Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

⛰️

"Mana Mataharimu Hai Anak Krakatau"


Anak-anak sebaya tertawa bak cicit tikus di sampingnya. Sagara dengan perasaan kesal terus melanjutkan pekerjaannya dengan mulut terkunci dan raut wajah kesal. Drama itu memuncak ketika salah seorang dari mereka akhirnya mendorong Sagara hingga terjatuh. Tanpa basa-basi Sagara menapakkan tinju ke wajah anak tadi. Kontan terdiam, Sagara bergegas pulang ke rumahnya yang tak seindah dulu ketika ayahnya masih tinggal bersama.

“Eh, sudah pulang, Kang? Ada apa?” tanya Maheswari, adik perempuan si remaja lelaki lima belas tahun yang bernama Sagara Dinata itu. Namun sepatah katapun tiada keluar kecuali ekspresi amarah yang dipandangnya.

“Kalau begitu, mari makan saja. Ambu sudah masak tadi pagi. Akang cepat sekali pergi, pasti sekarang lapar. Bicaranya nanti setelah suasana hati sudah membaik.”

Maheswari menarik tangan kakaknya menuju ruang makan yang tak lebih dari tiga meter dari terasnya. Perut itu memang lapar, namun ketika Sagara membuka tudung hidang, matanya hanya menatap nanar ke arah tempe goreng dengan seuprit nasi dingin.

“Inikah masakan yang kau maksud? Sudah sebulan lidah Akang terus-menerus merasakan makanan yang sama.”

“Ada apa ini, kenapa ribut-ribut?”

“Ambu ...,” tangis gadis berusia sembilan tahun yang langsung terluka hatinya itu di pelukan sang Ibu.

“Jujur Ambu, aku tidak tahan lagi! Mengapa hidup kita bisa kacau seperti ini setelah tak ada Abah? Dulu kita bergelimang harta, makan lezat setiap hari. Tak ada yang memberi penghinaan terhadapku, semua hendak berteman denganku. Sekarang sudah berputar rodaku dari atas menjadi di bawah,” jawab Sagara dengan rentetan fakta setelah satu tahun ia berusaha tinggal di lingkungan barunya, lingkungan kumuh penuh budak pribumi. Sagara keluar, berlari dari kediamannya menuju rumah teman lama.

Eduart van Heemskerck kala itu sedang memacu kuda di sekitar rumahnya ketika Sagara datang. Ayahnya pejabat yang punya pangkat tak terlalu tinggi dalam struktur pemerintahan kolonial di daerah itu, namun hidupnya sebagai orang berdarah dan bermata biru cukup membuat hidupnya nyaman dengan tempat tinggal yang tak sebesar istana.

Tjid niet gezien¹, apa kabarmu, Eduart?

Goed². Ada apa kau datang kemari? Bersyukurlah karena aku tidak sedang berada di halamanku atau kau akan dihalangi,” jawab Eduart sambil turun dari kudanya dan duduk di potongan pohon, di samping Sagara.

“Setahun aku tinggal di sana rasanya menyengsarakan sekali. Orang-orang di sekitarku sangat menyebalkan dan makananku tak ada enak-enaknya sama sekali.”

“Orang pribumi terutama buruh-buruh paksa sepertimu memang menyebalkan. Aku sudah bilang padamu tentang itu sebelum kau termasuk menjadi bagian dari mereka. Tidak salah jika keluarga Belanda menganggap remeh orang pribumi. Untung saja kau pernah jadi temanku. Jika saja Paman Daendels sedikit lebih lunak dan memaafkan Ayahmu, kau mungkin masih bisa merasa sedikit lebih enak sekarang.”

Sagara tidak mengerti dengan apa yang barusan ia dengar. Apa hubungannya Abahnya dengan Daendels?

Setelah mempersilakan Sagara masuk ke halamannya untuk makan, Eduart menjawab dengan santai. “Kau tidak tahu, ya? Walaupun kalian itu buruh paksa, kami masih baik kepada kalian karena mengupah kalian dengan jumlah yang setidaknya cukup untuk membuat hidup kalian sejahtera. Kau pikir teman-teman Ayahmu dan bahkan Ayahmu sendiri cukup bekerja dengan baik sebagai mandor sehingga kau pernah bisa hidup dengan tingkat yang sederajat denganku sekarang?”

Terpaku Sagara mendengarnya.

“Yah, tetapi jujur aku memang baru tahu juga setelah penangkapan Ayahmu. Paman Daendels benci hal-hal seperti itu. Lihat, Belanda sangat baik kepada pribumi. Hanya kami dipandang sangat jahat karena bersedia jadi kambing hitam atas tindakan kaum kalian sendiri yang tega padahal sebangsa,” kata Eduart sambil merapikan rambut ketika mendapati pantulan dirinya di kaca jendela. Sementara itu Sagara berusaha meredam panas api yang berkobar di dalam hatinya. Tiba-tiba angin membawa abu hitam memedihkan mata Sagara diikuti suara dentuman seperti meriam. Hari ini memang agak kelabu. Tetapi semuanya berjalan seperti biasa, terlebih Eduart tinggal di tempat yang dekat batalion. Antara suara latihan pasukan Belanda atau letupan-letupan kecil rutinitas Krakatau sehingga tidak ada reaksi yang berarti dari dua orang yang sedang bersua itu.

Tanggal 20 Mei 1883, dilihat Sagara dari kalender milik Eduart. Setelah itu dia pamit pulang. “Aku tidak masalah jika kau datang kembali,” kata Eduart. Kata-kata itu membuat Sagara merasa diterima sebagai teman lama Eduart.

Setelah hari itu, tak ada hari yang tidak kelam. Entah itu hati Sagara ataupun langit Banten yang tak kunjung membaik. Sagara tidak lagi membiarkan dirinya diolok-olok kasta rendah yang satu ras dengannya. Dia bahkan bertindak semena-mena. Melecehkan para mandor dan orang pribumi adalah hobi barunya. Tidak terhindarkan, tetangga-tetangga yang sebelumnya masih bermurah hati dan menyayanginya pun ikut kena imbas dari amarah yang tidak mampu dibendung. Amarah yang alih-alih padam namun bahkan tak dapat direda oleh keluarganya sendiri.

“Memang kenapa? Kita memang sudah tercela. Tidak ada gunanya menyangkal fakta, Kang.”

Pradipta menggenggam kerah baju adik lelakinya yang lancang. “Sadar kau Sagara, kita satu keluarga, harus saling membantu, saling bekerja sama melawan penjajah. Sudah kuhitung tiga bulan lamanya kau terus merusuh kehidupan orang-orang tidak bersalah. Sebagai Akangmu, aku memperingatkan kau bahwa tidak ada gunanya memisahkan diri dari orang-orang pribumi. Jangan termakan bujuk rayu orang Belanda. Kamu tahu? Orang sepertimulah yang mengawali penderitaan seperti ini. Suka dipecah belah.”

Sagara melepaskan genggaman itu sambil berseru, “Sudahlah aku tidak mau mendengar! Kang, kau bahkan tak tahu apa-apa tentang mereka.”

Kemudian dia meninggalkan Pradipta, Maheswari, dan Ibunya yang menonton pertengkaran itu dibalik tirai bilik kecil sambil terisak. Pradipta awalnya tak menghiraukannya. Nanti juga akan kembali lagi, pikirnya.

Tetapi hati Sang Ibu merasakan sesuatu yang tak mengenakkan hati setelah kepergian Sagara. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Benar saja, sekitar pukul dua siang, butiran-butiran es turut turun bersama hujan dan gemuruh dari arah barat.  Tetangga-tetangga berhambur keluar dari rumah untuk memastikan peristiwa tak biasa itu. Badai disertai kilat halilintar dari bawah dan langit gulita. Pradipta memutuskan untuk menyusul adiknya.

Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya. Sementara itu, Sagara baru saja tiba di rumah Eduart. Di sana, Sagara mendapatkan berita tentang keanehan alam hari ini dari Batavia yang bertukar kabar ke Anyer. Eduart bergegas menyiapkan sesuatu atas perintah Ayahnya.

“Tidak apa-apa. Kau pasti lelah, Sagara. Istirahat dan makanlah dulu.” Sagara mengiyakan. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh kilometer, bukan main lelah betis kakinya.

Akhirnya dia tertidur.
Pukul dua malam, Sagara terbangunkan oleh getaran hebat. Udara dingin yang menusuk dan pandangannya kabur ketika mendapati luar rumah saat itu benar-benar berkabut. Sagara mencari-cari Eduart yang tak kelihatan batang hidungnya. Seluruh penghuni rumah seperti disulap, hilang tanpa sisa. Sagara termenung. Apakah dia bermimpi? Hingga jam menunjukkan pukul enam pagi tapi matahari tampaknya tak terbit lagi, tak ada cahaya sama sekali dari ufuk timur. Bau belerang. Dia dapati secarik kertas dari meja. Dengan susah payah dia membaca.

“Aku pergi. Ayah mengajakku untuk bergegas pergi dan menumpang kapal GG Loudon bersama Kapten Lindeman. Kau jaga, diri ya.”

-Eduart Van Heemskerck

Bergetar hati Sagara setelah membacanya. Kini dia sendiri di sana. Untuk apa di sana jika ... sendirian? Menghadapi situasi membingungkan seorang diri. Sagara menatap jam dan kalender di sampingnya. Pukul sembilan tepat, 27 Agustus 1883.

Kegelapan itu mengantarkan tangannya pada lentera dan mantel kulit di dinding kamar Eduart untuk dibawa pergi.

Ia menembus hutan dan hujan lebat yang dingin bercampur kerikil, menuju arah pulang. Dalam perjalanannya dia kembali merenungkan perkataan Pradipta kemarin. Tentang Eduart yang meninggalkannya, dan perilakunya yang buruk. Letusan yang memekakkan telinga terdengar dari puncak Krakatau pada saat yang bersamaan.

Sagara berlari secepat mungkin. Pada letusan ketiga yang amat sangat memekakkan telinga, dia berhenti di bawah lambaian kencang pepohonan, meletakkan lentara, menutup telinga. Tiba-tiba seseorang memeluknya. Itu Pradipta. Sagara sempat meneteskan air mata sebelum berniat mengucapkan terima kasih kepada kakaknya. Malang. Belum sampai niatnya terlaksana, raksasa air menerjang, ikut berpelukan bersama mereka. Mencabut pohon dari akarnya, meluluhlantakkan gubuk-gubuk kecil, memisahkan Sagara dan Pradipta.

Mereka terhempas tertawa bersama air, hujan lumpur, dan benda-benda keras nan tajam. Air yang tampak tenang mampu mematahkan tulang.
Sore itu, setitik cahaya mengasihani Sagara yang sedang berusaha bangkit sambil terbatuk-batuk. Pipinya tergores, punggungnya memar. Dia berusaha bangkit, mencari kakaknya. Rupanya air mampu mengantarnya pulang sedikit lebih cepat. Tetapi apa arti pulang jika rumah yang sebenarnya tidak ada?

Setelah berjalan tertatih-tatih dia menemukan kakaknya tertimpa pecahan bangunan batu. Berulang kali dia menggoyangkan tubuh kakaknya yang kaku. Tidak terima dengan apa yang baru saja terjadi, Sagara terdiam. Mulutnya yang bungkam tak sanggup menyembunyikan suara isakan yang semakin meluap.

Dia membawa tubuh Pradipta melewati kumpulan mayat-mayat yang bergelimpangan menuju tanah rata yang sekiranya pernah menjadi tempat berdiri rumahnya. “Ambu, Maheswari, aku pulang! Aku pulang! Heh, kalian tidak mendengarkanku?!” teriak Sagara. Dia, Sagara, tertidur di sana selamanya. Mana mataharimu hai Anak Krakatau? Eduart atau keluargamu?

♪♪♪

¹) Tjid niet gezien: lama tidak berjumpa
²) Goed: bagus

♪♪♪
18/02/2024
Lilyafa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro