Bab 5
"Laura, kenapa diam di sana? Sini duduk?"
Laura mengerjap, berusaha mengendalikan rasa gemetar. "Kak, aku mau pulang."
Devon mematikan teve lalu bangkit untuk menghampiri Laura. Tersenyum kecil dengan mata berbibar ramah.
"Bukannya kamu mau ajak aku dan Eliano ke rumah papa dan mama."
Laura mengangguk. "Iya, sih, tapi—"
"Tapi kenapa? Kamu takut aku bertanya-tanya soal masalah pribadimu?"
Laura menggeleng cepat. "Nggak, Kak. Bukan begitu maksudku."
Devon menghela napas panjang, jarinya terulur ke bahu Laura. Menarik tali yang turun ke lengan dan menaikkannya. Entah kenapa jarinya gatal ingin menyentuh Laura, padahal sudah mengingatkan diri sendiri untuk tidak melakukan hal bodoh yang akan menakuti mantan adik iparnya.
"Maksudmu apa, Laura? Coba kamu jelaskan kenapa mendadak ingin pulang?"
Laura menggigit bibir, merasa kulitnya meremang oleh sentuhan Devon di bahunya. Ia menatap laki-laki itu yang kini bergerak mendekat, memerangkapnya di antara tubuh yang kokoh dan wangi dengan meja panjang. Belum sempat punggungnya menabrak pinggiran meja Devon meraih pinggannya dan menahan dari benturan. Laura menahan napas menatap Devon lekat-lekat. Tubuh mereka saling menempel dan sesuatu yang aneh menggeliat dari dalam dirinya.
"Kak, aku—"
"Kamu punya pacar, Laura?"
Pertanyaan Devon sungguh di luar dugaan. "Nggak ada, Kak."
"Pernah pacaran lalu putus?"
Kali ini Laura mengangguk. "Pernah sekali."
"Dengan anak konglomerat itu?"
Laura terperangah. "Ba-gaimana Kak Devon tahu?"
Devon mengusap lembut pinggang Laura, menahan tubuhnya untuk tidak menghimpit lebih dekat. Dalam hati mengumpat karena isi pikirannya yang nakal dan hasrat panas yang mengalir dari sentuhan. Ia tidak ingin membuat Laura lari ketakutan tapi sayangnya, tidak berhenti ingin menyentuh dan menghidu aroma wangi lembut dari tubuh Laura.
"Tadi malam aku mencari tahu tentangmu. Semua informasi yang aku lewatkan selama beberapa tahun ini. Tentang bagaimana caramu memulai karir, hubungan asmaramu dan banyaknya skandal dalam hidupmu."
Udara terasa panas menyelimuti mereka saat Devon mengusap sisi leher Laura yang telanjang.
"Aku tahu kalau skandalmu dengan pengusaha sekaligus anggota DPR itu palsu bukan?"
Laura mengangguk cepat. "Iya, Kak. Itu palsu karena aku baru beberapa kali saja bertemu Robertos itu. Dalam acara sosial dan Robertos menjadi sponsor acaraku. Tapi nggak ada pembicaraan khusus apa pun. Entah bagaimana muncul foto saat kami mengobrol berdua dilanjutkan dengan gosip dan meluas sampai ke istrinya."
Devon tersenyum kecil, memiringkan kepala untuk mengagumi wajah cantik Laura. "Tenang saja, aku akan membantumu mengatasi Robertos dan istrinya."
"Bagaimana caranya?"
"Aku punya cara, Laura. Kamu percaya saja padaku."
Terdiam sesaat, Laura memilih untuk mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sedari dulu Devon memang baik, hangat, dan penyayang. Ia yakin kalau Devon akan banyak membantunya mengatasi masalah yang sulit dipecahkan contohnya dengan Robertos ini. Yang membuatnya tidak menyangka adalah Devon menawarkan bantuan secepat ini bahkan tanpa banyak bertanya-tanya. Apakah hal baik ini benar terjadi dalam hidupnya?
"Kalau kamu mau pulang sekarang, nggak apa-apa. Tinggalkan alamat papa dan mama, kita bertemu nanti di sana setelah aku jemput Eliano."
"Iya, Kak. Aku pulang duluan saja, harus membeli sesuatu untuk Papa dan Mama."
"Biar sopirku yang antar."
"Nggak usah, aku naik taxi aja."
"Jangan, bahaya kalau sampai ada fansmu lihat. Ganti pakaianmu, kalau mau sarapan, ya sarapan dulu biar aku siapkan sopir."
Laura tidak membantah, membiarkan Devon mengurusnya. Ia mengganti pakaian, memakai make-up tipis sebelum keluar dari kamar. Devon meminta nomor ponselnya dan Laura menyebutkan angka-angka.
"Sampai ketemu nanti di rumah, Laura."
"Daah, Kak!"
Laura meninggalkan penthouse melalui lift khusus bersama seorang sopir. Turun langsung ke ruang bawah tanah di mana mobil sudah menunggu. Ia tidak habis pikir berapa banyak kekayaan Devon karena kemewahan yang dirasakannya sungguh luar biasa. Penthouse super besar dengan dua lantai dan terletak di tengah kota sudah pasti bukan tempat tinggal yang murah. Belum lagi mobil yang sekarang mengantarnya. Laura tidak ingin banyak berpikir tentang harta orang lain.
Sopir mengantarnya sampai pagar, setelah mengucapkan terima kasih Laura mengetuk pintu rumah berpagar hitam sebahu. Meskipun terletak di dalam komplek tapi bukan perumahan mewah. Bagi Laura yang terpenting papa dan mamanya bisa hidup nyaman dan damai di lingkungan ini.
"Laura, kamu datang lagi. Emangnya nggak sibuk?"
Seorang perempuan berumur enam puluhan membuka pintu. Perempuan itu berambut putih dengan kulit keriput. Terlihat lebih tua dari umurnya. Lesti yang hidupnya akhir-akhir ini terjerat banyak masalah, menua dengan lebih cepat tanpa disadarinya. Meski begitu garis-garis kecantikan dalam dirinya masih terlihat meski samar.
"Nggak, Ma. Besok aku baru kerja. Mau ngasih uang buat Mama belanja."
Lesti menerima uang dari anaknya dengan tangan gemetar. Ingin menolak tapi dirinya membutuhkan uang ini. Ia mengerti kalau anaknya bekerja sangat keras untuk membiayai hidupnya dan sudah semestinya sebagai orang tua sadar diri untuk tidak merepotkan. Sayangnya ia dalam posisi memang harus selalu merepotkan anaknya.
"Masuklah, papamu sedang nonton teve."
Laura menatap sang mama dengan kuatir. "Mama tahu bukan masalah pekerjaanku. Jangan sampai Papa nonton infotaimen, Ma."
Lesti menepuk-nepuk telapak tangan anaknya. "Jangan kuatir. Papamu hanya nonton bola dan film-film saja."
"Syukurlah kalau gitu. Mama udah siapin manisan belum? Kak Devon nanti siang akan datang bersama Eliano."
Wajah tua Lesti menjadi cerah seketika. "Aduh, mama senang mau ketemu cucu. Manisan udah mama buat, nanti Eliano datang bisa langsung makan."
Melewati ruang tamu yang sempit, Laura melangkah ke ruang tengah dan menjumpai papanya sedang duduk di kursi roda. Ia menggaji perawat yang bergantian menjaga sang papa dan sepertinya saat ini perawat itu tidak kelihatan.
"Suster kemana, Ma?"
"Lagi ke minimarket, beli popok papamu."
"Oh, iya." Laura mendekati sang papa, menunduk untuk bicara dengan lembut. "Papa, aku pulang."
Jais Sanders dulunya laki-laki kuat dan gagah. Dihantam banyak masalah membuatnya menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada penyakitnya. Mengangkat wajah tersenyum pada anak bungsungnya.
"Su-dah ma-kan?" tanya terbata. Bibirnya mencong sebelah dengan ucapan yang tidak jelas keluar dari mulutnya.
"Belum makan, Pa. Ini mau bikin sarapan."
Sebenarnya Laura belum sarapan apa pun dan perutnya lapar. Di rumah Devon ia tidak sarapan karena belum waktunya untuk makan. Ia berniat ke dapur untuk merebus telur atau mencari buah di dalam kulkas. Duduk di samping sang papa sambil makan adalah hal menyenangkan. Laura menemukan satu butir pir, mengupas perlahan dan mengirisnya. Perawat datang dengan bungkusan di tangan, menyapa semringah padanya.
"Kak Laura udah datang rupanya."
"Iya, Sus."
Perawat itu terlihat ingin basa basi tapi Laura sedang enggan bercakap-cakap. Ia membawa piring kecil berisi potongan buah pir ke ruang tengah dan duduk di samping sang papa. Terdengar percakapan keras disertai tawa dari arah dapur. Perawat sedang sibuk bercakap dengan sang mama. Laura merasa senang dengan adanya perawat yang pandai mengobrol membuat mamanya tidak kesepian. Buah di atas piri baru saja tandas saat terdengar suara teriakan.
"LESTI, JAIS, KELUAR KALIAN BERDUA! GUE MAU NGOMONG!"
Laura meletakkan piring kosong dengan terburu-buru ke atas meja dan bangkit dari sofa. Melihat mamanya muncul bersama perawat dari dapur, ia menberi tanda.
"Jangan keluar, Ma. Tetap di sini."
"Laura, gimana kalau mereka nyerang kamu nanti."
"Nggak akan. Pokoknya Mama tetap di sini."
Laura mengambil tongkat kasti yang diletakan di bawah meja. Ia selalu meletakkan tongkat di situ dan melarang siapa pun memindahkannya. Dengan tongkat di tangan ia bergegas keluar untuk menghadapi orang yang berteriak.
"Dari dulu lo nggak berubah. Masih kasar dan kurang ajar!" teriak Laura.
Di halaman berdiri tiga laki-laki dan dua perempuan muda. Laura menatap tajam pada mereka. Pandanganya tertuju langsung pada dua perempuan yang melotot marah padanya.
"Eh, Jalang kurang ajar! Bayar utang lo!" Perempuan berambut pirang dengan tubuh kurus mengeluarkan makian. "Udah bertahun-tahun utang kagak bayar. Ditagih ngeles melulu lo!"
Laura mendengkus keras. "Kayaknya kuping lo yang budeg atau otak lo yang mampet. Udah gue bilang berkali-kali kalau yang utang bukan keluarga gue tapi orang tua lo!"
"Nyolot amat lo. Kagak takut sama kita? Bawa-bawa pentungan segala. Ngerasa hebat lo?" Kali ini yang berkata adalah perempuan muda dengan tubuh kekar, rambut pendek dan memakai tank top yang menunjukkan lengan berotot.
Laura tertawa garing, merasa perkataan mereka sangat lucu. "Aneh banget gue yang harus bayar padahal orang tua kalian yang utang. Pabrik, ruko, sama semua asetnya itu milik orang tua gue. Kalian aja yang ngerebut!"
"Halah, banyak bacot lo! Bayar utang atau gue suruh orang-orang ini buat hancurin rumah lo!" ancam si rambut pirang.
Dengan tangan gemetar campuran rasa marah dan takut, Laura merentangkan lengan. Pemukul terasa berat dalam genggaman meski begitu ia bertekad tidak akan takut demi keluarganya.
"Berani kalian maju, gue pukul kepala kalian tanpa ampun!" teriaknya.
Ancamannya dibalas dengan tawa menggelegar oleh para laki-laki preman. Beragam kata-kata kotor dan mesum keluar dari mulut mereka untuk Laura. Menolak untuk gentar meski harus berdarah-darah, Laura bertekad untuk mengusir orang-orang ini.
Suara mobil berhenti di depan gerbang mengalihkan perhatian mereka termasuk Laura. Dari dalam mobil muncul Devon yang menggandeng Eliano. Saat melihat situasi yang dirasa janggal, Devon menghampiri Laura dengan satu pertanyaan terlontar.
"Ada apa ini, Laura?"
"Mamaa! Eliono kangen Mama!"
Laura melemparkan pemukul ke tanah dan berjongkok untuk menggendong Eliano. Menepuk-nepuk lengan Devon, ia berujar keras.
"Kalian pikir bisa ngalahin gue sendiri? Mungkin, iya kalau cuma gue. Nih, hadepin calon suami gue kalau kalian berani!"
Semua orang tercengan mendengar perkataan Laura, bukan hanya dua gadis dan para preman bahkan Devon pun kebingungan. Laura tidak peduli lagi dengan rasa malu, yang penting bisa selamat dari situasi ini. Ia merapat ke arah Devon dan masuk dalam pelukan bersama Elino.
.
.
Di Karyakarsa bab 50.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro