Part 1
Btw aku ambil setting lagi di Purwokerto. Maaf kalau bosen dengan setting ini hahaha. Aku cinta kota ini, aku cinta bahasa ngapak dan segala kuliner khas di wilayah Barlingmascakeb. Aku ingin sambil nyisipin bahasa ngapak juga di cerita ini.
Mendengar nama itu terucap, Kayla gemetar. Peluh bercucuran. Ia merasa keberadaannya di kampus itu tak aman lagi. Bagaimana bisa mantan dosen pembimbingnya ini pindah ke Purwokerto setelah sebelumnya mengajar di Bandung? Apa yang membuatnya mau pindah ke kota kecil? Ia pikir, ia tak akan pernah lagi bertemu dengan Wisanggeni Bagaspati. Nyatanya suratan membawa kembali pria itu ke tempat yang sama.
Kayla melangkah menuju dapur kantin dan duduk di sana. Dadanya berdebar sekaligus sesak. Matanya berkaca. Rasa sakit dan trauma itu masih terasa pedihnya. Demi Allah, dia tidak ingin bertemu dengan dosen itu lagi.
"Mbak Kayla kenapa? Kok mukanya pucet?" tanya Anto pemuda dua puluh tahun yang juga bekerja di kantin milik eyang.
"Nggak apa-apa, Anto." Kayla memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Oh ya, udah. Aku mau ke pasar dulu, ya, Mbak. Mie-nya habis." Anto berlalu dari hadapan Kayla. Kayla hanya membalas dengan anggukan.
"Kayla..." Wanita paruh baya, ponakan sang eyang memanggilnya.
"Iya, Bulik, ada apa?" Kayla menatap wanita bernama Asih itu seraya berusaha menetralkan deru perasaan menyesakkan yang berkecamuk di dalam sana.
"Bulik minta tolong, antarkan soto Sokaraja ini ke ruang dosen ya. Di ruang dosen III ya. Pak Ridwan sama Pak Setyo yang pesan." Asih meletakkan nampan itu di meja.
Kayla semakin gugup. Ingin rasanya menolak, tapi tak enak hati jika tak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh orang yang lebih tua. Namun ia juga takut bertemu dengan Bagas. Membayangkan saja sudah takut duluan.
Kayla terpaksa menuruti perintah Asih. Dia berjalan menuju ruang dosen III sambil membawa nampan yang menopang dua mangkok soto yang ditutup tudung saji kecil. Langkahnya begitu pelan. Ia masih mencoba untuk menstabilkan gemuruh rasa takut dan cemas yang merajai hati. Ia berharap, ia tak akan bertemu dengan Wisanggeni Bagaspati.
Kayla teringat, eyang kakung yang asli Jawa pernah bercerita tokoh-tokoh pewayangan. Hatinya seketika bergetar kala sang eyang mengatakan bahwa Wisanggeni adalah salah satu ksatria yang rela berkorban demi kebaikan. Ia putra dari Arjuna dan Betari Desranala, putri Bhatara Brama, dewanya api. Kelahiran Wisanggeni tidak dikehendaki karena dipaksa dilahirkan sebelum cukup bulan oleh Bhatara Brama. Semua itu terjadi atas desakan Bhatara guru. Putra dari Bhatara guru, bernama Dewasrana cemburu karena Desranala dipersunting oleh Arjuna dan menginginkan perceraian antara Arjuna dan Desranala. Meski dilahirkan paksa dan dibuang ke kawah candradimuka oleh kakeknya sendiri, Wisanggeni tetap hidup dan tumbuh menjadi ksatria yang sakti mandraguna. Ia digambarkan sebagai pemuda yang tampan, terkesan angkuh tapi memiliki hati yang baik. Ia pernah mengacaukan khayangan dan tak ada yang dapat mengalahkannya. Namun hidupnya berakhir tragis karena mengorbankan diri menjadi tumbal untuk kemenangan Pandawa.
Tatkala eyang bercerita tentang Wisanggeni, Kayla hanya terdiam. Hatinya tiba-tiba bergerimis. Terlebih saat sang kakek mengatakan bahwa nama Wisanggeni itu terdiri dari dua kata, wisa berarti bisa (racun), sedang geni berarti api. Entah kenapa pas sekali dengan karakter dosen pembimbingnya yang galak dan kejam seperti bisa dan api.
Kayla tiba di depan ruang dosen III. Ia mengucap salam. Terdengar jawaban salam dari Ridwan dan Setyo.
"Taruh di situ, Mbak, sotonya. Makasih banyak, ya," ucap Ridwan ramah.
Kayla meletakkan dua porsi soto di meja, "Sama-sama Pak."
Gadis itu berbalik menuju pintu. Saat hendak melangkah keluar ia berpapasan dengan seseorang. Kayla mengangkat wajahnya. Dadanya berdebar kencang dan seolah jantungnya hendak lepas kala wajah seseorang yang tak asing mendominasi penglihatannya. Laki-laki itu... yang pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata pedasnya. Laki-laki itu yang menjatuhkannya hingga titik terbawah. Laki-laki itu yang turut andil menambah luka dan rentetan trauma yang bahkan belum sepenuhnya lenyap hingga detik ini.
Di saat yang sama, Bagas pun terkejut menatap perempuan yang membeku di hadapannya. Wajah yang tak asing dan ia tengah berusaha keras untuk mengingatnya.
"Mbak Kayla, mendoannya masih ada nggak, ya?" Pak Setyo yang sedang menikmati sotonya memanggil gadis yang masih tergugu tanpa mampu berkata-kata.
Ia menatap Pak Setyo tapi bibirnya masih terkatup.
Kayla... Seru Bagas dalam hati. Ia bertanya-tanya, apa benar gadis ini adalah Kayla, mahasiswi bimbingannya? Gadis ini tampak berbeda dengan jilbab yang dikenakan. Dulu ia belum berhijab.
"Pak Setyo mau mendoan, ya? Biar saya yang memesan. Saya juga mau ke kantin." Bagas beralih menatap rekan dosennya dan tersenyum.
"Jadi ngrepotin Pak Bagas, nih," balas Setyo tak enak hati.
"Sama sekali nggak ngrepotin," timpal Bagas.
Kayla merasa terjebak di depan pintu karena tubuh Bagas menghalangi jalan. Kepala Kayla kembali tertunduk.
"Permisi..." ujar Kayla lirih.
Bagas bergeser. Kayla segera berlalu dengan debaran yang belum juga hilang. Tiba-tiba ia merasa cemas dan takut. Setitik air mata berlinang kala teringat kejadian dulu, saat sang dosen dengan segala arogansi dan kekuasaannya memarahinya dengan melontarkan kata-kata yang menyakitkan.
******
Seusai sholat Dhuhur di Masjid kampus, Bagas mendatangi kantin eyang yang dikelola Kayla dan Asih. Sebelumnya ia bertanya terlebih dahulu pada Setyo, di kantin mana Kayla bekerja. Bagas langsung mengenali kantin itu. Kantin bercat biru dengan beberapa tanaman hias memenuhi teras.
Sekumpulan mahasiswi yang berkumpul di sana terkesima menatap sang dosen yang begitu berwibawa duduk di salah satu sudut. Bisik-bisik pun tak terelakkan. Banyak mahasiswi yang mengagumi kharisma sang dosen baru. Anto menghampiri Pak Dosen dan menanyakan menu apa yang ia pesan. Bagas memesan satu porsi nasi lengkap dengan sayur dan telur dadar juga segelas jus mangga.
Asih yang tengah sibuk menggoreng ayam meminta Kayla mengantar menu pesanan Bagas. Namun setelah melihat sang dosen duduk termenung, nyalinya langsung beringsut. Wajahnya mendadak pucat. Tangannya gemetaran dan napasnya seakan sesak di ujung. Akhirnya Anto yang mengantar pesanan tersebut.
Bagas mengedarkan pandangan. Ia mencari-cari keberadaan Kayla. Namun sedari tadi gadis itu tak jua menampakkan batang hidungnya. Bagas hanya ingin menanyakan kabar lalu bertanya mengenai alasan Kayla tidak berangkat ke kampus lagi. Ia tahu, ia sudah tak lagi mengajar di kampus lamanya, tapi ada setitik rasa bersalah karena Kayla memilih meninggalkan skripsinya setelah ia memarahi sang mahasiswi. Waktu itu mood Bagas tengah anjlok hingga ke titik terendah, karena itu emosinya menjadi mudah tersulut.
Tak ada sisa makanan di piring dan segelas jus pun telah habis, tapi Kayla belum jua muncul. Bagas masih menanti dengan sabar. Kayla memilih memasak di dapur, sedang Anto dan Asih yang aktif melayani pembeli. Gadis itu sengaja menghindari Bagas.
Tiba waktunya bagi Bagas untuk mengajar. Ia terpaksa meninggalkan kantin. Namun ia bersumpah untuk mengajak Kayla bicara suatu saat nanti.
******
Keesokan harinya, Bagas sengaja memesan soto Sokaraja dan meminta diantarkan ke ruangannya. Ia kembali kecewa karena bukan Kayla yang mengantar melainkan Anto, anak dari Asih. Rasanya gengsi jika ia menitipkan pesan pada Anto bahwa ia ingin bicara dengan Kayla.
Bagas memikirkan cara terbaik untuk bisa bicara dengan Kayla. Ia bolak-balik berjalan di depan kantin menunggu suasana sepi. Ia akan menemui Kayla di kantin dan berbicara dengannya.
Setelah suasana cukup sepi, Bagas melangkah menuju kantin. Sayangnya Kayla segera kabur menuju toilet begitu tahu derap langkah sang dosen datang mendekat. Bagas yang tahu Kayla berjalan menuju toilet belakang segera mengejar gadis itu.
"Kayla...!" Suara lantang Bagas mengagetkan Kayla. Gadis itu menghentikan langkahnya.
Bagas berjalan mendekat ke arah Kayla, sementara Kayla terpaku dengan ketakutan yang kembali mencekam. Ia tak berani membuat kontak mata dengan Bagas.
"Kenapa kamu nggak ke kampus lagi? Kenapa nggak lanjutin skripsi kamu?"
Kayla tak menjawab apapun. Ia meremas jari-jari tangannya yang gemetaran. Sungguh, trauma itu masih terus menghantui. Berhadapan dengan Bagas ibarat tengah menghadapi monster yang paling menakutkan.
Bagas mengamati gerak-gerik tubuh Kayla yang gemetar dan cemas. Jari-jari itu saling bertaut dan terlihat kurus. Wajah Kayla yang meski menunduk tetap tak dapat menyembunyikan pasinya. Ia bertanya-tanya, apa dirinya sebegitu menakutkan?
"Kenapa tak menjawab pertanyaan saya?" tanya Bagas sekali lagi.
Kayla masih terpaku. Ia ingin segera meninggalkan Bagas tapi langkahnya tertahan. Ia masih saja tak berkutik menghadapi laki-laki itu, persis seperti dulu, semasa ia masih menjadi mahasiswi bimbingan Bagas. Pertanyaan itu mudah, tapi terlampau sulit untuk ia jawab.
"Saya bertanya baik-baik, apapun jawaban kamu saya terima," ucap pria itu lebih lembut dari sebelumnya.
Mata Kayla berembun. Rasa sakit itu kembali menganga. Bayangan wajah merah padam dan suara menggelegar Bagas seakan melintas di benak.
"Apa ini ada hubungannya dengan sikap saya? Apa karena saya marah? Waktu itu saya hanya ingin kamu mempelajari skripsimu lebih dalam. Saya ingin kamu maju. Hanya mahasiswa lemah yang kalah oleh gertakan."
Kayla tak bisa menerima kata-kata yang menyudutkannya. Dulu ia hanya bisa diam. Namun sekarang ia bukan lagi mahasiswi bimbingan Bagas. Ia tak suka dihakimi lemah karena faktanya, ia berusaha sekuat tenaga untuk menjadi kuat agar bisa bangkit dari keterpurukan.
Kayla memberanikan diri menatap balik Bagas.
"Anggap saja saya memang lemah... Bapak mungkin tak tahu... Selepas itu... Saya hancur... Masa depan saya.... Segalanya.... hancur...." Kayla mengusap bulir bening yang menetes. Ia berbalik dan setengah berlari meninggalkan Bagas yang mematung.
Bagas tercekat. Tampak benar kerapuhan dan kesedihan berpendar di mata sembab Kayla. Ia berpikir, Kayla begitu membencinya dan mungkin tak akan mau memaafkannya.
******
Hari demi hari berganti. Kayla semakin menjaga jarak setiap kali Bagas mampir ke kantin. Sebisa mungkin ia menghindari momen yang bisa mempertemukannya dengan Bagas.
Sebenarnya Bagas tak ingin pikirannya tersita hanya karena satu gadis bernama Kayla. Ia selalu berpikir bahwa urusan pekerjaan jauh lebih penting dibanding sikap tak bersahabat yang ditunjukkan mantan mahasiswi bimbingannya itu. Namun ia tak dapat menepis rasa penasarannya akan kehidupan Kayla pasca musibah kebakaran yang menimpanya. Berbekal kenekatan, ia bertanya pada Anto tentang alamat Kayla. Ia ingin menemui sepasang suami istri lanjut usia yang menampung Kayla dan bertanya banyak hal tentang gadis itu.
******
"Kami mengenal Kayla sedari dia lahir. Dia memang sering main ke rumah kami dan kami juga sudah menganggapnya cucu. Saya punya satu anak laki-laki, sudah menikah dan menetap di Australia. Sampai sekarang belum punya anak. Dia dan istrinya baru pulang ke Indonesia saat hari raya. Kehadiran Kayla memberikan keceriaan dan kebahagiaan untuk kami. Sebenarnya dia gadis yang ceria. Namun saat ayahnya dipenjara karena kasus pembunuhan, ia jadi pendiam dan sering murung. Teman-teman atau tetangga kadang mengata-ngatai kalau dia anak pembunuh. Saya tahu, Kayla minder. Belum lagi ibunya sakit-sakitan." Aminah, wanita yang biasa disapa eyang putri oleh Kayla menceritakan tentang sosok Kayla pada Bagas yang secara khusus menyempatkan waktu bertamu demi mendapat keterangan tentang Kayla dari sepasang suami istri lanjut usia itu. Ia mengaku sebagai teman lama Kayla.
Bagas sengaja menemui mereka saat Kayla sibuk di kantin.
"Sampai detik ini, Kayla tak pernah mau menjenguk ayahnya di penjara. Dia trauma dengan perlakuan kasar ayahnya saat pria itu belum dipenjara. Ayahnya ini seorang yang temperamental, kasar, dan sering melakukan kekerasan fisik padanya dan almarhumah ibunya. Kayla sangat terpukul saat ibunya meninggal. Beberapa hari dia mengurung diri di kamar, depresi. Kami membawanya ke psikiater. Kata psikiater, Kayla mengalami serangkaian peristiwa traumatis yang membuatnya depresi dan tertekan. Seminggu setelah ibunya meninggal, rumahnya kebakaran. Kayla sempat terkurung di dalam tapi alhamdulillah berhasil diselamatkan. Namun pasca kejadian itu, ia semakin tertekan, depresinya semakin parah, kata psikiater, ia mengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Sepanjang hari Kayla mimpi buruk, ia sering mengigau dan bilang pada kami bahwa ia mimpi buruk. Ia sering merasa cemas dan panik, terbayang-bayang serangkaian kejadian yang membuat dia trauma. Dari hasil konsultasi dengan psikiater, Kayla sering dihantui kejadian semasa ayahnya ditangkap polisi, saat ibunya meninggal, saat kebakaran melalap habis rumahnya dan juga sering mimpi buruk bertemu dengan dosen pembimbingnya dan dalam mimpi, dosen itu marah-marah." Wanita yang telah lanjut usia itu menjelaskan dengan gamblang. Ia masih terlihat bugar di usianya yang sudah menginjak tujuh puluh tahun.
Seperti ada bongkahan jarum yang menusuk-nusuk perasaan Bagas. Ia merasa bersalah turut andil memicu permasalahan psikis yang diidap Kayla.
"Sebenarnya kami sudah menyemangati dia untuk kuliah lagi, meneruskan skripsinya. Tapi dia sangat takut dan trauma kembali ke kampus. Kami tak mau memaksa. Bagi kami yang terpenting adalah memulihkan kondisi psikisnya. Sepertinya dia begitu tersakiti oleh sikap dan ucapan dosennya." Giliran Toro, eyang kakung yang urun suara.
Lagi-lagi Bagas terdiam. Rasa bersalah itu kian menyesakkan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Kayla menjalani kehidupannya yang getir, bagaimana ia bisa bangkit setelah terjatuh dan terluka begitu hebat. Dalam benak ia berpikir, bagaimana caranya mengobati luka hati Kayla dan membuka pintu hatinya untuk memaafkannya?
******
Voment klo ingin lanjut...hehe...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro