09. Luka Yang Membekas
Sepeninggal orang yang paling mengerti dirinya, Bintang selalu menutup diri untuk dekat dengan siapa pun, termasuk Bima, ayahnya sendiri. Mengingat lelaki itu terlalu sibuk ia tidak sedikit pun ingin mengganggu apalagi berbicara untuk sekedar menceritakan kesehariannya.
Beruntung ada Rafi dan keluargabya. Orang asing yang masih mau menampungnya di saat tidak ada siapa pun di rumah. Lelaki itu tampak nyaman apalagi saat Tante Desi memeluknya sebagai sambutan hangat yang tidak pernah ia lewatkan ketika datang berkunjung.
Sudah beberapa hari ini Bintang memilih menetap di rumahnya, meski malas karena harus bertemu dengan Bima dan keluarga kecilnya. Berpapasan saat melihat langkah wanita yang dinikahi ayahnya, seakan membuatnya marah setiap kali mengingat ucapan Bima yang masih terekam jelas di otaknya.
"Ayah tahu kamu nggak tuli Bintang, buka pintunya!"
Memori yang terekam itu kembali terputar ketika ia memejamkan mata, berbaring di atas karpet tebal bergambar Spiderman itu selalu mengingatkannya tentang malam di mana Bima mencoba menjelaskan tentang hubungannya dengan wanita yang katanya sangat dicintai.
Duduk di depan pintu kamar sambil menatap ke arah jendela yang terbuka lebar di malam itu. Di sana, Bintang hanya mampu menahan sesaknya, bahkan air matanya sudah tak lagi bisa ia bendung.
"Bintang, Ayah mohon sama kamu, kita bisa bicarakan ini berdua, kita bisa bicara baik-baik, kan?"
Semua ucapan Bima saat itu seakan angin yang berlalu begitu saja, meski terdengar sebuah ketukan pintu beberapa kali, Bintang tetap diam di tempatnya, memilih untuk tidak mendengar apa pun yang dikatakan oleh ayahnya.
"Baik Bintang, kalau kamu nggak mau buka pintu, tapi tolong dengarkan Ayah kali ini. Apa yang kamu lihat, apa yang kamu pikirkan, dan apa yang kamu rasa, semua itu tidak semuanya benar, Nak. Tolong percaya sama Ayah."
Ucap Bima, seolah tenaga tuanya sudah tak lagi sanggup untuk mengetuk pintu, pria itu pun berdiri dengan kedua lututnya sambil menunduk, mencoba mengatakan apa yang ingin ia sampaikan pada putra sematawayangnya bersama Larasati, mendiang istrinya.
"Ayah pernah mencintai Dara, tapi kami berpisah karena saat itu Ayah belum memiliki apa pun," ucap Bima.
Walaupun pelan, Bintang masih di sana, mendengarkan apa yang ayahnya katakan dari balik pintu kamarnya.
"Lalu Ayah menikah dengan Bunda, wanita tangguh yang mau menemani Ayah dalam keadaan sulit sekalipun," lanjutnya.
Ada sesak yang coba Bima tahan ketika ia harus membuka semua lukanya dulu, mengingat sikap Bintang yang berubah dingin padanya, terlebih saat melihat Dara, iya, wanita yang baru ia nikahi sebulan setelah Larasati meninggal. Mendengar nama bundanya disebut, membuat Bintang akhirnya mengusap kedua pipinya yang basah karena air mata, lalu bangkit kemudian membuka pintu kamarnya.
"Kalau Ayah sayang sama Bunda, kenapa Ayah harus menikahi Tante itu, wanita yang jelas-jelas meninggalkan Ayah di saat susah dulu, tidak mau berjuang bersama dengan Ayah."
Melihat kaki jenjang putranya yang berdiri di hadapannya, Bima pun mendongak, menatap raut wajah kesal Bintang yang sama sekali tak mau menatap ke arahnya. Buru-buru Bima pun berdiri, mencoba untuk meraih putranya, namun dengan cepat Bintang melangkah mundur.
"Ayah tahu itu salah, Nak. Tapi mau bagaimana, lagi?"
Bintang benar-benar kesal, bahkan ia lupakan rasa hormatnya pada Bima malam itu. Memilih meninggalkan Bima yang mengikutinya di belakang.
"Bintang, kamu mau ke mana?"
"Ke mana pun yang Bintang ingin."
"Tapi ini rumahmu."
"Tidak, karena rumah Bintang sudah pergi bersama dengan Bunda, wanita yang Ayah khianati perasaannya."
"Bintang!"
Banting pintu yang cukup keras itu membuat Bintang menarik napas panjang sambil membuka kedua matanya saat ingatan itu bedakhir, seakan tidak pernah pudar, meski sudah berusaha sekeras mungkin melupakannya. Kali ini Bintang memilih duduk, lalu menoleh ke arah jendela yang selalu terbuka di saat malam, meski ada ac di kamarnya tetap saja, Bintang lebih suka udara malam yang menyampaikan pesannya, meski tak tahu apa isinya.
🍂🍂
Kali ini Bintang di landa galau, lelaki yang baru bangun beberapa jam lalu itu akhirnya mau menginjakkan kakinya di meja makan yang sama dengan deretan orang-orang yang sangat malas ia temui. Meski begitu, ia tidak lupakan status Bima di sana adalah kepala keluarga, sudah pasti pria itu akan tetap memaksa meski Bintang menolaknya sekali pun.
"Makan yang banyak, Sayang, kamu pasti suka sama masakan Bunda, deh."
"Bunda?"
Mendengar Bintang bersuara membuat wanita itu terdiam, seolah ia baru saja mengatakan hal yang salah. Sementara Bima, memilih menggenggam lengan istrinya sambil menggeleng, saat wanita itu hendak menjawab ucapan Bintang.
"Sudah habiskan sarapan kalian, nanti telat."
"Ingat Ayah, aku hanya punya satu Bunda. Dia adalah Larasati Aditya Kusuma, wanita pertama yang kusebut sebagai Bunda. Maaf, aku pamit lebih dulu, permisi."
Bima lupa, putranya masih belum mau memanggil istrinya dengan sebutan Ibu, ia hanya bisa menghela napas dan membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Meski tak enak hati dengan putra bungsunya, Bima hanya bisa memberi senyum kemudian melanjutkan kegiatannya dalam suasana hati yang kacau.
Beberapa waktu lalu, Bintang sempat mendengar suara Bima yang cukup keras dari dalam kamarnya, mengingat pria itu tengah kurang sehat, ia juga tidak ingin membuat semuanya jadi rusak, bahkan sebelum ia bergabung, ia juga sempat dikirimi pesan oleh Bima untuk tidak pergi sebelum sarapan bersama berlangsung. Nyatanya, keinginan itu hancur dan membuat semuanya menjadi canggung dalam sekejap.
Bintang yang memilih pergi dengan alasan Rafi telah menunggu, sebenarnya lelaki itu hanya ingin menghindari pertanyaan dari Hasan, anak laki-laki yang tidak tahu apa kesalahannya.
Kini, di tempat yang sama Bintang berdiri sambil menatap ke arah satu nama yang selalu ia rindukan. Bintang pun berjongkok, kemudian mengulurkan tangannya untuk mengusap nama yang terukir indah di atas batu dengan ditumbuhi rerumputan hijau di atas tanahnya.
"Bun, selamat pagi. Bintang kangen Bunda," ucapnya. Diiringi senyum tipis, Bintang perlahan mengusap batu tersebut.
"Maaf kalau Bunda melihat sikap Bintang ke Ayah tadi, nggak baik."
Bintang merasa seperti orang bodoh, ia merasa percuma berbicara sendiri meski tahu, tak akan ada yang menyahut. Walau begitu, Bintang tetap mencurahkan keluh kesahnya setiap kali bertengkar atau berdebad dengan Bima.
"Bun, aku lagi suka sama gadis cantik, adik kelasku di sekolah, tapi Bun..."
"Lo ngapain di sini?" Bintang terjungkal ke belakang, ia benar-benar terkejut ketika melihat Rara sudah berdiri di belakangnya.
"Lo?"
"Apa?" sahut Rara bingung.
"Lo sendiri ngapain di sini? Mau cari tali pocong, ya?"
Bintang tidak menjawab, ia justru mencurigai gadis yang berdiri sambil membawa karangan bunga di tangannya.
"Cih! Terlalu dangkal pemikiran lo."
"Terus mau apa, pagi-pagi gini udah ada di pemakaman?"
Bintang bisa melihat wajah kesal Rara dari cara gadis itu menghela napasnya kasar, lalu menatap ke arahnya sambil melotot.
"Pertanyaan yang sama juga buat lo. Lagian ini tempat umum, siapa pun boleh datang kapan aja, gue ke sini mau jenguk Papa gue lah, minggir, jalanan makin sempit ada lo di sini!"
Melihat Rara berjalan meninggalkannya, mengingatkan Bintang tetang seorang pria yang dulu pernah ia tinggalkan saat hujan deras mengguyur ibu kota.
"Papa?"
Gumam Bintang kembali mengulang ucapan Rara beberapa menit lalu. Lalu bergegas pergi setelah urusannya selesai.
🍂🍂
Terima kasih telah berkunjung, selamat hari libur juga, jangan lupa tinggalkan pesan ya, salam manis Bintang
Publish, 13 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro