ma.ni.pu.la.si: 27
⭐Now playing: Seharusnya Terlambat - OST Jangan Buat Aku Berdosa (SANGAT direkomendasikan)⭐
Pernahkah kamu dihadapkan pada situasi yang mengharuskanmu untuk mengorbankan bait-bait impian? Persis seperti Hilwa ... ia sudah menggapai kehidupan impiannya, tetapi genggaman itu mesti dilepas sekarang juga.
Jelas Hilwa tak bisa menerima begitu saja! Sudah beribu langkah yang ia ciptakan untuk sampai ke titik ini. Berperang dengan diri sendiri, membohongi Ummi-Abi, menerima kesepakatan yang diajukan Pak Adnan, membantu nilai akademik Haitsam, hingga melanggar prinsipnya sendiri dengan menjalin hubungan terlarang ... akankah semua itu berakhir sia-sia ketika Hilwa memutuskan untuk mengakhiri segalanya?
Sulit untuk ikhlas dan berlapang dada. Akan tetapi ... bukankah lebih baik merasakan sakit itu sejak awal agar bisa mencari penyembuhan secepatnya, dibandingkan terus terlarut dan menyangkal di tengah kenyataan bahwa langkahnya tak akan pernah sejalan dengan tujuan untuk menggapai rida-Nya?
Selagi air mata kembali menjejaki buntalan pipi Hilwa, keempat teman lainnya di Kobong Syam itu langsung meraih pundak Hilwa, mendekapnya erat-erat, seolah mencegah salah satu bagian dari mereka agar tak berujung pada substansi bernama kehilangan. Cukup sudah. Terlepas dari pengkhianatan yang memang tak pernah bermaksud Hilwa lakukan ... setelah berbagai hal yang mereka lalui selama ini ... bagaimana mungkin mereka membiarkan salah satu pasukan terbaik Rohis, kini gugur di medan perang?
"Enggak, Hilwa ... enggak!" Rosi banjir air mata, mengencangkan pelukannya di bahu Hilwa, tak terima. Anak perempuan itu tak mampu mengendalikan suara sesenggukannya. "Hilwa bakalan tetap di sini ... sama kita! Menuntaskan semua ini!"
Dengan kedua sudut bibir tertekuk ke bawah, sama-sama berberat hati dengan situasi yang ada, Hilwa menggeleng. Bibir tipis itu ia gigit kuat-kuat, berusaha membangun ulang benteng pertahanan yang lebur bukan main. "Kasus ini mungkin belum terungkap sepenuhnya sama pihak sekolah. Tapi buatku, enggak ada lagi yang tersisa di sini, Oci. Aku udah mengatakan semuanya ke kalian. Habis ini, setelah aku memberikan kesaksian pada pihak sekolah ... itu sama aja kayak bagian penutup, akhir kisah aku di Ruwada. Enggak akan ada lagi, Oci. Enggak akan. The end."
Rengkuhan itu kian erat, sarat akan pengakuan atas eksistensi yang telah saling mengisi selama ini. Bahkan seorang Zafira Humaira sekalipun tak dapat mengelak bahwa perpisahan ini menghantam setiap penjuru jiwanya dengan telak. Zafi tahu ia sempat kecewa, tetapi melepas segalanya tetaplah bukan perkara mudah. Zafira memejamkan mata, merasakan kesedihan yang mengudara di sekitarnya.
Hilwa masih di sini, berada di antara dekapan mereka, tetapi rasanya kekosongan itu sudah mendominasi saja ....
Di luar kendali, Zafira tahu-tahu angkat suara. "Maaf karena ketidaktahuanku kala itu malah bikin kamu makin merasa sendiri, dipojokkan anak-anak AKSI sebagai double agent yang berkhianat ... maaf. Coba saja kamu terbuka lebih awal ...."
Pengandaian, ya? Jalan terakhir umat manusia ketika keping demi keping penyesalan mulai datang menyesaki. Hal terakhir yang bisa dilakukan manusia ketika harapan dan kenyataan berlanggaran di garis kontradiksi. Andai Zafi bisa mengetahui segala kebenaran ini lebih awal. Andai saja ... andai ... andai ... dan semua tak lebih dari kata andai.
"Iya. Aku terlalu takut sama Haitsam, sama Pak Adnan. Aku ...." Hilwa menelan salivanya susah payah. "Aku terlalu egois buat merelakan sesuatu yang emang pada dasarnya enggak seharusnya aku miliki. Aku terlalu egois buat merelakan sesuatu yang sesungguhnya tidak Allah senangi. Aku melanggar peraturan-Nya ... kalau aku enggak mundur saat ini, aku takut malah menormalisasi ketiadaan rida Allah di langkahku."
[ma.ni.pu.la.si]
Pertemuan kelima anak perempuan itu diakhiri ketika menjelang azan magrib. Rosi, Zafi dan Zifa sama-sama kembali ke Kobong Madinah untuk mempersiapkan alat salat. Waktu kembali bergulir dengan rutinitas berulang yang tak lekang. Anak mes berkumpul di gazebo untuk menyetorkan hafalan pada Muhafidz¹ maupun Muhafidzah²-nya masing-masing. Zafi bilang, ia akan melaporkan perkembangan investigasi mereka pada Ustazah Qonita.
Sementara itu, malam ini, Nazifa tampak tak begitu fokus di halaqah. Kedua manik cokelat terangnya terus berotasi dengan gelisah, menyorotkan bahasa-bahasa resah yang tak terkisah. Hingga waktu setoran habis, Zafira berbincang dengan Ustazah Qonita, dan anak lain telah kembali ke kobong lebih dulu, Nazifa malah bergeming di tempat. Anak perempuan itu menghilang sejenak dari peredaran kehidupan Ruwada yang masih begitu ramai di jam santai begini.
Di samping gazebo yang kini sepi melompong tanpa suara apa pun, Nazifa menunduk dalam, menekuri layar ponsel yang ia nyalakan di genggaman tangan. Gawai itu menampilkan room chat Nazifa dengan seseorang.
Zam ....
Hoi! Pangeranmu di sini! Ada apa?
Pesan WhatsApp Zifa sudah dibalas sejak tadi. Akan tetapi, mendapati Nazifa tak kunjung membalasnya, Alzam pun kembali menyesaki notifikasi Zifa dengan mengebom spam. Hanya saja ... Nazifa masih melamun panjang. Ada banyak hal yang membuncah dari setiap penjuru jiwanya. Bibir Zifa pun gatal sekali untuk mengatakan segalanya. Namun, tatapan itu masih bergeming tanpa kedip, dan jemarinya tak tergerak sedikit pun untuk memuntahkan semua itu.
Lama, Zifa membiarkan dirinya tenggelam sendiri dalam gemuruh badai yang berpusar begitu bising di dalam sana. Suara-suara Hilwa yang terekam jelas di memori Zifa terus terdengar menggentayangi.
"Aku sekarang sadar, meski impianku sekolah di Ruwada berhasil tergapai, aku meraihnya dengan cara yang salah. Aku tidak menjadi orang yang lebih baik. Dan jika semua ini tidak berujung pada kebaikan, lebih baik aku mundur dari sekarang."
Cara yang salah, kehilangan arah ....
"Kalau semua ini memang aku niatkan untuk Allah, aku enggak akan ragu mengorbankan mimpiku, Oci. Aku cuma mau terbebas dari belenggu yang hanya bikin aku melangkah di jalan yang salah."
Hilwa mengorbankan banyak hal untuk kembali ke koridor jalan-Nya. Sementara itu ... Nazifa masih saja ragu untuk melepas sesuatu yang sejatinya memang tidak seharusnya ia miliki, dan memang tidak akan pernah ada di genggaman? Seperti baru saja ditekan tombol play-nya, jemari Nazifa langsung mengirimkan pesan balasan.
Zam, aku mau berhenti.
Nazifa memejamkan matanya erat-erat begitu merasakan getaran demi getaran yang merambat berulang kali dari ponselnya. Di saat Zifa menata hati untuk kembali mengetikkan sesuatu, sudut matanya telanjur menangkap chat terakhir yang Alzam kirimkan kepadanya.
Aku ke sana.
Panik, Nazifa mengetikkan pesan balasan dengan cepat.
Jangan!
Ini udah malam.
Besok aja, di sekolah.
Di tengah pikiran Zifa yang begitu ramai, anak laki-laki itu malah menambah beban pikiran Nazifa. Alzam tidak main-main. Tak sampai lima belas menit, Alzam kembali memberitahukan Zifa bahwa dirinya sudah sampai di gerbang mes yang memang sebentar lagi akan dikunci.
Aku ke Kantin Om Juy.
Enggak! Jangan, Zam. Banyak orang.
Kamu di mana?
Tak punya pilihan lain-karena Nazifa tahu bahwa Alzam tidak akan pulang tanpa mendapatkan apa yang ia mau-sebelum ia benar-benar mendapatkan masalah besar, Zifa pun membiarkan Alzam tahu dan menemuinya. Sejak pertama kali Nazifa menangkap presensi lelaki berjaket hitam itu, Alzam menyorotkan tanda tanya sekaligus kekhawatiran di matanya.
Nazifa tak kuasa. Itu kelemahan terbesarnya, tetapi ia tak mau tenggelam di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Ia harus menegaskan segalanya sekarang juga. "Zam, udahan, ya."
"Tapi kenapa, Zif? Kalau aku ada salah, bilang aja. Jangan malah tiba-tiba mengatakan sesuatu yang cuma bikin aku takut. Kenapa? Ada apa?" Alzam meraih tangan mungil Nazifa di genggamannya.
Mendapati aksi spontan itu, Nazifa serasa membeku dengan kedua pelupuk mata yang sudah dibingkai manik-manik kaca yang siap pecah jadi tangisan. Nazifa menggelengkan kepala. "Ini bukan salah kamu. Tapi salah aku. Aku yang terlalu menggampangkan sesuatu, aku yang terlalu naif, mengira sisi gelap dan sisi terang bisa melangkah beriringan tanpa saling memerangi." Nazifa memaksakan senyuman pahit. "Sekarang aku tahu kalau semuanya sudah cukup sampai di sini, Zam. Kamu juga tahu sendiri, 'kan? Kesepakatan kita enggak berjalan sama sekali."
"Kesepakatan itu ... aku sungguhan merasa lebih baik, kok, Zif! Aku lebih rajin salat, nambah hafalan ...."
"Kamu bisa aja menemukan dirimu, tapi aku kehilangan diriku." Nazifa menarik tangannya dari genggaman Alzam, lantas memandangi anak laki-laki itu dengan sorot sendu yang tak akan pernah lagi ia berikan. "Pulanglah sebelum gerbang mes dikunci. Dan lagi, semoga yang kamu bilang 'lebih baik' itu bisa terus berjalan walau aku enggak lagi di sisi kamu, ya."
Sudah. Nazifa telah sempurna mengakhiri kisah ini. Usai. Tak ada alasan lain bagi Zifa untuk tetap mempertahankan diri di sini. Tanpa pamit kata maupun bahasa, Nazifa pergi meninggalkan Alzam yang masih bergeming di tempatnya.
Kala itu, walau masih berbalut rasa tidak terima, keduanya perlahan merentang jarak yang memang sejatinya ada di sana. Keduanya sama-sama kebingungan untuk memulai, tetapi mereka sadari bahwa perjalanan ini masih harus diarungi. Tak lagi saling mengiringi, kini keduanya melangkah di jalannya masing-masing.
Kala itu, keduanya tak mengetahui sama sekali akan adanya kamera yang berkedip mengabadikan proses melepaskan itu.
Dan kala itu, mereka tak menyadari adanya badai besar yang siap menghantam kehidupan mereka sekali lagi.
Ketika rembulan menguasai angkasa malam seutuhnya, Ruwada masih diliputi ketenangan seperti biasa. Ponsel anak mes sudah dikumpulkan ke Ukhti ketika Sekretaris Rohis ramai diperbincangkan di grup angkatan. Dan semesta hanya perlu sepuluh jam untuk menjungkirbalikkan kehidupan anak manusia.
[ma.ni.pu.la.si]
¹Muhafidz: Penguji hafalan (laki-laki)
²Muhafidzah: Penguji hafalan (perempuan)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro