Part 13
Maaf banget lama update. Banyak kesibukan dan Kamis kemarin suami kecelakaan, jadi ga bisa nulis dulu. Alhamdulillah sekarang udah baikan, cuma kakinya yg lecet dan sakit. Alhamdulilah bgt, agen yg langganan cireng kita datang sendiri ke rumah utk mengambil cireng setelah tahu suami kecelakaan waktu nganter cireng ke sana. Pokoknya bersyukur bgt, Allah masih kasih umur untuk suami, masih diberi keselamatan meski dia ditabrak begitu keras dari belakang. Motor bagian belakang yang rusak. Dan jalur yang dilewati suami memang rawan kecelakaan.
Maaf banget ini part pendek 🙏
Kayla mulai sibuk mencari-cari tempat penelitian. Dosen pembimbing pertama adalah dosen baru, pindahan dari universitas lain, 29 tahun, lajang, dikenal playboy dan pilih kasih. Semua mahasiswa sudah sangat paham akan sikap lunaknya pada mahasiswi-mahasiswi cantik. Dia hanya tak suka satu hal, perempuan mau secantik bidadari khayangan sekalipun, jika mengenakan jilbab, dia tak akan menyukainya. Ia pernah ditolak wanita berjilbab dan penolakan itu begitu menyakitkan.
Dosen pembimbing keduanya adalah dosen yang lebih senior, namanya Gunawan, sudah berkeluarga dan memiliki tiga anak.
Kayla bersyukur memiliki teman kost yang satu program studi dengannya, yang juga tengah menyusun skripsi. Ia merasa terbantu dengan sikap bersahabat teman satu kostnya itu.
Kayla akui, menjalani hubungan jarak jauh dengan Bagas itu tak mudah. Kesalahan kecil dalam berkomunikasi bisa menjadi penyebab retaknya hubungan. Misalnya saja saat Bagas salah mengetik. Niat hati mengetik, jangan lupa makan, ya, yang keluar jangan lupa makan, ta. Kayla seketika membalas, ta siapa? Cinta? Tata? Tita? Ata? Rita? Nita? Vita? Mita? Bahkan ketika Bagas salah mengetik, lagi pusing, ni menjadi lagi pusing, mi. Kayla membulatkan mamanya. Mami siapa? Ada mami lain? Hal yang lucu karena Bagas pun tak pernah memanggil Kayla "mami".
Kunci ada di saling percaya dan saling menjaga hati. Bagas kerap memberi Kayla pengertian bahwa sekarang saatnya untuk Kayla fokus pada skripsinya, sedang Bagas fokus mengumpulkan biaya untuk pernikahan juga kehidupan setelah menikah. Tak kalah penting adalah persiapan mental dan fisik, juga upaya yang terus diselancarkan untuk meyakinkan kedua orang tuanya.
Kayla sendiri bersyukur dapat kembali ke Bandung, meneruskan studinya yang sempat terhenti. Ia juga memiliki kesempatan untuk menjenguk ayahnya kapanpun yang ia bisa.
Hari ini Kayla berangkat ke kampus untuk mengajukan usulan penelitian, atau lebih familiar disebut pengajuan judul oleh mahasiswa. Ia berharap judulnya akan mudah di-acc. Ketika menapakkan kaki di sepanjang koridor, nostalgia semasa kuliah dulu menari-nari di benak. Ia teringat bagaimana dulu selalu gugup saat hendak menemui Bagas. Kini ia akan menghadap Rakha Pradhipta, dosen yang dikenal playboy itu.
Setiba di ruang dosen, sudah ada mahasiswi lain yang menunggu. Rakha yang melangkah dari ujung depan, tersenyum ramah pada mahasiswi tersebut dan menyuruhnya masuk. Kayla menunggu di luar. Samar terdengar suara sang mahasiswi yang menyebutkan judul cerita. Penelitian sama dengannya yang mengambil penelitian kualitatif. Sesekali terlontar canda tawa juga. Kayla berpikir jika karakter dosen pembimbingnya yang satu ini senang bercanda dan tidak segalak Bagas sewaktu menjadi dosen pembimbingnya.
Sekitar lima belas menit kemudian, mahasiswi tersebut keluar ruangan. Giliran Kayla yang masuk ke dalam. Rakha mengamati gadis manis itu sepintas. Ia telah mendapatkan informasi bahwa Kayla dulu pernah vakum kuliah selama setahun. Mata tajamnya yang selalu awas menilai perempuan tak bisa berbohong, gadis itu memang cantik dengan sepasang alis simetris dan tebal, dua mata bulat dan bening, serta bibir yang.... "sensual" di matanya. Entah kenapa ia senang memperhatikan lekat-lekat bibir perempuan yang seolah seperti candu dan membuatnya ketagihan untuk mencicipi. Hanya satu yang Rakha tak suka. Gadis itu berjilbab.
Rakha mempersilakan Kayla untuk duduk. Ia menatap Kayla datar.
"Sudah sampai mana?" tanya Rakha hampir tanpa ekspresi.
"Mengajukan usulan penelitian. Kemarin saya disarankan untuk bimbingan sama Bapak." Kayla menyerahkan lembaran usulan penelitian.
Rakha melirik judul yang tertulis di atas kertas lalu kembali menelisik wajah Kayla yang natural tanpa make up. Entah kenapa, Kayla tak nyaman ditatap seperti ini. Ia sudah mendengar selentingan kabar bahwa sang dosen di hadapannya ini dikenal mata keranjang. Namun ia tak mau memikirkan lebih dalam. Ia hanya ingin serius mengikuti bimbingan.
"Saya kok nggak sreg ya sama judulnya," ucap Rakha datar.
Kayla hendak berbicara tapi sang dosen seolah tak memberinya kesempatan untuk bicara.
"Kalau bisa kamu ganti, ya."
"Bukannya ini bidang Bapak? Saya direkomendasikan untuk bimbingan sama Bapak karena Bapak biasa menangani penelitian kualitatif." Kayla memberanikan diri untuk bicara.
"Saya bisa menerima penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif. Saya ingin kamu ganti penelitian kuantitatif saja," cetus Rakha.
Kayla mengernyit. Rasanya kepalanya sudah terlalu penuh dengan bayangan akan judul-judul penelitian yang bisa diambil. Dia mantap ingin mengajukan penelitian kualitatif karena masih ada sisa trauma akan penelitian kuantitatif yang pernah ia kerjakan, begitu menguras waktu dan pikiran.
"Barusan saya dengar mahasiswi yang konsultasi sebelum saya, diberikan izin sama Bapak untuk mengajukan penelitian kualitatif."
Rakha tak menyangka mahasiswi bimbingannya ini punya nyali juga untuk mengutarakan protes halus.
"Terus kenapa? Suka-suka saya dong mau menerima usulan penelitianmu atau tidak. Tak perlu membandingkan usulanmu dengan mahasiswi bimbingan saya yang lain." Nada bicara Rakha terdengar ketus.
Tiba-tiba Kayla teringat akan ucapan Sherly yang mengatakan bahwa Rakha menyukai mahasiswi cantik yang mengenakan pakaian sedikit seksi. Kayla mengingat kembali mahasiswi sebelumnya yang mengenakan kemeja ketat dan celana jeans ketat. Wajah mahasiswi itu juga cantik dengan make up dan bibir merah terang. Tentu ia tak akan memoles dirinya menjadi seperti mahasiswi yang lebih dulu konsultasi dengan Rakha. Dalam hati ia membenarkan perkataan Sherly.
"Baik, Pak." Hanya jawaban singkat yang Kayla berikan.
"Kalau udah dapat judul lain yang lebih bagus, silakan menghadap saya lagi," ucap Rakha tanpa menoleh.
Kayla mengangguk, "Baik, Pak."
Rakha melirik pintu dan menggerakkan telapak tangannya ke arah pintu, pertanda ia mempersilakan Kayla untuk keluar.
Kayla mengerti maksud Rakha. Ia mengangguk sekali lagi.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu." Kayla beranjak dan keluar ruangan.
Sepanjang jalan pulang menuju kost, Kayla kehilangan mood. Sungguh, ia tak habis pikir mendapatkan dosen pembimbing yang sangat menyebalkan.
Setiba di kost, ia menelepon Bagas. Rasanya ia ingin menumpahkannya segala kekesalannya.
"Kay, kenapa? Dari tadi kamu bilang bad mood terus." Suara Bagas di ujung telepon terdengar begitu nyaring.
"Gimana nggak bad mood, Mas. Dosen pembimbingku songongnya minta ampun, nyebelin. Kok ya setiap dapat dosen pembimbing selalu nyebelin."
"Berarti Mas nyebelin, dong?"
Kayla menyadari ia baru saja salah ucap.
"Ya, dulu waktu masih jadi dosen pembimbing Kayla memang nyebelin. Sekarang mah, enggak."
"Dulu kan nyebelin, sekarang apa?" Bagas memancing Kayla untuk menuturkan hal baik tentangnya.
"Sekarang apa, ya..." Kayla memutar bola matanya.
"Hayoo apa? Sekarang ngangenin, kan?"
"Nggak... Nggak...."
"Nggak salah lagi." Tawa Bagas pecah.
"Mas Bagas ke-GR-an."
"Emang faktanya begitu," balas Bagas santai.
"Iya deh ngangenin. Kayla juga, kan? Ngangenin."
"Ngangenin banget. Mas kangen banget sama kamu."
Kayla tersipu mendengarnya.
"Udah dulu, ya, Kay. Mas mau ngajar lagi."
"Iya, Mas."
"I love you..."
"I love you too..."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Setelah berbincang dengan Bagas di telepon, ada satu pesan WhatsApp dari Mustika. Bagas pernah mengenalkan mereka agar tak ada lagi salah paham. Keduanya pun bertukar nomor handphone.
Kayla, bisa nggak ketemu sore ini di coffee shop depan kampusmu?
Kayla menyipitkan matanya, menerka-nerka apa yang hendak dibicarakan Mustika. Kayla membalas pesan WhatsApp tersebut.
Iya, boleh.
******
Kayla berjalan memasuki coffee shop yang buka 24 jam. Dekorasi interior tempat favorit para mahasiswa itu terlihat begitu elegan dan artistik. Kayla tersenyum kala retina matanya menangkap bayangan Mustika yang duduk di salah satu sudut.
"Hai..." Kayla melambaikan tangan.
"Hai, Kayla." Mustika tersenyum lebar dan berdiri.
Di saat yang sama, Mustika melihat seseorang memasuki coffee shop dan berjalan di belakang Kayla. Seseorang yang pernah ia benci dan ia tak menyangka akan melihat orang itu lagi.
Di saat yang sama, seseorang itu pun terkejut melihat gadis yang pernah menguasai singgasana hatinya. Bagi seorang Rakha Pradhipta, Mustikawati adalah satu-satunya gadis yang pernah menghancurkannya karena penolakannya. Ia tak akan pernah bisa menerima keputusan Mustika yang menolaknya untuk seorang driver ojek online bernama Irhaz.
*******
Oya, untuk penulis yang punya cerita di wattpad tapi view nggak mencukupi untuk dipost di dreame atau punya cerita yang belum pernah dipublikasikan di manapun dan ingin mendapat kesempatan meraih banyak bonus juga royalti dari dreame, bisa kontak aku di inbox ya. Nanti aku jelaskan lebih detail lewat WA.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro