Semakin Cinta
Masih banyak yg ingin baca Rakha-Mustika, jadi aku lanjut up satu bab lagi, next mau ngetik DPD 3 dulu ya.
Happy reading ....
Rakha memandangi wajah Mustika yang terlelap. Matanya terpejam dengan bibir yang mengatup rapat. Senyum pun tersungging, senyum yang sudah lama tak tampak dari wajah Rakha. Laki-laki itu terus menatap istrinya yang masih terpejam dan tidur menghadapnya. Selimut tebal menutup tubuh polos Mustika. Rakha merasa semua masih seperti mimpi. Semalam ia dan Mustika benar-benar menyatu, melebur segala keterasingan yang selama ini mendominasi. Meski semalam adalah pengalaman pertama bagi keduanya, tapi semua tetap terasa hangat dan romantis. Keromantisan yang dibumbui bara gairah yang menepis segenggam rasa canggung dan takut. Mustika yang memasrahkan dirinya untuk Rakha dan Rakha yang berusaha memberikan malam terbaik untuk Mustika.
Rakha mengusap pipi Mustika lembut, pelan sekali agar Sang Istri tidak terbangun. Ia tersenyum sekali lagi. Rasanya semua yang ada di Mustika telah menjadi candu untuknya. Aroma tubuh istrinya, hembusan napasnya, bibirnya yang ranum, suara desahan manja yang terlontar ketika Rakha menyesap dalam-dalam ceruk leher Sang Istri dan meninggalkan jejak-jejak gairah di sekujur tubuh istrinya. Rakha menyukai cara Mustika menyambut setiap usapan lembut jemarinya dan ciuman yang sensasinya begitu memabukkan. Mustika selalu membalasnya dengan hasrat dan ledakan gairah yang sama besarnya dengan dirinya. Meski sempat terasa sedikit aneh dan tak sesuai ekspektasi ketika permainan mereka merambat ke puncak, nyatanya keduanya mampu menuntaskan rasa penasaran. Mereka mampu meredakan dahaga akan rasa ingin tahu mereka tentang arti surga dunia yang sering dijadikan perumpaan untuk menggambarkan kenikmatan yang sudah halal direguk.
Rakha masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah Sang Istri ketika menatapnya dengan mata sendu dan menggigit bibirnya berulang. Mungkin momen itu adalah momen di mana Mustika terlihat paling seksi di matanya. Jari-jari lembut Mustika yang menjambak pelan rambutnya dan memeluk punggungnya erat seakan berbekas dan masih terasa. Hanya mengingat malam panas yang belum lama mereka lalui sudah membuat Rakha ingin mengulangnya kembali. Namun, ia tahu Mustika kelelahan. Ia tak tega jika harus membangunkan istrinya dan memintanya untuk mengulang kembali apa yang terjadi semalam.
Rakha mengusap bibir Mustika. Ia bahagia malam ini dan ingin selalu mereguk indahnya berumah tangga bersama Mustika. Istrinya seperti paket komplit di mata Rakha. Tak hanya cantik, pintar, pekerja keras, di ranjang pun dia berusaha memberikan yang terbaik.
Rakha melirik jam dinding. Tak lama lagi azan Subuh akan berkumandang. Rakha bangun dari posisinya dan bersiap untuk mandi. Ia juga berencana untuk memasak seusai salat Subuh. Ia ingin menyenangkan Mustika dengan menyiapkan masakan yang enak dan spesial.
******
Mustika bangun lebih siang dari biasanya. Seusai mandi dan salat Subuh, ia melangkah ke dapur. Rakha tengah sibuk memasak. Mustika ingin bergabung, tapi ia merasa agak malu setelah melalui malam intim yang menjadi momen krusial untuknya, di mana ia telah menjadi wanita Rakha seutuhnya. Ia sadar dirinya begitu agresif semalam, terbawa suasana. Ingin ia menyapa Rakha, tapi tiba-tiba ia merasa gugup dan deg-degan. Mungkin seperti ini rasanya jatuh cinta pada seseorang yang sudah halal, yang sudah menjadi imam untuknya.
Rakha mematikan api kompor lalu menuang semur ayam ke dalam mangkok. Saat Rakha berjalan menuju meja makan, pandangannya bertabrakan dengan netra Mustika yang tengah awas menatapnya. Wanita itu duduk dan sedikit menundukkan wajah. Ada rona merah yang melintang di kedua pipinya.
"Kamu udah bangun? Udah mandi juga?" Rakha meletakkan semangkok semur ayam di meja dan menatap rambut Mustika yang basah. Ia tahu, istrinya sudah mandi keramas.
Mustika memgangguk pelan. "Iya. Kamu masak apa? Maaf, ya, aku bangun kesiangan dan nggak bantu kamu masak." Mustika mengerlingkan satu senyum manis.
Betapa indah pagi ini. Rakha tersenyum bahagia melihat Sang Istri tersenyum dengan wajah yang tersipu.
"Aku masak semur ayam, terus ada tumis kangkung juga, tahu dan tempe goreng. Nggak masalah kalau kamu nggak bantu, aku emang sengaja masak menu spesial buat kamu." Rakha masih tersenyum dengan tatapan yang tak sedikit pun beralih dari Mustika.
Mustika salah tingkah. Ia baru menyadari betapa indah mata Rakha yang setajam elang. Ditatap sedemikan intens mampu membuat dada Mustika bergetar hebat. Ia kembali teringat bagaimana Sang Suami menciumnya dan memeluknya. Pelukan yang begitu hangat dan menenangkan.
"Makasih, Rakha. Besok aku yang akan masak."
Rakha tertawa kecil. "Santai saja. Aku masak tiap hari juga nggak masalah."
"Ya, jangan gitu. Aku juga ingin masak buat kamu. Atau kita masak bareng-bareng." Mustika tersenyum lembut. Ia merasa beruntung karena Rakha begitu perhatian dan pengertian. Rasanya tak salah kedua orang tuanya menjodohkan dirinya dengan Rakha. Dulu ia berpikir perjodohan itu adalah hal terburuk dalam hidupnya. Kini ia justru beranggapan jika pernikahannya dengan Rakha adalah salah satu hal terbaik dalam perjalanannya.
"Ide yang bagus. Masakan yang dibumbui cinta itu rasanya jadi lebih enak."
Mustika tersenyum. Mendadak ia kehilangan kata. Ada debaran yang tiba-tiba merasuk. Bagaimana bisa ia menjadi salah tingkah begini, sementara semalam sudah tidak ada lagi batas malu ketika Rakha berhasil melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya.
"Makan, yuk," lanjut Rakha.
Mustika hanya mengangguk. Biasanya mereka duduk berhadapan, kali ini Rakha duduk di sebelah Mustika untuk memperpendek jarak. Mustika semakin deg-degan kala Rakha mengelap sudut bibirnya.
"Ada nasi di sudut bibir," ucap Rakha dengan satu senyum yang begitu manis.
Mustika membalas tatapan Rakha yang begitu lekat ke arahnya. Keduanya saling menatap dengan gempuran rasa yang semakin menguat. Rakha tak tahan lagi menahan apa yang sudah ingin ia lakukan. Ciuman pagi, rasanya Rakha perlu memberikannya untuk Mustika. Ia mendekatkan wajahnya, memangkas jarak antara dirinya dan istrinya. Mustika terdiam seakan sudah bersiap diri menerima kecupan Rakha.
Ciuman lembut itu nyatanya tak pernah cukup bagi keduanya. Layaknya pengantin baru lainnya yang sedang hangat-hangatnya, keduanya meneruskan pagi panas itu di kamar dan mentari yang semakin merangkak naik menjadi saksi bagaimana keduanya melupakan sejenak hari yang semakin siang.
******
Irhaz duduk sembari membuka ponselnya, mencari-cari informasi tentang beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ia rehat sejenak setelah membersihkan ruang kerja Vera dan mengantarkan teh ke ruangannya. Tiba-tiba tepukan di bahu membuatnya terkesiap. Amir tersenyum ke arahnya.
"Ir, ada yang ingin aku tanyakan."
Irhaz menatap sahabat baiknya penuh selidik. Raut wajah Amir tak bisa dibilang terlalu santai seperti biasanya, seperti ada sesuatu yang serius yang ingin ia sampaikan.
"Apa Mir?"
Amir duduk di sebelah Irhaz. Ia sebenarnya tak enak hati untuk bertanya. Ia tak bermaksud mencampuri urusan pribadi Irhaz. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk mencari tahu sendiri dari seseorang yang saat ini tengah menjadi buah bibir di kalangan staf.
"Maaf ya kalau aku lancang nanya-nanya. Tapi aku penasaran. Gini Ir, banyak staf yang ngomongin kamu dan Bu Vera. Mereka curiga kalau kalian ada hubungan karena kedekatan kalian. Bahkan Mbak Inggrid pernah lihat kalian keluar dr lift dan bergandengan. Mbak Mita juga cerita pernah lihat kalian boncengan. Apa benar kalian ada hubungan?" Amir bertanya penuh selidik. Akhir-akhir ini ia juga menyadari perubahan Irhaz yang jauh lebih bersemangat dibanding hari-hari sebelumnya. Apalagi jika mengantar minuman ke ruangan Vera. Laki-laki itu terlihat begitu sumringah.
Irhaz tak langsung menjawab. Ia pun bingung menjawab pertanyaan Amir. Ia dan Vera memang begitu dekat, terkadang ia pun merasa kedekatan mereka sudah lebih dari sekadar teman. Mereka sering berkirim pesan, telepon, video call, sering pergi bersama di saat weekend, curhat masalah pribadi yang bahkan belum pernah diceritakan pada orang lain. Vera begitu mempercayai Irhaz begitu juga sebaliknya. Vera yang begitu perhatian bahkan sudah dikenalkan pada keluarga Irhaz meski baru sebatas lewat telepon karena belum memungkinkan untuk bertemu. Irhaz yang juga akrab dengan ponakan Vera dan pernah juga berbincang dengan kakak-kakak sepupu Vera. Vera yang keberatan jika Irhaz membalas chat dari Inggrid selain chat urusan kerja, Irhaz yang juga cemburu jika atasan-atasan di kantornya memberikan perhatian lebih pada Vera. Bahkan salah satu motivasi terbesar Irhaz untuk kuliah adalah karena ia tak ingin terlalu jomplang dengan Vera untuk urusan background pendidikan. Ia berharap akan memiliki pekerjaan yang lebih baik suatu saat nanti atau mewujudkan impiannya memiliki usaha kuliner.
"Sekali lagi aku minta maaf ya, Ir. Kamu nggak perlu menjawab kalau nggak mau jawab." Amir tersenyum. Di balik sikap diam Irhaz, ia bisa menduga memang ada sesuatu antara sahabatnya dan atasannya itu.
"Mir, aku dan Bu Vera nggak pernah ada komitmen apa pun. Tapi dia udah tahu perasaanku karena aku jujur bilang ke dia kalau aku jatuh cinta sama dia. Mungkin apa yang kami jalani, mengikuti air mengalir. Meski aku kadang takut juga kalau nanti gagal lagi, mengingat perbedaan kami jauh banget. Aku cuma OB, dia manajer. Aku sadar banget soal ini, tapi aku terlanjur sayang sama dia." Irhaz mengembuskan napas pelan. Ketakutan jika kisahnya dan Vera akan berujung pada kegagalan kerap menghantui langkahnya. Terkadang ia berpikir untuk menjauh dari Vera sebelum perasaannya semakin dalam. Namun, ia tak bisa mundur. Ia benar-benar mencintai Vera dan ingin membahagiakannya.
Amir ikut membisu. Di matanya, Vera memang baik, tapi ke depan tak akan ada yang tahu. Ia teringat akan kegagalan pernikahan kakaknya yang terkendala perbedaan status sosial. Apakah Vera akan sama dengan mantan kakak iparnya, yang tak akan tahan hidup sederhana bersama laki-laki sederhana.
"Sebenarnya dalam cinta nggak mandang apa pun sih. Selama Bu Vera benar-benar cinta sama kamu, apa pun bisa dilalui. Mungkin kamu perlu mempertegas akan membawa hubungan kalian sampai ke mana. Tanya kesiapan Bu Vera untuk segala kemungkinan yang bakal terjadi ke depan kalau kalian menikah. Meski aku yakin banget, suatu saat kamu juga bakal sukses, Ir. Orang setekun dan seulet kamu pasti akan memetik buah dari kerja kerasmu." Amir menepuk bahu Irhaz. Ia tak pernah memandang remeh sahabatnya. Ia tahu seberapa kualitas sahabatnya ini. Di matanya, Irhaz memang pemuda yang cerdas, peduli dengan sesama, dan menghargai orang lain.
Irhaz mencerna baik-baik penuturan Amir. "Ya, kamu benar, Mir. Aku harus mempertanyakan soal keseriusan Vera. Kalau dia benar-benar yakin sama aku, aku akan terus maju untuk memperjuangkan dia."
"Itu namanya laki-laki sejati." Amir tersenyum dan akan mendukung langkah temannya.
******
Vera menata map-map di meja. Ia bersiap untuk mengikuti rapat yang akan diadakan 15 menit lagi.
Tiba-tiba suara ketukan pintu bergema. Vera mempersilakan untuk masuk. Ia terkejut mengetahui siapa yang datang. Andrian, manajer pemasaran yang sudah lama menaruh perhatian padanya.
"Ver, jangan telat rapatnya. Persiapkan semua dengan matang. Jangan sampai ada teguran lagi dari atasan terkait rumor kedekatan atasan dan bawahan yang sudah melebihi batas profesionalisme." Sindiran yang begitu menusuk untuk Vera.
Minggu lalu, Vera memang ditegur terkait rumor hubungannya dan Irhaz. Vera tak ambil pusing. Ia berpikir, selama dia dan Irhaz berstatus single, maka tak ada yang salah jika mereka dekat. Toh, di kantor, mereka tetap profesional dengan pekerjaan masing-masing. Jika ia terkadang makan bersama Irhaz di jam istirahat, itu bukan sesuatu yang melanggar peraturan.
"Aku dekat dengan siapa pun, itu bukan urusanmu. Yang terpenting kinerjaku tetap bagus dan atasan mengakui itu." Vera bicara tegas.
"Tapi kedekatanmu dan OB itu jadi bahan gosip satu kantor. Apa nggak ada cowok lain yang lebih baik? Ya, minimal setara sama kamu." Andrian tak habis pikir seorang Vera bisa dengan mudahnya bertekuk lutut pada pria yang menurutnya tak berkualitas.
Vera bersedekap dan menatap Andrian tajam. "Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Orang yang terlihat memiliki segalanya tak jaminan memiliki sifat yang baik. Belajarlah untuk nggak merendahkan orang lain."
Andrian tersenyum miring. Ada sebongkah rasa cemburu dan nama Irhaz kini masuk dalam daftar orang yang harus ia singkirkan. Ia harus mencari cara untuk menjauhkan Vera dari Irhaz.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro