Part 11
Pembaca mulai pada minta cerita Tika-Irhaz wkwkwk. Untuk sekarang belum dulu. Soalnya mau fokus dulu di konfliknya Bagas dan Kayla. Tapi karena ada kaitannya dengan Tika-Irhaz ya nanti ada kok cerita mereka di sini. Cuma kalau untuk cerita sendiri, mungkin bukan sekarang. Mungkin kalau Bagas Kayla udah adem konfliknya, baru aku pikirin apakah Tika Irhaz mau dibikin cerita apa gak. Kisah mereka baper juga n penuh haru juga sih kalau dibikin sendiri karena penuh perjuangan. Tapi mungkin itu project nanti ya. Yang jelas sekarang Tika-Irhaz jadi peran figuran dulu di sini.
Tika menitikkan air mata. Entah berapa banyak yang tumpah. Tapi malam ini, ia duduk merenung di ranjang dan memikirkan nasib cintanya. Orang tuanya sudah menegaskan, kendati perjodohannya dengan Bagas gagal sekalipun, mereka tak akan mau merestui hubungannya dengan Irhaz.
Irhaz adalah laki-laki sederhana yang paling sabar dan pengertian yang pernah ia kenal. Ia mungkin sama dengan laki-laki lain yang selalu bangun lebih awal untuk menundukkan diri di hadapan Sang Maha Pencipta sebelum beraktivitas. Ia juga sama seperti laki-laki lain yang selalu giat bekerja dan memprioritaskan keluarganya. Ia pun sama dengan laki-laki lain yang terkadang tertawa hanya karena melihat stand up comedy, tertawa menertawakan kekonyolan yang baru aja ia lakukan, menepuk dahinya karena lupa membawa handuk ke kamar mandi, atau duduk sejenak di halte untuk meneguk air dalam botol sembari terus mencoba berdamai dengan terik. Ia sama dengan mereka yang mandiri dan bertanggung jawab membiayai ibu dan adik-adiknya. Ia sama dengan laki-laki sederhana yang bahkan tak ingat lagi kapan terakhir kali membeli baju untuk dirinya sendiri.
Laki-laki itu pun sama seperti pemuda lainnya yang juga penuh perencanaan akan masa depan dalam benak. Hanya saja semesta seolah belum mengizinkan untuknya memikirkan diri sendiri, sementara tanggung jawab sebagai anak tertua terasa seperti kumparan benang kusut yang belum jua menemukan titik cerah. Satu adik butuh uang untuk study tour, si kembar juga butuh uang untuk membeli sepatu yang sudah jebol, sementara tusukan jarum dan benang tak bisa lagi menjadi penyelamat. Belum lagi ibunya yang tengah sakit butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit. Sementara sang gadis pujaan masih setia menunggu. Setidaknya ketika dia berhadapan kembali dengan sang calon mertua, ia punya jawaban meyakinkan akan pertanyaan yang dulu pernah terlontar, mau kamu kasih makan apa si Tika dengan penghasilanmu sebagai tukang ojek?
Namun ada satu yang membuat Tika tak bisa berpaling, laki-laki yang selalu dibilang tak sejajar dengannya oleh sang ibu ini justru selalu menjadi supporter terbesar untuknya bersekolah setinggi-tingginya.
Laki-laki itu sebenarnya punya potensi dengan kecerdasan akademik yang menonjol semasa SMP juga kecerdasan emosi dan spiritual yang juga bagus. Keputusannya untuk bersekolah di kejar paket C memang bisa dibilang ekstrim. Namun ia tak punya pilihan lain karena menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal. Saat itu dia berumur 15 tahun, satu adiknya berumur 8 tahun, dan dua adiknya yang lain (kembar), masing-masing berumur 5 tahun. Ia hanya bersekolah tiga kali seminggu dan sisanya digunakan untuk bekerja.
Tika teringat saat ia berpamitan sebelum berangkat ke Bandung, Irhaz mengatakan, Aku akan terus berjuang untuk kamu. Jualanku alhamdulillah lagi lumayan ramai. Aku selalu menyisihkan uang untuk ditabung. Tapi aku nggak bisa memaksa semisal kamu nggak bisa lagi menungguku atau mungkin kamu menemukan yang jauh lebih baik dari aku. Aku sadar, dari segala hal kita jauh berbeda. Aku akan terus mencoba meyakinkan orang tuamu. Namun keputusan akhir ada di kamu dan orang tuamu, aku akan menerima apapun keputusannya.
Gadis itu masih saja bergelut dengan segala rasa cemas dan ketakutan akan penolakan orang tuanya yang kesekian kali pada pemuda sederhana itu. Rasanya tak sanggup membayangkan jika dirinya dan Irhaz harus berpisah karena terhalang restu. Seperti Irhaz yang juga tengah berjuang, ia pun akan berjuang.
******
Seminggu berlalu, dengan segala upaya yang telah dilakukan Bagas untuk membujuk Kayla agar mau dikenalkan kepada orang tuanya, akhirnya membuahkan hasil. Kayla mau diajak ke Bandung. Ia ditemani Asih. Bagas telah menyewa satu kamar hotel untuk Kayla dan Asih selama berada di Bandung. Rencananya mereka hanya akan menginap semalam saja.
Gadis itu berdebar bukan main ketika Bagas membawanya ke rumah orang tua mantan dosen pembimbing yang insya Allah akan menjadi calon imamnya. Ia gugup dan berusaha menetralkan segala rasa yang bergemuruh. Cemas, takut, khawatir, resah, seolah seperti campuran rasa yang tak bisa dideskripsikan. Bagas menenangkannya untuk bersikap tenang.
Kayla semakin deg-degan tatkala mobil berhenti di halaman rumah yang cukup luas. Asih menepuk bahunya untuk memberinya support.
"Kita masuk ke dalam, ya." Bagas menyunggingkan senyum lalu keluar dari mobil.
Satu hal yang dirasakan Kayla ketika memasuki rumah orang tua Bagas adalah, ia merasa semakin jauh jika dibandingkan dengan Bagas dari segi status sosial. Rumah itu begitu besar dengan hiasan-hiasan dinding dan perabot yang memiliki nilai estetika tinggi dan pastinya dengan nominal rupiah yang juga fantastis.
Ketika orang tua Bagas menemuinya dan Asih, Kayla sudah bisa merasakan ada yang janggal dari sambutan ibu Bagas. Senyumnya begitu tipis dan tampak benar sangat dipaksakan. Berbeda dengan ayah Bagas yang menyambutnya lebih ramah.
Awal perbincangan, Budi lebih banyak bertanya hal-hal ringan seperti kegiatan Kayla sehari-hari, makanan apa yang Kayla jual di kantin, apakah Kayla memasak sendiri atau tidak, serta tak lupa menanyakan kabar kakek dan nenek angkat Kayla. Nining lebih banyak diam tapi dua mata itu terus mengawasi penampilan Kayla dari atas ke bawah dan seolah tengah menilai setiap incinya.
Hingga akhirnya, Nining tak tahan lagi untuk menanyakan sesuatu yang lebih personal.
"Kamu nggak ingin meneruskan kuliah lagi? Apa nggak sayang? Udah keluar biaya banyak tapi ujung-ujungnya jadi pelayan kantin." Nada bicara Nining terdengar sewot.
Kayla terkesiap. Pertanyaan ini begitu menusuk dan kembali membuka luka lama.
"Kayla tentu ingin melanjutkan lagi, Bu. Cuma sekarang belum waktunya," jawab Bagas mewakili Kayla. Ia tahu, berat bagi Kayla untuk sekadar menjawab.
"Ya bagus itu. Perempuan sekarang juga penting bersekolah sampai jenjang yang tinggi. Seperti Mustika, dia sudah S2 di usia yang masih muda. Kami berencana untuk menjodohkan Bagas dan Mustika," tandas Nining tanpa tedeng aling-aling. Dia tak peduli akan perasaan Kayla yang seketika teriris mendengarnya.
"Dijodohkan?" Kayla terkejut, pasalnya Bagas tak pernah bercerita soal perjodohannya dengan gadis bernama Mustika. Ia melirik Bagas yang duduk di sebelahnya.
"Saya menolak perjodohan itu, Kay." Bagas menatap Kayla tajam. Ia tahu Kayla butuh penjelasan.
"Tolong, Bu, jangan bahas soal perjodohan itu lagi. Baik Bagas maupun Tika sudah sepakat untuk menolak perjodohan." Ada pengharapan besar di mata Bagas bahwa sang ibu dapat mengerem ucapannya agar tak menyakiti perasaan Kayla.
Asih ikut kaget mendengarnya. Rasanya ia sudah bisa membayangkan bahwa ke depan jalan cinta antara Bagas dan Kayla akan tersandung kerikil atau bahkan batu besar untuk bisa sampai ke pelaminan.
"Bapak ibu dan orang tua Mustika sudah sepakat untuk meneruskan perjodohan. Kamu dan Tika hanya perlu mengenal lebih dekat. Kalian lebih serasi. Mustika tidak hanya berakhlak baik, dia juga berpendidikan tinggi dan yang paling penting adalah Mustika ini berasal dari keluarga baik-baik. Tidak ada yang mendekam di penjara!" Intonasi suara itu meninggi, mungkin volumenya tidak seberapa kerasnya, tapi bagi Kayla, ini seperti dentuman bom tak berkesudahan.
"Ibu, tolong jaga lisan," Budi memperingatkan istrinya.
"Apa yang saya katakan benar, kan? Ayah Kayla dipenjara. Pendidikan dia juga di bawah Mustika. Tidak ada kemauan untuk menyelesaikan kuliah. Bagaimana bisa disandingkan dengan Bagas? Apa kata orang kalau kita punya menantu pelayan kantin yang kuliah saja tidak lulus, juga calon besan yang ada di penjara," ujar Nining dengan emosi yang sudah merambat hingga ke ubun-ubun.
Kayla menitikkan air mata. Sungguh, kata-kata ibu Bagas begitu melukai hingga ujung terdalam. Ia sudah menduga semua ini akan terjadi. Siapapun tak ingin memiliki menantu dengan latar belakang keluarga yang tak sebaik harapan juga status sosial dan pendidikan yang tak sepadan.
Bagas tak kuasa melihat Kayla meneteskan air mata dan terdengar isak senggukan yang menyentuh hatinya.
"Bu, Kayla pasti akan melanjutkan kuliahnya. Bagas akan membantu karena Bagas juga bersalah dalam hal ini. Soal ayahnya, Kayla sama sekali tak tahu apa-apa. Ini bukan kesalahan Kayla. Narapidana juga manusia, Bu. Bagas yakin, ayah Kayla pasti banyak belajar untuk memperbaiki diri selama tinggal di penjara." Bagas tak akan berhenti meyakinkan ibunya.
"Pokoknya Ibu tidak setuju kamu memilih Kayla," balas Nining ketus.
"Maafkan saya, Bu. Saya tahu saya tidak pantas untuk Mas Bagas. Jika boleh memilih, saya pun tak ingin terlahir di keluarga broken home. Saya tak punya kuasa untuk mencegah ayah waktu polisi menangkapnya. Tentu jika saya punya kekuatan, saat pembunuhan itu terjadi, saya akan mencegah ayah pergi dengan segala cara yang saya bisa agar ayah nggak bertemu dengan musuhnya dan membunuhnya... Saya akan melakukan segalanya seandainya saya bisa kembali ke waktu itu. Dan saya juga nggak akan meninggalkan kuliah meski saat itu keadaan sangat sulit... Saya nggak menyesali semuanya karena penyesalan tak ada gunanya. Setahun ini saya berjuang menata kehidupan saya dan itu tak mudah. Saya punya harapan untuk membangun masa depan bersama putra Ibu karena saya yakin Mas Bagas bisa membimbing saya. Saya akan membuktikan jika saya pantas untuk Mas Bagas." Kayla menyeka air mata yang tumpah dan semakin deras.
Bagas tak tega melihat Kayla menangis seperti ini. Namun ia senang mendengar Kayla yang akan berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya pantas untuknya meski ibunya sudah melontarkan kata-kata yang begitu pedas dan menyakitkan.
Asih turut mengusap bahu Kayla sebagai bentuk dukungan. Ia tak menyangka Bagas memiliki seorang ibu yang begitu keras kepala dan tak sungkan untuk berkata pedas.
"Maafkan ibunya Bagas, Nak Kayla. Saya yakin Nak Kayla mampu membuktikan bahwa Nak Kayla pantas untuk Bagas. Saya sama sekali nggak mempermasalahkan keadaan ayah Nak Kayla maupun latar belakang Nak Kayla. Semua ini adalah garis kehidupan dan manusia harus menjalani serta memperbaiki diri. Tentu nggak mudah menghadapi semua masalah, dan Nak Kayla bisa bertahan hingga sekarang, itu sangat luar biasa." Budi menatap sayu gadis pilihan putranya yang menangis tersedu-sedu.
"Bapak boleh saja menerima Kayla, tapi saya tidak. Ingat Bagas, ibu yang melahirkan kamu dan ibu nggak ridho kamu memilih Kayla." Nining beranjak lalu berlalu dari ruangan.
Hati Kayla pecah berserakan. Bagas berusaha menenangkan dan menghiburnya. Kayla meminta diantar kembali ke hotel, karena ia merasa perlu beristirahat dan menenangkan pikiran.
Budi meminta maaf sekali lagi sebelum Kayla pamit. Gadis itu mengatakan bahwa ayah Bagas tidak bersalah apapun, justru dirinya yang meminta maaf karena kedatangannya telah mengusik ketenteraman keluarga itu.
Sepanjang jalan menuju hotel, Kayla masih terisak. Bagas semakin merasa bersalah. Ia tahu perasaan Kayla hancur. Namun ia akan selalu berusaha untuk meyakinkan Kayla bahwa apapun rintangannya, Bagas akan terus memperjuangkannya.
Asih lebih dulu pamit masuk hotel, sementara Kayla masih mematung berhadapan dengan Bagas di area parkir.
"Maafkan ibu, Kay. Mas harap kamu masih dan akan terus berjuang bareng Mas. Mas mohon jangan menyerah."
Kayla mengusap jejak-jejak air matanya. Ia menatap Bagas sejenak. Tatapan itu terlihat tajam kendati genangan air mata sedikit memburamkan pandangannya.
"Kayla, mau melanjutkan kuliah lagi, Mas. Apa masih bisa? Apa harus mengulang dari awal atau bisa melanjutkan skripsi Kayla yang dulu tertunda? Atau Kayla harus penelitian lagi dari awal?"
Sejak lamaran pribadi Bagas diterima, Kayla membiasakan diri memanggil Bagas dengan sebutan "Mas".
Ucapan Kayla barusan membuat Bagas menganga sekian detik. Ia tak menyangka gadis itu yang dulu menolak bantuannya untuk kembali kuliah, kini mengatakan bahwa ia akan meneruskan kuliahnya kembali.
"Mas seneng banget kamu ada niat untuk meneruskan kuliah. Mas akan bantu kamu semaksimal mungkin. Mas akan datang ke kampus dan menjelaskan semua. Mas harap pihak universitas masih mau memberi kamu kesempatan. Berapapun biayanya, mungkin termasuk biaya untuk mengganti selama kamu meninggalkan kuliah, akan Mas usahakan." Satu senyum terulas penuh kelegaan. Sejujurnya Bagas takut jika Kayla akan menyerah setelah ibunya mencecarnya dengan kata-kata menusuk. Namun ia lega, Kayla akan terus berjuang bersamanya.
"Soal biaya, Kayla juga punya tabungan. Kayla cuma butuh bantuan Mas Bagas untuk menemani Kayla ke kampus dan meminta izin mereka."
Bagas tersenyum lebih lebar.
"Mas pasti akan bantu. Mumpung kita masih di Bandung, kita akan mengurus semuanya. Mungkin kita perlu dua hari lagi di sini, Mas akan meminta izin dulu dari kampus Purwokerto karena di sini kita masih ada urusan."
Kayla mengangguk pelan, "Makasih, Mas."
"Satu lagi, Kay, kita akan tetap menemui ayahmu..."
Kayla terdiam beberapa menit, lalu senyum terlukis diiringi dengan anggukan pelan.
"Makasih, Kay. Tolong janji sama Mas, kalau kamu nggak akan berhenti berjuang." Bagas menelisik wajah Kayla dengan sepasang mata yang masih sembab.
Kayla mengangguk, "Iya, Mas."
Keduanya saling melempar senyum. Ingin rasanya Bagas memeluk Kayla atau bahkan mencium kening gadis itu. Namun ia tahu, antara dirinya dan Kayla ada batasan yang menghalangi.
Bagas masih tersenyum menatap langkah Kayla yang menjauh menuju gedung hotel. Ia berharap satu per satu batu sandungan itu akan tersingkirkan.
******
Voment ya yang banyak hahaha. Next pertemuan Kayla dan Bagas dengan ayah Kayla.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro