Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

"XERA!"

Pia mendorong pintu tiba-tiba. Bagi kami, berbagi privasi sudah biasa. Tapi, menerobos toilet saat salah satunya sedang menransfer feses, sepertinya pertama kali terjadi setelah satu dekade jadi flatmate. Pasti ada hal genting.

Atau—kalau bisa—berita baik. Misalnya: Reus sebenarnya laki-laki. Dan fakta kemarin adalah prank?

"Kenapa?" sahutku, deg-degan. 

"Kamu hapus pengumuman kemarin tentang pembatalan pernikah—oh, astaga!" Dia membekap hidung. Tuh, kan, seharusnya privasi yang ini tidak bisa diterobos. "Kamu makan bangkai monster apa, sih? Bau banget!"

Dia kabur. Kudengar suara hweeek di dapur.

Terima kasih pada feses. Menyelamatkan aku dari obrolan berat.

Usai membersihkan badan, aku mengisolasi diri. Bukan masalah menjadi kepompong di ranjang sepanjang pekan ketimbang menghadapi dunia yang lagi jahat.

Pintu diketuk 15 menit kemudian. Sephia bertanya seputar menu sarapan. Itu pancingan tentu saja. Supaya aku bersedia keluar dan diinterogasi.

Kuputuskan untuk memasang pelantang. Hari ini, tugasnya bukan merayu kuping dengan musik bagus. Namun, mengalihkanku dari suara-suara luar sana.

Kuharap, setelah bangun nanti, hal buruk ini cuma mimpi.



***

Ternyata tidak.

Semua tetap nyata.

Bangun, tidur, menangis, rebahan, gegulingan, tidur lagi. Bangun, yoga singkat, memisahkan tiga bungkus kulit kuaci dengan bijinya, menangis, bermain Tic-tac-toe tanpa cokelat panas, tidur lagi, menangis, koprol sambil sesenggukan. Tidak membantu apa-apa.

Sampai tengah malam, rasa sesak karena batal menikah belum pergi. Masih bertamu lama-lama di dada. Bayangan tentang 2000 orang menatapku dengan rasa iba masih memenuhi kepala. Tambahan: aku lapar berat.

Gagal menikah karena tertipu jenis kelamin calon suami sudah cukup tragis. Gagal-menikah-karena-tertipu-jenis-kelamin-calon-suami-lalu-mati-kelaparan terlalu bagus untuk judul tajuk. Aku tidak rela menjadi peningkat traffic web portal.

Kuputuskan mencari sesuatu yang bisa dijejalkan ke perut. 

"Sarapan sama makan siangmu kuhibahkan ke Satpam."

Untung, jantungku sudah seminggu ini dilatih oleh kejutan besar tidak mengenakan. Aku begitu tenang meski Pia berdiri tepat di depan pintu. Menyodorkan sebuah baskom (iya, baskom!) ke wajahku.

"Kamu pasti lapar. Ini makan malammu. Nasi campur. Sepertinya ada 3000-an kalori."

Persetan dengan kalkulator BMI. Aku merampas baskom itu dengan suka cita. Dan berencana akan menghabiskannya tanpa sisa.

***

"Mha-haf. Akwu gwak hadi hosyting klarifikahi hentang bathal nikhah," akuku dalam keadaan mulut penuh. 

Pia menyerahkan gelas lalu bergabung denganku di sleeper sofa depan Tv. Suara film—yang entah apa—melatari kami.

"Ahu, ghak bisha meng—" Kutandaskan isi gelas. Lalu terbatuk-batuk sebelum selesaikan kalimat.

"Lebih baik mengaku." Sephia menumbuk punggungku dengan kuat. Mungkin dendam kesumat karena ketikan sentimentalnya tentang klarifikasi kegagalan pernikahan, tidak jadi kuposting. "Kalau kamu jujur, setengah bebanmu terangkat. Sisanya rasa sakit hati doang. Aku janji dampingi kamu selama recovery."

Tidak. Tidak akan.

Pia tidak akan paham soal rasa malu karena gagal menikah. Aku tidak siap menghadapi rentetan tanya dan rasa penasaran orang-orang.

Kalau ada 2.000 undangan, 500 di antaranya mungkin saja bisa diam; 500 orang penasaran tapi nggak punya akses untuk interogasi; 500 lainnya, menyelidiki diam-diam. Maka aku yakin, paling kecil, ada 500 orang yang siap menggencatku dengan: kenapa? Mengapa? bagaimana?

Tidak ada wanita yang bergembira ria bercerita tentang kegagalan menikah. Apalagi, masalahku kali ini tidak sepele.

Dua tahun aku berhasil dikelabui. Karena sayang pula aku membiayai hampir 70 persen pergelaran pernikahan ini. Ratusan orang kubuat envy oleh postingan mesraku dengan tunangan setampan itu. Ujung-ujungnya aku pula yang mengumumkan pada dunia tentang keluguan—(atau kebodohanku?).

Lagi pula, ada alasan yang lebih penting dari sekadar malu. Aku harus tetap menikah! Pasti ada jalan keluar. Selain mengakui ke dunia dan menyetop segalanya.

“Nggak, Pia! Aku nggak mau!" teguhku

“Memangnya apa lagi yang bisa kamu lakukan selain jujur?" Dia mengambil jedai dari rambutnya lalu menjepitkan helai-helai liar yang menutup wajahku. "Kamu nggak mungkin mengganti pengantin pria di undangan—”

“Ide bagus,” potongku cepat. Pia kedapatan menggigit bibir. Waswas. Mungkin menyesal memberiku ilham. Apalagi aku mulai mondar-mandir di depannya.

"Jangan aneh-an—"

"Pia, kita cari pengantin pria pengganti!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro