Tiga
Dua hari sejak obrolan dengan Pia, kami tetap berseberangan jawab. Dia dengan tidak, sementara aku tetap iya.
Sekarang, pukul 10.10 pagi, kami lagi di Mercy tua milik mendiang kakek Pia. Menuju wedding vendor. Sebagai jubir, slash Kepala Panitia acara, dia akan membahas refund. Meskipun aku sang empunya acara, masih teguh bahwa perhelatan akbar itu pasti terjadi. Pakai stuntman tentunya.
"Laper nggak, Pi?" pancingku. "Pengin McNugget. Kita mampir sebentar, yuk."
"Enggak. Langsung ke Laleo."
Aku meliriknya hati-hati. "Kayaknya kamu pengin banget lihat aku nggak nikah," simpulku bercanda.
"Justru aku lebih bahagia. Biar ada yang nemenin kamu nonton teori konspirasi tengah malam. Sambil makan ratusan lembar nori. Terus, nggak ada yang ketuk pintu di detik-detik akhir saat pasanganku mau cum."
"Kalau gitu, harusnya kamu happy, dong, aku cari pengantin pria lain?"
"Tapi idemu terlalu gila, Sayang."
"Bagian mananya?"
Bagiku, sejak gagasan sewa-menyewa rahim muncul dan mulai populer di kalangan tertentu, golongan non-binary sudah diakui di tengah-tengah laki-laki dan perempuan, orang bisa menikahi Menara Eiffel dan diakui, kata "gila" tidak valid lagi.
"Pernikahan terlalu kudus untuk rencana buru-burumu itu. Aku nggak mau sahabatku sepelekan hal penting."
"Siapa yang sepelekan?" belaku. Sambil menggosok hidung yang kegatalan dihantam parfum tajam seorang ojol. "Kan cuma cari pengganti."
Pia masih kalem di balik kemudi. "Emang kamu punya kandidat? Siapa? Jay?"
Yang Pia sebut itu adalah sahabat cowok semata wayang. Sekarang lagi di Thailand dalam agenda membuat vagina tiruan.
Bukan masalah bagiku dinikahi cowok kemayu. Meskipun sepanjang hari air liurnya menetes untuk tonjolan 'hellboy' pria lain. Tapi, Jay lebih memilih diarak keliling Pulau Jawa daripada jadi suamiku. Dan lagi, mana sanggup aku merusak fantasi luhurnya ingin menjadi istri Raman Nomas si Porn Star itu?
"Pia. Kamu kenal banyak cowok."
Soal relasi, gadis separuh Punjabi ini bisa diandalkan. 6 dari 8 mantanku kenalannya. Iseng mencari tambatan hati sendiri, aku malah mendapatkan Reus. Benar-benar cupu. "Salah satu dari mereka mungkin jodohku?"
"Nggak, ah. Ngarang."
Sekiar 100 meter lagi, kami akan sampai di Laleo. Aku memutar otak ciptakan bujukan untuk mengurung niatnya.
"Kasian Greni." Kutundukkan kepala. Muka dibuat-buat suram. "Dia udah jahit seragam bareng teman-temannya. Aku nggak tega bikin dia kecewa."
Terdengar buangan napas berat di sebelah. Aku terus konfrontasi, "Kalau Greni tau aku nggak jadi nikah, dia pasti sedih banget. Tahun ini, terlalu banyak kesedihan untuk dia, kan, setelah Grepi pergi?"
Bahu Pia merosot. See? Kalau soal neneknya itu, aku dan Pia selalu luluh.
"Oke. Aku coba."
Kutahan senyumku. Lalu mengelus punggung tangannya. "Makasih. Kamu emang temen paling pengertian. Sekarang, aku traktir McNugget?"
Dia mengangguk. Mercy tua berbelok arah.
***
Pria pertama bahkan langsung kujumpai dalam seruputan kedua cola.
Semua yang melekat di badannya bikin masa kecilku mengapung di kepala. Balutan kaos ngepas, celana tactical, military watch. Mirip Slamet, tetangga masa kecil dulu. Seorang Bintara.
Argantara ini terlalu baby face untuk angka 34. Seperti Sam Claflin versi lagi rajin dipanggang matahari. Si cepak, kulit cokelat dengan aksen bicara unik yang 20 menit kemudian baru aku tahu bawaan logat Kendari.
Benar-benar takjub sama Pia. Dia bisa bergaul dengan lapisan suku mana pun, profesi apa saja.
"Dek Xera serius mau cari suami?"
Untuk sampai ke topik ini, kami sudah melewati intro macam-macam.
"Iya."
Dia tersenyum.
"Saya memang cari istri, Dek Xera. Terutama yang bisa ikut saya tugas ke mana pun. Tambelan, Fakfak, Saumlaki."
"Ooh. Iya." Sumpah, aku tidak tau harus merespons apa. Pilihan yang tersisa hanya dua kata itu dan tertawa kagok.
"Saya agak trauma dengan LDR. Yang terakhir, rencananya mau saya lamar pas balik. Tapi Tuhan berkendak lain. Dia ketahuan open BO di Twitter. Dan sudah dijalani selama 3 tahun selama saya tugas di luar. Jadi, kalau nikah, saya mau boyong istri aja ke mana pun saya pergi."
Kupajang mimik simpatik. "Dalam beberapa situasi, sepantasnya istri ikut suami, sih."
"Benar." Lalu dia menatapku lebih lama. "Kalau Dek Xera, tipe yang nggak masalah diboyong ke mana aja? Atau pilih stay di kota kelahiran? Dekat dengan keluarga?"
Di dalam pertanyaannya, ada desakan konfirmasi. Kulirik meja seberang. Pia masih sibuk menelepon sang pacar. Padahal, saat-saat seperti ini, aku butuh saran.
"Uhm. Sebenarnya, untuk domisili, aku cukup fleksibel. Alasan emosional nggak bikin aku bertahan di satu tempat."
Hanya saja, kujelaskan padanya, aku dan Pia punya usaha yang harus 'dikelonin' setiap waktu. Otomatis, aku masuk dalam kategori yang nggak bisa kemana-mana untuk alasan profesional.
"Ooh." Dia angguk-angguk. Bibir keunguannya mengatup sementara kuku membuat ketukan pelan di meja.
"Kalau hanya ketemu dua bulan sekali sama suami, Dek Xera sanggup? Sanggup di sini tentang banyak hal, ya. Tentang jarak, kebutuhan, dan kesetiaan."
Haduh mampus. Aku benar-benar butuh Pia.
***
"Gimana?" bisik Pia menyikut lenganku. Kami sedang berdiri di parkiran sambil mengawasi punggung Argantara yang sedang berlenggang menuju motor japstyle-nya.
"Dia punya senjata api. Artinya dia nggak sembarangan. Jantan dan bisa ngelindungin kamu."
Aku belum menjawab. Sampai Gantara memakai helm dan keluar dari parkiran. Kubalas senyum serta lambaiannya dengan antusias. Baru setelah sosok tegap itu bergabung dengan jejeran kendaraan di jalan, kubilang, "Dia oke, kok."
"Oke. Yang artinya enggak," simpul Pia tepat sasaran. "Aku lebih kenal ekspresimu daripada kulit punggungku sendiri."
Mau tak mau aku terkikik. Kami berjalan bersisihan menuju mobil.
"Aku lupa bilang, ya? Aku gak tertarik sama pria di bawah ikatan institusi pemerintah gitu. Ngerti, kan?"
"Syaratmu kebanyakan untuk niat dadakan," cibir Pia.
Iya, sih. Aku berlagak seolah-olah punya waktu banyak untuk memilih.
"Pokoknya setelah ini, aku nggak akan pilih-pilih lagi, deh. Janji."
"Nggak."
Kupeluk lengannya. Pajang muka memohon. "Ayolah, Pi. Demi Greni."
Dia diam sejenak. Lalu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Kuharap itu pria keduaku.
***
Omong-omong, satu kesamaan mencolok antara aku dan Pia: kami adalah anak Perunggu Bergilir a.k.a bocah produk perceraian, yang orangtuanya suka main Batu Gunting Kertas untuk shift asuh. Pekan 1, ikut ayah. Pekan 2, ikut ibu. Repeat.
Saat orangtuaku menikah lagi, jadwal asuh makin kacau. Intensitas bersama jadi menipis. Lambat laun, aku lebih dominan sendirian di rumah kenangan. Perhatian mereka naik grade berupa angka-angka rutin per bulan ke rekening.
Kalau lagi mujur, aku bisa menyaksikan seruan, "All around you" bareng Papa di bioskop. Berkesempatan jumpa kilat dengan indungku di ambang pagar. Sekadar dadah-dadah kecil sebelum dia ke bandara.
Dalam rangkulan pria Nigeria itu, senyum Mama mekar. Tancapan topi tikar khas plesiran tak mampu umpetkan semua bintang malam hari yang pindah ke matanya. Slowmo, dia bilang, "Balik nanti, Mama jemput, ya!"—Kemudian, pekan selanjutnya disusul SMS permintaan maaf karena belum bisa berkunjung. Nanti, aku sama si anu dulu. Si ani dan si unu. Repeat.
Status Anak Tongkat Estafet, bertahan sampai aku SMA. Bertemu Pia di hari pertama masuk sekolah, benar-benar mengubah banyak cerita hidupku. Gadis keriting berkepang itu digandeng sepasang suami-istri tua. Penampilan mereka khas Hindustan. Yang laki, memakai turban dan berjenggot panjang. Sementara si wanita dengan selendang sutranya. Mereka bergantian menyuapi Pia di pintu gerbang.
Aku begitu terlena dengan pemandangan hangat yang sudah lama tidak kurasakan itu. Sampai-sampai, menyita perhatian mereka. Si wanita, tersenyum lalu mengajakku bergabung.
Aku diberinya sebuah ladoo (manisan khas India)
"Kamu punya orangtua yang baik," pujiku setelah sepasang orangtua itu berlalu dengan mercy tua.
"Bukan," balasnya, terkekeh. "Itu Greni dan Grepi. Kakek-nenekku."
Aku tertawa. Lantas sodorkan tangan dan menyebutkan namaku. Pia melakukan hal yang sama.
Peristiwa pagi itu adalah momen awal pertemanan kami sekaligus pintu masukku ke keluarga Pia. Keluarga yang amat sangat ramah dan membantuku perangi kesepian. Setahun berselang, aku resmi serumah dengan Pia. Masa remaja sampai dewasa, kuhabiskan dalam naungan kasih sayang Greni dan Grepi. Status Anak Tongkat Estafet akhirnya berakhir.
Sekarang, tau, kan, kenapa aku dan Pia selalu lemah oleh seseorang bernama Greni?
***
Singkat cerita, aku berhasil menemui empat kandidat.
Pria kedua adalah PETANI. Alias Pemuda Takut Nikah.
Sementara ketiga-keempat murni PETROMAK: Pemburu Tempik Tradisional Mamak Mamak.
Pia ngakak sampai sheet mask-nya sobek begitu kuulas bagaimana Fian—cowok nomor 4—membahas fetish-nya pada mbok-mbok pengguna kain jarik. Dalam bayangan Fian, betapa seru saat pulang kerja disambut oleh mbok yang sedang memanggul bakul cucian. Atau menggendong tenggok bambu ala penjual jamu.
"Police woman? Biasa. Sexy teacher? Banyak. Hot nurse? Pasaran. 'Mbok' ini yang unik." Pia terkagum-kagum.
"Iya sih. Oke juga seleranya," akuku. "Mungkin kalau nikah, seksual role play adalah hal yang pengin kucoba juga."
"Berarti kalian cocok, dong?"
Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya panjang. Air muka Pia langsung berubah.
"Apa lagi kali ini?" tanyanya dalam nada curiga.
"Pandangan dia tentang nikah terlalu sempit tau, Pi."
"Astaga, Xeranena! Kamu lagi cari suami yang bisa dinikahin 2 minggu dari sekarang. Memangnya apa yang kamu harapkan dari waktu sesempit itu? Laki-laki seperti Raja Salman?"
Didampratlah aku. Habis-habisan. Kupilih untuk diam saja. Biarkan Pia menguras habis amarah adalah jalan keluar terbaik. Kalau aku menyanggah satu kata, dia pasti langsung memecat diri sendiri dari misi mencarikanku suami.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro