Bab 3
Kantor agency artis The Art Entertaiment geger oleh berita yang baru saja beredar. Bintang kesayangan agency, Laura Sanders diketahui publik sedang memeluk seorang anak laki-laki yang memanggil dengan sebutan nama. Tidak diketahui siapa nama anak itu termasuk laki-laki tampan yang menmbawa Laura pergi. Arya, kepala manajer di agency mengamuk pada Nurul karena dinilai lalai dalam menjaga si artis.
"Bagaimana kamu biarkan Laura pergi tanpa pengawalan? Memangnya kamu kenal siapa laki-laki itu?"
Nurul menggeleng lemah. "Nggak kenal, Boss."
"Nah, udah tahu nggak kenal. Masih juga bertindak bodoh! Aku heran sama kamu, Nurul! Kapan kamu bisa kerja dengan benar, hah? Lihat sekarang apa yang terjadi. Orang-orang bergunjing karena menganggap Laura punya anak. Sial!"
Telepon kantor agency tidak berhenti berdering, begitu pula ponsel Arya. Semua menanyakan kebenaran tentang berita yang beredar. Arya sendiri tidak tahu harus bagaimana karena kehilangan jejak Laura. Nomor pribadi Laura tidak bisa dihubungi, tidak ada yang tahu kemana perginya gadis itu dan kapan akan memberi kabar. Arya mendesah frustrasi.
"Coba kamu ulang lagi cerita dari awal. Gimana bisa kamu terpisah dengan Laura?"
Nurul bercerita dengan gugup soal Laura yang dihadang tiga perempuan, berlari melintasi lobi bandara dan bertemu anak kecil yang memanggil mama. Arya menghentikan cerita Nurul dengan satu pertanyaan.
"Mau apa ibu-ibu menghadang langkah Laura?"
"Untuk melabrak karena menganggap Laura merebut Robertos. Mereka itu teman dari istrinya Robertos."
"Astagaa! Sibuk sekali hidup Laura. Pantas saja dia kabur. Tapi harusnya ngasih kabar, dong! Aku udah minta dia lewat pintu samping padahal."
Arya memijat kepalanya yang sakit. Belum selesai urusan gosip Laura dengan Robertos, kini ditambah dengan kedatangan anak laki-laki yang memanggil mama. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi media tanpa mengerti duduk masalahnya.
"Laura, kamu harus cepat menelepon. Kalau nggak akan runyam masalahnya," gumam Arya sambil menghenyakkan diri di sofa dan mengusir Nurul keluar ruangan.
Sebagai agency yang berdiri belum sampai sepuluh tahun, tempat ini bukan hanya kantor untuk mendapatkan kontrak bagi para bintang. Melainkan juga tempat di mana para artis baru meletakkan harapan mereka untuk karir yang cemerlang di masa depan. Arya jatuh bangun mendirikan tempat ini, selain demi uang juga untuk dirinya dan Laura.
Dari awal melihat gadis itu di stasiun teve sebagai pekerja lepas, ia sudah melihat potensi yang besar dari dalam diri Laura dan ternyata penilaiannya tidak salah. Dalam waktu tujuh tahun semenjak menjadi anak asuhnya, Laura menjelma menjadi bintang besar. Aktris fim, meskipun aktingnya tidak bisa dikatakan sangat bagus tapi cukup mumpuni. Foto model, presenter acara, serta masih banyak lagi dan membuat agency ini menjadi semakin berkembang. Laura bisa dikatakan adalah modal awal dan penemuan terbaik dari Arya.
Banyak isu, gosip dan berita tidak sedap sering menerpa Laura bagi Arya tidak masalah karena tahu persis sepak terjang anak asuhnya. Namun kali ini berbeda. Ia tidak tahu identitas laki-laki yang membawa Laura pergi dan kemana tujuannya. Berharap kalau Laura tetap aman. Saat ponselnya berdering, ia mengangkat dengan enggan.
"Hallo, Nyonya."
Suara perempuan terdengar dari seberang telepon. "Kamu sudah lakukan apa yang aku minta?"
"Sudah, Nyonya. Bukankah Nyonya lihat sendiri berita yang beredar akhir-akhir ini?"
"Memang, tapi hasilnya belum maksimal untukku. Ingat, Arya, aku investasi banyak uang ke perusahaanmu. Jangan sampai mengecewakanku."
"Baik, Nyonya. Saya akan ingat selalu pesan, Anda."
Suasana hati Arya memburuk selesai menerima panggilan. Tidak tahu keberadaan Luara ditambah dengan ancaman yang baru diterima, Arya merasa hari ini sedang sial.
**
Laura mengamati penthouse yang baru saja dimasukinya. Terdiri atas dua lantai, ruangan dipenuhi oleh perabot mahal dan mewah. Lampu gantung besar berada di langit-langit ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah dan dapur. Tiga pelayan berseragam menyambut mereka dan membantu membawa koper.
"Mama, ayo, duduk, Ma. Kita main, yuk, Ma."
Laura tersadar dari lamunan, duduk di sofa besar dan mengusap lembut rambut keponakannya yang lebat. Bertahun-tahun tidak bertemu, bayi mungil yang selalu digendongnya dulu kini menjelma menjadi bocah lucu dan menggemaskan.
"Eliano, ini bukan mama tapi aunty." Laura menunjuk dirinya sendiri. "Manggilnya aunty, ya, Sayang. Bukan mama."
Eliano menggeleng keras. "Nggak mau. Papa bilang kalau aku akan ketemu, Mama. Sekarang kita bertemu. Mama, Eliano sangat senang."
Entah bagaimana menjelaskan pada Eliano kalau dirinya adalah bibi dan bukan ibu. Laura kehabisan kata saat Devon muncul. Laki-laki itu telah melepas jasnya dan kini memakai celana panjang abu-abu serta kemeja biru yang digulung sampai siku. Pandangannya tertuju pada Eliano yang mendekap Laura dengan erat.
"Laura, kamu pasti bingung kenapa Eliano manggil kamu mama?"
Laura mengangguk setelah sadar dari lamunan. Kehadiran Devon membuatnya terpukau. Mantan kakak iparnya itu memang dari dulu sangat tampan, tapi sekarang makin matang dan menawan. Laura mengingatkan diri sendiri kalau mereka masih keluarga.
"Kamu mungkin nggak sadar tapi wajahmu sangat mirip dengan Lori. Eliano hanya melihat Lori melalui foto, jadi nggak heran kalau dia menganggapmu sebagai mamanya. Karena kalian memang semirip itu."
Laura tersenyum, mendekat Eliano erat di dada. Rasa rindu dan terharu ingin ditumpahkan dalam pelukan hangat. Sekarang ia mengerti kalau Eliano merindukan sosok seorang ibu.
"Aku ngerti sekarang, Kak. Keponakanku yang tampan ini, boleh memanggilku apa saja terserah dia."
Devon menghenyakkan diri di sofa, menatap anaknya yang bergelayutan di tubuh Laura. Eliano seolah tidak ingin membiarkan Laura lepas barang sekejap. Mengusap rambut panjang Laura, memeluk erat, memainkan jari yang lentik, Eliano seolah merasakan kalau mamanya hidup kembali.
"Laura, kamu mau makan malam bersama kami?"
Pertanyaan Devon membuat Laura sadar. Ia mengerjap bingung. "Eh, benar, aku belum makan dari pagi. Boleh, Kak."
"Mau dipesankan apa? Steak atau masakan lokal?"
Laura menggeleng. "Lusa ada pemotretan. Aku nggak boleh kelihatan gemuk, nggak boleh juga jerawatan. Aku makan sebutir apel sama telur rebus cukup."
Devon tercengang tapi tidak berkomentar. Menatap tubuh Laura yang begitu langsing sampai tidak melihat ada lemak berlebih di sana. Laura dulunya gadis yang imut dan menggemaskan, kini menjelma menjadi perempuan anggun, cantik, dan berkelas.
"Sayang, kamu mau makan apa?" tanya Devon pada Eliano. "Mau spageti?"
"Mau, Papa!" jawab Eliano antusias.
"Sebelum makan, Eliano mandi dulu. Sana, biar bibi bantu mandiin kamu. Ganti pakaian lalu makan."
"Eliano belum mau mandi, Papa. Aku nggak kotor."
Laura tersenyum melihat keponakannya yang seolah enggan berpisah dengannya. Ia mengusap wajah Eliano dan mengecup lembut pipinya.
"Mama tetap di sini, nggak akan kemana-mana. Eliano mandi, ganti pakaian, dan kita makan bersama."
"Mama beneran tetap di sini?" tanya Eliano penuh harap.
"Tentu saja, Sayang. Mama nggak akan kemana-mana."
Seorang pelayan datang untuk menbawa Eliano ke kamar mandi. Laura memperbaiki duduknya, mengambil sebotol air dan membukanya. Sedikit mengernyit karena sulit dibuka. Devon mengambil botol dari tangannya, membuka tutup dan menyerahkannya kembali.
"Makasih, Kak."
Devon mengamati bagaimana Laura minum dari botol tapi tetap terlihat anggun. Tidak ada air keluar dari mulut. Gaya bicaranya yang lembut tapi tegas masih seperti dulu, hanya saja penampilannya yang berubah menjadi begitu glamour. Tidak ada lagi gadis lugu, menggemaskan dengan penampilan sederhana seperti yang ada dalam ingatan Devon.
"Kapan kalian kembali, Kak?"
"Sudah empat bulan ini."
"Selama itu? Kita baru ketemu?"
Devon mengangguk, menatap Laura yang terkejut. "Saat aku kembali, ada banyak pekerjaan yang dilakukan. Salah satunya adalah menyekolahkan Eliano agar bahasanya semakin lancar. Di luar negeri dia diajarkan bahasa Indonesia oleh orang tuaku dan juga ada guru khusus yang aku gaji. Selain itu aku harus menyelesaikan masalah di kantor. Aku sempat pulang sebelum ini dan membawa Eliano ke rumahmu tapi ternyata sudah ditempati orang lain dan mereka tidak tahu kemana perginya kalian."
Laura mendesah lalu menunduk dengan wajah muram. Mengingat rumah masa kecilnya yang kini telah menjadi milik orang lain. Pantas saja Devon kembali dan ia tidak tahu, karena memang tidak pernah ada kesempatan bertemu.
"Papa terjerat utang, rumah dijual untuk pengobatan dan aku bekerja keras untuk membayar utang. Baru dua tahun lalu utang pokok lunas dan saat aku ingin membeli rumah itu kembali, pemiliknya sekarang nggak mau jual, Kak."
"Utang pokok?"
"Iya, ada lagi utang lain sama keluarga."
Kali ini Devon yang terkejut mendengar cerita Laura. Seingatnya dulu mertuanya punya bisnis yang bagus dengan pendapatan yang stabil. Bagaimana mungkin bisa terjerat utang? Ia akan mencari tahu masalah ini secara perlahan tapi tidak sekarang.
"Kamu bekerja sangat keras pastinya demi mereka?"
Laura mengangguk. "Sangat keras. Mengambil job apa pun, yang penting hasilnya bagus. Papa stroke jadi masih butuh banyak biaya."
"Kamu tinggal bersama mereka?"
"Nggak, aku punya apartemen, Kak. Sengaja terpisah karena nggak mau kehidupan mereka direcoki oleh fans atau media. Papa sedang sakit, takutnya makin parah kalau tertekan. Tahu sendiri gimana gilanya fans atau media kalau mengejar gosip."
"Memang, di bandara tadi juga sudah terlihat. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini, cukup kaget karena melihat wajahmu di mana-mana. Di billboard, televisi, bahkan internet. Eliano nggak berhenti teriak setiap kali wajahmu muncul. Dia tanya terus, kapan bisa ketemu mamanya."
Senyum Laura merekah sempurna saat mendengar perkataan Devon. "Anakku memang lucu, Kak. Ya ampun, aku ingat dulu dia secuil waktu aku gendong-gendong. Sekarang sudah besar."
Devon tergelak. "Jangan salah. Dia juga bandel, hanya saja tertutup oleh sikap imutnya."
Eliano muncul dalam keadaan segar dan sudah berganti pakaian. Devon sebelumnya sudah memesan spageti dan salad untuk Laura. Barangkali gadis itu berubah pikiran ingin makan yang lain. Ternyata dugaannya salah, Laura tetap makan satu apel dan satu telur rebus.
"Makan begitu saja emangnya kenyang?" tanyanya.
Laura mengangguk. "Sudah biasa, Kak."
"Ya ampun, aku bisa pingsan kalau cuma makan segitu."
Laura tertawa lirih karena kerap mendengar hal yang sama dari orang lain. Ia menyuapi Eliano yang tidak mau menghabiskan makanan. Membujuk akan membawanya jalan-jalan tapi permintaan anak itu membuatnya terkejut.
"Mama, bobo sama aku ya malam ini."
"Eh, tapi—"
"Mama mau'kan?"
Laura mengedip bingung, mengalihkan pandangan pada Devon dengan niat ingin meminta tolong. Jawaban Devon makin membuatnya tercengang.
"Laura, anakmu ingin ditemani tidur. Sebagai mama yang baik, sudah lama nggak ketemu, semestinya kamu kabulkan permintaan itu bukan?"
Apa-apaan ini? Laura bertanya dalam hati. Merasa terjebak saat melihat ayah dan anak bersorak untuk menahannya di rumah ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
.
.
Di Karyakarsa update bab 40.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro