Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tautan Hati

Bagi Rakha, rumah semestinya menjadi tempat berbagi kasih, bukan sekadar melepas penat setelah bekerja atau tempat tujuan pulang setelah mengembara. Ia ingin ada seseorang yang menjadi tempat berbagi, menyambutnya pulang dengan senyum, menemaninya makan, atau berbincang sebelum tidur. Namun, semua terasa mengabur bahkan ia tak lagi tahu apa arti sebuah rumah. Menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mengoreksi skripsi para mahasiswa nyatanya tak cukup menjadi pengalih dari rasa sepi karena Mustika tak pernah menganggapnya.

Rumah itu terasa semakin asing. Dua insan jarang sekali saling sapa apalagi duduk bersama dan berbincang. Mustika lebih banyak di kamar ketika di rumah dan ia memilih makan di luar rumah ketika lapar. Tak peduli meski Rakha selalu memasak dan menyajikan masakannya di meja. Mustika merasa tak berhak untuk memakan masakan Rakha. Terkadang jika Rakha memesan makanan, Mustika pun tak mau memakan meski Rakha sudah memesan makanan untuknya. Perempuan itu juga enggan menerima nafkah dari Rakha. Ia benar-benar memperlebar jarak. Dengan tegas ia mengatakan pada Rakha untuk bersikap layaknya orang asing atau sekadar saling kenal, jangan pernah memandangnya sebagai istri.

Kesehatan ayah Mustika yang belum membaik membuat Mustika menahan keinginannya untuk segera berpisah dari Rakha. Ia semakin resah kala orang tua maupun mertuanya membahas tentang kondisi Mustika yang tak kunjung hamil. Tentu, Mustika jua hamil karena ia dan Rakha belum pernah sekali pun berhubungan intim. Ini adalah bagian dari tuntutan Mustika pada Rakha untuk tak pernah meminta hak di ranjang.

Rakha dengan segala usaha dan kesabarannya mencoba bertahan dengan mengikuti kemauan Mustika. Kendati ia harus merasa asing di rumahnya sendiri, setidaknya itu lebih baik dibanding jika harus beradu argumen dengan istrinya. Lagi-lagi ia mengalah, meredam egonya sebagai laki-laki dan pemimpin keluarga.

Hari Minggu ini, Rakha tak enak badan. Bangun tidur ia merasa kedinginan dan suhu tubuhnya naik. Ia memutuskan untuk memesan makanan karena tak sanggup jika harus memasak.

Rakha memaksakan diri keluar kamar karena ingin membuat teh hangat. Diliriknya wastafel dapur yang penuh dengan piring dan gelas kotor. Biasanya ia yang mencucinya. Kali ini ia biarkan karena ia merasa begitu lemas. Mustika yang hendak keluar rumah untuk mencari sarapan, sejenak menatap Rakha yang tengah duduk di ruang tengah dan meminum teh hangat.

Dua pasang netra itu sekilas beradu. Mustika berpaling kembali, tak ingin menatap Rakha lebih lama.

"Aku mau keluar, nyari sarapan," ucap Mustika datar.

"Tadi aku udah pesan makanan," balas Rakha dengan nada yang datar jua.

"Aku pingin makan kupat tahu." Mustika melangkah tanpa menoleh lagi ke arah Rakha. Ia sudah bersumpah tak ingin membebani Rakha.

Rakha termenung. Sepanjang hari selalu seperti ini. Mustika hanya sekadar melabuhkan raganya di rumah yang mereka tempati, tapi hatinya tak pernah ada di rumah. Ia tahu Mustika selalu menciptakan jarak. Segala aktivitas dilakukan untuk dirinya sendiri karena memang ia ingin bersikap layaknya orang asing. Ia mencuci bajunya sendiri dan tak peduli dengan baju kotor Rakha, ia hanya membersihkan kamarnya, merapikan bajunya, mencari makanan sendiri, dan tak pernah peduli dengan urusan rumah. Rakha sama saja menjalani hari-harinya seperti saat masih lajang. Ia mencuci baju sendiri, membersihkan rumah, memasak, dan tidur pun masih saja berteman sepi.

******

Sudah setengah jam lebih, Mustika belum kembali ke rumah. Rakha berpikir jika istrinya makan kupat tahu di rumah makan, tidak membawanya pulang. Rakha sendiri tengah melahap nasi, ayam, dan lalapan yang sebelumnya sudah ia pesan.

Suara salam bergema. Rakha menjawab salam dan sudah sangat familiar dengan suara itu. Ibunya datang tanpa memberi kabar dahulu.

Rakha mempersilakan ibunya masuk. Hana langsung saja masuk ke dapur dan meletakkan buah, sayur, serta makanan matang yang telah ia masak di pagi buta. Mata wanita itu berkeliling mengamati dapur yang berantakan dengan setumpuk piring dan gelas yang belum dicuci. Lebih-lebih saat ia masuk ke ruang laundry, setumpuk pakaian kotor belum dicuci, lalu di dekat meja setrika ada sekeranjang baju bersih yang belum disetrika. Belum lagi tanaman yang sedikit layu di taman pertanda si empunya rumah belum menyiram.

"Ya Allah berantakan banget rumah ini. Kamu nggak bersih-bersih? Tika ke mana?" Hana mengamati wajah Rakha yang tampak pucat. Matanya beralih pada satu kotak berisi nasi dan lauknya. Hana tahu, Rakha makan makanan luar dan belum ada masakan di rumahnya.

"Tika sedang ada urusan di luar, Bu. Maaf kalau rumah masih berantakan, kami belum sempat bersih-bersih."

Hana menggeleng. Rumah masih berantakan, belum ada makanan, tapi Mustika sudah keluar rumah. Hana terfokus pada raut muka Rakha yang tampak pucat.

"Kamu sakit? Pucat banget." Hana meraba kening Rakha, "ya Allah kamu panas sekali. Nggak periksa ke dokter?" Hana tampak cemas. Ia menyesalkan sikap Mustika yang memilih menyelesaikan urusannya dibanding menemani Rakha yang sedang sakit. Bahkan Rakha harus memesan makanan untuk sarapan.

"Nggak perlu ke dokter, Bu. Cuma demam biasa. Pengaruh pilek sepertinya. Rakha juga udah minum paracetamol. Nanti suhunya juga turun."

"Kamu lagi sakit gini, Tika malah keluar. Mana nggak dimasakin. Kamu sampai pesan makanan. Rumah juga belum dibersihkan." Hana nyerocos dengan kesal. Ia memasukkan sayur dan buah ke dalam kulkas lalu melangkah menuju wastafel untuk mencuci piring.

"Tika ada urusan penting yang nggak bisa ditinggal, Bu. Lagian Rakha emang minta Tika untuk nggak masak. Rakha pingin makan ayam langganan. Biasanya Tika bersih-bersih rumah, cuma tadi karena ada urusan mendesak, dia buru-buru. Nanti juga pasti beres-beres kalau urusannya udah selesai. Ibu nggak usah cuci piring, ya. Biar nanti Rakha atau Tika yang beresin semua."

"Kamu istirahat aja, Rakha. Kamu sedang sakit. Ibu tadi bawa masakan juga. Ada sop jamur, rendang, sama orek tempe. Kamu makan aja lagi kalau belum kenyang. Masakan sendiri lebih sehat daripada beli." Hana masih saja mencuci piring. Dia risih melihat kondisi rumah yang berantakan.

Rakha yang duduk termangu di ruang makan hanya mampu mendengar celoteh ibunya. Apa pun ulah Mustika yang mengesalkan, cukup Rakha yang tahu. Ia tak ingin ibunya memberi penilaian yang buruk pada Mustika.

"Lagian Tika itu ada urusan apa, sih? Apa nggak bisa dia nyempetin masak atau ngurusin kamu dulu sebelum keluar? Pakaian kotor juga banyak, banyak juga yang belum disetrika. Tanaman juga pada layu. Kalian ini saking sibuknya sampai nggak sempet beres-beres rumah." Hana terus saja nyerocos. Sebenarnya sudah lama ia mengeluhkan sikap Mustika yang ia nilai kurang menghargai Rakha dan keluarga besarnya. Apalagi Mustika juga pernah absen dalam pertemuan keluarga besar karena lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya.

"Udah Bu, jangan dibesar-besarin. Rakha juga ngerti banget kalau Tika lagi banyak kerjaan. Percaya deh, kalau kerjaan dia udah selesai, dia bakal beres-beres."

"Dulu Ibu juga sibuk kerja, tapi masih nyempetin masak, beres-beres sebelum berangkat. Apalagi ini kan hari Minggu. Masa nggak sempet beres-beres, mana kamu lagi sakit."

Rakha terdiam, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan untuk meredam kekesalan Sang Ibu.

Hana tak hanya mencuci piring, tapi juga mencuci pakaian kotor di mesin cuci dan melipat pakaian di keranjang sebelum disetrika, agar tampak lebih rapi. Rakha sudah melarang ibunya untuk tidak melakukan pekerjaan rumah, tapi ibunya tetap mengerjakan pekerjaan itu.

Mentari semakin merangkak naik dan Mustika belum juga pulang. Hana semakin senewen. Ia tak akan pulang sebelum menantunya itu pulang. Ia ingin menemani Rakha yang saat ini berbaring di sofa di ruang tengah.

Tak lama setelah itu, Mustika pulang. Ia kaget melihat ibu mertuanya berada di rumah. Hana menatap Mustika datar. Dengan sopan, Mustika menjabat tangan Hana.

"Sudah lama, Bu?" tanya Mustika berbasa-basi.

"Sudah. Ibu nggak tega mau pulang, Rakha lagi sakit gini. Kamu ada urusan apa sih sampai-sampai nggak sempet beres-beres dan nggak nemeni suami yang lagi sakit." Hana sedikit ketus.

Mustika baru tahu jika Rakha tengah sakit. Ia menoleh ke arah Rakha yang terbaring. Ia baru menyadari jika wajah Rakha terlihat pucat.

"Tadi kan Rakha udah bilang kalau Tika ada urusan pekerjaan mendesak." Rakha menoleh Mustika sejenak. Sorot matanya seolah mengisyaratkan agar Mustika tenang. Ekspresi wajah Mustika tampak sedikit tertekan.

"Ya kan bisa ngurusin  kamu dulu sebelum ngurusin kerjaan. Hari Minggu masih juga kerja." Hana menggeleng pelan. Ia mengambil tas jinjing miliknya di atas meja.

"Ibu pulang dulu, ya. Kamu jangan lupa minum obat, istirahat yang cukup, makan yang banyak. Kalau masih sakit juga, periksa ke dokter, ya."

Rakha bangun dari posisinya. "Rakha antar ya, Bu."

"Nggak usah. Ibu udah pesan taksi online. Kamu istirahat aja."

Rakha menjabat tangan ibunya. "Hati-hati, Bu, salam untuk Bapak. Makasih banyak ya Bu, Rakha sama Tika jadi ngrepotin Ibu."

"Santai aja. Ibu udah biasa masak dan beres-beres." Hana beranjak dan melewati Mustika begitu saja.

Rakha mengantar ibunya hingga ke depan. Mustika merasakan sikap Hana yang dingin padanya sudah terasa sejak dirinya absen pada pertemuan keluarga besar.

Setelah Hana pulang, Mustika melihat kondisi dapur yang bersih serta makanan terhidang di meja. Ia beralih menatap Rakha yang mengambil bantal di sofa.

"Kamu sakit apa?" tanya Mustika sembari memerhatikan wajah Rakha yang pucat.

"Cuma demam biasa, pilek, nanti juga sembuh kalau dibawa istirahat." Rakha hendak melangkah menuju kamar, tapi Mustika berbicara lagi dan membuatnya menghentikan langkah.

"Seandainya Ibu ngabarin dulu kalau mau ke sini, aku pasti beres-beres dan nyiapin masakan. Ibu kayaknya sengaja datang nggak kasih kabar. Atau sebenarnya dia ngasih kabar ke kamu, cuma kamu nggak bilang ke aku?"

"Ibu nggak ngabarin aku. Aku juga kaget tiba-tiba Ibu datang, bawa sayuran, buah, sama masakan."

"Atau kamu bilang ke Ibu kalau kamu sakit? Makanya Ibu khawatir dan datang ke sini."

Rakha menghela napas sejenak. "Aku nggak ngasih tahu ibu kalau aku sakit. Kamu tahu sendiri ibu suka khawatir, buat apa aku ngasih tahu. Itu hanya akan bikin Ibu khawatir."

"Kenapa perempuan itu selalu dituntut untuk masak dan membersihkan rumah? Aku tahu Ibu kesal sama aku karena keluar rumah sementara kamu sakit dan aku nggak masak, nggak beres-beres. Di keluargaku orang tuaku selalu ngajarin kalau laki-laki dan perempuan sama saja. Pekerjaan dapur tidak selalu identik dengan perempuan. Laki-laki juga tak apa mengerjakan pekerjaan dapur. Aku nggak pernah dituntut untuk bersih-bersih atau masak."

Rakha menatap Mustika tajam. Ia perhatikan raut muka Mustika yang lebih sering terlihat cemberut kala berbicara dengannya. "Apa Ibu tadi menuntut kamu untuk beres-beres dan masak?"

"Secara langsung mungkin tidak. Tapi aku merasa disindir. Ibu juga menyayangkan aku yang nggak sempat masak dan beres-beres, nggak ngurusin kamu. Aku juga nggak tahu kamu sakit. Kamu nggak bilang."

"Kalau aku bilang aku sakit apa akan mengubah keadaan? Apa kamu peduli? Bukannya kamu nggak peduli semua tentang aku? Kenapa aku harus bilang?" Rakha menyela perkataan Mustika. Atmosfer terasa menegang.

"Seenggaknya kalau kamu bilang aku akan langsung pulang dan nggak mampir ke bazaar buku. Mana Ibu datang. Jelas Ibu kamu makin nggak suka. Dan mungkin Ibu bakal cerita ke saudara-saudaranya tentang kelakuanku."

"Ibu bukan tipe orang yang suka menceritakan aib keluarga. Jangan berspekulasi yang nggak-nggak. Aku juga bilang kalau kamu ada urusan penting." Rakha sedikit meninggikan suaranya.

"Tapi tetap saja Ibu nggak mau tahu. Bagi Ibu, laki-laki itu harus dilayani, dimasakin, dan wanita harus beres-beres, ngerjain kerjaan rumah. Tetap saja aku yang salah. Setelah kita pisah, biar Ibu saja yang mencarikan istri buat kamu biar sesuai dengan kriterianya. Cari istri yang nurut, yang mau ngerjain apa aja, yang mau disuruh-suruh, yang cuma bisa bilang "iya", yang pinter masak, yang menguasai pekerjaan rumah tangga, yang lemah lembut ...."

Rakha menahan kuat kekesalannya. Ia tak ingin marah-marah di tengah kondisinya yang sedang tidak sehat.

"Aku nggak pernah menuntut untuk dilayani atau dimasakin. Dari awal aku nggak pernah nuntut kamu ngerjain pekerjaan rumah tangga. Silakan kamu bebas berbuat apa aja." Rakha melangkah menuju pintu kamarnya. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tutup pintu itu kembali.

Mustika tergugu. Ia tak suka ibu mertuanya mengatur tindak-tanduknya. Ia ingin segera berpisah dengan Rakha karena ia menyadari, ia tidak hanya tak cocok dengan Rakha, tapi juga keluarganya.

Rakha mencoba memejamkan mata. Kata-kata Mustika sering kali menyakitkan, menusuk perasaannya. Ia tak ingin memikirkan lebih jauh, nyatanya sepanjang waktu ia selalu terbebani dengan masalah rumah tangganya yang tak kunjung usai. Sebelumnya ia pernah berharap, hati Mustika akan melunak. Namun, kali ini ia tak berani lagi untuk berharap.

******

Esok yang dinanti akhirnya datang. Rakha yang berharap kondisi kesehatannya membaik harus lebih bersabar karena ia merasa belum sembuh benar. Suhu badan sudah kembali normal, tapi ia masih merasa lemas. Rakha memaksakan diri untuk membersihkan dapur dan memasak nasi. Ia hanya membuat telur ceplok untuk teman makan nasi. Ia juga memutuskan untuk tetap berangkat mengajar.

Mustika yang sudah selesai berdandan keluar dari kamar. Ketika ia berjalan ke dapur untuk mengambil air, pandangan matanya kembali bertabrakan dengan mata elang Rakha yang juga menatapnya. Melihat Rakha yang sudah rapi mengenakan kemeja membuatnya berpikir jika Rakha sudah sembuh sehingga ia tetap berangkat ke kampus.

Rakha meneruskan makannya. Ia tidak mengajak Mustika untuk makan bersama karena ia tahu, Mustika tak pernah mau sarapan di rumah. Wanita itu lebih memilih makan di luar. Ia hanya membawa bekal sebotol air dari rumah.

"Aku berangkat dulu," sahut Mustika pelan. Ia berlalu begitu saja dari hadapan Rakha.

Rakha membisu. Matanya menerawang pada sesuatu di depannya, tapi terlihat seperti ruang kosong. Sehampa hatinya saat ini. Kadang ia berangan, Mustika mau sedikit saja peduli padanya. Namun, sepertinya angannya tak akan pernah jadi nyata.

Rakha menyudahi sarapannya. Matanya tertambat pada sebotol air dan sebuah map di meja ruang tengah. Rupanya Mustika lupa membawanya. Map itu pasti berisi dokumen penting, pikir Rakha. Ia mengambil map dan botol itu dan berencana untuk mampir ke sekolah Mustika, mengantarkan benda yang tertinggal.

******

Rakha menghentikan mobilnya di depan pagar SMA tempat Mustika mengajar. Laki-laki itu turun dari mobil seraya menenteng botol air dan map. Saat hendak masuk ke sekolah, ia berpapasan dengan Liza, rekan Mustika yang mengajar Matematika.

"Lho Rakha?" sapa Liza ramah. Liza seumuran Mustika dan juga mengenal Rakha karena dulu mereka pernah bersekolah di SMP yang sama.

"Liz, kebetulan ketemu, nih. Aku nitip botol air dan map ini, ya, kasih ke Tika. Dia lupa bawa."

Liza menerima map dan botol air itu.

"Perhatian banget kamu. Istri lupa bawa air dan map, dianterin. "

"Ya, takutnya map ini penting. Jadi aku anter sekalian. Makasih ya, Liz. Aku balik dulu, takut telat ke kampus."

"Okay, nanti aku sampein ke Mustika."

Rakha berbalik menuju mobilnya. Liza berpikir betapa beruntung Mustika memiliki suami penuh perhatian seperti Rakha.

Tiba di ruang guru, Liza mendekat ke arah Mustika yang tengah mencari-cari mapnya.

"Kamu nyariin map, ya? Nih, tadi suamimu nganter map sama botol airmu. Kamu lupa bawa katanya."

Mustika menganga sekian detik. Diliriknya map dan botol air yang sudah diletakkan di meja kerjanya.

"Perhatian banget ya Rakha. Kamu beruntung punya suami kayak Rakha, Tik." Liza tersenyum dan menepuk bahu Mustika.

Mustika terdiam. Rakha memang memiliki sisi baik dan ia menghargai kebaikan laki-laki itu. Namun, ia tak bisa mencintai Rakha dan perasaan benci itu masih mendominasi. Ia mengirim pesan untuk Rakha, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan.

Makasih udah nganter map dan botol air.

******

Hari ini Vera berangkat ke kantor terburu-buru. Ada rapat dadakan yang akan diadakan pagi ini.

Tiba di ruang kerjanya, sudah ada Irhaz yang sedang membersihkan meja kerja. Segelas teh hangat juga sudah tersaji.

"Pagi, Bu," sapa Irhaz dengan senyum ramahnya.

"Pagi juga, Irhaz. Hari ini aku ada rapat." Vera meletakkan tas lalu matanya beralih mencari map warna hijau di mejanya.

"Minum dulu tehnya. Kamu pasti belum sarapan." Irhaz memberanikan diri berbincang lebih akrab seperti malam Minggu kemarin. Memang ini di kantor, tapi tak ada orang lain, hanya mereka berdua di ruangan ini.

"Iya, aku nggak sempat sarapan." Vera duduk dan menyeruput teh buatan Irhaz.

"Aduh map yang warna hijau di mana, ya?" Vera kembali mencari-cari.

Irhaz melirik map hijau di sebelah tangan kanan Vera yang tengah bersandar di meja.

"Itu map hijaunya, deket tanganmu."

Vera melirik map hijau yang ia cari. Ia pun tertawa kecil. "Ya Allah mapnya ada di sini, aku nyarinya ke mana-mana. Kayaknya aku kurang fokus."

"Karena kamu belum sarapan jadi nggak fokus. Aku bawa bekal. Kalau kamu mau, makan bekalku aja."

Vera membelalakan matanya. "Kalau aku makan bekalmu, nanti kamu makan apa?"

"Gampang itu, mah. Aku ambilin, ya. Aku masak sendiri lho dan kata teman-temanku, masakanku enak."

Vera melongo. Ia baru tahu jika Irhaz pandai memasak.

"Wah kamu pinter masak ternyata. Boleh deh, aku penasaran masakanmu kayak gimana rasanya."

Irhaz tersenyum manis. "Okay, aku ambil dulu ya. Tunggu di sini."

Vera tersenyum. Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu untuk sarapan sebelum rapat.

******

Mata Vera berbinar kala menatap isi kotak bekal Irhaz. Nasi, capcay, telur ceplok, dan tempe goreng. Ia menyukai menu itu.

"Ini beneran kamu semua yang masak?"

"Iya, kenapa? Kayaknya kamu nggak percaya." Irhaz tertawa kecil. Ia menyukai ekspresi wajah Vera yang bengong.

"Bukannya nggak percaya. Aku salut aja, cowok bisa masak selengkap ini."

"Sekarang coba dimakan, enak nggak?" Irhaz tak sabar menunggu reaksi Vera setelah memakan masakannya.

Vera menyuapkan capcay ke mulutnya. Ia tak menyangka, masakan Irhaz begitu enak dan pas di lidahnya.

"Enak banget. Keren kamu, masakanmu bener-bener enak." Bukan hanya pribadi Irhaz yang membuat Vera kagum, masakannya juga.

Irhaz tersenyum senang. "Dihabisin, ya. Biar nanti pas rapat, tenagamu full."

Vera tertawa. "Tanpa kamu suruh, aku bakal habisin."

"Kamu mau ngajarin aku masak nggak? Aku pingin belajar biar bisa masak enak kayak kamu."

Irhaz mengangguk. Tentu dengan senang hati ia mau mengajari Vera memasak. "Mau banget. Kapan mau belajar masak?"

Vera memutar matanya, mencari waktu yang tepat untuk belajar memasak.

"Besok malam gimana? Kebetulan ponakanku mau nginep dan dia suka banget makan capcay. Aku besok juga cuma sampai sore kerjanya. Kamu nanti datang ke apartemen jam tujuh malam, bisa nggak?"

Irhaz mengangguk tanda setuju. Rasanya tak apa menyambangi apartemen Vera karena ada akan ponakan Vera juga. "Okay, nanti aku datang."

"Makasih, Irhaz." Vera tersenyum lebar. Ia senang mengenal Irhaz. Pemuda yang menurutnya penuh kejutan.

******

Sesuai kesepakatan, Irhaz datang ke apartemen jam tujuh malam. Vera menjemput Irhaz di bawah, lalu mereka berdua bersama-sama naik lift menuju lantai 3. Vera membuka pintu dan mempersilakan Irhaz masuk.

"Ponakanku belum sampai. Jadi kita tunggu dia dulu, ya. Atau mau langsung masak aja? Jadi pas ponakanku datang, masakannya udah siap. Dia suka banget capcay."

Irhaz tersenyum. "Boleh, kita langsung masak."

Bagi Irhaz, apartemen tempat Vera tinggal begitu mewah dan berkelas, seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan kontrakan mungil yang ia tempati.

Vera membuka pintu kulkas. "Sayuran lengkap, nih. Kamu bebas mau pakai sayur apa aja."

Irhaz mengambil wortel, jamur, brokoli, kembang kol, sawi, sosis, tahu, bakso, dan telur. Ia yakin Vera sudah menyiapkan semua termasuk wadah bumbu yang juga sudah diisi dengan bumbu-bumbu masak yang lengkap.

"Bumbu-bumbunya disiapin dulu, ya. Ada cabai, bawang merah, bawang putih, garam, gula pasir, merica bubuk." Irhaz mengambil beberapa bumbu.

"Aku bantu apa, nih?" tanya Vera bersemangat.

"Kamu bantu nyuci sayur dan ngiris sayurnya."

"Okay, ngiris sayur mah gampang." Vera mengambil pisau dan wortel.

Ketika tengah mengiris wortel, Vera kurang berhati-hati hingga jarinya tergores pisau dan berdarah. "Ah, jariku keiris pisau dan berdarah." Vera menahan perih.

Irhaz panik. Ia menggenggam tangan  Vera dan refleks mengemut jari Vera yang terluka.

Keduanya beradu pandang. Jarak antar mereka begitu dekat. Entah kenapa tiba-tiba ada yang bertalu. Keduanya merasakan debaran yang tak bisa mereka cegah. Irhaz menatap Vera lekat, mengagumi keindahan rupa yang ternyata secantik kepribadiannya. Vera pun tak memungkiri, Irhaz begitu tampan dengan rahang tegas dan mata yang setajam elang.

Keduanya seakan bernostalgia lagi pada malam insiden ciuman mereka yang menghadirkan sensasi tak terlupakan. Vera semakin terpana dan jantungnya berdegup kencang. Irhaz merasakan hal yang sama. Ia mengusap bibir Vera yang tampak begitu ranum, seakan menarik Irhaz untuk kembali memagut bibir itu penuh damba. Vera membiarkan jari-jari Irhaz mengusap bibirnya dan mengusap pipinya. Sejenak ia ragu, takut Irhaz akan berbuat lebih, tapi ia sulit menolak pesona pria di depannya. Di sisi lain ia begitu menikmati sensasi debaran yang tak berkesudahan. Apa ia sudah jatuh cinta?

******

Cut dulu, udah terlalu panjang. 😃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro