suci kamu dan otak bersih kamu sekarang juga! Buruan!"

"Siap laksanakan Bunda Anggara!"

Tanpa banyak protes, Glen segera ke lantai empat, menuju kamar 415 seperti yang diperintahkan bundanya. Glen masih sangat sayang dengan uang jajan dan nyawanya. Maka dari itu, ia memilih menuruti saja perintah bundanya.

"Cintai Bundamu, uang jajan lancar tiap hari."

*****

Glen keluar dari lift, kemudian berjalan untuk mencari kamar rawat teman Bundanya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kekiri, membaca satu persatu nomer kamar yang ada di pintu.

"Empat kosong tujuh," lirih Glen pelan terus melangkah. "Empat kosong delapan," lanjutnya.

Glen sedikit mempercepat langkahnya. Sedikit lagi ia akan menemukan kamar rawat yang ditujuhnya.

"Empat kosong se..."

Pintu kamar 409 mendadak terbuka, membuat Glen terkejut ketika melihat seorang cowok keluar dari kamar tersebut. Apalagi cowok tersebut sangat Glen kenal.

"Juna," seru Glen tak menyangka bertemu cowok itu di rumah sakit. Jika Glen ingat-ingat lagi terakhir ia bertemu dengan Juna mungkin saat perpisahan SMA dulu. Yah, sudah sangat lama.

Juna sendiri mematung ditempat, tak kalah terkejut ketika mendapati Glen dihadapannya.

"Ha... Hai Glen," sapa Juna canggung.

"Siapa yang sakit?" tanya Glen tanpa basa-basi. Refleks kedua mata Glen langsung mengarah ke dalam kamar. Glen mendapati seorang gadis terbaring lemah disana.

"I.. Itu...." Juna terbata-bata, bingung untuk menjawab pertanyaan Glen.

Glen mengerutkan kening, merasa familiar dengan gadis itu. Tangan Glen menunjuk tanpa sadar.

"Itu Acha kan?" tanya Glen yakin dengan pengelihatannya.

Mampus! Bagaimana Juna akan menjelaskan ke Glen. Apa yang harus dia lakukan?

Glen kembali menatap Juna yang tak kunjung menjawab. Ia melihat Juna seperti orang kebingungan.

"Iya. Itu Acha," jawab Juna akhirnya memilih jujur. Tidak mungkin dia berbohong disituasi yang sudah jelas dipengelihatan Glen.

Juna berusaha bersikap kembali tenang.

"Acha sakit apa? Sejak kapan?" tanya Glen berbondong. Nyatanya, ia tidak mendapatkan kabar apapun dari Iqbal, Rian bahkan Amanda.

"Baru malam ini. Sakit tifus, dokter nyuruh buat opname," jujur Juna lagi.

Glen mengangguk-anggukan kepalanya.

"Dia nggak apa-apa kok, kata dokter Acha harus banyak istirahat. Paling tiga hari lagi udah boleh keluar dari rumah sakit, kalau kondisinya sudah membaik," lanjut Juna tak ingin membuat Glen berpikir yang berlebihan.

Malah, Glen sekarang yang sedikit curiga dengan Juna karena sepertinya cowok ini yang berlebihan. Menjelaskan apa yang tidak ditanyakan oleh Glen.

"Iqbal tau Acha sakit?" tanya Glen ingin memastikan.

Juna mengangguk cepat, tubuhnya refleks memaksanya untuk berbohong.

"Tau kok," jawab Juna sembari mengembangkan senyumnya.

"Iqbal ada didalam?" tanya Glen lagi.

Juna menggelengkan kepala.

"I... Iqbal baru aja pulang ambil barang-barangnya. Makanya gue gantiin dia sebentar. Kalau dia udah balik, gue pulang kok," jelas Juna lagi dengan harapan cowok dihadapannya ini percaya.

Glen mengangguk-angguk kecil, terdengar aneh namun Glen berpikir tidak ada untungnya juga bagi Juna untuk berbohong. Apalagi saat ini Acha sedang sakit. Glen yakin Iqbal pasti tau.

Tunggu, tapi ada satu yang janggal!

"Lo kok bisa bareng Iqbal dan Acha?" tanya Glen ingin menuntaskan rasa penasarannya.

"Gue tadi mau ajak Iqbal dan Acha nongkrong. Terus tiba-tiba dapat kabar Acha sakit. Makanya gue nyusul ke rumah sakit," jelas Juna dengan sangat lancar. Yah, setengah dari jawabannya sekarang bukanlah sebuah kebohongan.

Ah... Glen mengangguk mengerti. Semua jawaban Juna sangat masuk akal.

"Lo mau jenguk Acha? Atau nungguin Iqbal datang?" tawar Juna basa-basi, agar Glen tidak semakin curiga dengannya.

Glen menggelengkan kepalanya.

"Gue harus nemuin Bunda gue. Kapan-kapan gue jenguk Acha. Udah ada lo sama Iqbal juga. Si Sapi pasti segera pulih. Salam ya buat Acha," jawab Glen.

Juna tersenyum kecil, dalam hati melegah. Untung saja Glen menolak tawarannya.

"Oke, kalau Acha bangun pasti gue sampaikan?"

Glen mengangkat jempolnya.

"Gue duluan," pamit Glen, ia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Juna menghela napas panjang, umurnya terasa hilang sepuluh tahun. Ia hampir jantungan gara-gara pertanyaan Glen. Sejak kapan Glen jadi lebih peka seperti ini.

Juna melihat Glen masuk ke kamar rawat tak jauh dari tempat berdirinya sekarang. Juna memegangi dadanya yang masih terasa berdebar.

"Oke Jun, hanya tiga hari. Mereka pasti lagi sibuk Ujian Akhir Semester. Glen dan Iqbal nggak mungkin bertemu dalam waktu dekat. Apalagi ujian Iqbal pasti masih lama," ucap Juna meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Juna sendiri tau jadwal ujian Universitas Arwana dari teman-teman SMA-nya yang memang kebanyakan kuliah disana. Dan banyak yang tau, bahwa Universitas Arwana selalu ujian paling akhir sendiri dibandingkan kampus-kampus lainnya.

Juna membalikkan tubuhnya, menatap Acha dari kejauhan.

"Semoga lo cepat sembuh Cha."

Jujur, Juna sendiri merasa bersalah dan takut secara bersamaan karena sudah berbohong. Ia tidak bisa membayangkan jika Iqbal mengetahui hal ini.

*****

Keesokan pagi, Acha merasa tubuhnya mulai membaik. Kepalanya terasa lebih ringan dan napasnya juga sudah normal tidak seperti semalam. Meskipun wajah Acha masih sedikit pucat.

Acha menerima obat yang diberikan oleh Juna dan segera meminumnya. Acha menatap Juna yang terlihat sabar menunggunya sejak semalam.

Acha merasa sangat bersalah.

"Juna maafin Acha ya. Acha lagi-lagi ngerepotin Juna," lirih Acha tidak enak.

"Santai aja Cha, gue nggak ngerasa direpotkan. Ujian gue juga udah kelar. Kampus gue udah libur sejak kemarin," jelas Juna berusaha membuat Acha untuk tidak tertekan.

"Acha nggak apa-apa kok disini sendiri. Juna pulang aja nggak ap..."

"Cha, gue tungguin sampai lo benar-benar sembuh," potong Juna cepat.

"Tapi kan na..."

"Gue nggak nerima penolakan Cha. Gue akan tetap jagain lo disini," tegas Juna membuat Acha tak bisa melawan lagi. Apalagi tatapan Juna saat ini terlihat sangat serius.

Acha mau tak mau mengangguk pasrah.

"Makasih banyak Juna."

Juna tersenyum kecil, ia menaikkan selimut Acha dan menurunkan kasur Acha agar gadis itu bisa kembali istirahat.

"Ponsel Acha mana?" tanya Acha teringat dengan benda persegi panjangnya.

Juna segera membuka laci, mengeluarkan ponsel Acha dan memberikannya kepada sang pemilik.

"Semalam Iqbal nelfon Cha," ucap Juna memberitahu. "Lo seriusan nggak mau kasih tau Iqbal?"

Acha menatap ponselnya, semalam ada dua panggilan dan satu pesan dari Iqbal serta satu pesan dari Mamanya pagi ini.

Dari : Iqbal Guanna

Udah tidur?

Dari : Tante Mama Kirana

Natasha, jangan lupa sarapan pagi. Have a nice daysayang.

Acha menghela napasnya, kemudian menggeleng kecil. Tangannya bergerak membalas pesan iqbal dan juga sang Mama. Berharap mereka tidak curiga.

"Iqbal pasti udah lelah sama Ujiannya. Acha nggak mau nambahin beban Iqbal," jujur Acha. Ia meletakkan ponselnya disebelahnya setelah membalas pesan dari dua orang yang disayangnya.

Juna terdiam lama, merasa tidak sejalan dengan pemikiran Acha.

"Yang namanya cowok kalau dengar pacarnya sakit, pasti khawatir Cha. Dan dia nggak mungkin merasa dibebani," ucap Juna masih berusaha membujuk Acha.

"Iya Acha tau. Tapi tetap aja Juna. Sejak masuk kedokteran, Iqbal jarang tidur, makan nggak teratur. Kalau Iqbal dengar Acha sakit, pasti bisa ganggu belajarnya Iqbal. Ujiannya bisa nggak maksimal karena Acha," balas Acha mengutarakan pemikirannya.

"Cha, malah kalau lo nggak bi..."

"Tiga hari Juna. Rahasiain hanya tiga hari aja. Kalau dalam tiga hari kondisi Acha belum juga membaik. Acha akan hubungi Iqbal. Acha janji," potong Acha cepat.

Juna menghela berat, raut wajah memohon Acha saat ini membuatnya tidak tega.

"Oke, tiga hari ya." Juna dengan terpaksa mengiyakan permintaan Acha walau cukup berat.

Acha akhirnya bisa tersenyum lagi, lega mendengar jawaban Juna.

"Makasih banyak Juna."

Juna mengangguk kecil.

"Sekarang istirahat Cha. Biar kondisi lo cepat membaik dan bisa keluar dari rumah sakit."

Acha membenarkan bantalnya, menarik sedikit selimutnya. Ia menuruti ucapan Juna untuk kembali istirahat.

Acha memejamkan matanya sebentar, berdoa dalam hati.

"Cepat sembuh Natasha."

*****

Malam ini Hujan kembali turun dengan derasnya. Jalanan lumayan macet. Banyak pengguna kendaraan roda dua yang berteduh di dekat halte maupun parkiran minimarket.

Mobil Iqbal berjalan pelan-pelan, mencoba sabar dengan kemacetan ibukota yang sudah menjadi temannya setiap hari.

Iqbal menghela napas panjang, mobilnya akhirnya berhenti tak bisa gerak lagi. Kesabarannya benar-benar diuji malam ini. Padahal, ia sudah sangat kelelahan dan butuh istirahat. Apalagi, Ujian hari ini adalah Histologi Kedokteran dengan penilaian Ujian Akhir 40% sendiri.

Iqbal menatap ke luar jendela, ia melihat dua cowok remaja mungkin masih berumur lima belas tahunan, menjajahkan dagangan air mineralnya dengan kondisi hujan-hujanan.

Iqbal segera membuka jendela mobilnya, memanggil dua cowok tersebut.

"Minumnya Kak," ucap salah satu cowok tersebut, menyodorkan air mineral berukuran 600 ml ke Iqbal.

Iqbal mengambil dompetnya, mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah. Iqbal mengambil satu air mineral tersebut, kemudian menyerahkan semua uang ditangannya kepada cowok itu.

Dua cowok itu menatap Iqbal dengan bingung.

"Kak kebanyakan uangnya. Harga satu minumannya hanya lima ribu Kak,"

Iqbal menggeleng pelan.

"Buat kalian. Setelah ini langsung pulang," pesan Iqbal dengan raut wajah yang tenang seperti biasanya.

Dua cowok itu membelalak terkejut.

"Beneran Kak? Makasih banyak."

"Jangan hujan-hujanan," tambah Iqbal sebelum menutup jendelanya kembali karena mobil di depannya sudah mulai bergerak.

Iqbal segera menjalankan mobilnya, meninggalkan dua cowok remaja tadi yang terlihat begitu senang. Dari kaca spion, Iqbal melihat dua anak itu berlari dari tempatnya. Sepertinya, mereka menuruti ucapan Iqbal untuk segera pulang.

Sorot mata Iqbal mendadak hampa. Entah kenapa ketika melihat anak-anak remaja yang umurnya tidak jauh dengannya dalam keadaan yang berbeda dengan dirinya, membuat hatinya terasa berkecamuk.

Terkadang Iqbal berpikir. Bagaimana jika dia bukan dari keluarga kaya? Apa yang akan dilakukannya saat ini? Jadi apa dia saat ini? Apakah dia bisa tetap mengejar mimpinya seperti sekarang?

Satu-satunya jawaban yang harus Iqbal ingat saat ini bahkan setiap harinya adalah bersyukur. Apapaun yang sudah menjadi takdirnya, dia harus selalu bersyukur.

Dengan bersyukur bisa membuat hati kamu lebih ikhlas.

*****

Iqbal keluar dari lift dan berjalan menuju ke unit Apartmen-nya. Namun langkah Iqbal terhenti karena ada kerumunan ramai-ramai di unit sampingnya. Mau tak mau Iqbal harus berhenti sebentar, melihat situasi apakah dia bisa melewati kerumunan ini atau tidak?

"Ada-ada aja emang perempuan jaman sekarang! Nggak pernah bersyukur!"

Iqbal diam saja, mendengar dua ibu-ibu yang mulai merumpi didepannya.

"Kasihan cowoknya, harus lihat pacarnya selingkuh dihadapannya."

Sahut wanita paruh baya yang satu lagi. Iqbal mulai sedikit tau kejadian apa yang telah terjadi.

"Tadi saya sempat denger loh Jeng, kalau apartmen itu dibelikan sama cowoknya. Padahal cowoknya udah sayang banget sama dia. Kok ya masih kepikiran buat selingkuh."

"Pasti habis ini ceweknya nyesel. Nggak mungkin cowoknya bakalan maafin dia!""

"Bener banget Jeng. Selingkuh itu penyakit. Bisa kambuh kapan aja. Kalau udah sekali berani selingkuh, peluang buat keulang lagi itu ada!"

"Amit-amit ya Jeng. Semoga kita dijauhkan dari perselingkuhan."

Tanpa sadar Iqbal ikut mengamini doa dari dua ibu-ibu ini dalam hati. Detik berikutnya Ia tersadarkan. Iqbal menggelengkan kepalanya pelan.

Iqbal merasa kepalanya semakin berat, otaknya tak cukup untuk lanjut mendengarkan masalah tetangga unitnya. Iqbal dengan sopan melewati kerumunan tersebut.

Mesikpun depan pintu unitnya masih ramai, Iqbal segera masuk saja ke dalam unitnya. Tidak mempedulikan yang ada disana. Petugas keamanan juga sudah terlihat datang, sebentar lagi pasti orang-orang akan buyar sendiri.

Iqbal merebahkan tubuhnya di sofa, memejamkan kedua matanya. Bibir Iqbal bersuara lirih.

"Hujan-hujan gini paling enak makan cireng."

Yah, mungkin Iqbal sudah sangat lelah. Hingga isi kepalanya mulai membayangkan hal-hal yang sangat random seperti ini.

*****

Langit sore yang cerah, namun tidak dengan keadaan Iqbal. Keluar dari ruangan ujian, Iqbal langsung menuju ke toilet. Membasuh wajahnya berkali-kali. Sejak semalam kepalanya masih saja terasa berat.

Sepertinya efek begadang selama satu semester mulai terasa sekarang. Iqbal jadi menyesal karena tidak mendengarkan pesan dari Papanya dan Acha yang selalu menyuruhnya untuk tidur teratur.

"Are you good?" tanya Abdi yang tiba-tiba muncul dari pintu. Cowok ini sepertinya mengikuti Iqbal.

"Hm," jawab Iqbal seadanya.

Abdi menggeleng pelan, ia tau bahwa temannya ini sedang dalam kondisi tidak baik.

"Lo udah makan?"

"Udah," jawab Iqbal singkat sembari mengeringkan wajahnya dengan tisu.

Abdi mendengus pelan.

"Kapan? Kemarin siang? Kemarin malam?" sindir Abdi.

Iqbal tertawa pelan mendengar pertanyaan Abdi. Mungkin karena pertanyaan itu memang benar. Jika Iqbal ingat kembali, terakhir ia makan adalah kemarin siang. Bahkan, pagi tadi Iqbal tidak sempat sarapan karena harus buru-buru berangkat ke kampus. Ia tidak mau terjebak macet.

"Mau gue belikan makan?" tawar Abdi.

"Nggak."

"Beli minum?"

"Nggak."

"Cemilan?"

"Nggak." tolak Iqbal untuk kesekian kalinya.

"Terus lo mau gue beliin apa Bal?" gemas Abdi karena ditolak terus-terusan oleh Iqbal.

Iqbal menoleh ke Abdi.

"Rumah," ucap Iqbal dengan santainya.

"Sial" umpat Abdi dengan cepat.

Iqbal tak mempedulikan umpatan Abdi, ia mencuci tangannya dan mengeringkannya.

Abdi menepuk pelan bahu Iqbal.

"Lo itu udah pinter Bal. Tanpa belajar pun gue yakin lo pasti bisa jawab semua soal-soal ujian. Berhenti forsir tubuh lo," pesan Abdi mendadak serius.

Iqbal menepis pelan tangan Abdi.

"Gue bukan dukun," sahut Iqbal.

Abdi mengelus dadanya, bersabar mendegar jawaban dingin Iqbal.

"Lo pulang sana, langsung makan," suruh Abdi.

Iqbal menoleh ke Abdi dengan heran.

"Sejak kapan lo jadi perhatian gini?" sinis Iqbal.

Abdi memberikan cengiran tak berdosanya.

"Sejak lo selalu bantu gue dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Tentu saja, gue harus selalu perhatian dan ikut menjaga kesehatan penolong gue. karena apa?"

Abdi menggantungkan ucapannya sembari melebarkan senyumnya.

"Karena kalau lo sakit, tugas-tugas gue dan nilai-nilai gue bisa ikut sakit."

"Sinting!"

Tanpa mendengarkan ocehan Abdi lebih panjang, Iqbal segera keluar dari toilet, meninggalkan Abdi yang masih teriak-teriak tidak jelas.

"BAL MAU MAKAN BARENG AA' ABDI SANG MANUSIA BISA SEGALANYA NGGAK?"

*****

Iqbal terus melanjutkan langkahnya. Tak mempedulikan suara lantang Abdi. Iqbal mengeluarkan ponselnya yang berdering. Ada satu pesan masuk dari Glen.

Dari : Glen Anggara

Gue udah diparkiran. Buruan.

Iqbal hampir lupa, hari ini dirinya ada janji bertemu dengan Glen. Lebih tepatnya mereka akan mengakhiri pertukaran mobil mereka. Yah, sejak beberapa hari yang lalu Mobil Porsche milik Glen masih dibawa Iqbal. Dan mobil BMW Iqbal juga dibawa oleh Glen.

Entahlah, apa yang ada dipikiran dua bocah ini hingga dengan entengnya saling bertukar mobil mahal mereka?

Iqbal mempercepat langkahnya, malas mendengar Glen yang akan berceramah panjang karena lelah menunggunya.

*****

Iqbal melihat Glen bersandar di mobil Porsche merahnya, dan mobil BMW Iqbal juga sudah terparkir disebelah mobil Glen. Cowok itu sedang asik memainkan kunci mobil dijemarinya.

"Otak masih aman?" tanya Glen tersenyum penuh arti melihat kondisi Iqbal yang lumayan berantakan.

"Akhlak masih aman?" balas Iqbal kejam.

"Alhamdulillah aman," jawab Glen dengan senang hati.

Tanpa aba-aba dan secara bersamaan Iqbal dan Glen saling melemparkan kunci mobil seolah mereka berdua baru saja melakukan telepati. Baik Iqbal dan Glen menangkapnya dengan tepat.

"Tangkapan bagus! Sebagus akhlak saya!" seru Glen.

Iqbal diam saja, tak mempedulikan teriakan Glen. Ia sibuk memakai jaket Balenciaga-nya yang seharga Iphone 12.

"Pamer nih jaket baru," sindir Glen.

Iqbal menatap Glen dingin.

"Lo merendah untuk salto?" sinis Iqbal. Kalimat barusan ia pelajari dari sang pacar ketika menyindirnya beberapa hari yang lalu.

Dibandingkan jaket yang sedang dipakainya, tidak ada apa-apanya dengan outfit yang sedang dipakai oleh Glen saat ini.

Perlukah Iqbal menjabarkan semuanya?

Baiklah, mari kita mulai dari atas hingga bawah.

Kaos oblong Prada seharga 9 juta, Ripped knee jeans Balenciaga seharga 10 juta, jam tangan Audemars Piguet seharga 324 juta, dan yang terakhir sepatu Nike Air Jodan seharga 19 juta.

Nggak usah dijumlah, totalnya bisa banget untuk DP rumah.

Kalaupun dibuat pesan Cirengnya Mbak Wati bisa dapat sekolam dan bonus cium jauh dari Mbak Wati pastinya. Muah.

Jadi, apakah kalian masih ragu untuk bersanding dengan Abang Glen dan menjadi menantu satu-satunya keluarga Anggara?

Glen meneguk ludahnya, tak berani membalas sindiran Iqbal.

"Lo nggak tidur berapa tahun Bal?" decak Glen mengalihkan topik. Mungkin bisa dibilang ia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini.

Iqbal menghela napas berat, mulai jenuh mendengar pertanyaan ini. Apa memang wajahnya terlihat sekali kalau ia kurang tidur?

"Bertahun-tahun," jawab Iqbal asal.

"Mohon maaf, anda ini Iqbal atau ikan?"

"Langsung pulang?" kini giliran Iqbal yang mengalihkan, tak berniat menjawab pertanyaan aneh Glen.

"Kurang lucu ya pertanyaan gue?" tanya Glen sok serius.

"Lumayan," jawab Iqbal singkat.

"Lumayan apa nih?"

"Lumayan nggak lucu."

"Abuegile, dinginnya Abang Iqbal," serah Glen.

"Hm."

Glen menegakkan tubuhnya.

"Gue nggak langsung pulang, mau ke carwash bentar. Memberishkan si merah dari najis-najis yang bisa membuat dia tidak suci," jelas Glen sembari membelai Porsche merahnya.

"Mandiin juga otak lo," saran Iqbal bijak.

"Makasih loh sarannya," balas Glen sok terharu.

Iqbal geleng-geleng pelan. Ia berjalan mendekati mobilnya.

"Gue pulang," pamit Iqbal, menepuk pelan bahu Glen.

Glen menoleh mengikuti tubuh Iqbal. Glen dapat melihat tatapan Iqbal yang sedikit sayu. Sahabatnya itu memang kelelahan.

Ah! Glen mendadak teringat sesuatu.

"Acha udah sembuh Bal?"

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? BERHASIL BUAT DEG-DEGAN NGGAK?

YUK MAIN TEBAK-TEBAKAN LAGI. 

MENURUT KALIAN, IQBAL BAKALAN MARAH APA ENGGAK?

MENURUT KALIAN BAGAIMANA REAKSI IQBAL SETELAH INI?

YANG PENASARAN BANGET SAMA KELANJUTANNYA KASIH EMOJI SAPI KALIAANN ^^

PART 30 MAU DIPOSTING HARI APA NIHH? 

SAMPAI BERJUMPA DI PART SELANJUTNYAA. JANGAN BOSAN-BOSAN UNTUK BACA MARIPOSA 2 YAA ^^

SEMOGA KALIAN SEMUA TERUS BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 ^^

Jangan lupa juga buat ajak teman-teman kalian dan keluarga kalian buat baca MARIPOSA 2 yaa ^^

DAN JANGAN LUPA SELALU VOTE DAN COMMENT UNTUK CERITA MARIPOSA 2. BIAR AKU MAKIN SEMANGAT LANJUTIN CERITANYAA ^^

SEKALI LAGI AKU UCAPIN TERIMA KASIH BANYAAK UNTUK 10M VIEW PEMBACA MARIPOSA 2. MAU AKU ADAIN GIVEAWAY NGGAK? 

MAKASIHH BANYAAK YAA TEMAN-TEMAN SEMUAA. SAYANG KALIAAN SEMUAA ^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro