Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 72 - Sayang? -

Nyatanya, setelah beberapa hari jauh dari Rai. Aku merasakan kerinduan yang amat dalam pada pacarku itu. Aku lebih sering menghubunginya untuk hanya sekedar bertanya hal-hal aneh yang bukan aku sekali.

Rai juga merasakan hal yang sama, merindukanku. Pacarku itu bahkan ingin sekali kembali pulang, menemuiku dan memeluk hangat tubuhku. Namun sayang, sepertinya dia akan tinggal di kampung halamannya lebih lama karena neneknya baru saja meninggal dunia.

Aku hanya bisa menemani pria itu melalui panggilan video call, menenangkan dia dengan ucapanku. Namun, aku sendiri tidak tau semua itu bisa membantu dia untuk bangkit atau tidak.

Kini, kami sedang melakukan video call seperti biasanya. Wajah Rai terlihat berbeda dan aku menjadi sangat sedih sekarang. Beberapa kali aku memberinya semangat juga lelucon. Namun, hanya ditanggapi seadanya.

"Rai, kamu nggak pa-pa kan?" tanyaku pelan yang langsung membuat Rai kembali menatap layar ponselnya.

Mata kami saling bertatapan dan aku jelas melihat ada kekosongan di dalam sana. "Aku kangen sama kamu," lanjutku yang langsung membuat senyum pacarku itu merekah.

"Aku juga kangen kamu," jawabnya singkat yang setidaknya bisa membuat hatiku membaik.

"Kemarin, aku udah isiin kamu KRS. Kamu tinggal hubungin dosen wali kamu," jelasku pelan.

Semua urusan Rai kini aku yang menangani karena aku tau, pacarku itu tengah berduka. Lagipula, hal seperti itu sangat mudah untuk di lakukan.

"Iya, makasih ya."

Percakapan kami terdengar singkat. Namun, tidak ada satu pun yang berniat untuk menyelesaikannya. Saling menatap seperti ini sudah jauh dari kata baik untuk kami berdua. Memang benar kata orang bahwa rindu itu sangat berat dan aku baru menyadari hal tersebut.

Dalam beberapa hari ini, aku tidak bisa melepaskan ponsel di tanganku. Membawa barang elektronik itu kemana pun aku pergi, aku tidak ingin perasaan Rai memburuk dan membuat pacarku itu kembali sedih. Aku ingin selalu di sisinya walaupun hanya melalui pesan-pesan singkat.

Dua hari berlalu dengan sangat cepat, kini aku sudah berada di bandara untuk menjemput Rai dan juga Barra. Masih ada waktu setengah jam dan aku memilih untuk duduk di ruang tunggu.

Beberapa kali kulihat ponselku. Namun, tidak ada satu pun pesan yang masuk ke dalam sana. Aku sedikit cemas, tetapi juga sangat semangat menunggu kedatangan pacarku itu.

Setelah cukup lama, aku akhirnya melihat Rai berjalan ke arahku. Pria itu menarik kopernya dengan tangan kiri dan melambaikan tangan kanannya ke arahku. Dengan cepat aku berlari ke arah pacarku itu dan memeluk Rai dengan erat.

"Kangen!" tegasku yang langsung membuat Rai tertawa.

Di belakang kami, ada Barra yang terlihat cemburu. "Udah deh, nggak usah peluk-pelukan di depan orang jomlo," ucap Barra sembari berjalan mendahuluiku juga Rai.

Aku tersenyum kecil sembari melepaskan pelukanku pada Rai. Kusentuh wajah pacarku itu dengan pelan. "Kamu nggak pa-pa kan?"

Jujur, aku masih kurang yakin dengan perasaan Rai sekarang. Dia tentu masih terpukul atas kepergian neneknya. "Nggak pa-pa kok, aku nggak pa-pa."

Aku bisa melihat dengan jelas kebohongan yang pacarku itu lakukan. Namun, aku yakin dia melakukan itu agar aku tidak khawatir.

Kami bertiga akhirnya bisa pulang dengan selamat. Barra sebelumnya sudah di antar ke kosnya dan aku juga Rai bergegas pulang ke kos pacarku itu. Saat sudah berada di kamar, Rai terus-terusan memelukku dan menciumi pipiku.

"Ih, Rai, geli!"

Aku berteriak kecil karena pacarku itu menggosokkan dagunya ke wajahku. Di sana, jelas terlihat bahwa banyak rambut yang sudah mulai tumbuh karena pacarku itu belum melakukan cukur.

"Maaf, maaf."

Rai menghentikan kegiatannya dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku dengan pelan karena kesal melihat kelakuan pacarku itu.

Sembari membiarkan pacarku itu beristirahat, aku bergegas mengeluarkan barang-barang yang ada di koper milik Rai. Beberapa pakaian kotornya kumasukkan ke dalam mesin cuci agar nanti bisa dia gunakan kembali.

Saat membuka lebih dalam. Aku sedikit terkejut karena ada sebuah tas aneh yang sebelumnya tidak pernah kulihat. "Rai, ini tas apa?" tanyaku pelan yang langsung membuat Rai bangun dari tidurnya.

Pria itu ikut melihat tas yang aku maksud dan kemudian meletakkan kepalanya di pahaku. "Itu tas dari Ibu aku, buat kamu."

Wajahku bersemu saat mendengar ucapan Rai, segera kubuka tas tersebut dan aku kembali terkejut karena isi di dalam tas itu yang sangat banyak. Ada dua baju khas dari kampung halaman Rai juga beberapa makanan yang sebelumnya tidak pernah kulihat.

Aku tersenyum kecil melihat semua itu. Namun selain itu semua, ada sesuatu yang membuatku semakin salah tingkah yaitu sebuah surat yang diberikan oleh ibu Rai untukku.

Mataku berkaca saat membaca surat yang diberikan oleh Ibu dari pacarku itu. Aku juga ingin bertemu dengan beliau. Namun, bagaimana caranya.

Saat asyik memandangi surat yang diberikan dari Ibu pacarku itu, tiba-tiba saja telapak tangan Rai berada di pipiku. Mengusap lembut pipi tembam ku itu sehingga fokusku teralihkan.

"Kenapa?"

Rai tersenyum ke arahku dan menggeleng pelan. "Nggak pa-pa kok, aku kangen aja liat wajah kamu."

Aku bingung kenapa Rai menjadi sangat romantis sekarang. Berbeda dengan Rai yang sebelumnya. Namun, aku sangat menikmati semuanya karena aku mencintainya.

Sore berganti malam, kini aku masih berada di kamar kos Rai. Rencananya aku akan menginap malam ini, hitung-hitung sebagai balasan rindu yang tidak mengenakan selama beberapa hari ini.

Besok, aku harus kuliah dan memulai semester baru dengan semangat. Kini, aku dan Rai sudah berada di atas kasur. Tidur bersebelahan sembari sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

Perlahan, Rai menarik tubuhku untuk masuk ke dalam pelukannya. Diusapnya punggungku hingga membuatku merasa sangat nyaman.

"Dee," panggilnya yang hanya kujawab dengan dehaman.

"Aku boleh ngomong sesuatu?" tanya Rai lagi yang berhasil membuat mataku terbuka karena sebelumnya aku sudah menutup mata.

Aku ingin melepaskan pelukan kami. Namun, pacarku itu malah mengetatkan pelukan tersebut. "Jangan dilepas, aku masih mau peluk kamu."

Lagi-lagi ucapan Rai membuat wajahku bersemu. Aku bingung dari mana dia belajar menggoda seperti itu, tetapi aku menyukainya. Aku menyukai semua tentangnya.

"Hmm, boleh nggak kita saling manggil sayang?"

Dahiku mengkerut karena mendengar pertanyaan dari pacarku itu. "Maksudnya?"

Aku jelas merasa bahwa Rai kini tengah mengambil nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku mau kita pacaran kaya orang lain, manggil sayang gitu. Dari dulu sampai sekarang, kita manggil nama terus."

Aku tertawa kecil setelah tau maksud dari ucapannya. Tanganku kemudian terangkat dan segera kuletakkan di atas dadanya yang cukup bidang. "Hmm, boleh kok ... Sayang."

Sebenarnya aku sangat malu saat memanggil Rai dengan sebutan sayang, tapi hubungan kami sudah sangat jauh. Bukan hal yang aneh sebenarnya kalau kita saling memanggil dengan sebutan seperti itu.

Mulai sekarang, aku dan Rai akan saling memanggil dengan sebutan sayang. Aku juga berharap semoga nanti, hubungan kami lebih baik lagi. Walau entah ada badai apa yang akan menerpa, tapi aku yakin bahwa hubungan kami akan tetap berdiri tegak.

***

Yeay bab 72 🥰

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro