03. Gebetan Melesat
Sesuai kesepakatan, kini Hasan dan Bintang sudah berdiri di tengah lapangan basket, memandang sekeliling Bintang tidak melihat Rafi, padahal sebelum mereka berpisah, Rafi sempat mengatakan akan cepat kembali. Nyatanya lelaki itu belum kunjung tiba meski hari sudah semakin sore.
"Nunggu Bang Rafi, kah?" tanya Hasan tiba-tiba, mendengar itu Bintang menoleh, kemudian kembali pada fokusnya mendribble bola.
Pertandingan yang sudah mulai beberapa waktu lalu itu, membuat Bintang sedikit gelisah, entah apa yang ia pikirkan, sejak bel pulang berbunyi, Bintang sama sekali enggan untuk pulang lebih awal. Walaupun Rafi sudah menawarkan untuk pulang ke rumahnya, tetap saja, Bintang menolaknya mentah-mentah.
"Yas! Udah 5 point, gimana?" seru Hasan saat bola terakhir masuk ke dalam ring pertahanan Bintang.
Bintang merasa malas sebenarnya, ia pun merebahkan tubuhnya di atas lantai lapangan yang sedikit hangat karena siang tadi cuacanya cukup bagus. Sambil merentangkan kedua tangannya, Bintang menatap lurus ke arah langit yang sedikit berwarna oranye.
Sementara Hasan, memilih duduk bersila di sisi Bintang sambil bertopang dagu. Memandang wajah kakak kelasnya membuat Hasan kagum, bahkan pertandingan yang sudah berakhir beberapa menit lalu seakan tidak ada artinya. Hasan merasa bangga bisa duduk bersama Bintang selain tampan, lelaki itu juga tidak seangkuh yang dikatakan oleh orang-orang di sekolahnya.
Menurut Hasan, mengenal Bintang suatu pencapaian tertinggi selama ia berteman dengan kakak tingkat, terlebih banyak desas-desus, yang tidak menyenangkan di telinga.
Terdiam cukup lama, akhirnya Bintang menoleh memperhatikan Hasan yang masih menatapnya dengan berbinar. Bintang tidak akan menyia-nyuakan kesempatan untuk membuat Hasan panik ketika dirinya mengubah posisi menjadi duduk dan berhadapan ke arah Hasan. Kedua mata mereka bertemu, bahkan dengan sangat jelas kedua bola mata adik kelasnya itu membola sempurna.
"Bang Bintang!" keluh Hasan, sedang Bintang sudah tertawa begitu puas ketika Hasan terkejut hampir terjungkal karena Bintang ikut menatapnya.
"Suka lo sama gue?" ucap Bintang.
Melihat Hasan menggeleng, membuat Bintang kembali melepaskan lelahnya, kali ini hanya dengan duduk bersila sambil mendongak ke atas. Menikmati embus angin sore di tengah bising kendaraan yang terdengar cukup mengganggu.
"Kenapa lo nggak pulang?" tanya Bintang. Hasan hanya tersenyum, kemudian menunduk sejenak.
Merasa kalau ucapannya salah, Bintang pun menundukkan pandangannya, lalu menoleh ke arah Hasan yang sudah tegap dengan posisinya.
"Itu pertanyaan buat diri lo sendiri, kan, Bang?" balas Hasan terkekeh.
"Apa yang mau lo gali dari gue? Lo mau bilang kita saudara?"
Hasan kembali menggeleng, ia tahu mengajak Bintang tidak akan mudah. Apalagi, ia tahu betul siapa Bintang, dan bagaimana lelaki itu ketika marah.
Hasan tidak ingin melihat semua itu lagi, bahkan ia sadar kehadirannya masih belum diterima penuh oleh Bintang. Ia sadar, hadirnya hanya meninggalkan banyak luka, mengenalnya dari dekat saja sudah cukup, tapi tidak dengan kedekatannya yang terkesan seperti seorang musuh.
Bagi Bintang, Hasan tidak pernah salah, karena anak itu tidak pernah meminta hak apa pun yang sudah menjadi miliknya. Namun, hati Bintang lah yang masih belum bersedia untuk berbagi apa pun pada siapa pun.
Kali ini, tatapan itu melunak, menyisakan butir bening yang menetes tanpa ia sadar.
"Jangan ikut campur lagi urusan gue, paham?!"
Setelahnya, Bintang pun bangkit, lalu meraih tas ransel yang ia letakkan di dekat ring basket. Melenggang pergi meninggalkan Hasan yang masih duduk sambil memandang kepergian Bintang dari balik punggung tegap itu.
"Gue nggak akan buat lo sedih lagi."
🍂🍂
Tak seperti hari kemarin, kekalahan bukan sebuah hal penting untuk Bintang sesalkan, tapi taruhannya yang kini menjadi beban pikiran sampai ia sulit tidur. Setelah sampai di rumah Rafi beberapa menit lalu, Bintang di sambut hangat oleh Tante Desi, ibu Rafi yang begitu lembut.
Mengingat Rafi yang pulang lebih dulu tanpa memberi kabar padanya, Bintang tidak bisa berkata apa-apa selain memperhatikan sepasang ibu dan anak yang kini tengah bergurau dari lantai dua tepat di depan kamar Rafi.
Ia lagi-lagi menginap dengan alasan bosan di rumah karena hanya seorang diri. Padahal, kenyataannya Bintang malas untuk beradaptasi ektika Ayah dan Ibu barunya ada di sana.
"Sakit Ma," keluh Rafi saat wanita cantik itu menyentuh sikut temannya.
Melihat kedekatan Rafi dengan Ibunya membuat Bintang tiba-tiba teringat dengan gadis yang masih belum ia ketahui siapa namanya. Ia pun berbalik lalu masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhnya begitu saja di atas kasur.
Cukup lama Bintang bergulat dengan pikirannya, tiba-tiba saja Rafi sudah berdiri di sisi tempat tidur, hendak mengambil tempat di sebelah kirinya, namun tertahan ketika melihat luka di pelipis temannya itu.
"Itu luka waktu kapan? Kok gue baru lihat?" ucap Rafi. Bintang menatap ke arah Rafi dari tempatnya Bintang bisa melihat kalau raut wajah temannya itu tidak sedang bercanda. Ia pun bangkit, dengan menaikan sebelah alis sebelum bersuara.
"Apa?"
"Itu," sahut Rafi sambil menunjuk ke arah pelipis Bintang.
Dengan cepat Bintang beranjak menghampiri cermin yang terletak yang tak jauh dari tempat tidur. Memandangi wajahnya dengan saksama, Bintang pun menyentuhnya, meringis saat luka itu tersentuh.
"Gue lupa, udah lah nggak penting."
Bintang tak peduli, lagipula itu luka kecil yang masih bisa terobati, sedangkan lukanya yang lain masih terbuka lebar sampai ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya.
Ia pun kembali melangkah ke tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di sana dengan nyaman sambil menyamping mengabaikan oceh yang Rafi lontarkan padanya.
Sekeras apa pun Bintang menutupi lukanya, pada akhirnya ia sendiri yang kelelahan karena selama ini, hanya Rafi yang mengerti keadaannya, sejak tahu kalau Ayahnya jarang pulang, bahkan berani membohonginya dengan alasan sibuk di kantor, padahal di luar sana Bima sedang bersama keluarga barunya.
Saat itu, Bintang tak sengaja melintas di tengah kota yang cukup senggang. Malam dingin tak membuatnya takut dengan apa pun, tak lupa Rafi selalu bersama dengannya ke mana pun.
Tepat di salah satu tempat makan pinggir jalan, Rafi meminta Bintang untuk berhenti sebentar, mengingat kalau temannya juga mendapat pesan singkat dari ibunya, Bintang pun hanya menuruti, sambil menghirup udara malam yang tidak terlalu bising saat itu.
Namun, tak lama setelahnya kedua mata Bintang tertuju pada salah satu kafe keluarg yang cykup ramai pengunjung itu, di sana seorang pria dengan di temani sepasang ibu dan anak sedang bercanda gurau sambil menikmati makanan mereka masing-masing.
Turun dari motornya Bintang ingin melangkah menghampirinya, tetapi sebelah tangannya ditahan oleh Rafi yang sudah kembali dari tugasnya memburu camilan untuk Tante Desi.
"Mau ke mana?" Mendengar itu, Bintang menggeleng, lalu kembali menaiki motornya dan berlalu begitu saja saat Rafi sudah duduk dengan tenang di jok belakang.
Sepanjang jalan, pikiran Bintang masih sama, mengingat tawa lepas itu membuatnya kesal. Hingga kini, amarah itu masih membara, bahkan ia bersikeras untuk menaklukan para gadis hanya untuk kesenangannya saja.
"Dia harus melengkapi koleksi matan gue, nanti."
🍂🍂
Hallo, kembali lagi dengan Bintang, terima kasih sudah berkunjung salam manis Bintang
Publish 7 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro