Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PROLOG

Kesekian kali nulis cerita tentang dosen, moga gak bosen haha.

Derap langkah terdengar syahdu seiring dengan suara gemericik hujan yang mengalun merdu. Seorang gadis 22 tahun menenteng draft skripsi di depan ruang dosen pembimbing.

Sebenarnya belakangan ini ia tak bisa fokus mengerjakan skripsi. Ibunya sakit, ayahnya mendekam di balik jeruji besi karena kasus pembunuhan. Sang ayah membunuh salah seorang pria yang selalu memusuhinya di sebuah club malam setelah sebelumnya keduanya berselisih dan berkelahi. Kejadian naas itu terjadi saat dirinya duduk di kelas sebelas. Gadis itu tumbuh di keluarga yang tak harmonis, yang selalu diwarnai drama pertengkaran antara ayah dan ibunya. Ayahnya yang temperamental dan kasar jarang pulang ke rumah dan hobi minum miras di luaran bersama teman-temannya.

Sejak ayahnya dipenjara, sang ibu harus pontang-panting mencari nafkah. Ia berjualan kue dan menerima pesanan. Beruntung permohonan sang gadis untuk mengajukan beasiswa diterima. Namun setelah semester akhir, beasiswanya dicabut. Sedang dia belum juga lulus dan periode beasiswa pun telah habis.

Bagi Kayla Iklima, mendapat dosen pembimbing macam Wisanggeni Bagaspati atau biasa disapa Bagas bisa dibilang adalah sesuatu di luar harapannya. Dosen satu ini dikenal killer, tegas, galak dengan gaya bahasa yang pedas bin nylekit. Usianya 28 tahun, gagah, berwibawa, berkharisma, mapan, kabar baiknya masih lajang. Banyak mahasiswi mengidolakannya, tapi tidak dengan Kayla.

Berulang kali Kayla mengganti judul, berulang kali survey mencari tempat penelitian yang baru, dan berkali-kali juga selalu mendapat amarah dan kata pedas dari sang dosen. Sering ia mengunci diri di kamar setelah menghadap sang dosen, menangis dan patah semangat untuk melanjutkan skripsi ditambah beban permasalahan yang berat.

Ia bekerja part time menjadi tukang fotokopi di dekat kampus untuk mencari tambahan penghasilan demi membiayai pengobatan ibunya juga biaya skripsinya. Tak cukup, tentu saja. Bersyukur ada sepasang suami istri yang sudah lanjut usia memberikan bantuan biaya pengobatan sang ibu. Ia merasa tak enak hati karena berhutang budi. Keinginan untuk cepat wisuda membumbung tinggi, tapi di saat yang bersamaan harapannya patah, tergerus sulitnya mendapatkan ACC dari Pak Dosen.

Skripsi itu begitu menyita waktu, menguras tenaga, dan pikiran, bahkan berat badannya menyusut hingga beberapa kilo. Berkali-kali ingin menyerah tapi saat membayangkan bahwa ia hanya perlu sedikit langkah lagi untuk lulus, ia kembali membangkitkan semangat kendati terseok-seok.

Setelah melihat sang dosen masuk ke dalam ruangan, Kayla beranjak dan mendekat ke arah pintu. Ia mengucap salam. Terdengar jawaban salam dari dalam.

Kayla mengangguk sopan. Wisanggeni Bagaspati, sang dosen cerdas tapi arogan meliriknya dengan tampang dingin lalu mempersilakan gadis itu untuk duduk.

Seperti biasa setiap kali menghadap, Kayla menunjukkan draft skripsi yang disatukan dengan penjepit kertas. Bagas membuka-buka lembar demi lembar lalu menatap Kayla tajam.

"Ke Dosen pembimbing dua gimana?" tanya Bagas datar.

"Kalau Bu Agni sudah ACC, Pak," balas Kayla. Tinggal nunggu ACC dari Bapak, pekik Kayla dalam hati.

"ACC? Masa sudah ACC? Saya lihat skripsi kamu masih berantakan." Bagas membuka lembaran skripsi dengan kasar. Ia menyodorkan satu halaman pada mahasiswi bimbingannya.

"Coba jelaskan soal kurva ini!" Bagas bicara lantang hingga gaungnya membahana di segala sudut.

Kayla melihat gambar kurva Break Even Point di salah satu halaman.

"Ini kurva Break Even Point, Pak," jawab Kayla sedikit gugup.

"Ya, saya tahu. Saya nggak minta kamu ngasih tahu nama kurva ini. Saya ingin kamu menjelaskan." Bagas bicara dengan ketusnya. Ia sangat tidak suka dengan mahasiswa yang jika ditanya terkait skripsinya, plonga-plongo tak tahu-menahu.

"Sumbu datar atau sumbu x menunjukkan jumlah unit barang, sedang sumbu tegak atau sumbu y menunjukkan pendapatan penjualan dan biaya dalam rupiah. Perpotongan garis pendapatan penjualan dan biaya menunjukkan titik impas atau break even point."

Bagas diam dan menelisik raut wajah Kayla yang terkesan ragu-ragu dengan jawabannya. Tatapannya begitu garang dan seakan hendak meluapkan kemarahannya. Kayla menunduk, merasa tak enak hati bercampur takut. Setiap kali menghadap dosen satu itu, selalu ada rasa takut, cemas, panik, dan gugup. Kadang Kayla tak mengerti, kenapa dia bisa setakut ini menghadapi Bagas. Setiap jawaban yang diberikan selalu dimentahkan.

Bagas membanting lembar-lembar skripsi itu di meja dengan kerasnya hingga membuat Kayla kaget bukan kepalang. Jantungnya seolah berpacu lebih cepat. Dadanya berdebar saking takutnya.

"Jawaban apa itu? Saya minta kamu menjelaskan dengan rinci tentang hasil analisis dan metode perhitungan Break Even Point di skripsi kamu. Saya ingin tahu lebih jelas hasil penelitian kamu. Bukan malah menerangkan secara teoritis dan menyalin apa yang ada di literatur!" Nada tegas itu terdengar menusuk hingga ujung hati Kayla yang terdalam.

"Semua biaya yang kamu terangkan di sini, entah biaya tetap maupun variabel juga masih kurang jelas menurut saya. Belum lagi penentuan harga jual yang juga rancu metodenya. Sekarang kamu jelaskan kenapa kamu menggunakan metode grafis untuk menghitung Break Even Point?"

Kayla yang sudah terlanjur takut, panik, cemas, dan gugup semakin kehilangan konsentrasi untuk menjawab. Ia tak bisa berpikir jernih. Semua yang ia pelajari seolah menguap, tak ada satu pun yang tertinggal.

"Jawab!" bentak Bagas.

Kayla semakin takut. Nyalinya yang sudah ciut untuk menjawab semakin amblas hingga titik minus.

"Eh...eh...ka...ka....karena..... Me...me.... metode ini yang paling.... paling mudah," jawab Kayla gelagapan.

BRAAAKKK....

Untuk ketiga kalinya Bagas membanting draft skripsi itu keras-keras hingga lembaran skripsi yang sudah tertata rapi berhamburan di lantai.

Kayla terperanjat. Sungguh ia tak menyangka, Bagas akan bersikap sekasar ini padanya. Dia sudah terbiasa menghadapi sikap jutek Bagas yang tak pernah ramah. Namun baru kali ini Bagas bersikap sedemikian galak dan kasar hingga membanting skripsinya tiga kali. Ia cemas dan ketakutan, tak berani menatap Bagas yang sudah diselimuti amarah di kedua matanya.

"Saya tidak butuh jawaban seperti itu! Rusak...! Rusak semua..! Skripsi kamu rusak..!!!! Saya nggak mau terima skripsi rusak dan berantakan seperti ini! Ini semua nggak ada harganya buat saya! Saya yakin kamu bahkan nggak paham sama isi skripsi kamu sendiri. Otak kamu itu kosong dan nggak pernah mempelajari skripsi kamu." Mimik penuh murka itu masih mendominasi wajah tampan sang dosen yang saat sedang marah begini, ia terlihat begitu menyeramkan.

Kayla tertunduk. Air matanya sudah berkumpul di kedua sudut matanya tapi ia tahan sekuat tenaga agar tak jatuh.

"Silakan keluar, perbaiki semuanya baru menghadap saya lagi!" tandas Bagas masih dengan nada keras.

Kayla menunduk, "Baik, Pak. Terima kasih." Gadis itu beranjak lalu memunguti lembar per lembar skripsi itu dengan hati hancur berkeping-keping.

Setelah keluar dari ruangan Bagas, ia bergegas menuju toilet dan menumpahkan tangisnya di sana.

******

Dua bulan kemudian...

"Pak Bagas...." Agni, dosen perempuan berusia 42 tahun menyapa Bagas yang tengah berjalan di koridor.

"Bu Agni, ada apa, Bu?"

"Begini Pak Bagas, sudah dua bulan ini, Kayla nggak pernah ngadep saya lagi. Dia menghadap Bapak atau tidak? Saya tanya ke temannya yang masih skripsi juga katanya sudah dua bulan Kayla tidak datang ke kampus. Nomornya juga tidak aktif. Medsosnya pun tak ada yang aktif. Mungkin Bapak tahu keberadaannya. Padahal skripsinya sudah saya ACC."

Deg...

Bahkan Bagas baru ingat dia memiliki mahasiswi bimbingan bernama Kayla. Otaknya bekerja untuk mengingat kembali kejadian dua bulan yang lalu, pertemuan terakhirnya dengan Kayla. Tentu ia masih ingat, saat itu ia marah-marah pada gadis itu karena tak bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan ekspektasi. Ia bertanya-tanya apa gadis itu menghilang tiba-tiba karena ada hubungannya dengan sikapnya?

"Saya juga nggak tahu, Bu. Memang sudah lama Kayla tidak menghadap saya."

"Aduh... Apa perlu ya saya minta data Kayla. Biar saya susul ke rumahnya." Agni  masih memiliki kepedulian pada mahasiswi yang dikenal pendiam itu.

"Iya, Bu, silakan." Bagas tak begitu peduli dengan Kayla. Baginya mahasiswa yang menyerah hanya karena gertakan adalah mahasiswa manja dan tak memiliki daya juang tinggi.

******

Agni benar-benar meminta data Kayla dan mendatangi alamatnya. Sayang beribu sayang, Kayla sudah tak lagi tinggal di tempat itu. Berdasar keterangan tetangga, ibu Kayla meninggal dua bulan yang lalu karena sakit liver yang sudah lama diderita. Rumah Kayla kebakaran satu minggu setelah ibunya berpulang karena rembetan api dari rumah tetangga yang kebakaran. Alhamdulillah Kayla selamat dari kebakaran itu. Rumah beserta isinya ludes. Sepasang suami istri lanjut usia yang sering membantu Kayla dan almarhumah ibunya merasa iba dan bersimpati pada nasib Kayla. Mereka membawa Kayla ke kampung halaman untuk tinggal bersama. Sayangnya tak ada yang tahu nomor handphone maupun alamat kampung halaman dari sepasang suami istri lanjut usia yang mengajak Kayla tinggal bersama.

Bagas yang mendengar cerita Agni tentang musibah yang menimpa Kayla pun terdiam, tak mampu berkata-kata. Ia masih punya hati kendati pembawaannya dikenal ketus dan tak punya belas kasih. Namun jauh di lubuk hatinya ia pun bersimpati meski juga menyayangkan sikap Kayla yang memilih meninggalkan skripsinya.

Dosen itu tak mau berlarut-larut memikirkan bagaimana nasib Kayla selepas musibah ini. Ia yakin jika Kayla sudah siap datang ke kampus, gadis itu pasti kembali. Dia masih memiliki segudang urusan lain yang juga harus diselesaikan. Untuk sementara ia akan melupakan sejenak, bahwa ia pernah membimbing Kayla dalam menyusun skripsi. Ia tak mau pikirannya tersita oleh satu mahasiswi yang tak diketahui di mana rimbanya.

******

Setahun kemudian...

Seorang gadis membawa satu nampan dengan dua gelas jus jeruk di atasnya. Ia melangkah menuju satu meja dan menghidangkan dua gelas jeruk tersebut pada dua mahasiswa yang memesannya. Butuh keberanian untuknya menerima tawaran mengelola kantin milik sepasang suami istri yang menampungnya untuk tinggal di rumah mereka. Ada rasa trauma menjejakkan kaki di universitas terutama ketika bertemu dengan dosen-dosen pria yang masih lajang. Ia teringat akan sikap kasar mantan dosen pembimbingnya.

Ia ingin membalas jasa sepasang suami istri yang ia panggil "Eyang" karena telah membantu biaya pengobatan ibunya semasa ibunya masih hidup juga menampungnya di saat ia tak memiliki apa-apa pasca kebakaran yang membumi hanguskan rumah beserta isinya. Ia menerima mandat Eyang untuk mengelola kantin di salah satu universitas bersama dua orang kerabat sang eyang.

Gadis itu bersyukur bisa melalui serangkaian kejadian yang membuatnya trauma dan terjerembab ke palung luka yang begitu dalam. Pasca menghadap Bagas, ia tak berani lagi menyambangi kampus karena terlanjur takut dan trauma digertak begitu kasar oleh sang dosen. Ditambah ibunya meninggal tak lama selepas itu. Lalu kebakaran yang membuatnya berpikir, apa ia masih waras setelah kejadian mengenaskan menyapa berulang. Hanya eyang putri dan eyang kakung yang masih peduli padanya, bahkan pernah mengajaknya ke psikiater karena ia trauma berat yang membuatnya sering mengurung diri di kamar dan menarik diri dari sosial.

Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu ia perlahan bangkit dan membuka lembaran baru kendati masih sering dihantui kecemasan dan ketakutan kala teringat kejadian-kejadian pahit yang pernah singgah.

Kayla mengelap salah satu meja yang sudah ditinggalkan tiga mahasiswi. Obrolan salah satu kelompok mahasiswi yang duduk di salah satu sudut menggetarkan gendang telinganya.

"Kemarin aku diajar dosen baru, sumpah ganteng banget. Cambangnya tipis-tipis manja, suaranya tegas, kharismatik, dan tatapan mata setajam elang, tapi juga sendu di suatu waktu. Bakalan betah deh ikut kuliahnya."

"Siapa nama dosennya?" tanya salah seorang teman mahasiswi tersebut antusias.

"Namanya Wisanggeni Bagaspati," jawab sang mahasiswi mantap.

Untuk sesaat, Kayla merasa dunia berhenti berputar.

******

Lanjut gak? Hehehe... Karakter dosen satu ini arogan ya, galak, cuek, kurang peduli, beda sama Argan hahaaha.

Voment kalau emang ingin dilanjutkan, makasih 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro