maplekyuu! /tungkap/
Sore itu, hari-hari terakhir sebelum libur musim gugur, para anggota Klub Voli Inarizaki tengah berganti pakaian. Latihan baru saja selesai diadakan, murid lain rerata sudah pulang duluan. Sementara cowok-cowok ini masih membicarakan banyak hal- topiknya dominan sih masalah perempuan.
"Surat lagi?" Tanya Aran saat dilihatnya Atsumu menjatuhkan beberapa amplop berwarna cerah dari dalam tasnya.
"Banyak banget."
"Biasa lah, orang ganteng."
Hal yang jarang orang ketahui dari seorang Atsumu Miya adalah cowok itu tak pernah sekalipun membuang semua surat yang ditujukan padanya tanpa dibaca terlebih dahulu.
Karena ternyata selain reputasinya yang terkenal fakboi, Atsumu sebenarnya hanya remaja biasa yang seringkali baper saat dilempari berbagai pujian. Juga Miya bersaudara adalah manusia yang sangat menyayangi sosok seorang Ibu, jadinya mereka selalu berusaha sebisa mungkin memperlakukan semua perempuan dengan rasa hormat.
"Cuih." Osamu melirik singkat saat seragamnya baru dilepaskan, "Pantes sampe sekarang masih jomblo. Nggak mau kehilangan penggemar ya. Maunya dideketin semua cewek terus."
"Mana ada!" Sangkal Atsumu, "[name] belum pernah ngirim surat cinta, 'Sam. Itu masalahnya!"
Si saudara kembar memperingatkan, "Oi. Nanti orang pada nyangka kamu suka sama [name]."
Atsumu terkekeh geli, "Emang 'Samu enggak?"
"Dasar aneh." Saudara yang lebih muda menimpali, "Kita gede bareng 'Tsum. Yakali kayak macarin adek sendiri."
"Yaaaa kan bukan sodara kandung juga, lagian [name] cantik sih. Jangan salahin akunya dong." Elak Atsumu.
Setelahnya hening, sulit menyambung topik terutama rekata Atsumu dan Osamu beradu mulut- masalahnya perempuan yang dibicarakan cukup dekat dengan salah satu anggota klub Voli.
Selain si kembar, pemuda ini juga diam-diam menaruh perhatian pada seorang [name]. Tapi dirinya memang terbilang cukup tertutup soal masalah personal, jadinya tak terlalu memperlihatkan.
Hawa dingin efek musim masih kalah jika dibandingkan sorot dingin yang keluar dari netra Shinsuke Kita, sayangnya Atsumu masih belum menyadari. Suna dan Ginjima saling lirik, berbisik dalam hati padahal sudah pasti tak akan sampai.
Sekali lagi, Atsumu belum sadar.
"Masa aku duluan yang harus deketin [name]?"
"Kayak yang [name] mau sama kamu aja." Timpal Aran sesaat setelah mendapat lirikan dari Ginjima dan Suna. "Siapa tau udah ada kecengan."
"Masa sih?" Atsumu bersikeras, "Tapi kemarin-kemarin pas aku tanya ada cowok yang dia suka nggak, dia malah salah tingkah. Jangan-jangan [name] suka sama aku!?"
"Lebih baik jangan membicarakan hal ini lagi."
Teng.
Harusnya semua anggota Voli langsung menyadari, bahwa seorang [name] sudah off-limit. Tak boleh didekati, apalagi digodai. Terhitung semenjak Kita Shinsuke ikut berkomentar- sekaligus mengantarkan sebuah peringatan pasif.
"Kenapa?"
"Banyak tanya," Seru Ginjima mulai khawatir. "Pulang aja lah udah sore."
· • -- ٠ ✤ ٠ -- • ·
tung·kap
ark v
terdiam seketika;
terkelu
· • -- ٠ ✤ ٠ -- • ·
Anomali. Perasaan khawatir yang biasanya jarang pemuda itu rasakan, sudah sedari kecil emosi Shinsuke Kita adalah stabil. Tak biasanya iri karena pencapaian orang lain, jauh-jauh merasa dendam atas hal yang tak bisa ia miliki.
Namun kali ini- berbeda. Pemuda itu khawatir kesempatan yang ia punya tak akan datang untuk kali kedua. Terlebih [name] tampak biasa saja, tak pernah tersipu ataupun bertingkah malu-malu seperti banyak perempuan yang berinteraksi dengan Shinsuke Kita.
Bukannya mau membandingkan, tapi sang Kapten juga tak kalah memiliki banyak penggemar dengan anggota lainnya. Terlebih Tsumu. Bedanya, Kita jarang mendapat surat serta hadiah lain karena para perempuan itu sudah terintimidasi duluan. Setiap kali ada yang mengajar berbicara, lalu Kita tatap matanya, pasti gadis itu langsung terdiam. Setelahnya pergi begitu saja.
Maka dari itu Kita khawatir.
Khawatir bahwa sesungguhnya dugaan Atsumu itu benar, hipotesis yang terdengar cukup bodoh bisa saja betulan terjadi, bahwa [name] menyukai Atsumu sejak lama.
Mungkin untuk kali ini saja, Shinsuke Kita harus memastikan sesuatu supaya rasanya cemasnya hilang tak membekas.
BUK
"Aduh!"
"Arghh! Sakit bego!"
PLAK
"Jatuhkan semua bomnya!"
TRENG
"HAHAHAHA! RASAKAN ITU SEMUA!"
BAK BUK
"AWAS ADA PEMERKOSA!"
"AAAAAAAAA!"
"LAWAAAAAN!"
"Hey."
[name], Osamu, dan Atsumu langsung membatu. Kepala menengok ke depan pintu, semua anggota tubuh terasa kelu.
Posisinya [name] menaiki punggung Atsumu, dengan tangan terkepal ke atas serta mulut yang mengaga lebar. Sementara Osamu tertidur di lantai dengan badan tengkurap, segala barang tampak berserakan di sekitar ketiganya.
Dari ujung sana, tepatnya di depan pintu masuk kelas, berdiri seorang laki-laki dengan sorot mata datar. Namanya Kita Shinsuke, kelas tiga. Tampan, Kapten Tim Voli Inarizaki. Hampir semua murid mengenalnya.
"Tsum, Tsumu, ATSUMU, ATSUMU MIYA!!" Gadis itu berteriak dengan gagahnya, memperingatkan si saudara tua yang masih menggendongnya.
"SEKALI AJA MANGGILNYA BISA NGGAK!?"
"NGGAK!"
"Apa sih!?"
"Turunin!"
Atsumu dan [name] beradu pandang, dalam jarak dekat, menyebabkan debaran yang meningkat dari ketiga pihak.
"Oh, oke."
[name] turun, Osamu bangun. Keduanya tepak-tepuk badan, menghilangkan debu, sekalian dosa, yang sempat menempel pada seragam.
Si kembar beradu tatap, berdeham singkat lalu menghampiri seseorang di balik pintu. Tatapan tanya dilemparkan, "Kenapa Kak? Mau ada latihan tambahan?"
Shinsuke Kita menautkan alis, "Yang bilang saya mau berbicara dengan kalian siapa?"
Atsumu dan Osamu beradu tatap, dalam hati saling mencaci maki. Malu cok.
"[naamee]! Dicariiin!" Keduanya berteriak dalam waktu yang sama.
Gadis itu datang saat si kembar pergi, menghampiri sang kakak kelas yang tetiba mendatangi. "Hai Kak."
"Halo, [name]."
[name] tersenyum manis, melemparkan tatap hangat, menyapa seramah mungkin. Tatapannya lurus mengarah pada netra lawan bicara, tak ada gestur gugup ataupun takut seperti kebanyakan perempuan.
"Bisa bicara sebentar?"
"Bisa dong!" Jawab [name] antusias, "Mau sekalian pulang Kak? Aku ambil tas dulu ya?"
"Ya."
Gadis itu pergi, mengambil ransel yang terletak di meja belakang. Pamit pada beberapa teman, bertengkar sebentar dengan si kembar. Lalu kembali pada tangkapan mata Kita, melangkahkan kaki bersisian menunggu siapa yang membuka pembicaraan.
Hening.
Begini, [name] dan Kita itu berteman sudah cukup lama. Meskipun sebatas saling kenal nama, walaupun sepintas terlihat biasa-biasa saja. Beda dengan [name] dan Miya bersaudara- teman kecil, sudah bersama sejak belum bisa berbicara.
"Tadi sedang apa?"
"Latihan," Kata [name] singkat. "Kan Jepang dulu memperluas ekspansi ke Asia Timur Raya, terus sempet ribut sama Amerika. Yang Pearl Harbour. Kak Kita tahu dong?"
"Mhm. Lalu?"
Gadis itu mulai bercerita panjang lebar, "Minggu depan praktek. Disuruh menjelaskan materi itu tapi melalui media yang beda-beda, kelompok aku Tsumu Samu mau nampilin teatrikal."
Kita menatap bingung, "Teatrikal? Bagian pengebomam Pearl Harbour mau kamu gambarkan seperti apa?"
"Gampang," [name] melambaikan tangan di udara. "Aku kentutin aja 'Samu."
Si kakak kelas mendengus geli, "Kenapa Samu?"
"Tadinya mau Tsumu yang jadi pihak Amerika, aku Jepang dan Samu sekutu. Tapi Tsumu nolak, mereka sempet ribut." [name] bergumam bingung, "Makannya dari tadi Tsumu gendong aku terus! Padahal pegel tau."
Senyum tipis di bibir Shinsuke Kita luntur seketika, perasaan itu datang lagi.
Keduanya tengah menyusuri jalan setapak yang dibuat khusus untuk pejalan kaki, daun-daun mulai berserakan digerogoti perubahan iklim.
"[name],"
"Iya Kak?"
Gadis itu menengok dengan tatapan bertanya. Sesuatu tentang [name] membuat Kita terpesona. Tak mampu mengalihkan pandang, terjebak pada sepasang netra coklat yang disorot cahaya senja.
Ini bahaya. Shinsuke Kita terkelu selama beberapa saat, masih mengagumi pemandangan yang ada di depan mata.
"Kak Kita?"
Mengerjap, sang kapten mengusap wajah kasar. Menengok ke lain arah demi memasok udara segar. Menggigit rahang, diam-diam mengutuk diri sendiri atas yang baru saja terjadi.
Gadis itu menepuk bahu Shinsuke Kita, mengguncangnya pelan dengan tujuan memastikan. "Kak? Kak Kita sakit?"
"Tidak." Jawabnya singkat. Sial. Sentuhan barusan masih berbekas pada bahu Shinsuke, sengatan listrik bagaikan hinggap sepersekian detik.
"Kenapa Kak? Aku salah ngomong?"
[name] menatap khawatir, masih menuntut ditatap balik. Takut sang Kapten tersinggung dengan satu-dua kata yang keluar dari mulutnya.
"[name], kamu tahu saya mau membicarakan apa?"
Shinsuke Kita berhenti sejenak tepat saat keduanya berada di persimpangan jalan. Memantapkan niat, tak peduli respon seperti apapun yang keluar. Pokoknya harus selesai hari ini, yang penting emosinya tak terganggu lagi.
"... Enggak?"
Senyuman tipis tak mampu disembunyikan. Kita Shinsuke maju dua langkah, mendekat pada sang adik kelas. Helaian-helaian rambut yang tertiup angin disingkap pelan, ibu jari mengusap pipi. Mengagumi ciptaan Tuhan yang sudah sepatutnya dicintai sepenuh hati.
"Begini,"
Cup.
[name] membatu.
Netra coklatnya menatap kaget, pipinya memerah sempurna. Tak tahu harus melakukan apa, tak menyangka akan terjadi seperti ini.
Shinsuke Kita baru saja menciumnya.
Dan pemuda itu tak menjauh, malah menempelkan kening seraya berebut udara yang tersedia dengan pucuk hidung yang masih bersentuhan.
"Bantu saya, [name]. Tolong jangan pergi dengan laki-laki lain. Tolong jangan berada jauh-jauh dari saya. Tolong jangan berikan perasaanmu pada siapapun selain saya."
Shinsuke Kita memejamkan mata. "Bantu saya menghilangkan semua perasaan cemas tentang kamu yang tak akan memilih saya."
Entah karena tak sanggup ditatap dalam jarak dekat, atau mungkin sebab perkataan yang keluar dari mulutnya terdengar tak masuk akal. Atau bisa saja karena keduanya.
Ah, persetan.
[name] mendorong kakak kelasnya pelan. Menciptakan jarak, kembali pada realita.
Pemuda itu akhirnya membuka mata, tatapan datar menyelimuti perasaan nanar; apakah kekhawatirannya ternyata benar?
Gadis itu tampak terdiam, air mukanya khawatir entah karena apa.
"Tsumu bilang?"
Nama yang paling ingin Kita hindari justru menjadi respon paling pertama yang keluar dari mulut yang gadis. Sang Kapten diam, tak mau menjawab takut-takut salah berucap.
"Kak Kita? Tsumu bilang?"
"Iya."
"IH!?" Gadis itu tampak marah, "Gimana bilangnya?"
Kita kembali diam.
"Kak Kitaaaaaa! Jawab dong!" [name] mulai mengguncang kedua bahu laki-laki di hadapannya. Tindakan spontan, ia tak tahu perilakunya akan berdampak seperti apa pada si pemuda.
"Kamu mau saya menjawab seperti apa?"
"...."
"...."
"Aku pernah keceplosan bilang ke Tsumu- aku suka Kak Kita. Dia janji nggak akan bilang-bilang, tapi ternyata malah cepu."
Tunggu....
Perlu beberapa saat sampai Shinsuke Kita menyadari semburat merah belum juga hilang dari pipi gadis di hadapannya, meskipun raut kesal masih terus diperlihatkan.
Kalau diperhatikan dengan seksama justru [name] memang tengah salah tingkah. Kita tak menyadarinya, mungkin karena dirinya sendiri sedang sibuk menerka-nerka apa yang terjadi.
"Jadi...?"
"Jadi kak Kita suka aku juga 'kan?! Ngaku!"
[name] kembali pada sifat lamanya, cerewet. Mengundang senyum lebar yang terpatri lama pada wajah manis Shinsuke Kita.
"Iya. Saya suka kamu. Kamu mau jadi pacar saya?"
"Mau dong." Jawab [name] seraya ikutan tersenyum lebar.
Aneh. Laki-laki itu selalu bisa menjelaskan semua hal yang ada di dunianya- baik itu perihal Voli atau kehidupan sehari-hari.
Tapi untuk kasus [name] rasanya sulit, Kita Shinsuke tak bisa menafsirkan rasa serta debar dalam dada pada untaian kata. Tidak pada saat iris coklat [name] menatap lurus ke arahnya, sulit ketika cahaya matahari saja tak bisa berhenti menyinari gadis itu dengan keindahannya.
Shinsuke Kita sedang jatuh cinta.
Hingga akhirnya kedua tangan saling melingkari badan, berbagi kehangatan di tengah kedinginan yang melanda musim gugur.
Perasaan lega akhirnya memenuhi dada Shinsuke Kita, "Terima kasih."
[name] mengangguk cepat, "Lain kali jangan cium-cium sembarangan!"
Kita tertawa ringan, mengelus puncak kepala gadis kesayangan seraya balik menatap netra coklat.
"Memangnya kenapa? Mau lagi?"
[name] merengut kesal, menambah semburat merah yang sedari tadi tak meninggalkan wajah. Kepalanya mendekat, telapak meraih pipi kemudian mendaratkan satu lagi kecupan pada bibir yang masih terasa lembab.
"Iya, mau lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro