Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15

Devon tidak melepaskan pandangannya dari Edric. Ada persaingan serta sikap yang penuh dengan ketidaksukaan terlihat jelas terpancar dari matanya. Devon tidak salah mengira, Edric pasti sedang melakukan pendekatan dengan Laura.

"Sorry, kalau dianggap kurang sopan Edric. Kami nggak bisa ajak kamu makan bersama."

Kata-kata Devon diberi senyum kecil oleh Edric. Mengangguk seolah tidak terbebani dengan penolakan Devon. Padahal dalam hatinya bergolak marah. Ia sudah menunggu waktu yang tepat untuk melakukan pendekatan pada Laura dan Devon merusak rencananya.

"Oh, nggak masalah. Kalau begitu besok harusnya aku bisa mengajak Laura untuk makan siang?"

Kali ini Laura yang menolak. "Nggak bisa, Edric. Besok pagi-pagi buta aku harus kembali ke kotaku."

Edric terlihat sangat kecewa, bukan karena penolakan Laura melainkan sikap Devon yang menurutnya sangat congkak. Ia telah kalah satu langkah telak dari Devon, dan tidak akan menyerah.

"Nggak masalah, aku akan temui kamu di kota kita. Tadi kita udah tukar nomor hape. Tunggu saja, aku pasti datang ketemu kamu Laura."

Laura mengacungkan dua jempol. "Siip, semoga ada kesempatan kita ketemu lagi."

"Pasti kesempatan itu ada. Jangan lupa kalau ibuku adalah penggemarmu."

"Hahaha, salam buat beliau."

Devon meremas pinggang Laura dengan sedikit tekanan. "Sudah? Ayo, kita pergi sebelum macet."

Laura mengangguk. "Sudah, Kak."

Sayangnya Edric belum siap melepas kepergian Laura. Ia menahan langkah kedua dan mengeluarkan ponsel. "Laura, ayo, foto dulu sama aku. Buat bukti ke ibuku kalau kita ketemu."

"Oh, ya, dari tadi belum ambil foto." Laura menggeliat perlahan, melepaskan diri dari pelukan Devon. "Minta Nurul buat bantu kita foto."

Nurul menerima uluran ponsel dari Edric dan mulai mengambil foto. Rupanya Edric tipe orang yang satu foto saja tidak cukup. Setelah lima atau enam kali foto akhirnya melepaskan Laura.

Menatap Laura yang masuk ke jok mobil bersama Devon, hati Edric dipenuhi kecemburuan. Saat mobil Devon mulai menjauh, ia memanggil asistennya.

"Iya, Pak."

"Kamu sudah cari tahu siapa Devon?"

"Sudah, Pak. Beliau adalah pimpinan dari Enpower Corporation."

Edric mengernyit. "Pimpinan? Pemilik atau pekerja di sana?"

"Tidak ada informasi lain, Pak. Hanya itu saja."

"Informasi menarik. Setahuku Enpower Corporation adalah perusahaan multi nasional. Entah Devon itu pemilik atau pekerja, yang pasti bukan orang sembarang. Rupanya sainganku cukup berat untuk mendapatkan Laura. Kamu dengar bukan kalau Devon adalah kakak iparnya?"

Si asisten mengangguk. "Bisa dikatakan mantan kakak ipar. Pak, Anda lupa kalau kakak Laura sudah meninggal?"

"Aku lupa soal itu." Edric mendesah, mengambil rokok dari dalam tas asisten dan menyulutnya. "Laki-laki sialan! Setelah menikahi si kakak kini mencoba mendekati si adik. Aku nggak akan biarkan dia mendapatkan Laura. Entah bagaimana caranya, Laura harus jadi milikku!"

Api memercik dari ujung rokok, bertepatan dengan kilatan penuh tekad dari mata Edric. Demi kebahagiaannya dan juga si ibu, Laura harus berada di sampingnya dan aman dalam pelukannya.

**

Suasan hati Devon memburuk setelah pertemuan dengan Edric. Awalnya ia merencakan akan mengajak Laura makan dan setelah itu berkeliling kota dengan mobil. Menikmati pemandangan lama dari pinggir pantai. Namun, rencananya nyaris tidak bisa dilakukan karena keengganan yang mendadak timbul. Belum lagi suasan restoran di mana beberapa pengunjung dengan tidak sopan menghampiri Laura dan meminta foto. Devon yang kehabisan sabar, meminta ganti ruangan dan manajer menempatkannya di rooftop. Sebuah tempat yang didesaign khusus untuk tamu VIP. Tediri atas gazebo beratap kaca dengan meja kayu persegi, buket bunga dan lampu LED yang memberi kesan mewah. Dua pelayan bersiap melayani mereka.

"Kenapa mereka baru bilang ada tempat ini?" gumam Devon sedikit kesal. "Malah menempatkan kita di ruang terbuka dan ramai."

Laura mengedipkan sebelah mata. "Jangan salah, Kak. Yang di bawah tadi menghadap langsung ke pantai. Suasana lebih sejuk dan pemandangan indah."

"Memangnya kamu kerja seharian di pinggir pantai masih kurang? Lihat, kulitmu kemerahan."

Devon mengulurkan tangan untuk mengusap pipi dan lengan Laura yang kemerahan. Terpaan sinar matahari membuat kulit belang dan untungnya tidak terlalu ketara.

"Produk apa, sih sampai harus berjemur di pinggir pantai?"

"Produk kecantikan macam sunscreen dan lotion."

"Kenapa bisa belang?"

"Saku pakai bikini, wajar aja kalau belang." Laura mengiris steak salmonnya dengan perlahan. Mencicipi rasa gurih dan nikmat di mulutnya. Tidak menyadari tatapan tajam Devon ke arahnya. "Tadi siang aku cuma makan salad yang dibawain Edric. Lapar sekali bekerja seharian di luar. Semoga besok berat badanku nggak naik."

Devon mengiris dagingnya dengan sedikit bertenaga. "Jangan bilang Edric ada di pantai sepanjang hari?"

Laura menggeleng. "Nggak sepanjang hari. Take kedua dia baru datang. Kayaknya jam sebelasan gitu."

Nafsu makan Devon menghilang, digantikan dengan rasa dongkol bercampur cemburu. Ia memberi tanda pada pelayan untuk membuka sampanye dingin. Menuang ke dalam dua gelas tinggi, menunggu hingga buih dan gelembung menghilang lalu meneguknya.

"Minum sampanye, biar makan steaknya makin enak."

Laura mengangkat bahu. "Kalau aku mabuk gimana, Kak?"

"Nggak apa-apa, aku yang akan gendong kamu sampai ke hotel."

"Hahaha, padahal aku berat loh." Laura mengambil sampanye dan meneguknya. "Ah, enak. Lain kali aku harus ajak Milea minum sampanye. Tiap kali ketemu kami hanya minum bir dingin. Milea nggak pernah mau kalau dibelikan anggur yang mahal, katanya boros. Padahal aku sanggup belinya."

"Milea teman yang baik, nggak mau bikin kamu bangkrut kalau beli sesuatu yang mahal."

Laura menandaskan isi gelas dan wajahnya mulai menghangat. "Padahal aku rela menghabiskan uang kalau demi Milea. Selama ini hanya dia yang selalu ada di sampingku. Menemaniku jatuh bangun dalam meniti karir. Syuting pertamaku, Milea sengaja datang jauh-jauh hanya untuk mengantar bekal makan siang. Sahabatku yang baik, nasibnya sama tragisnya dengan aku."

Sambil mencercau tidak jelas, Laura menandaskan gelas ketiga. Percuma Devon melarangnya karena tidak didengar. Lagipula ia sudah berjanji akan menggendong saat pulang nanti, jadi lebih baik membiarkan Laura menikmati sampanye.

"Ceritakan padaku soal Edric itu. Dari mana kamu kenal dia?" tanya Devon coba-coba.

Laura menggeleng, berusaha untuk menandaskan steaknya tapi sulit. Berkali-kali ikan yang ditusuknya dengan garpu terjatuh kembali ke atas piring. Devon mengangkat kursinya dan kini berada di samping Laura. Memberi perintah pada pelayan untuk meninggalkan mereka berdua. Ia menyuapi Laura dengan sabar, memastikan gadis ini mengunyah dengan benar.

"Edric bilang, aku adalah penyelamat ibunya. Tiga tahun lalu donor darah untuk ibunya. Jujur saja aku lupa pernah melakukan itu soalnya udah lama sekali. Dia bilang ibunya adalah penggemarku. Hihihi, anak laki-laki yang manis."

Devon menaikkan sebelah alis. "Benarkah? Dia manis menurutmu?"

Laura mengangguk cepat. "Hooh, Edric sangat manis, Kak."

"Apanya? Senyum atau wajahnya?" desak Devon dengan kecemburuan meledak dalam dada. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Laura yang terbakar matahari. Tidak peduli kalau sekarang sedang berada di luar. "jawab yang jujur, Laura."

"Salah, bukan wajah atau senyum tapi sikapnya. Kalau wajah, kamu lebih manis dari dia, Kak."

Laura mengusap-usap dagu Devon. Sama seperti yang dilakukannya saat mabuk kali lalu, meninggalkan rasa malu dan mulai mengecup bibir Devon. Membuat laki-laki itu mendesah.

"Harusnya aku rekam ciuman kita, sebagai bukti besok pagi kalau kamu mengelak. Tapi nggak perlu, bisa berciuman denganmu sangat menyenangkan meskipun nantinya kamu nggak ingat."

Devon meraih bagian belakang kepala Laura dan mengulum bibirnya dengan lembut. Memaksa membuka mulut Laura dan menjelajah dengan lidah. Erangan feminin keluar dari bibir Laura dan memicu hasrat Devon.

"Naiklah ke pangkuanku," perintahnya.

"Kemana?" tanya Laura linglung.

"Pangkuanku, biar makin leluasa kita berciuman."

Laura bangkit tanpa kata dan membuka kaki lalu duduk di pangkuan Devon. Melumat bibir mantan kakak iparnya dengan penuh nafsu. Entah karena sampanye atau memang ada hasrat yang terpendam, Laura melampiaskannya dengan ciuman dan kuluman yang seolah tidak ingin berhenti.

"Laura, kamu membuatku bergairah," desah Devon di antara cumbuan mereka. Jarinya meraih resleting gaun Laura dan menurunkannya. "Biarkan aku menyentuhmu."

Laura tidak menolak saat gaunnya diturunkan hingga ke pinggang, kaitan branya dilepas dan dadanya diremas lembut oleh Devon. Pikirannya berkabut campuran gairah dan juga alkohol. Ia mendesah saat jari Devon dengan lincah bergerak di dadanya yang membusung.

"Dadamu indah dan padat, Laura."

Devon membungkuk untuk menghisap puncak dada yang menegang. Laura mendesah, meremas rambut Devon. Tubuhnya menggelinjang oleh gairah dan nyaris tidak tertahan.

"Kaak, aku, aah."

"Santai, Laura. Biarkan aku menikmatimu."

Laura kehilangan kata-kata karena cumbuan Devon di puncak dadanya. Segala pertentangan dan penolakan menghilang bersama dengan cumbuan. Saat ia menggerakan pinggul, menyadari kalau sesuatu ada sesuatu yang keras dan menonjol dari balik celana Devon. Ia tidak bodoh, meskipun masih perawan tapi mengerti kalau Devon terangsang sama seperti yang dirasakannya.

Devon mengangkat bibir dari dada Laura dan tersenyum kecil. "Kita kembali ke hotel sekarang?"

Laura mengangguk tanpa kata, membiarkan Devon membantunya berdiri.

"Malam ini kamu tidur bersamku, Laura," bisik Devon saat mengaitkan bra dan menarik resleting hingga menutup.

Laura tidak menjawab, tubuhnya oleng dan jatuh dalam pelukan Devon. Tidak lama terdengar dengkur halus dari mulutnya. Devon tertawa lirih, mengangkat tubuh Laura ke dalam gendongan.

"Dasar gadis pemabuk. Bisa-bisanya tidur pulas setelah bercumbu. Laura, padahal aku ingin tidur denganmu malam ini."

Devon harus menunda rencana karena tidak mungkin mencumbu orang yang tidak sadarkan diri. 
.
.
Cerita ini sedang PO.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro