22 - Know?
Assalamualaikum semuanya. Alhamdulillah hari ini bisa update. Maaf ya minggu kemarin tidak bisa update karena emang beberapa minggu ini aku lagi dalam kondisi yang butuh banyak healing dan istirahat. Maaf ya.
Tolong pengertiannya ya, kalau aku nggak update pasti aku ada alasan yang benar-benar buat aku sedang dalam kondisi belum bisa update cerita. Aku ingin menulis senyaman mungkin bukan karena terpaksa, biar feel ceritanya juga dapat dan ceritanya bisa hidup.
Jadi mulai sekarang aku nggak bisa janji ya setiap hari Jumat bisa update Mariposa 2, tapi sebisa mungkin aku akan tetap usahakan untuk Update, tapi aku nggak bisa janji. Karena jujur beberapa hari ini aku kepikiran untuk "HIATUS" nulis.
Alasannya karena kondisi kesehatan dan penyakit OCD.ku yang kadang nggak terkendali. Cuma aku berusaha banget buat melawan dan ingin tetap terus nulis. Jadi mohon kesabarannya dan pengertiannya ya. Aku coba tetap usahain update. Makasih banyak.
Dan selamat membaca, semoga selalu suka dengan Mariposa 2.
******
Mereka berlima kembali menuju Jakarta, jalanan pagi ini cukup lancar, mungkin macet sebentar ketika memasuki gerbang tol. Perjalanan mereka diiringi dengan suara cemprengGlen yang ngotot banget ingin menyanyikan lagu untuk Amanda.
"Mana ada aku jelek, mana ada aku pikirin kamu. Bukalah lebar-lebar matamu, agar kau tau kegantenganku."
Amanda merasakan kepalanya memanas, ia langsung tak segan memukul kepala Glen cukup keras, membuat cowok itu langsung meringis kesakitan. Untung saja yang menyetir mobil kali ini adalah Rian.
"GAK GITU LIRIKNYA!!" emosi Amanda. "Mending lo diem, suara lo bikin gue laper!"
Dan mereka pun memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di sebuah restoran jepang terkenal. Kenapa restoran jepang? Karena setelah diadakan voting dadakan, hampir semua memilih ingin makan sushiterkecuali Glen dan Iqbal.
Glen menghela napas pasrah. Ia pun berteriak keras.
"PAGI-PAGI MAKAN SUSHI. ABUEGILE SIH!"
****
Mereka akhirnya selesai makan, cacing-cacing di perut mereka tidak lagi meronta-ronta ingin asupan gizi. Mereka semua seperti orang kelaparan hingga menghabiskan banyak porsi makan diluar kebiasaan mereka. Apalagi Glen, jangan ditanya. Semua diembat, semua dimakan. Seperti manusia yang tidak makan setahun.
Rian memanggil salah satu pramusaji, meminta bill makan mereka.
"Menurut lo habis berapa Cha?" bisik Amanda sangat pelan di telinga Acha.
Acha menoleh ke Amanda sebentar, kemudian menatap ke tumpukan piring-piring di depan Glen, Rian dan Iqbal. Acha geleng-geleng takjub.
"Sejuta?" jawab Acha tak kalah pelan ke Amanda.
Amanda menggeleng kecil.
"Lebih kayaknya Cha. Gila ya orang kaya kalau makan nggak pernah lihat harga, apa daya kita yang mau beli makan aja masih lihat recehan dompet ada berapa," gidik Amanda.
"Dompet Acha selalu insecure kalau didekat Iqbal," tambah Acha dramatis.
"Dompet gue meronta-ronta ingin jadi dompetnya Rian tiap hari Cha," balas Amanda lebih dramatis.
"Kan motto mereka yang penting perut kenyang, abang senang."
"Bener banget Cha. Betapa beruntungnya kita menjadi pacar orang kaya."
Amanda dan Acha bertatapan lekat, saling melemparkan senyum kecil, kemudian saling ber-highfive di bawah meja. Seolah hal tersebut patut untuk mereka syukuri.
Pramusaji datang membawa bill, Rian menerima billtersebut, menaruhnya ditengah meja.
"Mas bisa hadap ke belakang sebentar nggak?" pinta Rian ke pramusajinya. Meskipun bingung, pramusaji tersebut menurut saja dan menghadap ke belakang.
Rian menatap Glen dan Iqbal dengan penuh arti.
"Ritual bill,"ucap Rian sembari bersiap mengeluarkan dompetnya.
Glen dan Iqbal pun langsung mengeluarkan dompet dari saku. Mereka bertiga menaruh dompet mereka berjejer. Warna coklat milik Glen, warna hitam milik Rian dan warna navi milik Iqbal.
Pramusaji yang menunggu disebelah Rian hanya menatap dengan bingung. Sedangkan Acha dan Amanda sudah tak terkejut dengan ritual tersebut.
Rian menepuk bahu pramusaji tersebut, meminta pramusaji tersebut berbalik kembali.
"Mas maaf minta tolong lagi ya. Silahkan pilih diantara tiga dompet itu. Yang mas pilih berarti dompet itu yang akan bayar makanan itu semua," jelas Rian memberikan instruksinya.
Pramusaji tersebut dibuat terbengong sebentar.
"Beneran saya harus milih mas?" tanyanya masih tak yakin.
"Bener mas," serempak Rian dan Glen.
Pramusajadi tersebut menatap ketiga dompet ditengah meja, mencoba memilih. Dan beberapa detik kemudian, pramusaji tersebut menunjuk dompet berwarna coklat yang merupakan milik Glen.
Glen menghela napas berat, menatap pramusaji tersebut.
"Mas tau aja mana yang dompetnya paling tebel," ucap Glen hanya bisa pasrah.
Sedangkan Rian dan Iqbal tersenyum puas, mereka ber-highfive karena bisa lolos dari ritualbill kali ini.
Glen pun segera mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu.
"Ini ya mas," ucap Glen menyerahkan kartu warna hitamnya.
Pramusaji tersebut menerimanya dengan senang hati.
Amanda dan Acha langsung bergegas memeriksa bill dihadapan mereka, ingin tau tebakan mereka benar apa tidak. Dan, ketima mereka membaca total dari makanan yang mereka bayar, mereka berdua hanya bisa melongo.
"Satu juta lima ratus?" lirih Amanda dan Acha barengan.
Amanda dan Acha berpandangan sesaat.
"Abuegile."
*****
Setelah mengantarkan Acha ke rumahnya, Iqbal pun segera pulang. Kali ini ia tidak langsung ke apartmennya melainkan ke rumah sang Papa. Sudah lama Iqbal tidak mengunjungi Papanya. Tentu saja ia sangat merindukan Papanya.
"Siang Pa," sapa Iqbal ketika melihat sang Papa tengah duduk santai di ruang tengah sembari menonton televisi.
"Siang," balas Mr. Bov tersenyum sumringah, senang melihat putra bungsunya datang.
Iqbal memang sudah mengabari Papanya pagi tadi, bahwa ia akan datang ke rumah. Iqbal segera menyalami sang Papa, duduk disebelahnya.
"Gimana kabar Papa?" tanya Iqbal.
"Baik. Kamu sendiri gimana? Kuliahnya gimana?"
"Yagitu," jawab Iqbal seadanya.
"Yagitu gimana Iqbal?"
"B Aja," jelas Iqbal lebih singkat.
Mr. Bov menoleh ke sang putra.
"Kenapa B? Kenapa nggak A?" tanya Mr. Bov dengan polosnya.
Iqbal menghela napas pelan, ia membalas menatap balik sang Papa.
"Kadang susah kadang juga mudah. Dinikmati ajalah Pa," Iqbal memilih mengalah dan lebih menjelaskan ke sang Papa.
"Gitu dong daritadi jelasinnya. Biar Papa lebih paham," seru Mr. Bov puas.
"Sip sip Oke."
Mr. Bov terkekeh pelan, beliau menepuk pelan bahu Iqbal.
"Jangan terlalu di forsir belajarnya, jangan lupa istirahat dan makan yang cukup. Kalau jatuh sakit, kamu sendiri yang rugi," pesan Mr. Bov bijak.
"Papalah yang rugi."
"Kok bisa Papa?"
"Biaya rumah sakit kan Papa yang bakalan tanggung."
"Bener juga sih. Papa ralat kalau gitu. Kamu dan Papa yang akan rugi Iqbal," ucap Mr. Bov memberikan senyum terbaiknya.
Iqbal mendecak pelan.
"Iya iya Iqbal ngerti."
"Seneng nggak masuk Kedokteran?" tanya Mr. Bov ingin tau pendapat Iqbal setelah beberapa bulan masuk jurusan tersebut.
Iqbal berdeham pelam.
"Lumayan, banyak pengalaman dan ilmu baru."
Mr. Bov mengangguk-angguk kecil, bersyukur sang putra terlihat tidak mengalami kesulitan dengan perkulihannya.
"Betah tinggal sendiri di Apartmen?" tanya Mr. Bov lagi.
"Lumayan."
"Daritadi jawabnya lumayan-lumayan mulu kayak merek seragam sekolah," celetuk Mr. Bov sembari geleng-geleng.
Iqbal menatap sang Papa kembali, kali ini lebih lekat tidak mempedulikan dengan celetukan Papanya barusan. Ada yang lebih penting ingin Iqbal tanyakan.
"Papa sendiri gimana? Nggak apa-apa tinggal dirumah sendiri?" tanya Iqbal.
"Lumayan," jawab Mr. Bov sengaja.
"Pa, Iqbal tanya serius," gemas Iqbal.
Mr. Bov tertawa pelan.
"Nggak apa-apa Bal, kakak kamu juga sering menginap dirumah kalau nggak ada kerjaan. Papa juga akhir-akhir ini sering keluar kota. Jangan khawatir," jelas Mr. Bov.
"Kalau ada apa-apa jangan lupa kabari Iqbal Pa," pinta Iqbal.
"Papa bukan anak kecil Iqbal, nggak perlu terlalu khawatir seperti itu."
Iqbal mengangguk lemah, meskipun jujur setelah memutuskan pindah di Apartmen Iqbal selalu mengkhawatirkan sang Papa. Apalagi sejak sang Papa operasi jantungnya. Kondisinya Mr. Bov memang sudah tidak sekuat dulu.
"Jaga kesehatan Pa, jangan terlalu forsir kerjanya," pesan Iqbal balik.
"Kasih pesan itu buat diri kamu sendiri. Lihat kantong mata kamu, kelihatan sekali jarang tidur," sindir Mr. Bov.
"Bukti nyata kalau Iqbal selalu rajin belajar setiap hari," jawab Iqbal.
"Bisa aja ngelesnya."
Mr. Bov dan Iqbal langsung tertawa bersama, sudah lama mereka tidak bercengkramah sedekat ini. Kesibukan Iqbal maupun Mr. Bov membuat keduanya memang sudah jarang bertemu dan mengobrol.
"Acha gimana kabarnya?" tanya Mr. Bov mengalihkan topik.
"Baik."
"Lagi sibuk apa dia selain hobi baru memasaknya?"
"Ternak sapi-sapinya," jawab Iqbal dengan penuh keyakinan.
Mr. Bov langsung dibuat tertawa kembali, beliau tidak kaget mendengarnya.
"Papa jadi penasaran berapa banyak koleksi boneka sapi Acha?" tanya Mr. Bov setengah serius setengah bercanda.
"Infinity Pa," jawab Iqbal.
"Hah?" kaget Mr. Bov takut salah dengar.
"Tak terhingga," perjelas Iqbal.
Mr. Bov termenung sebentar, tiba-tiba membayangkan banyaknya lemari Acha yang berisikan boneka-boneka sapinya.
"Nggak usah dibayangin Pa," ucap iqbal menyadarkan Mr. Bov.
Mr. Bov melebarkan senyumnya, ketahuan oleh sang putra.
"Langeng ternyata kamu sama Acha. Kalian nggak pernah bertengkar?" tanya Mr. Bov penasaran.
"Dulu pernah, sekarang jarang banget. Sama-sama sibuk."
"Sesibuk apapun jangan lupa kasih kabar. Meskipun Acha kelihatannya nggak permasalahin tapi pasti dia juga butuh perhatian kamu."
Iqbal menatap sang Papa dengan heran.
"Pengalaman pribadi Pak?" sindir Iqbal tertawa pelan.
"Gini-gini Papa dulu sang ahli dalam percintaan. Makanya bisa dapatin Mama," bangga Mr. Bov.
"Acha sekarang lebih dewasa. Iqbal aja dibuat kaget berkali-kali."
"Gimana kagetnya? Coba peragain," iseng Mr. Bov.
"Pa, nggak mulai," peringat Iqbal.
Mr. Bov terkekeh pelan, beliau menyenderkan punggungya di sofa.
"Bagus dong kalau Acha lebih dewasa sekarang, berarti kamu tepat pilih pacar. Selain bisa ngertiin kamu, dia juga bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik."
"Kalau nggak tepat, nggak mungkin Iqbal sama Acha," ucap Iqbal membanggakan balik apa yang dia punya.
Mr. Bov menepuk pelan bahu Iqbal sekali lagi, menatap sang putra dengan serius.
"Jangan pernah sakiti hati perempuan apalagi buat dia menangis. Jadi laki-laki harus bertanggung jawab dengan apa yang dia punya."
****
Setelah menjenguk Papanya, Iqbal tak langsung pulang ke Apartmen. Ia mengajak Acha makan malam terlebih dahulu sampai membuat Acha bingung. Tak biasanya Iqbal menemuinya lebih dari dua kali seperti ini.
"Iqbal nggak lagi melakukan kesalahan ke Acha kan?" tanya Acha masih curiga dengan sikap Iqbal saat ini.
"Nggak ada Cha," jawab Iqbal entah sudah berapa menit diintrogasi oleh sang pacar, membuatnya hampir tidak fokus menyetir.
Bahkan setelah makan malam pun, Acha masih terus saja menanyainnya. Kenyang makan tidak, kenyang pertanyaan iya!
"Jangan-jangan Iqbal mau jual Acha ya? Makanya ajak Acha makan ditempat enak dan mahal terlebih dahulu sebelum jual Acha?" tanya Acha makin ngaco.
"Khayalan lo nggak kurang tinggi Cha?" sindir Iqbal keras.
Acha mendecak pelan.
"Habisnya Iqbal mencurigakan."
"Gue cuma ingin ajak makan Cha."
"Beneran nih nggak ada apa-apa?"
"Nggak ada."
"Demi apa?" pancing Acha.
"Demi lo!" jawab Iqbal mulai kehabisan kesabaran.
"Kurang meyakinkan. Acha udah sering dengar sumpah itu. "
Iqbal memutar otaknya, berpikir sebentar.
"Demi bidadari paling cantik yang pernah gue temuin," ucap Iqbal dengan susah payah.
Acha tersenyum malu.
"Nama bidadarinya siapa?" tanya Acha sengaja.
"Depannya N belakanya I."
"Dibacanya?"
"NI."
Acha mendecak kesal, melirik Iqbal tajam.
"Iqbal!!" pekik Acha masih berusaha sabar.
Iqbal terkekeh pelan, ia mengulurkan tangannya mengacak-acak pelan rambut Acha dengan gemas.
"Natasha Kay Loovi," ucap Iqbal lembut.
"Gitu dong dari tadi," sunggut Acha puas.
Acha menurunkan tangan Iqbal dari rambutnya, mengenggamnya erat. Bersamaan itu juga, mobil Iqbal berhenti. Akhirnya sampai didepan rumah Acha.
"Udah sampai," ucap Iqbal mematikan mesin mobilnya.
Iqbal menoleh ke Acha, kemudian mengarah ke tangannya yang masih digenggam oleh sang pacar.
"Besok udah mulai sibuk di kampus lagi?" tanya Acha.
"Iya."
"Jangan capek-capek," pesan Acha.
"Iya."
"Kalau gitu Acha turun ya," ucap Acha melepaskan genggaman tangannya.
"Bentar," cegah Iqbal.
"Kenapa Iqbal?" tanya Acha bingung.
Tanpa menjawab, Iqbal tiba-tiba menghadap ke belakang, mengambil sebuat buket bunga yang sudah ia sembunyikan di kursi belakang mobilnya.
Iqbal menyerahkan bunga tersebut kepada Acha, membuat gadis itu menerima dengan kedua mata terbuka sempurna.
"Dalam rangka apa Iqbal ngasih Acha bunga?" bingung Acha. Pasalnya memang sudah lama sekali Iqbal tidak memberinya bunga.
Seolah cowok itu ada trauma dengan sebuah bunga. Ya, tau sendirikan kalian.
Iqbal menggaruk belakang lehernya yang sedikit gatal, sedikit bingung juga menjelaskan ke Acha.
"Dalam rangka apa Iqbal?" tanya Acha menyadarkan Iqbal yang masih terdiam.
Iqbal menggeleng kecil.
"Nggak ada, pengin aja kasih ke lo," jujur Iqbal.
Acha menatap Iqbal dengan heran, namun detik berikutnya ia mengembangkan senyumnya. Sangat senang dengan bunga pemberian Iqbal.
"Nggak tanya Acha suka apa enggak sama bunganya?"
Iqbal mengangguk kecil.
"Suka nggak?" tanya Iqbal.
"Suka, apalagi sama yang kasih. Lebih dari suka!" jawab Acha dengan senyum yang mengembang lebar di paras cantiknya.
"Gue juga suka."
"Ke siapa?" pancing Acha.
"Ke yang nerima bunga," jawab Iqbal memberikan senyuman hangat.
Acha mendekat ke Iqbal, memeluk Iqbal cukup erat.
"Makasih banyak Iqbal," ucap Acha.
Iqbal membelai rambut Acha.
"Sama-sama."
"Acha sayang sama Iqbal. Jangan berhenti sayang ke Acha ya."
"Iya Cha. Maaf dan makasih."
"Maaf untuk?" bingung Acha.
"Karena terlalu sibuk sampai jarang kasih kabar," jawab Iqbal dengan berat hati.
Acha tersenyum kecil.
"Kalau makasihnya? Untuk?" tanya Acha lagi.
"Makasih karena udah selalu sabar dan untuk semuanya."
"Nggak perlu minta maaf sama makasih Iqbal. Acha akan selalu ada untuk Iqbal dan berusaha ngertiin Iqbal."
Iqbal melepaskan pelukannya, menatap Acha lekat. Senyum Iqbal mengembang lagi.
"Dewasa ya kamu sekarang," ucap Iqbal bangga.
"Iya dong, pacarnya siapa dulu?"
"Pacar aku."
Acha menutup wajahnya dengan malu, pipinya mendadak panas mendengar jawaban Iqbal. Padahal ia sudah sangat sering mendapatkan gombalan seperti itu, tapi rasanya dan debarannya selalu sama. Tak pernah kurang bahkan bisa lebih.
"Masuk rumah sana," suruh Iqbal, melepaskan tangan Acha dari wajah gadis itu.
Acha menganggukan kepalanya, bersiap untuk turun.
"Jangan tidur malam-malam, kalau sudah sampai Apartmen kabari Acha," pesan Acha.
"Iya Natasha."
Acha pun akhirnya turun dari mobil Iqbal, setelah itu Iqbal beranjak dari hadapan Acha. Malam yang singkat dan tak terduga. Acha sangat senang mendapatkan kejutan bunga dari Iqbal.
Acha masih terdiam di gerbang rumahnya, menatap bunga tersebut cukup lama. Acha mengelus bunganya pelan-pelan.
"Bunga jangan cepat layu kayak bunga colongan ya."
****
Keesokan hari, Iqbal diajak bertemu oleh Glen dan Rian di café dekat SMA mereka dulu. Glen ingin membahas tentang perkembangan penyelidikan kasus Acha yang sudah ia kumpulkan. Dengan menggunakan koneksi-koneksinya, Glen dengan mudah mendapatkan semua yang Iqbal butuhkan.
"Ternyata ini bukan kasus pertama mereka berdua, dua kali sudah ada laporan tentang kejahatan pelecehan seksual keduanya. Dan dua kasus itu selesai begitu saja dengan damai, karena mereka berdua memberikan kompensasi uang yang cukup besar. Mereka berdua dari keluarga kaya," perjelas Glen memberikan sebuah flashdisk ke Iqbal.
Iqbal menerima amplop tersebut.
"Di dalam ada rekaman CCTV dan data pribadi mereka yang lo minta," jelas Glen.
"Thanks."
"Apa yang bakalan lo lakuin habis ini?" tanya Rian.
Iqbal menoleh ke Rian, menyerahkan flashdisk tersebut di hadapan Rian membuat cowok itu langsung bingung.
"Kenapa dikasih ke gue?"
"Papa lo pengacara ternama kan? Kasih ke Papa lo, selesaikan kasus Acha dengan adil," suruh Iqbal seenak jidat.
Keluarga Rian dari sang Papa, Paman, tante bahkan kakeknya dulu semuanya terjun di dunia Hukum. Ada yang jadi pengacara sukses seperti Papa Rian, Paman Rian seorang jaksa ternama bahkan Kakek Rian dulu juga pernah menjadi Hakim.
Rian menatap Iqbal lekat dengan takjub.
"Lo beneran manfaatin otak lo dengan baik ya Bal?" sindir Rian halus. Bagaimana tidak? Tanpa mengeluarkan usaha yang berat, Iqbal dengan mudah melakukan semuanya dengan baik dan rapi. Seolah sudah ada rencana tersusun di pikiran cowok itu.
"Sudah gue bilang dari awal," jawab Iqbal enteng.
Rian menghela napas kasar, menerima Flashdisk tersebut.
"Jadi, gue dimanfaatin nih ceritanya?" tanya Rian memperjelas.
"Minta tolong," jawab Iqbal meluruskan.
"Gue pernah denger beberapa hari yang lalu, minta tolong dan dimanfaatin kadang beda tipis," ucap Rian sok dramatis.
Glen yang sedari tadi diem aja dengan cepat menepuk pelan bahu Rian. Glen memberikan senyuman paling gantengnya.
"Lo aja yang nipis-nipisin!"
Rian langsung melongo, ia dibalas telak oleh Glen.
"Gue harus banget nih bilang Abuegile?"tanya Rian ke Glen.
Glen semakin melebarkan senyumnya.
"Yang sabar ya Abang Rian. Gue pernah kok berada diposisi lo. Rasanya..... Mantap!"
*****
Pertemuan mereka yang harusnya singkat menjadi cukup lama karena Glen yang tiba-tiba curhat tentang kegalauannya ingin menjual beberapa koleksi mobilnya yang terlalu banyak.
"Lo berdua nggak ada keinginan beli Porsche gue?" tanya Glen ke Rian dan Iqbal.
"Nggak ada," jawab Rian dan Iqbal tanpa ragu.
"Beli dong, seengaknya gue nggak akan sedih kalau pemilik Porsche gue berikutnya sahabat gue. Kan gue masih bisa bisa jenguk nanti."
"Lo kira beli mobil kek beli cireng mbak wati?" sinis Rian.
"Mana ada uang segitu," tambah Iqbal.
"Merendah untuk salto nih bocah. Katanya kaya?" sindir Glen.
"Bokap yang kaya, bukan gue," perjelas Iqbal.
"Bener banget. Lo enak anak tunggal. Semua warisan bokap lo pasti ditangan lo. Tujuh turunan lo nggak ada yang kerja pun gue jamin lo masih kaya raya," ucap Rian dramatis.
Glen manggut-manggut setuju, ia mengambil gelasnya dan menyeruput minumannya sampai habis.
"Ngomong-ngomong cireng mbak wati, gue jadi kangen," ucap Glen mendadak mellow.
"Sama Mbak Wati?" goda Rian.
"Cirengnya lah! Bisa digorok gue sama suaminya!" jawab Glen tak nyantai.
Rian mengerutkan kening.
"Emang mbak wati udah nggak janda lagi?"
Glen menurunkan gelasnya, menaruhnya kembali ke meja dengan kekuatan penuh. Ia bersiap untuk memberikan berita ekslusifnya.
"Mbak Wati udah nggak janda lagi. Bulan lalu dia nikah sama duda !" ucap Glen menggebu-gebu.
"Tau darimana lo?" tanya Rian heran.
"Jangan salah, gue diundang coy ke nikahannya. VIP banget kan. Mungkin karena gue pelanggan paling ganteng dan buat Mbak Wati nggak bisa move-on dengan kegantengan gue," ucap Glen bangga.
"Terus lo datang?" kini Iqbal ikut bersuara dan penasaran.
"Datang dong, gue harus menghargai janda terdepan SMA Arwana yang akhirnya mengakhiri masa jandanya!"
"Lo datang sendiri?" kaget Rian.
"Sendiri dong, masa gue bawa Meng. Bisa-bisa Meng ikut nikah disana."
Rian dan Iqbal geleng-geleng mendengar jawaban absurd sahabatnya.
"Kalian kepo nggak gue kasih Mbak Wati hadiah apa ke nikahannya?"
"Nggak," serempak Rian dan Iqbal bersamaan.
"Kepo dong, please!" rengek Glen seperti anak kecil.
Glen tersenyum bahagia dan bersiap untuk menjawab.
"Gue bawa cireng sekerdus yang gue beli di dekat minimarket stasiun," jawabnya dengan mata berbinar-binar.
Rian dan Iqbal melongo mendengar jawaban Glen.
"Karena gue ingin membuat Mbak Wati semakin berkembang dengan cireng-cireng buatannya, makanya gue hadiahkan cireng pesaingnya. Hebat kan gue?" lanjut Glen tanpa diminta.
Rian dan Iqbal langsung berdiri, bersiap untuk beranjak. Mereka mengambil jaket, dompet dan kunci mobil mereka dengan cepat.
"Mau kemana kalian?"
Rian dan Iqbal menatap Glen tajam.
"Mbak Wati!" jawab mereka meluapkan kekesalan. Mereka berdua langsung berbalik.
Glen bergegas mengambil dompet dan kunci mobilnya, menyusul kedua temannya.
"Gue ikut!!!"
Mereka bertiga berjalan bersamaan menuju pintu keluar café. Namun, langkah mereka terhenti ketika seorang cewek berambut pendek bergelombang masuk ke dalam café dengan pakaian cukup nyentrik. Atasan hijau muda, celana kuning muda dan sepatu warna hijau muda serta memakai kacamata kuning muda yang ditaruh di rambutnya.
Glen yang berada ditengah-tengah Rian dan Iqbal langsung menyenggol lengan kedua sahabatnya.
"Nih manusia kira-kira tujuan hidupnya apa ya?" pekik Glen cukup lirih, ia menatap cewek itu dengan takjub.
Cewek itu melewati Rian, Glen dan Iqbal begitu saja.
"Gue kayak kenal sama tuh cewek," ucap Rian tiba-tiba dan tanpa sadar menolehkan kepalanya ke cewek tersebut.
"Gue juga," tambah Iqbal merasa tidak asing.
Glen mengerutkan kening, menatap kedua sahabatnya dengan heran.
"Emang siapa cewek itu?"
****
#CuapCuapAuthor
Ada yang bisa nebak siapa cewek itu?
Sampai jumpa dipart selanjutnya ya.
Makasih banyak buat semua teman-teman yang selalu nunggu dan baca Mariposa 2.
Selalu support Mariposa 2 dan cerita-ceritaku yang lainnya.
Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian, saudara-saudara kalian, tetangga kalian dan keluarga kalian untuk baca Mariposa 2.
Spoiler Mariposa 2 dan Info tentang Mariposa 2 bisa dilihat di Instagram @novelmariposa
Terima kasih semuanya. Love you all.
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro