Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Ingatan Laura melayang ke tiga tahun yang lampau. Saat itu ia panik karena sang papa terkena serangan stroke. Selesai pemotretan ia bergegas ke rumah sakit dan ternyata papanya sedang ditangani oleh pihak medis sedangkan sang mama menangis tiada henti. Laura bahkan belum menghapus riasan. Menggunakan wig pirang, kacamata hitam, dan masker ia berada di lorong rumah sakit menunggu papanya selesai diperiksa. Saat itu orang yang membantunya adalah Arya dan Nurul. Keduanya yang mondar-mandir di rumah sakit hingga akhirnya sang papa selamat dan mendapat kamar rawat.

Dalam keadaan lelah, Laura memutuskan untuk duduk di lorong rumah sakit dengan IGD. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, ia kelaparan dan memutuskan untuk makan roti. Merenungu hari yang berat, kondisi sang papa dan belum lagi masalah yang tak kunjung selesai dengan sepupu dan omnya. '

Perhatiannya terpecah saat sebuah ambulan datang, perawat memeriksa pasien yang baru saja tiba. Laura masih belum beranjak dari tempatnya hingga terdengar percakapan.

"Gimana, ini, kita harus darah secepatnya. Stok di rumah sakit sudah nggak ada."

Laura yang mendengar soal darah, menghela napas panjang. Darah yang dibutuhkan oleh pasien yang baru saja didorong masuk adalah golongan darahnya. Ia melihat ujung kaki perempuan yang sedang terkapar di atas ranjang pasien. Sepertinya perempuan yang usianya tidak lagi muda. Ia mendekati suster dan berkata kalau kenal dengan pasien yang baru datang.

"Golongan darah kami sama. Bisa nggak dilakukan pemeriksaan? Aku bersedia mendonorkan darahku."

Terjadi perdebatan antara para dokter, tentang boleh tidaknya mendonor secara langsung. Namun darah diperlukan untuk penanganan lebih lanjut. Akhirnya para petugas medis melakukan pemeriksaan pada Laura dan mengambil darahnya untuk pasien. Laura hanya menatap sekilas pada perempuan setengah baya yang menerima donor darinya. Setelah itu pergi ke kamar sang papa dan tidak lagi mencari tahu tentang perempuan itu. Mendadak Edric datang dan mengakui kalau perempuan itu adalah ibunya, bagaimana Laura bisa percaya?

"Kamu pasti bingung karena saat itu aku nggak muncul. Kebetulan begitu kamu selesai donor darah aku baru saja tiba di rumah sakit. Perawat mengatakan kalau kamulah yang menyelamatkan ibuku. Aku mencarimu dan ternyata kamu menghilang, padahal kita sempat berpapasan di lorong. Laura, perlu waktu tiga tahun ternyata untuk mengatakan terima kasih padamu."

Laura menghela napas panjang, menatap Edric lekat-lekat dengan senyum tersungging. "Bagaimana kabar ibumu?"

Edric tertawa lirih. "Sehat, baik, dan bugar. Sekarang menjadi fans garis kerasmu. Selalu mengatakan pada semua orang yang dikenal kalau ada darahmu mengalir dalam darahnya. Nggak melewatkan film atau dramamu dan membeli semua produk yang kamu iklankan. Laura, kamu membuat hidup ibuku kembali bersemangat."

Laura tidak membendung rasa bahagia, membayangkan seorang perempuan tua yang menjadi sehat dan ceria karena darahnya.

"Syukurlah kalau beliau sehat. Titip salam dariku."

"Bolehkan aku berfoto sama kamu, tentu saja setelah syuting selesai."

"Oke, kalau kamu mau nunggu. Syuting kayaknya lama deh."

"Nggak apa-apa, aku siap nunggu kamu Laura!"

Laura tidak habis pikir dengan Edric, bagaimana bisa begitu santai berada di tempat ini. Tidak ada orang yang melarang atau mengusirnya sedangkan seingatnya tempat syuting biasanya harus steril dari orang luar.

"Siap! Action!"

Laura berjalan di pasir yang panas, mencoba tetap profesional dalam pekerjaan. Tidak boleh mengeluh karena untuk mendapatkan pekerjaan ini tidak mudah baginya. Ia tersenyum, melambai, tertawa dengan produk di tangan. Mengulangnya selama beberapa kali hingga akhirnya selesai. Duduk di kursi lipat, Edric mendekat bahkan lebih cepat dari Nurul.

"Minum ini biar nggak dehidrasi. Kamu pasti belum makan, aku sudah siapkan salad dingin rendah kalori untukmu."

Laura tercengang dan Nurul kehabisan kata saat seorang perempuan datang membawa salad dengan nampan. Laura menerimanya dengan takjub.

"Terima kasih, Edric."

"Sama-sama Laura."

Laura mengaduk salad dan mencicipinya. Bumbu salad sedikit asam dan sedikit manis tapi ia suka. Makan dengan lahap tidak peduli pada Edric yang berada di sampingnya. Selesai makan ia berpamitan ke toilet dan Nurul mengikuti langkahnya.

"Kayaknya Edric bukan sembarangan, deh," bisik Nurul.

"Maksudmu apa?"

"Kak Laura ingat saat kita baru datang dan para kru mengejekmu. Mengatakan beragam gosip tanpa peduli kebenarannya. Mereka juga menertawakanmu. Kalau ingat aku kesal sekali, ingin menghajar mereka semua."

"Nurul! Kita sedang kerja, jangan emosi untuk hal-hal kecil begitu."

"Oh, maaf. Pokoknya setelah Edric datang dan mengajakmu bicara, semua kru penggosip itu menjauh. Nggak ada lagi yang nertawain kamu. Bukankah itu artinya Edric punya jabatan?"

Laura memikirkan kata-kata Nurul dan mengangguk. "Masuk akal. Bisa jadi Edric manjer atau pimpinan dari agency periklanan."

Berdiri di depan kaca toilet, Laura menatap kulitnya yang gosong karena matahari. Terlepas dari rasa ingin tahunya tentang identitas Edric, pekerjaan ini harus diselesaikan sebelum gelap. Ia punya janji makan malam dengan Devon dan tidak boleh terlambat datang.

**

Devon berdiri di tengah lapangan golf, bersama tiga orang menatap lubang yang sama. Ia baru saja menyelesaikan pukulan ketiga dan mendapatkan poin lebih banyak dari dua rekannya. Sudah menjadi rahasia umum kalau para pelaku usaha menjadikan golf sebagai transaksi bisnis dan ini yang sedang mereka lakukan.

"Saya masih nggak nyangka kalau Pak Devon bersedia terbang jauh kemari untuk bicara dengan kami. Padahal, kami bersedia untuk datang ke kantor Anda." Laki-laki kurus dengan pakaian olag raga putih memuji dengan senyum tersungging. "Tentunya akan menyenangkan bisa melihat gedung yang Anda tempati untuk bekerja."

Devon mengambil sapu tangan dan membasuh peluh. "Saya pun ingin Anda berdua datang ke kantor. Kebetulan saya ada urusan penting di kota ini, sekalian saja kita bertemu bukan?"'

Laki-laki dengan pakaian putih tertawa, begitu pula satu laki-laki lain bertubuh lebih pendek dengan pakaian olah raga warna cokelat.

"Tentunya kami senang kalau semisalnya kerja sama kita bisa menjadi kenyataan, Pak Devon," ujar laki-laki dengan pakaian cokelat.

Devon mengangguk serius, memikirkan tentang resort yang akan menjadi proyek selanjutnya. "Saya sudah meninjau lokasi, menurut saya sangat strategis dan yakin akan berkembang dalam beberapa tahun kedepan."

"Kami berharap hal yang sama, Pak Devon."

Selesai bermain golf, Devon mengajakdua patnernya untuk mengobrol di lounge. Kerja sama yang ditawarkan mereka memang menarik minatnya. Sebenarnya adiknya yang datang untuk melihat lokasi tapi demi mengantar Laura ia punya kesempatan datang secara pribadi. Ibaratnya sekali dayung dua atau tiga pulau terlampaui. Ia bisa mengantar Laura dengan selamat dan melihat langsung lokasi proyek selanjutnya.

"Pak Devon berkenan untuk makan malam bersama kami?" tanya laki-laki berpakaian putih.

Devon menggeleng. "Dengan menyesal saya harus menolaknya, Pak. Sudah ada janji dengan orang lain."

"Kalau begitu kita manfaatkan waktu sekarang untuk mengobrol dan memahami satu sama lain."

Ketiga minum coctail, merokok, dan makan cemilan. Devon menghindari hidangan berat karena akan malam dengan Laura. Selesai mandi dan berganti pakaian, bersama asisten dan sopir meninggalkan lapangan golf. Satu mobil lain akan mengantar Nurul pulang lebih dulu. Ia ingin menikmati malam ini hanya berdua dengan Laura tanpa orang lain.

Devon tanpa sadar tersenyum saat melihat papan iklan di mana wajah Laura terpampang. Sampai sekarang tidak menyangka kalau gadis lugu dan sombong itu kini menjelma menjadi selebrity papan atas. Meski begitu satu hal yang tidak berubah dari dalam diri Laura yaitu kebaikan hatinya. Dari dulu sampai sekarang, sikap serta sifat Laura dengan hati yang lembut, penuh kasih sayang, dan selalu peduli dengan orang lain tidak menghilang.

Tiba di pinggir pantai, Devon turun dari mobil dan melakukan panggilan ke ponsel Laura. Senja mulai turun perlahan dengan bias kemerahan berada di ufuk Barat. Membuat air laut kuning keemasan dan memancarkan cahaya yang hangat dan indah. Laura menjawab panggilan dan mengatakan sedang merapikan barang-barang.

Devon bersandar pada mobil, menikmati pemandangan yang luar biasa indah. Tidak sia-sia datang saat senja karena nuansa pergantian siang ke malam sangat terasa melankonisnya. Pantai dipenuhi wisatawan yang menikmati air laut, pada pegadang menawarkan beragam makanan, serta anak-anak yang bergembira dengan sepeda.

"Kaak, maaf lama nunggu!"

Laura muncul bersama Nurul di belakangnya. Devon menegakkan tubuh, tersenyum menyambutnya.

"Udah selesai syutingnya?"

"Sudah selesai semua."

"Nggak ada kendala?"

"Lancar!"

"Kalau gitu, kita pergi makan karena aku sudah kelaparan."

Devon baru saja membuka pintu mobil saat seorang laki-laki berkemeja lengan pendek berlari mendekat dan memanggil nama Laura. Di belakang laki-laki itu ada dua pengawal berseragam.

"Laura, kamu mau kemana? Aku ingin mengajakmu makan malam."

Laura tersenyum pada Edric. "Sorry, aku udah ada janji."

Pandangan Edric tertuju pada Devon yang berdiri tepat di belakang Laura. Senyum lenyap dari bibirnya.

"Oh, siapa dia? Kakakmu?" Edric sengaja bertanya begitu. Jawaban Laura sungguh membuatnya tercengang.

"Benar, kakak iparku. Namanya Kak Devon."

Kelegaan Edric tidak berlangsung lama karena lengan Devon kini melingkari pinggang Laura. Seorang kakak ipar tidak semestinya melakukan itu. Wajah Edric menegang dengan beragam perasaan bergelayut dalam dada.

"Hallo, Edric!" sapa Devon dengan tatapan tajam.

Edric mengangguk kecil. "Hallo, Devon."

Dua laki-laki saling pandang dengan sikap bermusuhan, Laura terjepit di antara mereka. Ia berniat untuk segera berlalu tapi cengkeraman Devon di pinggang makin kencang. Laura mengeluh tentang sikap Devon yang makin posesif padanya.
.
.
Cerita ini sedang PO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro