24 - Sepucuk surat
Assalamualaikum semua, alhamdulillah aku bisa update hari ini buat ganti Jumat kemarin yang nggak bisa update yaa ^^
SIAPA YANG SELALU DEG-DEGAN DAN NGGAK SABAR BACA KALAU MARIPOSA 2 UPDATE ? ^^
SIAPA YANG SELALU HEBOH SENDIRI KALAU LIHAT NOTIFIKASI MARIPOSA 2 UPDATE? ^^
Semoga kalian masih selalu sukaa dan terus baca Mariposa 2 yaa Amiinn.
Aku juga ada info buat kalian. Kalau besok bakalan ada PRE-ORDER MARIPOSA VERSI PLATINUM EDITION.
Ini dia ada 2 PAKET dengan BONUS yang GEMESIN BANGEETTT ^^
PAKET 1 DENGAN HARGA Rp. 99.000
BONUS-BONUSNYA YAITU :
1. Mariposa Jaket Film Ber-TTD Author Luluk HF
2. Bookmark (didalam buku)
3. Special Part
4. Sticker Coconut Books
5. Sticker Meng
6. Masker Boneka Aje
PAKET 2 DENGAN HARGA Rp. 149.000
BONUS-BONUSNYA YAITU :
1. Mariposa Jaket Film Ber-TTD Author Luluk HF
2. Bookmark (didalam buku)
3. Special Part
4. Sticker Coconut Books
5. Sticker Meng
6. Masker Boneka Aje
7. Note Aje
8. Box Set
9. Tumbler Mariposa
Bedanya apa sih sama Mariposa-Mariposa versi sebelumnya?
Mariposa Platinum Edition adalah Mariposa 1 dengan cerita yang sama dengan Novel-Novel Mariposa 1 sebelumnya yang pernah tebit. Bedanya di Bonus-Bonus yang akan kalian dapatkan dan Cover Jaket Film Mariposa . Untuk isi ceritanya sama ya teman-teman seperti Novel Mariposa cetakan-cetakan sebelumnya.
APALAGI MASKER SAPI DAN NOTE SAPINYAA GEMESINN PARAAHHH ^^^
PRE- ORDERNYA BESOK YAA ^^
TANGGAL 25 NOVEMBER 2020, JAM 17:00 WIB DI SHOPEE: luluk_hf
STOKNYA TERBATAS BANGET HANYA 3000 EKSEMPLAR DAN TIDAK DIJUAL DI TOKO BUKU MANAPUN. HANYA DIJUAL SECARA ONLINE SAJA YAA. JANGAN SAMPAI KEHABISAN YAA. BONUSNYA GEMESIN SEMUAAA ^^
Pantengin terus Instagram @luluk_hf, @coconutbooks DAN @novelmariposa BIAR NGGAK KETINGGALAN PRE-ORDERNYAAA ^^
DAN SELAMAT MEMBACA MARIPOSA 2 ^^
*****
Iqbal menyandarkan tubuhnya di kursi, meregangkan otot-otot lehernya sebentar dan kedua tangannya sibuk memijat kedua sisi keningnya. Lebih dari tiga jam, ia berkutat dengan buku Harper's Biochemistry dan juga jurnal-jurnal dilayar macbook-nya. Belum lagi semua yang dipelajarinya dalam Bahasa Inggris, Iqbal harus menghapalkan dan memahaminya.
Iqbal belajar tanpa jeda sedikitpun bahkan Iqbal tidak sadar bahwa ia belum mengisi perutnya sejak tadi siang. Pandangan Iqbal mengarah ke standing-calendar yang ada diujung meja belajarnya. Ada satu lingkaran biru disana dengan tulisan "Kay".
Iqbal mengambil standing-calendar tersebut. Lingkaran biru itu menunjukkan bahwa ditanggal tersebut merupakan hari jadian Iqbal dan Acha. Yah, tanpa disadari waktu berlalu dengan sangat cepat. Sudah dua tahun Iqbal menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih bersama Acha.
"Lusa," lirih Iqbal.
Iqbal mengambil ponselnya yang sengaja ia taruh di laci dalam kondisi daya mati agar tidak mengganggu waktu belajarnya.
Selagi menunggu ponselnya menyala, Iqbal menoleh ke dinding, melihat jam. Pukul tujuh malam.
Iqbal menatap layar ponselnya yang menyala. Ada tiga chat masuk dan delapan panggilan takterjawab. Chat dari Rian, Ify dan juga sang Papa. Sedangkan delapan panggilan tak terjawab semuanya dari Rian. Sepertinya ada suatu hal yang penting ingin disampaikan oleh Rian.
Iqbal segera menelfon Rian balik.
"Ada apa?" tanya Iqbal tanpa basa-basi ketika panggilanya tersambung.
"Lo ngilang apa pindah planet?"gemas cowok disebrang sana.
"Pindah planet," jawab Iqbal tanpa berpikir panjang.
"Wuih, planet apa nih? Jauh nggak dari Bumi? Gue boleh ikut pindah nggak?"
"Planet gue nggak nerima orang dengan IQ dibawah 140."
"Wah kasihan Glen, belum juga daftar pasti tereliminasi duluan!"
"Lo juga!"
"Sial!"
"Ada apa telfon gue?" tanya Iqbal mengingatkan Rian dengan tujuannya.
"Kasus Acha udah mulai di urus sama Papa, besok siang Papa pengin ketemu Acha. Lo bisa antar ke kantor Papa? Gue besok ada kuliah full dari pagi sampai malam," jelas Rian.
Iqbal berdeham pelan, mengingat jadwalnya besok.
"Gue juga ada kuliah dari pagi sampai sore," ucap Iqbal lirih.
"Lo udah bilang kan ke Acha kalau lo laporin kasusnya dia?"tanya Rian memastikan.
"Udah, dia awalnya takut, tapi Mamanya berusaha yakinin dia," jawab Iqbal.
"Amanda juga ada kuliah siang sampai malam pasti nggak bisa nemenin Acha. Lo nggak bisa bolos kuliah sebentar?"tanya Rian seenak jidat.
Iqbal refleks menggelengkan kepalanya.
"Nggak bisa, gue ada Skill-Labbesok."
"Terus gimana? Nggak mungkin Acha sendirian. Dia pasti takut banget, Mamanya juga lagi ada kerjaan diluar kota,"ucap Rian dengan nada khawatir.
Iqbal mengambil bolpoin didepannya, memutar-mutarnya tanpa sadar dengan jemarinya. Fokusnya mulai terbelah, memikirkan solusi untuk Acha.
"Glen ada kuliah besok?" tanya Iqbal tiba-tiba terpikirkan nama sahabatnya itu.
"Kayaknya dia kuliah pagi aja, coba lo tanya sama dia."
"Oke,thanks Yan."
Panggilan berakhir. Iqbal pun berganti segera menelfon Glen, meminta bantuan kepada sahabatnya itu.
*****
Acha membuang napasnya berulang-ulang, ia meremas jemarinya yang terasa dingin. Jujur, Acha sangat gugup. Untuk pertama kalinya ia harus berurusan dengan hal yang berbau hukum.
Acha sebenarnya tidak ingin mempermasalahkannya lebih panjang, tapi tidak dengan Iqbal. Cowok itu dengan tegas ingin menghabisi dua cowok yang sudah berbuat jahat ke Acha. Ditambah dengan dukungan Kirana yang setuju dengan permintaan Iqbal. Mendengar sang anak diperlakukan tidak baik seperti itu, tentu saja membuat Kirana langsung murka ketika mendengarnya dan langsung mendeklarasikan bahwa ia tidak akan berdamai dengan pelaku-pelakunya.
Acha menoleh ke samping, hari ini Acha ditemani oleh Glen untuk bertemu dengan Papa Rian. Glen sendiri sebenarnya tidak mau, tapi berhubung ia tidak punya alibi apapun untuk menolak, akhirnya dia terpaksa mengiyakan permintaan Iqbal.
"Glen," cegah Acha ketika cowok tersebut akan melepaskan seatbelt-nya.
Glen menoleh ke Acha, sedikit bingung karena cewek disampingnya ini tiba-tiba menarik lengan bajunya.
"Kenapa?" tanya Glen.
"Acha takut," jujur Acha.
Glen terdiam sebentar, kedua matanya mengerjap dengan polos.
"Tenang aja, Papanya Rian nggak nakutin. Masih nakutin Bunda gue kalau tau Meng pipis sembarangan," jawab Glen dengan santainya.
"Cih, nggak kayak sapi-sapi Acha, nggak suka pipis sembarangan mereka," balas Acha dengan bangga.
Glen langsung melototkan kedua matanya tidak santai.
"Eh emaknya sapi, kalau semua sapi-sapi lo bisa pipis sembarangan, kamar lo udah banjir, jadi danau pipis buatan!" emosi Glen menggebu.
Acha berdecak pelan, mengangkat kedua bahunya seolah tak peduli.
"Ayo turun!" ajak Acha cepat.
Mereka berdua pun segera turun dari mobil, kemudian melangkah masuk ke sebuah bangunan berlantai tiga dengan design yang cukup estetik. Nuansa cokelat muda dan abu-abu mendominasi bangunan tersebut.
Acha mengikuti saja Glen dari belakang, cowok ini seolah sudah hapal dengan tempat ini. Bahkan ketika melewati satpam dan resepsionis di depan, mereka sama sekali tidak mencegah Glen, sebaliknya mereka semua tersenyum ramah seperti sudah mengenal Glen.
Mereka berdua masuk ke dalam lift, menuju ke lantai tiga.
"Glen sering ya kesini?" tanya Acha mengutarakan penasarannya.
"Nggak juga, cuma waktu SMP aja sering ikut Papa kesini. Firma hukum milik Papanya Rian kerjasama dengan perusahaan Papa," jelas Glen panjang lebar.
Acha mengangguk-angguk, terjawab sudah rasa penasarannya.
"Papanya Iqbal juga," tambah Glen.
Wah! Acha hanya bisa takjub. Tak hanya anak-anaknya yang berteman dekat, sepertinya orang tua mereka pun sangatlah dekat. Pantas saja baik Rian, Glen maupun Iqbal tidak pernah dilarang jika menginap dirumah salah satu diantara mereka.
****
Acha dan Glen masuk ke dalam sebuah ruangan bertuliskan Direktur. Mereka berdua langsung disambut pria paruh baya berparas tinggi dan berkacamata. Menurut Acha sangat mirip dengan Rian. Kini Acha tau wajah tampan dan berkharisma Rian berasal darimana.
"Siang Om," sapa Glen lalu menyalami Pak Putra.
"Salam kenal Om, saya Acha." ucap Acha sembari ikut menyalami Pak Putra.
Pak Putra menganggukkan kepalanya singkat, mempersilahkan Acha dan Glen untuk duduk di sofa.
Setelah itu Om Putra mulai menjelaskan kasus Acha dan menanyai Acha tentang detail kejadian yang dialami. Acha pun menjawab dengan selengkapnya dan sejujurnya.
Tiga puluh menit yang terasa seperti tiga puluh tahun bagi Acha, sangat mendebarkan. Acha baru pertama kali merasakan pengalaman seperti ini.
"Jadi, kalau mereka ingin berdamai dan memberikan kompensasi, kamu tidak akan menerima?" tanya Pak Putra terakhir kalinya untuk memastikan.
"Kata Mama Acha, nggak terima damai om. Mama ingin mereka dihukum sesuai kejahatan mereka," jawab Acha dengan hati-hati.
Pak Putra mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, beliau menutup berkas-berkas ditangannya.
"Baiklah. Untuk perkembangan selanjutnya kasus ini, lebih baik saya langsung berbicara dengan Mama kamu. Kemarin saya sudah sempat menelfon beliau, jadi kamu nggak perlu khawatir," jelas Pak Putra.
"Iya Om, terima kasih banyak."
Pak Putra menatap Acha lebih lekat, melihat gadis itu sedaritadi terlihat cemas dan tidak tenang. Pak Putra memberikan seulas senyum kecil.
"Kamu nggak perlu takut, semuanya akan baik-baik saja," pesan Pak Putra.
Acha membalas senyum tersebut.
"Makasih Om. Maaf sudah merepotkan."
****
Pertemuan Acha dengan Papa Rian akhirnya selesai. Mereka berjalan keluar dari kantor Firma Pak Putra, namun langkah mereka terhenti diteras depan ketika mengetahui hujan deras turun entah sejak kapan, mereka tidak menyadarinya.
"Padahal tadi panas banget kok tiba-tiba hujan," lirih Acha menatap langit yang berubah mendung.
"Ini pasti gara-gara Pak Mamang," celetuk Glen seenaknya menyalahkan sopirnya.
Acha menoleh ke Glen.
"Emang Pak Mamang kenapa?" bingung Acha.
"Kalau Pak Mamang pakai kolor warna merah muda pasti hujan turun," jawab Glen dengan yakin.
"Kok bisa gitu?" Acha semakin penasaran.
"Karena kalau Pak Mamang pakai kolor warna merah muda pasti ada kencan sama cem-ceman-nya, tapi karena cem-ceman-nya nggak pernah mau diajak kencan sama Pak Mamang, makanya cem-ceman-nya berdoa biar hujan turun deras!" jelas Glen panjang lebar.
Acha melongo sembari mengangguk-anggukan kepalanya, seolah takjub dengan yang diceritakan oleh Glen barusan.
"Kasihan Pak Mamang," lirih Acha prihatin.
Glen ikut-ikutan melongo mendengar ucapan Acha barusan.
"Lo percaya sama cerita gue?" tanya Glen terkejut.
"Pe... Percaya. Emang cerita Glen barusan boongan?"
"Jelaslah! Mana ada Pak Mamang pakai kolor merah muda. Lagian Pak Mamang udah punya istri, anaknya empat, kembar semua."
"Mana Acha tau," gidik Acha sedikit sebal karena dibohongi oleh Glen.
"Bener sih, mana lo tau, lo kan sapi," ledek Glen.
"Glen!" pekik Acha bertambah kesal.
"Orang kayak lo gini paling gampang jadi target penculikan. Hati-hati lo!" peringat Glen.
"Namanya juga orang cantik, pasti ada aja yang pengin nyulik," bangga Acha.
"Cuih! Cantik operasi plastik aja bangga!"
Acha langsung memberikan lirikan tajamnya.
"Acha nggak pernah operasi plastik! Wajah Acha itu cantik alami!"
Glen tak membalas hanya menyodorkan satu jempolnya. Mereka berdua mendadak langsung diam setelah perdebatan tak berfaedah. Menikmati hujan yang turun semakin deras.
Acha tiba-tiba merindukan Iqbal, sudah tiga hari cowok itu tidak ada kabar bahkan tidak menemuinya. Apalagi lusa adalah hari jadian mereka. Acha ragu kalau bisa merayakannya bersama Iqbal.
Tentu saja Acha akan sedih kalau tidak bisa merayakannya, tapi Ia bisa apa? Iqbal sangat sibuk dengan jadwal kuliahnya, jadwal belajarnya. Belum lagi cowok itu pasti lelah. Istirahat saja kurang, bagaimana bisa Acha tega menanyakan ataupun mengajak untuk merayakan hari jadi mereka?
Menurut kalian penting nggak sih merayakan hari jadian?
"Iqbal sibuk banget ya akhir-akhir ini?" tanya Acha memecah kehenigan diantara dia dan Glen.
"Mana saya tau, saya kan semut," jawab Glen ngaco.
"Acha tanya serius!"
"Lo aja nggak tau Cha, gimana gue?" ucap Glen penuh penekanan.
"Bener juga sih," serah Acha.
"Chat aja, tanyain langsung," suruh Glen.
Acha menggeleng kecil.
"Takut ganggu, Iqbal kayaknya lagi fokus belajar, sebentar lagi kan ujian akhir semester."
"Kalau sayang mah nggak ada yang namanya ganggu Cha," ucap Glen mendadak bijak.
"Bener sih, tapi tetap aja. Nanti fokus belajar Iqbal bisa kebelah gara-gara Acha."
Glen menghela napas panjang, tatapanya menerawang kedepan. Sedikit hampa.
"Mumpung orangnya masih ada, ganggu aja sebanyak mungkin. Nanti orangnya nggak ada, nggak bisa ditemuin lagi, baru lo nyesel kenapa nggak sering ganggu dia," ucap Glen penuh arti.
Acha menatap Glen dengan tatapan sedikit takjub sekaligus terkejut.
"Curhat Bang?"
"Iya Neng. Terima kasih sudah mendengarkan curhatan saya."
"Sama-sama," balas Acha dengan cengiran canggung di wajahnya.
"Perlu gue telfon Iqbal sekarang?" tanya Glen berniat mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Acha dengan cepat mencegah.
"Nggak perlu. Iqbal pasti masih dikelas," ucap Acha.
"Terus lo maunya gimana? Gue anterin ke kampus dia?" tawar Glen lagi.
Acha menggeleng kembali.
"Nggak perlu. Ayo pulang aja," ajak Acha.
"Daritadi kek, pegel nih kaki berdiri terus disini."
"Acha nggak pernah ngajak berdiri disini. Glen aja tiba-tiba berhenti makanya Acha ikut berhenti."
"Gue nggak tega lo kehujanan, kalau hasil operasi wajah lo pudar karena air hujan gimana? Siapa yang tanggung jawab?"
Acha tak segan memberikan sorot mata elangnya.
"Wajah Acha bakalan lebih bersinar terkena air apapun. Jangankan air hujan, air ludah pun tetap membuat wajah Acha cantik."
Glen mendekat selangkah.
"Sini coba gue ludahin!"
Acha dengan cepat menjauhkan tubuhnya dari Glen.
"GLEN GILAAA!!!"
*****
Acha duduk manis di kursi belajarnya, berkali-kali menatap layar ponselnya yang tak ada notifikasi apapun. Tak ada telfon atau chat dari Iqbal. Acha sangat merindukan sang pacar.
Acha menatap kalender yang ada di atas mejanya, ada lingkaran berwarna merah muda disana. Mark yang ia buat untuk pengingat hari jadiannya dengan Iqbal.
Acha berusaha mengembangkan senyumnya dengan susah payah, menatap tanggal tersebut dengan hampa.
"Nggak usah berharap apapun Acha. Jangan nambahin beban buat Iqbal. Ingat, Iqbal udah capek, udah lelah sama kuliahnya. Nggak boleh seperti anak kecil lagi ya," ucap Acha memberikan peringat untuk dirinnya sendiri.
Acha tertunduk perlahan, masih mencoba mempertahankan senyumnya.
"Nggak apa-apa, kalau nggak bisa rayain hari jadian sama Iqbal. Bukan masalah besar. Yang penting Iqbal sayang sama Acha dan Acha juga sayang sama Iqbal. Sudah lebih dari cukup."
Acha menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Jadi, nggak boleh sedih Natasha. Harus tetap tersenyum dan selalu kasih semangat untuk Iqbal."
Acha menganggukan kepalanya dengan penuh kenyakinan. Ia berusaha untuk membuat dirinnya sendiri lebih tegar dan memberikan energi yang banyak untuk dirinnya sendiri.
Acha melirik layar ponselnya, memeriksa jam yang tertera di lockscreen-nya.
"Jam tujuh malam. Iqbal udah makan belum ya?" lirih Acha khawatir.
Acha segera bangkit, mengambil ponselnya dan dompetnya yang ada dilaci, kemudian segera keluar rumah. Ia berencana untuk membelikan Iqbal makan malam dan akan dititipkannya ke resepsionis Apartmen Iqbal. Acha masih trauma untuk kesana sendiri.
*****
Iqbal menutup bukunya, memenyapu pandangannya ke sekitar, sangat sepi tidak ada manusia sama sekali. Hanya tinggal dirinnya saja. Yah, jam segini Iqbal masih di perpustakaan kampus. Setelah jadwal skill-lab-nya Iqbal memutuskan untuk ke perpustakaan. Merangkum materi-materi penting untuk menyiapkan Ujian Akhir semester-nya dua hari lagi.
Waktu berjalan sangat cepat, Iqbal sudah akan mengakhiri semester satunya.
Iqbal jarang lagi ke Rumah sakit Arwana, karena semakin banyak pre-test dan tugas membuat Iqbal lebih banyak diperpustakaan satu bulan terakhir ini.
Iqbal mengeluarkan ponsel, tak ada notifikasi apapun. Ia pun memutuskan untuk membereskan buku-buku dan macbook-nya. Iqbal memilih segera keluar dari perpustakaan yang akan tutup satu jam lagi.
Bukk Bukkk Bukkk
Langkah Iqbal terhenti ditengah ketika mendengar suara buku berjatuhan dari rak. Iqbal menoleh ke samping, ia menemukan seorang cewek sedang meringis kesakitan memegangi kepalanya dengan buku-buku berserakan disampingnya.
"Shit! Sakit banget!"
Iqbal dapat mendengar umpatan cewek tersebut yang cukup keras. Iqbal masih diam saja, memperhatikan cewek itu yang perlahan mulai berjongkok membereskan buku-buku dibawah.
"Kalau masih diem disana dan nggak mau bantuin, mending pergi aja."
Iqbal sedikit terkejut mendengar ucapan cewek itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung, memastikan siapa yang sedang diajak bicara oleh cewek tersebut. Apakah dirinnya?
Iqbal melihat cewek itu tiba-tiba mendongakkan kepalanya, menatap Iqbal tajam.
"Lo masih mau diam disana apa mau bantuin gue?" tanya cewek itu tanpa takut.
Iqbal menghela napas pelan, ia meletakkan tasnya kembali dimeja terdekat, kemudian mendekati cewek itu. Sebagai warga negara yang baik, harus tolong menolong dan menjalankan pancasila sila ke-lima, Iqbal memilih membantu cewek tersebut.
Iqbal menumpuk buku-buku yang berserakan di dekatnya, cewek itu menjatuhkan hampir dua deret rak buku. Bagaimana bisa? Pikir Iqbal.
"Ditaruh dimana?" tanya Iqbal kepada cewek didepannya.
Iqbal akhirnya bisa melihat wajah cewek itu lebih jelas. Iqbal diam sebentar, ia seolah pernah melihat cewek ini, Iqbal berusaha mengingatnya cepat.
"Rak nomer tiga," jawab cewek itu tanpa menatap Iqbal. Ia masih terus fokus mengambili buku-buku disekitarnya.
Iqbal tak menjawab, ia masih memperhatikan cewek itu.
"Lo cewek yang kemarin di café kan?" tanya Iqbal spontan, akhirnya ingat dengan cewek tersebut.
Cewek itu langsung menghentikan aktivitasnya, mengangkat kepalanya perlahan hingga akhirnya mereka berdua sama-sama saling tatap.
"Gue nggak ingat," jawab cewek itu dan segera mengalihkan pandangannya dari Iqbal.
Iqbal mengerutkan keningnya, ia merasa benar dengan ingatannya. Iqbal menghela napas pelan, tak mau memikirkan lebih panjang. Ia segera berdiri, menata buku-buku tersebut di rak nomer tiga seperti perintah cewek tersebut.
"Gue bisa bereskan sendiri sisanya, pergi aja. Makasih udah bantuin," ucap cewek tersebut.
Iqbal menganggukan kepalanya singkat, tanpa banyak kata lagi Iqbal segera berjalan menjauh. Mengambil kembali tasnya dimeja dan keluar dari perpustakaan meninggalkan cewek tersebut.
Sepeninggal Iqbal, cewek itu langsung terduduk dilantai, menghela napas berat.
"Kenapa gue harus ketemu mereka lagi?" lirihnya dengan perasaan tak bisa diuraikan.
******
Acha baru saja menitipkan paper-bagyang berisikan makanan untuk Iqbal. Acha membelikan box-salad dan pasta kesukaan Iqbal. Acha yakin pacarnya itu masih belum kembali ke Apartmen.
Acha pun segera kembali pulang, tak menunggu Iqbal.
Dalam perjalanan pulang, Acha mampir sebentar di Starbuck dekat rumahnya, ia ingin tiba-tiba ingin minum yang manis-manis, setidaknya untuk menghilangkan setres di pikirannya. Apalagi sejak pagi tadi ia sangat tegang karena bertemu dengan Papa Rian.
Acha segera memesan ke kasir.
"Chocholate chip cream satu ya mas, double saos caramel," ucap Acha menyebutkan pesanannya.
"Pakai cream-nya Kak?"
"Yang banyak!"
"Atas nama siapa Kak?"
Acha terdiam sebentar, tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, tiba-tiba ingin mencari nama yang aneh.
"Atas nama Natasha mas."
Acha tersentak kaget dengan suara dari belakang yang tiba-tiba. Acha segera berbalik, ia menemukan Juna tengah tersenyum ke arahnya sembari melambai-lambaikan tangan.
"Juna," seru Acha sangat senang bisa bertemu cowok itu lagi.
"Sendirian aja?" tanya Juna melihat ke sekeliling, mencari sosok cowok yang biasanya bersama Acha.
Acha menganggukan kepalanya. Juna tiba-tiba melewati Acha, mendekati kasir sembari menyodorkan uang.
"Pesan dua ya mas, yang barusan dipesan teman saya," ucap Juna kepada kasir dihadapannya.
"Acha bayar sendiri aja Juna, ini u..."
"Nggak usah Cha, sekali-kali gue yang traktir," tolak Juna halus.
"Padahal Acha nggak pernah traktir Juna," balas Acha.
"Kapan-kapan lo bisa traktir gue makan yang enak."
"Oke, kapan-kapan makan bareng sama Acha ya."
"Oke."
Acha dan Juna pun memutuskan untuk mengobrol bersama disana, niatnya ingin membeli minuman dan langsung pulang, diurungkan oleh Acha.
Acha dan Juna duduk di kursi ujung dekat jendela, mereka saling bercerita banyak. Mulai dari mengenang masa SMA, kesibukan masing-masing akhir-akhir ini bahkan hak tidak penting pun dibahas keduanya.
Bukan hanya Acha yang senang bertemu dengan Juna. Sebaliknya, Juna lebih dari senang berjumpa dengan Acha. Yah, jika harus berkata jujur, Juna masih mengagumi sosok Acha. Walaupun ia sudah membatasi perasaannya yang tak sebesar dulu ke Acha. Juna tidak ingin merusak hubungan orang lain dan juga tidak ingin menyakiti perasaannya sendiri.
"Kenapa nggak sama Iqbal? Dia pasti sibuk banget ya?" tebak Juna seolah paham bagaimana padatnya jadwal anak kedokteran.
"Iya, dua hari lagi Iqbal ada ujian akhir semester, makanya Acha nggak berani ganggu," jawab Acha.
Juna mengangguk-anggukan kepalannya.
"Juna sendiri nggak sibuk?" tanya Acha.
Juna dengan cepat menunjuk ke arah matanya.
"Lo nggak lihat kantong mata gue udah kayak panda Cha? Jangan ditanya lagi. Tiap hari tulis laporan, praktikum nggak ada hentinya," curhat Juna menjabarkan bagaimana lika-likunya di dunia per-teknik sipilan.
"Semangat ya Juna," ucap Acha tulus.
Juna menghela napasnya berat.
"Gue kangen masa SMA. Masih bisa banyak main, PR kalau nggak bisa ya nyontek, mata pelajarannya masih masuk akal bisa dicerna otak."
"Emang kalau kuliah gimana Juna?" tanya Acha mulai penasaran.
"Selain banyak tugas dan materi yang luar biasa sulitnya, Mahasiswanya terlalu serius, individual mendarah daging, mungkin karena basic-nya mereka anak pintar-pintar jadi udah kebiasaan apa-apa dikerjakan sendiri," jelas Juna lagi.
"Padahal kita dulu pengin cepat-cepat lulus SMA biar bisa kuliah. Nggak ada seragam, jadwal kuliah yang bisa pilih sendiri. Ternyata nggak seenak yang kita bayangin ya?"
Juna mengangguk-anggukan kepalanya untuk kesekian kalinya.
"Lo sendiri gimana?" tanya Juna dengan nada suara hati-hati.
"Acha kuliah kok tahun depan," ucap Acha meyakinkan.
"Harus, Kepintaran lo sayang banget kalau di sia-siain. Lo wajib banget sombongin kecerdasan lo ke seluruh penjuru kampus! Tunjukin orang cantik juga bisa punya otak yang cerdas!" ucap Juna menggebu.
Acha tertawa mendengarnya.
"Emang Acha masih terlihat cantik dimata Juna?" pancing Acha.
Juna mendadak langsung terdiam, salah tingkah.
"Ma... Masihlah. Kayaknya nggak gue aja, semua cowok kalau ditanya lo cantik apa enggak, pasti jawabannya sama kayak gue," dalih Juna mencoba lolos dari pertanyaan Acha.
Acha tersenyum lebar, tersanjung mendengar jawaban Juna.
"Tapi ada sih, satu cowok yang nggak pernah bilang Acha cantik," ucap Acha dengan raut wajah yang langsung berubah sebal.
"Siapa?" tanya Juna sangat penasaran.
"Coba Juna tebak," suruh Acha.
Juna mengerutkan keningnya, berpikir keras.
"Iqbal nggak mungkin, gue yakin mata dia masih normal. Siapa ya?" lirih Juna menebak-nebak.
"Orang yang Juna kenal kok," Acha memberikan clue terbaiknya.
Juna menatap Acha serius, mulai memenukan jawabannya.
"Jangan bilang, Glen?"
Acha langsung menyodorkan dua jempolnya.
"Bener banget! Udah sinting tuh bocah. Tiap hari ketemu pasti nuduh kalau wajah Acha itu hasil operasi plastik!" cibir Acha langsung kesal sendiri.
Juna tertawa mendengarnya, ternyata seorang Glen belum juga berubah.
"Berarti secara tidak langsung dia kagum Cha sama kecantikan lo," ucap Juna.
"Gitu ya?"
Juna menyeruput minumannya sembar menganggukan kepalanya.
"Jangan-jangan Glen suka sama lo tapi nggak bilang," ucap Juna iseng.
"Ngawur! Nggak mungkinlah. Kita akur aja nggak bisa, gimana mau suka!"
"Kan ada tuh Cha pepatah, benci jadi cinta."
Acha dengan cepat menggelengkan kepalanya sembari menyilangkan tangannya, menolak keras ucapan Juna.
"Jangan diteruskan lagi. Semua itu nggak mungkin dan Acha cuma sayang sama Iqbal," ucap Acha melemparkan senyum paling manisnya.
"Percaya deh yang dihatinya cuma ada Iqbal seorang," ledek Juna. "Susah emang kalau harus lawan pesona seorang Iqbal," lanjutnya.
"Pengalaman peribadi ya?" ledek Acha balik.
Juna dan Acha langsung tertawa bersama, kengan mereka saat masa-masa SMA kembali terputar saat itu juga. Acha merasa sangat senang bisa berjumpa dengan Juna dan berbincang panjang dengan cowok itu hari ini.
Acha sejenak melupakan beban pikirannya dan dibuat banyak tertawa malam ini.
*****
Iqbal masuk ke dalam Apartmennya, mendekati meja lalu meletakkan paper-bag yang diberikan oleh resepsionis kepadanya. Iqbal tersenyum senang mendepatkan kiriman makanan dari Acha sekaligus merasa bersalah karena merepotkan gadis itu. Padahal, Ia sama sekali belum memberikan kabar apapun.
Iqbal memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum makan malam.
*****
Iqbal kembali ke meja makan dengan keadaan sudah segar dan berbalutkan baju tidur berwarna hitam. Iqbal duduk di kursi, mengeluarkan satu persatu makanan yang dibawakan oleh Acha.
Hingga akhirnya Iqbal menemukan sepucuk surat berwarna merah muda disana. Iqbal mengerutkan kening sebentar, tak biasanya Acha menyelipkan surat seperti ini. Biasanya paling note kecil.
Iqbal perlahan membuka surat tersebut dan mulai membacanya.
Iqbal ini Acha belikan Pasta kesukaan Iqbal dan juga Salad karena Acha tau Iqbal akhir-akhir ini pasti jarang makan sayur. Dimakan dan dihabiskan ya Iqbal, jangan sampai ada yang tersisa biar energi Iqbal pulih lagi.
Iqbal pasti capek ya beberapa hari ini? Jangan terlalu di forsir ya Iqbal belajarnya. Jangan tidur malam-malam juga. Acha nggak mau Iqbal sakit.
Acha nggak minta Iqbal harus temuin Acha tiap hari ataupun kasih kabar ke Acha tiap hari. Acha cuma ingin Iqbal nggak sakit, itu aja cukup. Iqbal bisa kan kabulkan permintaan Acha?
Iqbal jangan merasa bersalah ya ke Acha. Acha sama sekali nggak keberatan dengan kesibukan Iqbal. Acha selalu ngerti kenapa Iqbal nggak bisa temuin atau kabari Acha. Kalau Iqbal nggak bisa kasih kabar dan temuin Acha, nggak usah dipaksa ya, yang terpenting Iqbal selalu ingat Acha dihati Iqbal.
Kalau Iqbal udah bener-bener capek dan lelah, bingugn mau luapinnya dimana, Iqbal boleh kapanpun datang ke Acha. Acha akan siap menjadi pendengar dan penghilang lelah Iqbal.
Semangat ujian semester akhirnya Iqbal. Semoga lancar dan hasilnya memuaskan. Acha percaya kok Iqbal pasti bisa. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup.
Acha sayang Iqbal.
Perlahan surat tersebut merosot dari tangan Iqbal, Iqbal tidak tau bagaimana harus menjabarkan perasaanya saat ini. Membaca surat Acha barusan membuat hatinya berkecamuk. Haruskah dia senang atau merasa bersalah?
Gadis itu sangat peduli dengannya sedangkan Iqbal hanya memikirkan dirinnya sendiri. Terlalu fokus dengan kesibukannya.
Yah, walaupun Acha berkata bahwa dia tidak apa-apa, Iqbal tentu saja tau gadis itu pasti selalu menunggu kabar darinya.
Iqbal merasa betapa beruntungnya dirinnya mendapatkan kekasih seperti Acha. Sedangkan Iqbal seolah-olah terlihat menyia-nyiakan keberuntungan itu beberapa bulan terakhir ini.
Apa yang sudah kamu lakukan Iqbal!
Iqbal menghela napas beratnya.
"Maafin gue, Natasha."
*****
#CuapCuapAuthor
GIMANA PERASAAN KALIAN WAKTU BACA PART INI? ^^
TOLONG JABARKAN SECARA GAMBLANG HATI KALIAN SEKARANG ^^
YUK, JIWA CENAYANGNYA KELUARKAN. CEWEK ITU SIAPA? SIAPAA?
PENASARAN NGGAK BACA KELANJUTAN CERITANYA?
NEXT PART MAUNYAA DIUPDATE HARI APA?
TERUS BACA MARIPOSA 2, SUPPORT MARIPOSA 2 DAN SUKA MARIPOSA 2 ^^
PANTENGIN INSTAGRAMKU @luluk_hf YAA KARENA DIAM-DIAM AKU KASIH BOCORAN LOH UNTUK MASA DEPAN PERJALANAN KISAH ACHA DAN IQBAL ^^
PANTENGIN JUGA INSTAGRAM @novelmariposa KARENA BANYAK SPOILER-SPOILER DAN INFO TENTANG NOVEL MARIPOSA 2 DISANA ^^
OH YAA JANGAN LUPAA JUGAAA BESOK PRE-ORDER MARIPOSA PLATINUM EDITION YAA. JANGAN SAMPAI KETINGGALAN DAN KEHABISAN DI SHOPEE : luluk_hf
TERIMA KASIH BANYAAK SEMUAA DAN SELALU SAYANG KALIAAN SEMUAAA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro