Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Puppet Limb

"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"

Aku nekat bertanya dengan mulut besar. Tepat ketika lampu-lampu kuning rumah jagal meredup, aku mendatangi pria tua yang sedari tadi bergelut dengan kamar pendingin yang tidak pernah boleh kumasuki. Dia menoleh kepadaku. Wajahnya mengerut, lalu pria itu pun berkata,

"Monsieur Bendho, kapan kau akan berhenti bertanya? Apakah kau curiga bahwa daging yang kujual adalah ....

"Manusia?"

***

Marionette

A puppet worked from above by string attached to its limbs.

***

Gelap.

Dini hari menyelimuti distrik katakombe Montparnasse, Paris. Tepat pukul 01.30. Gemerlap lampu kuning kios perlahan memudar. Begitu pula aroma roti dan daging panggang yang dipesan dari rumah jagal, lenyap, menyisakan bau refrigeran AC yang mencair di tepi trotoar. Derum mobil pun semakin jarang menggetarkan telinga.

Hening.

Aku pulang di kala hitam sudah pekat menyelimuti.

"Mon amour Joanna! Embrasse moi ce soir.
Mon amour Joanna! Je t'aime vraiment.
(Sayangku Joanna! Peluk aku malam ini.
Sayangku Joanna! Aku amat mencintaimu.)"

Aku, si pekerja serabutan berambut keriting dan berhidung besar, bersenandung riang di tengah jalanan gelap. Aku melompat-lompat sambil mengayunkan pisau daging kesayangan. Senangnya. Meskipun Juragan Are marah kepadaku, tak masalah. Malam ini, aku akan bermesraan dengan istriku yang sedang tidur sendirian di rumah.

"Mon amour Joanna—"

Ckrek!

Apa ini? Tiba-tiba, sepatu boot-ku menginjak sesuatu yang mengeluarkan suara serapuh ranting kayu. Kecil. Aku tak bisa melihat wujudnya. Jalanan ini terlalu gelap. Aku sampai memicingkan mata untuk menangkap bentuk benda misterius yang barusan kuremukkan.

Oh la la! Ini sudah yang ketiga belas kalinya sejak 1 Juni.

Ternyata, aku menginjak sebuah Marionette. Lagi.

Aku pun mengambil boneka kayu yang kini terbelah dua bagian tubuhnya—menjadi torso dan kaki. Aku terheran. Apakah di dekat sini ada pabrik boneka baru? Masalahnya, setiap hari aku selalu menginjaknya.

Aku bergidik sendiri, lalu membuangnya ke tong sampah yang ada di pinggir jalan. Ada yang janggal sebenarnya. Setiap kali aku akan menjatuhkan marionette—yang hancur kuinjak—ke tempat sampah, jantungku selalu berdegup kencang. Pasalnya ....

Marionette ini sangat mirip dengan diriku.

Hidung besar, rambut keriting, dan juga tanda lahir berbentuk cincin di kelingking kiri, semuanya ada. Apakah ada seseorang yang mengidolakan diriku diam-diam?

Non (Tidak). Aku menggeleng. Hal bodoh apa yang sudah aku pikirkan! Hidup terlalu singkat untuk memikirkan momok yang belum pasti. Lebih baik, segera pulang ke rumah 'tuk bermesraan dengan Joanna. Ha ha! Wajahku memerah setiap kali mengingat kulit lembutnya.

Aku akan selalu begini. Stoik, ingin tahu, dan beruntung, tetaplah sama. Aku tak ambil pusing dengan suatu masalah. Tidak pernah. Meski begitu, jika kakak laki-lakiku melihat keapatisan semacam ini, pasti rentetan ceramah akan memberondong diriku yang kini melompat riang sambil mengayunkan pisau daging.

"Bendho, rappelez-vous, il y a le calme avant la tempête.
(Bendho, ingatlah, ada tenang sebelum badai.)"

Terang.

Sebuah gedung berbata merah adalah tempat yang dinanti. Di dalamnya, sinar putih lampu menunjukkan surga yang jarang kunikmati. Apalagi, di balik pintu marun yang ada di depan anak tangga, aku akan menikmati anugerah ilahi yang sebenarnya. Joanna, istriku, aku datang!

Aku mengendap-endap 'tuk memasuki kamar tempat kami memadu kasih. Aku tak mau membangunkannya. Nanti saja Joanna bangunnya, menunggu aku menyerangnya—

"Ahhh!"

Suara erangan yang memekik tiba-tiba menyeruak dari balik pintu.

Aku terperanjat sampai membeku di tempat. Getaran yang menggedor gendang telinga tadi, tiba-tiba menjalar, turun sampai bisa mendebarkan jantung lebih kencang daripada pacuan kuda. Seakan-akan, seisi dada sanggup keluar sebab pekikan itu. Tidak. Itu bukan pekikan. Lebih tepatnya.

Itu desahan.

"Kamu nakal sekali, Monsieur!"

Dialog mendayu-dayu itu tiba-tiba mengiringi erangan. Tidak. Sekali lagi kupastikan. Joanna ... sedang mendesah.

Keparat!

Bulir-bulir keringat sontak meluncur dari pelipis. Senyuman yang dipenuhi hasrat untuk bermesraan, kini menjadi gemeretak gigi yang saling mengadu. Sekujur tubuh mulai gemetar, termasuk kaki yang ditopang oleh celana jeans ketat.

Ingin sekali aku mengintip dari lubang kunci. Sepasang mata sehitam jelaga kini membelalak sampai pupil bulat sempurna. Turun seinci demi seinci. Lurus, sampai pemilik tubuh yang gemetar ini mencengkeram pisau daging dengan genggaman tererat.

Sedang bersama siapa istriku di dalam sana?

"Bendho, rappelez-vous, il y a le calme avant la tempête.
(Bendho, ingatlah, ada tenang sebelum badai.)"

Kakak b*jingan!

Braaaak!

Aku mendobrak pintu dengan hantaman terkuat, lebih garang daripada serudukan banteng matador. Demi. Mengganjar sepasang keparat yang hinggap di hidup sempurnaku.

Di hadapanku, sepasang tubuh tak berbusana sedang gemetar. Percumbuan yang masih jauh dari kata akhir terpaksa berhenti. Biar kulihat cairan apa yang akan keluar nanti! Air mata yang bening atau sesuatu yang ... merah?

"MERDE! (KOTORAN!) MENJAUHLAH DARI ISTRIKU, KAU B*NGSAT!"

Aku mengayunkan pisau daging yang gemeretak sebab genggaman amarah. Ayunan yang dapat memisahkan segumpal otot merah muda, langsung kuarahkan ke tubuh telanjang berbulu yang menjijikkan. Malam ini, akan kupastikan jasad kotor yang sudah menggerayangi istriku akan masuk ke neraka. Sekarang juga!

"MATILAH KAU—"

Pyar!

Mengapa begini? Badanku terhuyung ke belakang sampai kepalaku terantuk ubin. Pening bercampur kunang-kunang. Joanna, mengapa kau melakukannya? Kau ... malah ingin menghabisiku dengan sebuah vas?

Oh tidak, siapa lagi itu?

Popie?

Itukah kamu, Nak? Pergilah! Jangan ke sini! Kamu akan disakiti oleh ibumu. Begitu pula dengan paman brengsekmu.

Dan jangan lihat ayah.

Maaf, ayah tidak bisa melindungimu. Malah, ayah harus berakhir seperti ini.

Aku tak bisa melihat apa pun. Lebih buram dari kaca yang terkena embun di musim dingin. Putriku yang berdiri gemetar hanya sanggup berpegangan di pintu marun tempat aku mengintip ini semua.

Payah, minggirlah, B*ngsat!

Kaki berbulu kakakku tiba-tiba menghalangi Popie dari mataku. Tanpa bisa kurasa, pria keparat itu sudah mengambil pisau daging kesayanganku. Dan sudah kuduga. Yang harus tercincang malam ini adalah ....

Aku.

"Bonne nuit, Monsieur Bendho (Selamat malam, Bapak Bendho)," ucap si pria keparat menyeringai. "Et, dors bien! (Dan, selamat tidur!)

Jglek!

Aku ... mati.
























"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"




























Aku hidup!

Pertanyaan itu sontak keluar dari mulutku. Kata-kata itu! Lampu-lampu kuning yang meredup! Juga, pria tua yang dipenuhi uban ... Juragan Are! Aku ingat momen ini semua.

Ini adalah malam saat aku nekat bertanya kepada Juragan Are dengan mulut besar.

Setelah itu, dia akan menjawab,

"Monsieur Bendho, Kapan kau akan berhenti bertanya—"

Sudah tidak penting lagi! Aku meninggalkan jawaban Juragan Are. Malam ini, masih malam yang sama.

Roh kudus masih berada di sisiku.

Aku akan menghukum para keparat itu. Kakak b*ngsat. Dan ... Joanna.

Juga Popie. Dia harus kuselamatkan dari adegan horor malam nanti.

Kupercepat langkah. Lompatan dan ayunan pisau daging yang dipenuhi riang, kini berubah menjadi entak penuh dendam.

Tiap lampu jalan yang memendarkan rona kuning remang tak kuhiraukan. Kios-kios yang gelap pun tidak menakutiku, bahkan membuat bulu kudu berdiri dipenuhi amarah. Aroma tipis daging dan roti yang menguar dari rumah jagal, malah membangkitkan hasrat. Haus. Rasa sakit yang menyesakkan dada harus lunas dibayar.

Ckrek!

Momen ini? Ah, mengapa harus terulang lagi satu adegan tidak penting semacam sekarang?

Marionette yang kuinjak harus remuk di depan mataku. Lagi.

Tapi masa bodoh, biarlah dia tergeletak di tengah jalan. Aku tak ada waktu untuk membuangmu ke tong sampah. Ada hal yang lebih pantas dibersihkan ketimbang boneka tali rongsok.

Pukul 01.30. Aku mencapai rumah lebih cepat. Pintu marun tempat semua pertumpahan darah bermula, sudah lurus di depan mata hitam yang dibakar dendam.

Aku melangkah gontai. Suara Joanna yang mengerang mulai mengeras. Samar-samar, kini berganti menjadi bisikan yang seakan-akan dihembuskan ke telinga.

Pisau daging yang sudah kugenggam erat-erat, sampai gerombolan urat sontak mengukir jelas di tangan kokohku. Aku siap. Tanpa perlu mengintip lubang kunci lagi.

Rasa sakit tidak perlu ditambah.

Napasku semakin memburu, dan aku tak pernah seyakin ini.

Braaaak!

Kugebrak pembatas yang membatasi pengkhianatan kakak dan istri keparatku. Ambrol. Begitu pula dengan segala akal sehat yang membelenggu.

Sepasang tubuh telanjang yang gemetaran melihat maut di depan mata.

"Bonjour! (Halo!)"

Teriakan kompak memekik dari mulut Joanna. Memang. Aku akan menghabisinya terlebih dulu.

Aku melompat ke atas tubuh tak berbusananya yang meronta-ronta. Kutindihi tanpa mempedulikan bagian apa yang sedang kulututi.

"Suamiku, tidak!"

Bodoh!

Aku tidak akan berhenti. Aku tahu semuanya.

Kuangkat pisau daging yang kugenggam sekuat tenaga.

"Bonne nuit, Madame Joanna (Selamat malam, Nyonya Joanna)," umpatku. "Dan pergilah ke neraka—"

Pyaar!

Oh, Tidak.

Mengapa seperti ini lagi?

Buram.

Kepalaku terjungkal ke samping kasur. Lantai marmer coklat kehitaman sontak menyundul tulang tengkorakku sampai tercipta retakan. Aku tak bisa melihat apa pun. Hanya seorang anak kecil yang berdiri gemetar di mulut pintu marun yang sudah sempal.

Popie.

Maafkan ayah. Aku lagi-lagi gagal 'tuk melindungimu.

Pria keparat itu ternyata diam-diam pergi mengambil vas yang digunakan Joanna untuk memukul kepalaku. Dan nasibku berakhir dengan hal yang sama.

Bodoh.

Oh, Tuhan. Jika aku diberi kesempatan untuk mengulangi ini lagi, aku janji, aku akan menghabisi semuanya. Untukmu.

Sial! Lagi-lagi, kaki berbulu itu menghalangiku memandang Popie 'tuk terakhir kali. Pria keparat itu mengambil pisau daging yang tergeletak di sisiku. Dia akan mencincangku untuk kedua kalinya. Tidak. Aku tidak terima! Dasar b*jingan!

Apalagi, salam perpisahan congkak yang akan ia lontarkan, aku tidak mau mendengar ucapan penutup itu.

"Bonne nuit, Monsieur Bendho (Selamat malam, Bapak Bendho)."

TIDAK!

"Et, dors bien! (Dan, selamat tidur!)

Jgleek!

Aku ... mati.

Lagi.





















"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"































Aku hidup! LAGI!

Roh kudus menjawab doaku! Aku akan menyelesaikan semuanya!

"Monsieur Bendho, Kapan kau akan berhenti bertanya—"

Iya iya! Aku sudah muak mendengar itu. Aku pergi. Aku kan mengakhiri semuanya. Sekali lagi, aku genggam pisau daging erat-erat. Kupercepat langkahku. Tidak. Aku bahkan berlari. Tak ada waktu untuk menderapkan langkah dendam.

Ini sudah yang ketiga kalinya. Aku tidak akan membiarkan para b*jingan itu bisa bersenang-senang, bahkan mencapai klimaks!

Aku bahkan tak peduli. Meski aku harus mengulangi ini semua lebih dari tiga kali, aku siap! Aku sangat bersedia!

Termasuk menginjak marionette butut yang kuremukkan tiap melalui jalanan berlampu remang.

Aku akan mengakhirinya!























"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"

Tidak. Aku gagal!

Yang keempat! Aku pasti akan berhasil!





































"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"

Kelima! Aku pasti berhasil kali ini!


























"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"

























"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"



























"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"


















"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"
















"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"












"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"




"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"



















"DARI MANA JURAGAN ARE MENDAPATKAN DAGING?"


















AKU TIDAK TAHU!!!

Sudah dua belas kali aku mengulangi ini semua, dan hasilnya sama!

"Monsieur Bendho, Kapan kau akan berhenti bertanya—"

Hentikan! Aku lelah mengulangi ini semua. Aku ingin pulang.

Pak tua itu kini terheran melihatku yang tak bersemangat. Memang. Aku tak biasanya seperti ini, tapi ... aku sudah tidak kuat. Aku sudah mengulangi hal yang sama sebanyak dua belas kali. Rasa sakit yang sama.

Dan ini adalah yang ketiga belas.

Aku tak tahu akan berakhir bagaimana, tapi aku akan menyelesaikan semuanya. Apa pun hasilnya.

Kuning remang. Aroma daging dan roti. Aku lagi-lagi bertemu dengan itu semua di sepanjang perjalanan pulang. Langkahku gontai, dan tanganku tak sekuat banteng matador untuk menggenggam pisau daging kesayangan.

Ckrek!

Ah, lagi-lagi bagian skenario ini. Marionette rongsok.

Oh la la ... bodoh.

Aku menghiraukannya. Aku lebih memilih menuju pintu marun, tempat aku bisa mendengar erangan ... Tidak. Desahan istri b*jinganku.

Dan di situlah aku saat ini.

Aku ... menangis.

Amarah tak lagi menjalar di atas kepalaku. Aku tak kuasa menyaksikan tubuh molek Joanna dinikmati oleh pria lain, dan itu adalah kakak laki-lakiku sendiri. Apalagi, berapa kali kepalaku harus diremukkan oleh vas, termasuk dicincang dengan pisau daging yang kini sedang kubawa.

Dan yang terparah, Popie ... aku tak sanggup melihatnya gemetaran karena menyaksikan kebodohanku.

Aku gagal!

Tangisanku semakin deras, Aku terisak. Tubuhku berlutut seketika. Suara-suara itu tiba-tiba muncul entah dari mana. Gemeretak kayu muncul di samping telingaku, seakan aku teringat dengan benda rongsokan yang selalu aku injak.

Aku sama rongsokannya dengan marionette itu.

Aku menyaksikan tubuhku seakan-akan berubah licin dengan guratan kayu yang diserut. Sendiku tiba-tiba berubah menjadi penghubung buatan dari paku. Rahang, kaki, dan tanganku sontak ditusuk bagaikan ada benang yang memainkan diriku.

Aku juga menyaksikan marionette-marionette yang kuinjak melayang di sekeliling.

Mereka tertawa. Amat puas. Terbahak-bahak.

Suara cemoohan terlontar dari mulut kaku mereka. Langsung menghunjam jantungku.

"Hahaha! Bendho adalah pria bodoh!"
"Iya! Dia sangat naif. Kapan terakhir kali dia menggunakan otaknya?"
"Bendho si otak udang!"
"Pria miskin!"
"Mulut besar!"
"Hidung kelapa!"
"Kribo!"
"G*BLOK!"

AHHHH!!!

HENTIKAN SEMUANYA!!!

Jglek!

Aku ... mati.




















"Oui, lihatlah apa yang sudah dia lakukan!"

"Dia ... memenggal dirinya sendiri?"

"Oui, dia merepotkan sekali, bahkan di saat sudah bunuh diri! Bendho, oh Bendho. Kenapa kau payah sekali!? Kau membuatku harus berjalan di kegelapan malam untuk membawamu kembali."

Joanna berjalan di tengah kegelapan malam. Di sampingnya, kakak lelaki Bendho menemani dengan membawa ....

"Diamlah! Kau tidak repot sama sekali dengan berjalan di tengah malam! Aku yang harus menggotong jasadnya sepanjang jalan ini!" keluh si kakak lelaki.

"Iya iya, aku paham. Namun, aku akui, Bendho pantas mendapatkannya."

"Apa? Kau mau membahas dia yang selalu pulang larut malam semenjak bekerja di Juragan Are?"

"Iya."

"Cih, bukannya kita akan ke sana malam ini 'tuk memberikan jasadnya?"

"Benar, tapi ... dia tak pernah mempedulikanku, begitu pula dengan Popie!"

"Karena itu, kau menumbalkannya bulan ini?"

"Bagaimana lagi! Aku sudah mengancamnya sejak awal bulan Juni!"

"Dengan marionette-marionette itu?"

"Tentu! Bahkan, puncaknya adalah hari ini. Dia enggan pulang meski putrinya sedang berulang tahun."

Si kakak lelaki mendengus. Ia tertawa mengejek Bendho. Begitu pula Joanna, ia mendecih untuk menghukum sang suami.

"Bendho, sangat bodoh!"

Kling!

Lonceng berdenting disandung oleh ujung muka pintu.

Keduanya sampai di dalam tempat tujuan mereka.

Rumah jagal juragan Are.

Sang pria tua itu masih berada di sana. Dia tetap sibuk mengotak-atik kamar pendingin yang sedari tadi ia tempati. Dia melongok, lalu berkata,

"Kenapa kalian kemari?"

"Ini! Dia membunuh dirinya," jawab si kakak lelaki.

"Oui, kita harus mengulangi semuanya dari awal!" sahut Joanna.

"Apa boleh buat," jawab Juragan Are mengedikkan pundak. Dia pun menunjuk sebuah ruangan segelap gudang. "Letakkan saja di sana. Biarlah kita mengulanginya dari awal, setidaknya, kita sudah mendapat banyak daging dari Bendho.

"Aku akan meminta Tuan memulai semuanya dari awal lagi."

Joanna dan kakak lelaki Bendho langsung menuruti perkataan Juragan Are. Mereka menuju ruangan gelap yang ada di lantai dua. Gudang. Untuk meletakkan daging(-daging) Bendho.

Sementara itu, Juragan Are memasuki kamar pendingin yang tidak boleh dimasuki oleh Bendho.

Di ujung tergelap, seorang anak perempuan berambut keriting dan berhidung besar duduk termangu. Di genggamannya, ia mengotak-atik sesuatu seukuran manusia yang mengeluarkan gemeretak semacam kayu.

Itu ... marionette.

Dan Juragan Are bersujud kepada anak itu.

"Tuan, kita harus mengulangi semuanya. Bendho sudah membunuh dirinya. Maafkan aku sudah mengganggumu ....

"Popie."

Marionette

"We're all puppets, but be careful, to the one who can see the strings."


























"Dari mana Juragan Are mendapatkan daging?"

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro