Part 8
"Bagas, coba kamu kenalan dulu sama Mustikawati, dipanggilnya Tika. Ibu suka sama gadis itu. Namanya juga pas. Dalam dunia wayang Wisanggeni itu kan menikah dengan Dewi Mustikawati. Ibu lihat, dia juga baik dan sopan. Dia itu guru SMA sekaligus penulis. Umurnya 26 tahun. Serasi sama kamu yang juga dosen, sama-sama bekerja di dunia pendidikan."
Bagas terdiam mendengar penuturan ibunya di telepon. Ibunya hanya ingin mengenalkannya dengan sosok perempuan. Guru SMA yang dibicarakan oleh ibunya ini adalah guru dari Reza, ponakannya. Reza adalah anak dari kakak sepupu Bagas. Jika hanya dikenalkan, rasanya tak elok bila Bagas langsung menolak. Penolakannya hanya akan mengecewakan sang ibu.
Nama "Kayla" kembali mengacaukan pikiran. Hanya Kayla yang sanggup mencuri waktunya untuk kembali merenung, memikirkan tentang langkah berikutnya yang akan ia tempuh untuk menaklukkan hati gadis itu. Namun ia juga bukan tipe pemaksa, kendati ia ingin memaksa mantan mahasiswi bimbingannya ini untuk menerima lamarannya. Ia sadar sepenuhnya, hati Kayla masih bebas dan gadis itu juga memiliki hak untuk memilih dermaga, tempat ia melabuhkan kapal cintanya. Hanya saja, sebagai laki-laki, Bagas juga butuh kepastian. Kayla selalu menggantung perasaannya. Seolah gadis itu memiliki rasa, tapi juga enggan mengatakan "ya". Sementara ada hati lain yang harus Bagas jaga, semisal hati sang ibu yang sudah mendesaknya mencari istri.
Bagas kembali teringat akan perkataan Reino di kantin yang hendak bertandang ke rumah eyang Kayla. Tak bisa dipungkiri, cemburu itu mungkin telah membabat habis ketenangannya hingga menyisakan segumpal resah dan kecemasan. Bagaimana jika Reino mengajak Kayla makan di luar? Atau mungkin nonton film di bioskop? Dan di dalam bioskop, Reino memanfaatkan kesempatan untuk mencium Kayla? Tidak... Tidak... Bagas tak sanggup membayangkan. Ingatannya justru berselancar ke waktu di mana ia hampir mencium Kayla. Barangkali jika waktu itu ia benar-benar mencium Kayla mungkin gadis itu akan merasa terikat padanya. Bagas menepuk dahinya, menyadarkannya untuk tidak berpikir macam-macam.
"Bagas...."
Panggilan sang ibu dari ujung telepon membuyarkan serangkaian lamunan yang telah terbangun tinggi.
"Ya, Bu."
"Kamu bisa kan pulang ke Bandung Sabtu minggu ini ? Mau ada arisan di rumah. Nanti Ibu bisa mengenalkanmu ke Tika."
Bagas menghela napas, "Insya Allah, Bu."
"Ya, udah, Ibu mau nerusin masak. Kamu jangan lupa makan teratur, ya. Kalau kamu nikah nanti, Ibu bisa lebih tenang ada yang masak buat kamu."
"Iya, Bu. Bagas selalu makan teratur, kok. Ibu dan Bapak juga, jaga kesehatan."
"Pasti, Nak. Ya udah, nanti disambung lagi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Bagas menerawang langit-langit dengan sejuta tanya. Apa yang sedang dilakukan Kayla sekarang? Mau kirim pesan whatsapp, rasanya sungkan, apalagi tadi siang ia sempat kecewa pada gadis pujaannya itu.
******
Kayla tengah menyiapkan barang dagangan seorang diri. Bagas memperhatikannya dari jarak yang jauh. Ia menduga Asih dan Anto belum datang. Ia terkesima pada kecekatan Kayla mengerjakan segalanya. Entah kenapa, setiap kali memperhatikan gadis itu, rasa bersalah yang bercampur dengan simpati dan rasa cinta semakin membelenggu, terkadang menembus batas akal sehatnya, membuatnya ingin sekali mendekati Kayla dan mengungkapkan segalanya.
Bagas memangkas jarak. Ia mematung di depan Kayla dan membuat gadis itu terkejut. Tampak benar usaha mantan mahasiswi bimbingannya ini untuk bersikap setenang mungkin.
"Kenapa selalu diam saat saya datang?"
Kayla tak menjawab. Gerak terampil jari-jarinya yang awalnya begitu teratur mengelap piring kini seakan melambat seiring rasa gugup yang melanda.
Bagas kembali memangkas jarak. Kini ia berdiri di sebelah Kayla dan membuat gadis itu tak berkutik.
Dengan pendar mata yang selalu penuh cinta, Bagas kembali melumpuhkan sang gadis yang lagi-lagi tak berani menatap manik bening yang tertuju penuh padanya. Kayla tahu, Bagas tengah menunggunya bicara.
"Sekali lagi aku tanya, will you marry me?"
Kayla menoleh sang mantan dosen pembimbing. Kilat cahaya di matanya seolah bertanya apakah Bagas serius? Pertanyaan ke sekian yang sebenarnya membuat keraguannya semakin terkikis.
Bagas meneliti setiap inci wajah Kayla, mencari-cari adakah jawaban "ya" terlontar dari matanya? Karena bibir ranum itu masih terkatup dan sepertinya enggan untuk menjawab.
Entah keberanian dari mana, tapi Bagas kehilangan kendali. Ia kecup bibir Kayla dan melumatnya perlahan, tak peduli saat ini sedang berada di mana. Dan satu surprise untuk Bagas, Kayla membalas ciuman itu dengan gemuruh tak menentu, Bagas bisa mendengar detak irama jantungnya yang berpacu lebih cepat.
Jari-jari Bagas bergerak perlahan, mengusap punggung Kayla sembari membimbing gadis itu ke belakang kantin. Rasanya ia butuh tempat yang lebih privasi untuk menuntaskan semuanya bersama Kayla.
Rasanya tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata ketika apa yang ia awali bersama Kayla berakhir dengan sesuatu yang lebih intim dan tak terbayangkan bagi Bagas, ia melakukannya bersama Kayla. Hingga akhirnya mata itu mengerjap dan menyadarkannya bahwa ia tengah berada sendirian di kamar, baru ia menyadari, Kayla baru saja mengobrak-abrik pertahannya di alam mimpi. Bagas merutuki diri sendiri, ketika mendapati celananya basah dan ia harus mandi sebelum adzan Subuh berkumandang.
Bagas mengusap wajahnya dengan senyum mengejek. Ya, mengejek diri sendiri setiap kali mimpi basah. Biasanya pasangan dalam mimpinya tak jelas, kali ini ia melakukannya dengan Kayla, dengan catatan "di mimpi". Ia berpikir, jika nanti ia menikah mungkin frekuensi mimpi basahnya akan berkurang karena sudah tersalurkan. Namun ia tersenyum bahagia. Mimpi itu serasa begitu nyata.
******
Bagas Berangkat ke kampus seperti biasa. Hari ini ia mengajar di tiga kelas. Ketika ia berjalan di depan kantin, ekor matanya melirik ke arah Kayla yang tengah mengelap piring. Sosok Kayla yang begitu berbeda di dalam mimpi semalam tiba-tiba menelusup ke benak. Bagas beristighfar. Bagaimana bisa dosen berwibawa sepertinya mendadak punya pikiran kotor, berimajinasi seandainya Kayla bersikap agresif seperti di mimpi. Bahkan sejenak ia membayangkan, barangkali jika mereka menikah, Kayla bakal seperti ini... menggairahkan saat di ran****. Priittttt..... Bagas menggeleng, ada yang tak beres dengan otaknya. Dia meyakinkan diri, dia benar-benar mencintai Kayla, bukan semata untuk mengejar status halal agar dapat bercinta dengan Kayla seperti di mimpi.
Pemandangan lain kembali membakar hatinya kala ia melihat Reino masuk ke dalam kantin. Lagi-lagi ia terlambat. Rasa sesak itu semakin menghimpit. Berbagai prasangka menguar. Mungkin antara Kayla dan Reino memang ada hubungan. Ia bisa apa jika Kayla lebih memilih Reino? Apa ia harus mundur dan mencoba mengenal Mustikawati lebih dekat?
Kayla menoleh ke arah Bagas. Debaran itu kembali menguasai. Ia takut, laki-laki itu kembali salah paham melihat Reino berada di kantinnya. Dosen satu itu ingin sarapan di kantinnya dan tidak ada pembicaraan pribadi apapun. Namun Kayla takut, Bagas akan mengartikan lain.
Saat jam rehat tiba, Kayla mengantar soto pesanan dosen-dosen di ruang dosen III, ruang besar di mana ada ruang kerja Bagas di dalamnya. Kali ini ia merasakan desiran yang lebih kuat. Deg-degan tak menentu.
Setiba di ruang dosen, hanya ada Bagas dan Pak Ridwan, dosen lain belum kembali ke ruangan. Kayla meletakkan empat porsi soto di meja.
"Terima kasih Mbak Kayla," Pak Ridwan tersenyum dan mengangguk.
"Sama-sama, Pak." Kayla beralih menatap Bagas yang menatapnya datar. Entah kenapa ada rasa sakit melihat Bagas sedingin ini padanya. Tak ada satupun senyum yang terulas.
"Saya... Saya ingin bicara dengan Pak Bagas." Kayla memberanikan diri mengutarakan apa yang mengganjal.
Bagas terkesiap, begitu juga Ridwan yang membulatkan mata dan menatap keduanya bergantian. Dari cara Bagas dan Kayla saling menatap, Ridwan mencium ada sesuatu di antara keduanya. Ridwan cukup tahu diri, ia persilakan Kayla untuk duduk, lalu berjalan menuju ruang kerjanya dengan satu mangkok soto dalam genggaman.
Baik Bagas maupun Kayla masih terdiam. Atmosfer terasa lebih canggung tapi percikan cinta itu tetap terasa hangat.
"Saya... Saya ingin bicara soal Mas Reino," ujar Kayla.
Bagas tak merespons. Namun ia siap mendengar apapun yang akan Kayla ucapkan.
"Mas Reino kemarin pesan snack dan kotak nasi. Mas Reino ambil sendiri ke rumah karena nggak mau ngrepotin saya atau Anto. Jadi Mas Reino datang ke rumah murni untuk mengambil pesanan saja, tidak ada hal lain...."
Melihat Bagas yang masih membisu, Kayla pun bingung. Ia rasa penjelasannya sudah cukup jelas. Atau mungkin ia juga harus menjelaskan tentang kedatangan Reino pagi tadi di kantin.
"Tadi pagi Mas Reino ke kantin cuma ingin sarapan saja, tidak ada hal lain," lanjut Kayla, meski ia tak tahu apa ia perlu menjelaskan soal ini.
Bagas masih bertahan dengan sikap diamnya. Ia menatap Kayla yang juga menatapnya, seolah mengunggu reaksinya. Gadis itu kembali menunduk.
"Kenapa kamu cerita soal ini ke saya?" tanya Bagas. Singkat tapi cukup membuat Kayla kehabisan kata-kata. Sejenak kayla menyadari, untuk apa ia menjelaskan semuanya? Sementara tak ada status hubungan apapun antara mereka.
"Saya... Saya.... Saya hanya nggak ingin Bapak salah paham," jawab Kayla terbata.
"Kenapa kamu nggak ingin saya salah paham dan kenapa saya harus salah paham?"
Kayla tertegun. Rasa-rasanya pertanyaan Bagas kali ini lebih menyeramkan dibanding saat dulu masih menjadi dosen pembimbingnya.
"Saya... Saya rasa memang perlu menjelaskan apa yang perlu saya jelaskan. Bapak kemarin sepertinya marah waktu Mas Reino bilang mau datang ke rumah. Mungkin Bapak berpikir yang macam-macam...."
"Kenapa saya harus berpikir macam-macam?" cecar Bagas.
"Karena... Karena... Karena Bapak pernah meminta saya menjadi istri Bapak. Jadi rasanya wajar kalau Bapak cemburu dan berpikir macam-macam." Kayla mengembuskan napas perlahan. Ia tak berniat bicara seperti ini, tapi cercaran Bagas membuatnya buntu, tak menemukan kata lain.
"Toh kamu juga belum menerima saya, kenapa harus takut saya berpikir macam-macam? Atau kamu memang sebenarnya nggak ingin kehilangan saya dan mau menikah sama saya?" tatapan Bagas tepat menancap di kedua mata Kayla.
Gadis itu membeku, bibirnya serasa kelu. Apa ia harus mengakui secara terang-terangan, bahwa jauh di lubuk hatinya, ia takut kehilangan Bagas?
"Saya.... Saya...." Kayla menunduk. Rasanya ia kehilangan keberanian untuk sekadar membalas tatapan Bagas.
Ridwan mendengar obrolan keduanya dari ruang kerjanya dan kini ia paham, ada sesuatu antara Bagas dan Kayla. Reino kalah beberapa langkah dari Bagas.
"Saya cinta kamu Kayla dan saya harap kamu mau menerima saya." Bagas menatap tajam gadis yang tengah tertunduk itu.
Kayla mengangkat wajahnya perlahan. Hatinya bergetar mendengar ucapan Bagas.
"Saya senang kamu mau menjelaskan, itu artinya kamu menghargai perasaan saya," lanjut Bagas. Senyum tipis terlukis dari kedua sudut bibirnya.
Kayla masih terdiam.
"Kamu mau menikah sama saya? Tolong kasih saya kepastian. Nggak enak rasanya digantung, Kay." Dua manik bening Bagas menyorot kedua mata Kayla.
Gadis itu menatap Bagas tanpa suara tapi ia tengah mencari jejak keseriusan di wajah sang mantan dosen pembimbing. Harusnya ia tak lagi ragu karena ia bisa membaca jelas gurat kesungguhan itu.
Kayla mengangguk, "Saya bersedia, Pak."
Bagas tersenyum lebar. Sementara Ridwan yang tengah melahap soto di ruangannya tak dapat menyembunyikan euforianya.
"Suit... Suit....," ledek Ridwan.
Kayla tersipu malu, sementara Bagas masih menatapnya lekat.
"Kenalkan saya sama ayah kamu, Kay. Saya juga akan mengenalkanmu pada orang tua saya," tandas Bagas dengan senyum yang masih tersungging.
Ada rasa yang bergemuruh di dada Kayla. Mengenalkan Bagas pada ayahnya? Bahkan ia sendiri tak pernah menjenguk ayahnya di penjara karena rasa kecewa dan sakit itu sudah terlanjur melukai begitu dalam.
******
Nunggu voment agak banyakan baru dilanjut. Maaf aku slow update karena sejak aktif kuliah, tugas itu selalu berjibun. Rasanya gak konsen nulis kalau tugas belum selesai. Ini aku lagi rehat sehari setelah tiga malam berturut-turut begadang ngerjain tugas, jadi refreshing nulis kelanjutan cerita aja. Nanti bakal bergelut dengan tugas-tugas lagi. Makasih atas pengertiannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro