Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Hampir Tertangkap

Kalau semalam Bintang hampir menyerah, maka pagi ini ia akan menekankan kembali pada dirinya untuk tetap berada pada jalan yang benar. Mencoba untuk tidak mengingat tamparan yang menjadi hadiah ulang tahunnya. Ia benar-benar hampir melupakan hari spesial ketika merayakannya bersama Bunda, meniup lilin bersama dan memotong kue hingga menyuapi kue yang dipotongnya pada Bunda.

Namun, malam tadi, bukan hanya sekadar hadiah yang ia terima, melainkan sebuah peringatan kalau keberadaannya sama sekali tidak diharapkan. Melinat tatapan Bima yang penuh dengan amarah merupakan sebuah kejutan yang sama sekali tidak pernah Bintang ingin apalagi harus menerimanya langsung.

Kali ini, berdiri di depan cermin sambil menatap pantulan dirinya adalah satu-satunya cara untuk mengoreksi semua kesalahan yang ia lakukan selama beberapa Minggu terakhir. Apalagi saat berkunjung ke rumah Bunda kemarin, rasa sakitnya seakan kembali muncul begitu melihat Bima yang diam saja saat istrinya mulai membela diri.

Cermin yang tak seberapa besar ukurannya itu hanya akan menjadi pelampiasan meski akan tetap sma setiap harinya. Ia akan mengganti cermin itu walaupun tidak rusak. Mengingat setiap kali ia akan pulang ke rumah, ia akan membeli cermin baru dan memasukkannya ke dalam tas untuk di bawa pulang, kemudian menyimpannya di dalam lemari meski tak tahu kapan akan digunakannya.

"Cukup tampan,"gumamnya yang kesekian.

Sudah hampir dua puluh menit Bintang menatap pantulan wajahnya di depan cermin yang terletak dekat dengan meja belajarnya. Bintang sendiri tidak ingat saat dirinya tiba-tiba sudah ada di dalam kamar, seingatnya semalam ia masih menikmati siaran televisi yang begitu seru, sampai ia tak sadar kalau rasa kantuknya jauh lebih dulu menyerang dan kedua matanya benar-benar  terlelap saat itu juga.

"Udah rapi lo, mau berangkat sepagi ini emang?"

Bintang tentu tersentak ketika suara Hasan tiba-tiba mengalun di dalam ruangan yang tidak begitu besar yang ia sebut sebagai kamar tempatnya singgah ketika lelah.

"Di tunggu sama Ayah di bawah," kata Hasan pelan.

Anak itu masih tetap berdiri di depan pintu kamar Bintang  yang memang tidak tertutup rapat. Sementara si pemilik masih tetap diam di tempatnya tanpa ingin menoleh sedikit pun.

"Jangan berani masuk kalau nggak ada izin dari gue."

Hasan tentu terkekeh, ketika Bintang melarangnya, padahal semalam yang membawa Bintang ke kamarnya adalah Hasan, memang Hasan belum mengatakan apa pun, ia tidak ingin Bintang menjadi salah paham karena dirinya yang memang tidak pernah tega melihat Bintang meringkuk kedinginan semalam.

"Iya, iya, tapi tolong hari ini sarapan bareng sama kita, karena Ayah sangat khawatir setelah kejadian semalam."

Bintang langsung mengubah posisinya, menatap lurus ke arah Hasan, sambil meraih tas sekolahnya yang terlampir di kursi belajar, ia pun melangkah maju untuk mendekat.

"Bilang sama Ayah, kalau Bintang nggak mau sarapan bareng. Lagian lo siapa, mau dibudakin, kita bukan saudara, paham?"

"Tapi, Bang?"

"Minggir, sebelum gue marah dan nyakitin lo juga."

Sudah mencoba pun Hasan tetap belum bisa menyentuh hati Bintang yang beku, menginginkan masuk dalam satu organisasi saja sulit, apalagi ini, harus menjinakkan hatinya. Walaupun sedikit kesal, Hasan tetap tidak bisa membiarkan Bintang berjalan seorang diri, buktinya semalam saja Hasan menunggu sampai Bintang terlelap,  ia rela tidak tidur hanya untuk Bintang tidak kedinginan, memperhatikan Bintang dari kejauhan setidaknya membuat Hasan sedikit lega.

Namun, bila menatap lelaki itu dari dekat seakan telah meluruhkan semua pertahanannya dengan mudah. Seperti bernapas saja rasanya sesak, itulah yang Hasan rasa setelah Bintang mengatakan kalau dirinya hanya sebatas orang asing yang masuk tanpa permisi dalam kehidupan lelaki itu. Meski sedikit lesu, ia tetap akan menamperlihatkan senyum terbaiknya di hadapan Bima dan Dasar, orang tuanya.

"Mana Bintang, San?" tanya Bima ketika pria itu sampai di meja makan.

Hasan terdiam sejenak, sebelum suara Dara kembali bertanya hal serupa.

"Hasan, di mana Bintang, Nak?"

Kedua mata Hasan sedikit membelalak, saat Dara bertanya, wanita itu juga menyentuh bahunya untuk membuyarkan lamunan Hasan yang sejak tadi membuat Bima sedikit bingung.

"Ada apa? Kenapa kamu melamun begitu?" tanya Dara.

Hasan menggeleng, lalu menatap kedua orang tuanya bergantian." Enggak, Ma, aku cuma lagi mikirin ulangan nanti," ucapnya.

Sudah pasti itu bohong, karena ia tidak ingin membuat keributan di pagi hari, karena sikap Bintang padanya yang sedikit kasar. Bahkan saat lelaki itu keluar dari kamar pun dengan sengaja lelaki itu menabrak bahunya, untung saja tidak terjatuh, meski sedikit nyeri, ia tidak akan melakukan hal yang sama.

Baginya Bintang sosok kakak yang selama ini Hasan rindukan. Mengingat bagaimana sikapnya, itu tidak terlalu penting, karena Hasan tahu, sebanrnua Bintang' tidak ingin Hasan merasakan hal yang sama seperti dirinya.

"Aku sudah selesai, aku juga harus berangkat sekarang, maaf untuk pertanyaan kalian tadi, aku sendiri nggak tahu, ke mana Bintang pergi."

Pamit Hasan setelah menyelesaikan sarapannya. Ia bisa melihat tatapan Bima yang penuh tanya, tetapi Hasan tidak ingin membuat harinya menjadi buruk, cepat-cepat Hasan bangun dari tempat duduknya  dan menyambar tas yang ada pada kursi di sebelahnya.

Menghela napas setelah melangkahkan kaki melewati pintu, membuat Hasan sedikit lega, ia benar-benar takut dengan tatapan Bima, meski tidak berkata apa pun padanya. Ia yakin, kalau ayahnya sedang menahan amarah karena Bintang yang benar-benar tidak ada keinginan untuk bertemu atau sarapan bersama di meja makan.

Entah lewat mana Bintang pergi, ia juga tidak melihat motor lelaki itu di bagasi, mengingat kalau ia harus cepat berangkat ke sekolah, Hasan pun memutuskan untuk pergi. Hatinya benar-benar gelisah saat ini. Pikirannya tertuju Bintang tetapi mulutnya berkata untuk cepat ke sekolah.

Berjalan melewati beberapa rumah ia pun berhenti di depan rumah Rafi, di sana ia melihat apa yang sejak tadi membuatnya gelisah, berdiri tak jauh dari sana, Hasan sedikit bernapas lega, mengingat kalau Bintang baik-baik saja.

"Dia dapat tempat yang nyaman di sana ternyata."

Ketika akan berbalik, Rafi memanggilnya, terpaksa Hasan menghampiri dan bertegur sapa dengan si pemilik rumah juga Bintang yang masih diam tanpa menyambut hangat ke datangannya.

"Mau bareng, nggak?" tawar Rafi.

"Buat apa ajak dia? Kita cuma boleh bawa motor ke sekolah, ingat?" sela Bintang ketika Hasan hendak menyahut.

"Bi, ayolah, omongan Om Bima nggak usah di ambil hati, emang apa salah Hasan di sini? Kita mau ke sekolah, kan?"

Berdecak kesal, Bintang pun akhirnya menatap Rafi dan Hasan bergantian. "Salah dia? Gue harap lo nggak lupa, kalau gue nggak suka mengulang cerita."

"Enggak apa-apa, Kak. Lagian gue juga bisa pesan ojol nanti, kalau kelamaan berdebat yang ada kita telat semua."

"Dengar? Dia aja nggak keberatan, buruan naik, tadi gue hampir ketangkep sama satpam gara-gara ke rumah lo lupa bilang."

Rafi merasa tak enak hati, ia juga tak bisa menolak ajakan Bintang, karena dia tahu menolak Bintang sama saja mencari mati. Lelaki itu akan malas bicara dengan orang yang sudah menolaknya mentah-mentah, apalagi Bintang sudah seperti adiknya, mau tidak mau, Rafi akan tetap menuruti meski hatinya benar-benar tak tega melihat Hasan yang memilih naik ojek online yang dipesannya beberapa menit lalu.

"Duluan, ya. Maaf sebelumnya."

Hanya itu yang mampu Rafi katakan, setelahnya meninggalkan pekarangan rumah dan Hasan yang masih berdiri di tempatnya.

🍂🍂

Hai, kembali lagi, jangan lupa tinggalkan jejak agar aku semangat menulisnya, bonus dari Bintang biar nggak kangen katanya.


Publish, 18 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro