Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Laura tidak menyangka kalau Devon yang akan mengantarnya secara langsung ke bandara. Bukan hanya itu, Devon juga menyewa jet pribadi yang mengantarnya langsung ke tempat tujuan. Nurul senang bukan main saat duduk di dalam kabin pesawat yang mewah.

"Ya Tuhan, nggak pernah mimpi aku jadi orang kaya dan duduk di pesawat pribadi."

Laura yang duduk berdampingan dengan Devon memiringkan kepala menatap laki-laki itu. Kepalanya dipenuhi tanya tentang banyak hal yang sulit dimengerti.

"Kenapa Laura? Kayaknya kamu mau tanya sesuatu?"

Laura mengangguk perlahan. "Memang. Kenapa nyewa pesawat mahal-mahal cuma buat anterin aku? Terus, Eliano di rumah sama siapa kalau Kak Devon ikut aku?"

Devon tersenyum kecil. "Coba tebak, Eliano ada di mana sekarang?"

"Penthouse dan sendirian."

"Salah, ada di rumah papa dan mamamu. Tadi pagi sebelum menjemputmu aku antar dia ke sana. Mama tentu saja sangat senang. Jangan kuatir, ada mobil, sopir, dan dua pelayan ikut ke sana. Eliano akan baik-baik saja di rumah papa dan mama."

Kelegaan melanda Laura saat tahu kalau keponakannya ada yang menjaga. Ia tidak tahu kalau Devon berinisiatif akan mengantarnya secara langsung. Bukan hanya mengirim bodyguard, tapi juga memberikan bantuan banyak hal padanya. Sungguh di luar perkiaraannya.

"Sewa privat jet pasti mahal, Kak."

Devon mengangkat bahu. "Mungkin saja, karena aku nggak pernah sewa."

"Hah, lalu pesawat ini milik siapa kalau nggak sewa?"

"Punya keluargaku karena lagi nganggur aku yang pakai."

Kali ini Laura benar-benar kehilangan kata. Ia tahu kalau Devon memang pengusaha kaya tapi tidak menyangka akan sekaya ini sampai-sampai punya privat jet. Laura merasa dirinya tidak mengenali laki-laki yang sedang minum wine di sampingnya.

Ia mencoba mengingat-ingat tentang informasi soal mantan kakak ipar yang dulu pernah didengarnya dari Lori. Pengusaha muda yang keluarganya punya bisnis. Hanya itu yang diceritakan kakaknya tanpa mengatakan dengan spesifik jenis usaha Devon. Ia mencari tahu di internet dan ada sedikit informasi kalau keluarga Devon mempunya bisnis property dan tambang. Enpower corporation mempunya banyak anak usaha. Hanya itu, selebihnya tidak ada informasi apa pun di internet. Laura melirik Devon dan berdecak bingung. Rupanya informasi keluarga laki-laki itu sangat tertutup.

"Kenapa kamu kelihatan bingung? Kaget atau gimana?"

"Emang kaget, aku nggak tahu kamu sekaya itu, Kak."

"Bukan aku yang kaya tapi keluargaku dan yang aku lakukan memanfaatkan kekayaan orang tua."

"Ide bagus. Seandainya orang tuaku nggak bangkrut, aku juga hidup foya-foya. Minimal kuliah sampai lulus dan jadi presenter berita bukan foto model yang dihina sana sini."

Devon menyesap wine hingga setengah tandas. Meletakkan gelas di atas meja lalu menatap Laura lekat-lekat.

"Laura, kamu mirip sekali dengan Lori."

Laura tersenyum. "Banyak sekali yang bilang gitu. Eliano dan kamu bukan orang pertama yang mengakui itu."

"Tapi, kalau dilihat-lihat ternyata sangat berbeda. Kalian punya bentuk wajah yang sama tapi Lori punya pandangan lebih teduh dengan garis kelembutan. Sedangkan kamu sangat cantik, luar biasa cantik tapi ada keangkuhan yang nggak bisa kamu sembunyikan. Mungkin karena itulah kamu cocok jadi selebrity."

Penggambaran Devon membuat Laura tertawa lirih. Ia tidak sakit hati dibandingkan dengan Lori. Lagi pula, kakaknya sudah meninggal. Kalau dibandingkan bisa membuat Lori hidup lagi, ia rela menerima perbandingan dari orang-orang, entah baik atau buruk hingga ribuan kali.

"Kenapa tertawa?"

Laura mengangkat bahu. "Entahlah, Kak. Apakah itu berarti aku sombong dan Kak Lori nggak?"

Devon mengangkat dagu Laura, mengusap bibir dengan ibu jari. "Kalian sama-sama cantik, yang menbedakan hanya kamu lebih tegas dari Lori. Bisa jadi pengalaman hidup yang membuatmu seperti ini. Laura, kamu seperti mengurung dirimu dalam cangkang dan nggak suka didekati orang lain. Kenapa? Coba bilang sama aku."

Laura membalas tatapan Devon yang tajam. Bibirnya membuka ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya. Sekarang bukan waktunya untuk banyak bicara karena waktunya bekerja. Laura melepaskan diri dari cengkerama Devon lalu memalingkan wajah.

"Kak, kamu datang ke kota ini bukan cuma mau ngantar aku'kan?"

Devon mengerti kalau Laura tidak ingin bicara tentang hal pribadi dengannya. "Aku punya pekerjaan juga di sini. Turun dari pesawat, aku akan mengantarmu ke tempat syuting dan selesai baru aku jemput."

"Eh, nggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa ke hotel sendiri."

"Sekalian, aku mau ajak kamu makan malam."

Laura mengangguk pasrah, tidak ingin membantah perkataan Devon karena terdengar kasar dan tidak sopan. Ia sudah diantar menggunakan pesawat pribadi, dilindungi dari para wartawan, semestinya makan malam bersama adalah timbal balik yang tidak berat untuk dilakukan.

Saat mendarat di bandara, dua kendaraan mewah sudah disiapkan untuk Laura. Sama seperti sebelum berangkat tadi, Nurul duduk mobil yang berbeda dengannya. Selama di perjalanan menuju tempat syuting, Devon sibuk menerima telepon. Semua membicarakan tentang bisnis yang tidak dimengerti oleh Laura.

"Telepon aku saat kerjaanmu selesai," pesan Devon kala tiba di lokasi syuting yang berada di pinggir pantai. "Jangan lupa pakai sunscreen karena panas."

"Iya, Kak. Ketemu lagi nanti selesai kerja."

"Daah."

Laura termangu saat kendaraan Devon menghilang. Nurul yang baru turun dari kendaraan lain berlari menghampiri dengan satu koper di tangan.

"Kak, kopermu yang lain sama koperku dibawa sopir. Katanya mau diantar langsung ke hotel."

"Bagus, biar kamu nggak repot."

Keduanya berjalan melewati deretan bunga yang tertanam dalam pot pinggir jalan berpasir. Matahari tidak terlalu terik karena bisa dikatakan masih sangat pagi.

"Kak, ternyata di dunia ini orang kaya itu beneran ada. Bodyguard, mobil mewah, pesawat pribadi, ya ampun. Hal-hal yang selama ini hanya ada dalam cerita yang aku baca ternyata sungguh aku rasakan."

Laura menoleh pada Nurul. "Kamu suka?"

Nurul mengangguk cepat. "Sangaaat suka. Terima kasih, Kak. Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan bisa merasakan kemewahan itu."

Laura merasa tidak pantas menerima ucapan terima kasih dari Nurul. Kemewahan yang diberikan Devon bukanlah miliknya. Ia sendiri hanya ikut menikmati saja. Saat Devon sadar, maka semua yang terjadi sekarang pasti akan berlalu dan menjadi kenangan belaka. Kapan itu terjadi, Laura tidak tahu tapi firasatnya mengatakan tidak lama lagi.

Tiba di tempat syuting, belum ada sutradara dan produser. Hanya beberapa kru yang sedang menyiapkan set. Syuting kali ini adalah iklan untuk produk kecantikan yang meliputi sunscreen, lotion, dan sabun mandi dari satu brand. Kenapa syuting dilakukan di pinggir pantai alih-alih di studio dan menggunakan green screen, hanya produsernya yang tahu.

Laura duduk di kursi malas, menunggu perias wajah datang. Nurul berpamitan beli camilan karena waktu syuting akan memakan waktu seharian.

"Mau minum kopi?"

Laura menolak tawaran Nurul. "Udah minum tadi di pesawat."

Setelah Nurul pergi, ia mencoba memejamkan mata untuk menghilangkan lelah dan stress. Setengah jam kemudian kru yang lain mulai berdatangan dilanjutkan dengan perias dan penata gaya. Laura terdiam selama proses persiapan, meski begitu bisa mendengar dengung di sekitarnya. Orang-orang membicarakan tentang skandal dan gosip yang menimpanya.

"Nggak tahu apa bagusnya cewek itu, kenapa masih dipakai sama brand."

"Padahal banyak model lain yang lebih cantik dan populer tapi malah nggak kepakai."

"Pakai guna-guna kali."

"Simpanan orang, cuih!"

Laura menghela napas panjang, tetap duduk tenang dengan perias dan penata rambut berada di belakangnya. Nurul mengantar sebotol air dingin dan mengusir kru yang gemar bergosip itu. Selesai semua, Laura berganti pakaian dan khusus hari ini memakai bikini cantik merah muda. Bentuk tubuhnya yang indah dengan lekuk menggoda membuat orang tidak berkedip saat melihatnya. Nurul bersiap dengan payung besar untuk memayungi Laura saat sedang jeda.

"Panas banget, ya?" ucap Nurul sambil mengusap wajah dengan tisu. Mengarahkan kipas kecil pada Laura yang sedang dirapikan make-upnya oleh perias. "Kamu nggak sarapan tadi. Jangan sampai dehidrasi."

Laura tersenyum. "Amaan. Aku nggak akan dehidrasi kalau kamu kasih aku minum."

"Laura, apa kamu dehidrasi?"

Suara yang datang dan tenang terdengar dari atas kepala Laura. Ia membuka mata, mendongak untuk menatap laki-laki yang berdiri dengan payung hitam menaungi. Laki-laki itu memakai kemeja putih lengan pendek dengan celana khaki selutut. Tersenyum pada Laura yang terdiam.

"Kaget lihat aku?"

Laura hanya mengernyit bingung, laki-laki itu membungkuk hingga wajah mereka sejajar.

"Aku Edric, kita ketemu tiga tahun lalu di rumah sakit. Kamu membantuku saat itu."

Laura masih belum mengerti apa yang dikatakan laki-laki di depannya. Ia tidak ingat pernah menolong seseorang tiga tahun lalu. Laura merasa ingatannya sangat kuat bila menyangkut suatu masalah penting dan soal yang dikatakan Edric tentang menolong, membuatnya kebingungan.

"Sorry, kamu salah orang," ucap Laura setelah jeda yang cukup lama. Ia kurang nyaman dengan laki-laki yang sok akrab dengannya. "Bisa mundur nggak, jarak kita terlalu dekat."

Edric tersenyum kecil, menolak untuk mundur sesuai dengan permintaan Laura. "Ah, sudah aku duga kalau kamu akan lupa. Laura, padahal saat itu kamu sudah menyelamatkan nyawa mamaku. Gara-gara itu pula mamaku menjadi penggemar beratmu. Kalau dia tahu kamu lupa, wah, mamaku bisa sedih Laura."

"Kamu bilang apa, sih?" Laura berujar dengan sedikit keras. "Aku harus syuting sekarang. Entah kenapa kamu bisa masuk kemari sembarang, tapi aku mohon jangan ganggu saat aku kerja."

Laura bangkit dari kursi dengan Nurul memayunginya. Edric mengambil payung besar dari laki-laki di belakangnya, mendorong Nurul menjauh dan menggantikan untuk memayungi Laura.

"Tiga tahun lalu di rumah sakit Amera, kamu mendonorkan darah untuk seorang perempuan yang kehabisan darah karena kecelakaan. Perempuan tua yang kamu tolong itu adalah mamaku. Laura, apa kamu ingat sekarang?"
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro