17. Kita Bisa Bicara Sebentar?
Bintang tidak tahu sehancur apa perasaan Rara saat ini, karena gadis itu terus menunduk saat dirinya tiba dan langsung mengambil tempat tepat di hadapannya. Setidaknya Rara tidak bolos untuk kali ini, karena Erika yang berhasil mencari alasan agar temannya bisa ke ruang UKS dan berbicara di sana dengan Bintang' yang tiba tak lama setelahnya.
Duduk saling berhadapan membuat Bintang sedikit gelisah, mengingat pesan terakhir yang Rara kirimnya tentu membuat Bintang sangat terkejut, untung saja saat itu Bintang sedang ada di luar kelas, karena ujian praktik yang terakhir ia jalani tidak begitu lama. Bahkan, tak ada jadwal lagi setelahnya, ia juga bisa langsung pulang jika dia ingin.
Namun, tidak ia lakukan, karena urusannya dengan Rara yang sudah hampir dua puluh menit dalam.keadaan yang sama, menunduk sambil memeremat rok yang dikenakannya. Terlihat jelas oleh Bintang kalau gadis yang ada di hadapannya tengah menyimpan sesuatu yang membuat seluruh amarah itu benar-benar terasa.
"Gue mau kita putus, nggak peduli lo setuju atau enggak, gue nggak mau punya hubungan atas dasar kebohongan."
Bingung. Itulah yang Bintang rasakan, bahkan sejak tadi Rara benar-benar bungkam, sebelum kalimat itu keluar dari mulutnya. Bahkan kedua alis Bintang sudah bertaut karena ucapan Rara yang benar-benar terdengar seperti menyuruhnya untuk menjauh.
"Tapi kenapa? Gue sayang sama lo, gue juga nggak melakukan kesalahan apa pun saat kita jalan bareng."
Rara menggeleng, ia benar-benar sedih saat ini. Bahkan bahunya terlihat bergetar dengan tetes air mata yang terus berjatuhan di atas rok yang ia kenakaan.
"Mungkin lo mikirnya begitu. Tapi gue enggak. Gue nggak mau punya pasangan yang nggak jujur."
"Ra, tapi apa kesalahan gue sampai lo bilang begitu?"
"Coba tanya sama diri Lo sendiri, tanya juga sama orang yang bernama Dara dan Bima itu, mereka orang tua, lo, kan?"
Sejenak Bintang terdiam, ia tidak tahu apa yang ingin Rara sampaikan, sampai ia menyebut nama ayahnya dengan nada yang begitu tegas dan menekan.
"Tanya sama mereka, apa yang mereka lakukan beberapa tahun lalu."
"Gue bingung beneran deh, lo mau sampaikan apa, sih?"
Kedua mata yang memerah itu kini terlihat begitu jelas saat Rara mengangkat kepalanya dan menatap tajam ke arah Bintang. Tangan yang terkepal itu pun kini melonggar untuk menghampir jejak air mata yang ada di pipinya, meski air matanya masih terus mengalir.
"Siapa Bima?" tanya Rara memastikan kalau apa yang ia baca tidak salah.
"Ayah gue, tapi nama Bima itu banyak, Ra. Bukan Ayah gue doang."
Hela napas Rara yang berat itu memperlihatkan kalau dirinya benar-benar tak percaya dengan jawaban Bintang. Memalingkan wajah agar tidak terlihat kalau dirinya muak, nyatanya kekecewaan yang Rara coba tutupi terlihat begitu jelas oleh Bintang.
"Sebanyak apa pun nama Bima, tapi cuma satu nama Bima Yuanda Putra, kan?"
"Ra, kita bisa bicara baik-baik, kan? Ini bener-bener buat gue bingung."
Gelengan kepala Rara membuat Bintang semakin penasaran tentang kekasihnya yang marah dengan melibatkan ayahnya diantara obrolan mereka.
"Jangan sembunyiin sesuatu lagi, Bintang, gue nggak suka di bohongin. Ini terlalu sakit buat gue, bahkan buat mempercayainya aja gue nggak yakin."
"Ra, apa pun yang lo dengar di luar sana, apa pun yang lo lihat di luar sana, nggak semuanya benar."
"Terus siapa yang bener? Lo?"
Bintang menggeleng, berusaha meraih tangan Rara untuk digenggam, nyatanya gadis itu menolak dengan kasar dan menyembunyikan kedua tangannya di balik badan.
"Nggak. Jangan sentuh gue, apa pun alasannya, gue nggak mau lagi denger."
"Sebentar aja, " pinta Bintang.
Rara menunduk sejenak, kemudian bangkit lalu melangkah pergi dan meninggalkan Bintang yang masih bingung dengan semua yang Rara ucapkan padanya. Mengingat dirinya sama sekali tidak berbuat apa pun, apalagi menyinggung perasaan gadis itu. Sejenak Bintang meletakkan kedua tangannya di atas meja kecil yang ada di depannya sambil bertopang dagu untuk mencerna semua ucapan Rara beberapa saat lalu.
"Apa maksud Rara? Beberapa tahun lalu? Emang ada kejadian apa waktu itu?"
Bintang hanya bisa memijat keningnya yang terasa penat, apalagi melihat ekspresi Rara ketika hendak pergi tadi. Bahkan enggan untuk disentuh walau sekadar menggenggam, seperti jijik bila berlama-lama dengannya. Sesekali Bintang kembali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan kalau dirinya tidak salah datang di jam yang sudah pasti masih jam belajar untuk adik kelasnya.
Beberapa hari terakhir Bintang memang belum menghubungi Rara, mengingat gadis itu yang mengirim pesan lebih dulu untuk tidak mengganggunya, karena sedang ada ulangan harian. Ia juga tidak ingin membuay Rara kesal karena dirinya. Tetapi, apa yang terjadi hari ini, justru membuat Bintang semakin penasaran. Terlebih saat Erika yang bertepatan dengannya ketika gadis itu keluar dari ruang UKS.
"Jauhin Rara. Lo brengsek, Kak."
Ia tidak menggubrisnya, tetapi tatapan sinis Erika seolah memperingati Bintang tentang ancaman yang masih belum diketahui apa maksud dari perkataan dari keduanya.
"Gila! Apaan sih, mereka. Buat kepala gue pusing aja, kalau emang mau putus, harusnya nggak gini, kan? Bego!"
Protes Bintang akhirnya meluapkan semua kekesalan yang sejak tadi terpendam. Amarah yang memuncak kini benar-benar terlihat dari sorot mata tajam milik Bintang. Bahkan ia juga memutuskan untuk pergi menemui orang yang harus memberinya jawaban yang tepat.
"Mau ke mana?"
Bintang hanya diam saat Rafi tak sengaja bertabrakan dengannya, padahal temannya itu hanya ingin mengantarkan tas saja, tetapi wajah Bintang yang penuh dengan amarah membuat Rafi jadi khawatir, ia pun segera menyusul, meski beberapa pasang mata menatap ke arahnya yang sudah berteriak memanggil nama Bintang berkali-kali.
"Kak, ada apa?" tanya Hasan yang baru saja kembali dari ruangan komputer.
Tak ada jawaban dari Rafi, Hasan hanya bisa memandang dari kejauhan kepergian Rafi yang begitu terburu-buru. Dengan menaikan sebelah alis, Hasan pun memandang ke sebelahnya, di sana ada Erika yang juga baru tiba entah dari mana.
"Mereka kenapa, Ka?"
"Mana gue tahu, lo, kan kerabatnya," balas Erika ketus.
Sejauh yang Hasan kenal, Erika memang sedikit ketus, meski tidak sekelas, tapi Hasan tahu dengan raut wajah yang diperlihatkan oleh Erika saat dirinya menanyakan tentang Bintang dan Rafi.
Mengingat kejadian pagi tadi, Hasan jadi terdiam beberapa saat, apalgi memandang wajah Bintang saat lelaki itu berada di kamarnya. Gelengan kepala yang Hasan lakukan membuat Erika menggleng, lalu meninggalkan anak itu sendirian di koridor kelas yang mulai sepi.
"Apa Bintang dendam sama Ayah?"
🍂🍂
Terima kasih sudah berkunjung jangan lupa tinggalkan jejak ya, salam manis Bintang
Publish, 20 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro